BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Krisis Ekonomi Global yang terjadi di Indonesia pada periode 1997 disusul pada periode 2008, sebenarnya di awali dari krisis di bidang distribusi.
Jika kita amati secara seksama bahwa krisis tersebut adalah ’buah’ dari kebijakan ekonomi yang keliru. Beberapa indikatornya adalah sebagai berikut:
Sektor riil tidak bergerak, di mana dana masyarakat yang berjumlah lebih dari Rp.639 triliun ternyata oleh bank-bank yang ada hanya di letakkan di BI
melalui instrument SBI. Dapat di lihat pada tabel sebagai berikut :
1
Tanggal Lelang
Jumlah Penawaran
yang Masuk
Kisaran Bid Rate Jumlah
Penawaran yang
Diserap SOR
RRT SBI
Hasil Lelang
Tanggal Setelmen
Tanggal Jatuh
Waktu Frekuensi
Penawaran Lelang
692010
21.2111 6.15 - 6.45
8 6.29 propo 49.14 6.26221 6102010 782010
121
5262010
4.778 6.00 - 6.50
3.9982 6.37 full amount
6.30206 5272010 782010 56
26.1815 6.10 - 6.50
25 6.35 proporsional
28.45 6.28197 5142010 782010
104
5122010
11.2588 6.10 - 6.30
10 6.25 proporsional
55,75 6.19877 4292010 5272010
79
4282010 4142010
4.7462 6.12 - 6.40
4.6762 6.35 full amount
6.25054 4152010 6102010 60
18.9489 6.15 - 6.50 15.000001
6.25 proporsional 58,81
6.21091 482010 5142010 125
472010
30.1165 6.10 - 6.35
15 6.28 proporsional
89,72 6.27162
412010 5142010 147
3312010
25.93 6.20 - 6.50
11 6.35 proporsional
56.70 6.32334 3252010 5142010
153
3242010
27.2929 6.30 - 6.55
13.5 6.40 proporsional
29,50 6.35218 3182010 5142010
138
3172010
21.4432 6.10 - 6.60
21 6,41 proporsional
27.64 6.34657 3112010 482010
163
3102010
42.7207 6.30 - 6.43 33.44999
6.41 proporsional 74.09
6.39696 342010 412010 176
342010 2242010
39.7315 6.33 - 6.43
39.7315 6.43 full amount
6.407 2252010 3252010
164
1
di akses pada 15 Juni 2010 dari http:www.bi.go.idwebidMoneter
1
2
2172010
49.9408 6.34 - 6.45
38.1 6.43 Prop 19.37
6.41525 2182010 3182010 182
2102010
55.2575 6.35 - 6.46
47.2 6.44 Prop 78.02
6.4305 2112010 3112010
189
242010
46.7454 6.36 - 6.46
36.1 6.45 Prop 71.39
6.43688 242010 342010 167
1272010
35.6006 6.36 - 6.46
35.6006 6.46 full amount
6.44788 1282010 1272010 160
1202010
45.7997 6.37 - 6.50
43 6.46 propo 95,27
6.45259 1212010 2182010 165
1132010
66.3437 6.38 - 6.48 61.40001
6.47 propo 88,26 6.45819 1142010 2112010
213
162010
59.0298 6.35 - 6.48
46.8 6.48 propo 24.18
6.45311 172010 242010 214
Krisis mengajarkan beberapa hal. Bank Syariah ternyata lebih tahan dari krisis dan tidak menyulitkan Negara
2
. Karena Perbankan syariah bisa berperan sebagai Lembaga intermediasi penengah yang
berfungsi bahwa dana pihak ketiga yang ada di Perbankan syariah hampir 100 di distribusikan kembali kepada masyarakat. Sementara bank
konvensional hanya mendekati 70
3
, dan membebani Negara karena meniscayakan bunga bagi Pemerintah untuk dana bank di SBI.
4
Fakta ini menunjukan bahwa bank syariah lebih berpihak kepada sektor riil daripada bank konvensional. Perlu di kemukakan bahwa
pertumbuhan ekonomi yang tinggi sesungguhnya terjadi di sektor moneter, bukan di sektor riil yang bisa dirasakan langsung oleh rakyat banyak.
Kemudian Faktor Utang. Dapat kita lihat pada tabel dibawah ini :
5
2
Muhammad Syakir Sula, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari republikaonline
3
” Perbankan Syariah Tidak akan Membiayai Rokok, Miras dan Hiburan Malam, ” WARTA Media Informasi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 03
Desember 2009, h.6
4
Muhammad Syakir Sula, ”Membumikan Ekonomi Syariah di Indonesia,” artikel di akses pada 04 Mei 2006 dari Republika online
5
di akses pada 15 Juni 2010 dari http:www.depkeu.go.id
3
Ini mencerminkan bahwa jumlah hutang lebih besar dari pada anggaran untuk pendidikan, kesehatan dan pertahanan secara bersama-
sama. Jelasnya, jika sektor riil tidak bergerak, maka akan menyebabkan
seperti praktik judi dan ekonomi ribawi. Dalam konteks ekonomi, pelarangan bunga bank dan judi dipastikan akan meningkatkan distribusi
kekayaan. karena penyimpangan distribusi yang secara akumulatif berakibat pada kesenjangan kesempatan memperoleh kekayaan.
