107
dibagian sumber alam, sebagai contoh seseorang yang menggarap lahan kosong tak bertuan, memiliki itu berkaitan dengan mempunyai prioritas dan
hak untuk mencegah orang lain dari penggunaannya. Sekarang, jika orang