4
Sementara itu, Dari sisi penerimaan, Pemerintah menjadikan pajak sebagai sumber utama penerimaan Negara, sebagaimana dapat di lihat pula
pada tabel berikut :
6
Ini berarti dapatlah dikatakan bahwa menurunnya penerimaan Negara dari sumber bukan pajak merupakan dampak dari kebijakan Pemerintah yang
menyerahkan pengelolaan sumber daya alam kepada swasta, khususnya asing. Dengan payung liberalisasi dalam investasi dan privatisasi sektor publik,
Perusahaan Multinasional asing seperti Exxon Mobil oil, Caltex, Newmount, Freeport, dan lainnya dengan mudah mengeksploitasi kekayaan alam
Indonesia dan semua potensi ekonomi yang ada. Sehingga pemasukan APBN dari sektor SDA migas dan non-migas makin lama makin kecil. Di samping
itu, privatisasi sektor publik mengakibatkan kenaikan TDL, Telepon, dan BBM.
Kemudian Dari sisi pengeluaran, terdapat alokasi belanja yang sangat bertolak belakang. Menurut data tabel diatas dalam APBN-P 2007, anggaran
6
di akses pada 15 Juni 2010 dari http.badankebijakanfiskalkemenkeu.htm
5
belanja subsidi BBM dan lainnya sebesar Rp.105 triliun, sedangkan pembayaran utang bunga Rp.83,5 triliun dan cicilan pokok Rp.54,7 triliun atau
total sebesar Rp.138,2 triliun, yang kemudian dana pajak yang dipungut dari masyarakat sebagian besar adalah untuk membayar hutang yang rata-rata tiap
tahun sebesar 25-30 dari total anggaran.
7
Ini artinya yang perlu kita garis bawahi bahwa penyebab defisit APBN bukanlah besarnya subsidi, melainkan hutang yang sebagian besar hanya di
nikmati oleh sekelompok kecil, yaitu konglomerat, untuk kepentingan Restrukturisasi Perbankan.
Maka jelaslah bahwa indikator terjadinya krisis ekonomi adalah krisis di sektor distribusi. Kekacauan di sektor ini mengakibatkan kekacauan di
sektor riil produksi, perdagangan dan jasa. Pada krisis tersebut terlihat bahwa fakta di lapangan membuktikan,
kemiskinan terjadi bukan karena tidak ada uang, tetapi karena uang yang ada tidak merata. Kemiskinan juga bukan karena kelangkaan SDA, tetapi karena
distribusinya yang tidak merata. Tidak benarnya pendistribusian inilah yang menyebabkan kesenjangan yang luar biasa antara Negara Maju dan Negara
Berkembang, ironisnya Negara-Negara yang berpenduduk mayoritas Muslim
Islami Islamic set of values yang dimiliki oleh mayoritas penduduk suatu
8
. Dalam hal ini sudah selayaknyalah kita menunjukkan, perlunya kita
kembali kepada sistem perekonomian yang sesuai dengan seperangkat nilai
7
Ibid., h.3
8
Muhammad Arif Adiningrat dan Farid wadjdi, “ Kebijakan yang bertolak belakang,” artikel diakses pada sabtu, 21 Mei 2005 dari www.hizbut-tahrir.or.id
6
bangsa. Penyimpangan terhadap Islamic set of values secara universal telah menimbulkan kemunduran dan kemiskinan.
9
Adiwarman Karim
10
menjelaskan bahwa respons terhadap maraknya praktik Lembaga Keuangan Syariah LKS di Indonesia, menyusul terjadinya
krisis ekonomi dan moneter dan pemberlakuan UU Perbankan No 10 tahun 1998, serta fatwa MUI tentang keharaman bunga bank, telah membangkitkan
kesadaran bahwa kehadiran LKS harus di iringi dengan pemahaman yang lebih komprehensif tentang ekonomi Islam. Menurutnya ” ... Pemahaman
sistem ekonomi Islam tidak cukup hanya melalui sosialisasi teknis semata, tetapi juga latar belakang dan sejarah perkembangan pemikiran ekonomi para
cendikiawan muslim hingga terwujudnya konsep mekanisme operasional LKS...”
Sementara itu, Euis Amalia menyatakan bahwa di Indonesia pengembangan ekonomi Islam di mulai melalui pola kedua sehingga tidak
heran jika pengembangan industri keuangan syariah tumbuh lebih cepat dibandingkan pengkajian teoritis dan konseptual dalam pembentukan sistem
yang lebih komprehensif.
11
9
Karnaen Perwataatmadja, ”Kebutuhan dan Strategi Pengembangan Kurikulum untuk membangun SDI Syariah,” pada acara seminar ”Peran Perguruan Tinggi dalam membangun SDI
Syariah Profesional,” dalam Indonesia Syariah Expo, 27 Oktober 2007, Jakarta Convention Centre : MES, 2007, h.5
10
Adiwarman Azwar Karim, “Pengantar” , Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Cet.III, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006. h.vii
11
Euis Amalia. Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam Penguatan Peran LKM dan UKM di Indonesia ,Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 2009. h.114
7
Dalam upaya untuk mengatasi krisis ekonomi, tidak hanya membenahi sektor riil dan moneter, tetapi juga harus membenahi persepsi tentang
distribusi, fungsi, konsep dan kedudukannya. Lantas, bagaimanakah konsep distribusi dalam Islam. Ekonomi Islam
sebagai sebuah sistem yang bersumber dari ajaran-ajaran Islam, menjelaskan sejelas-jelasnya bagaimana seharusnya konsep distribusi yang ideal. Para
ulama Islam telah mengembangkan gagasan-gagasannya tentang ekonomi. Di antara sekian banyak ulama yang banyak berbicara tentang distribusi adalah
Muhammad Baqir As – Shadr. Dalam skripsi ini penulis ingin mendeskripsikan persoalan ekonomi
tentang distribusi dengan penekanan pada pemikiran sosok Muhammad Baqir As – Shadr, seorang pemikir terkemuka yang melambangkan kebangkitan
Intelektual dan sering kali melakukan gerakan-gerakan perlawanan konstruktif dalam hal kebijakan penguasa setempat.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah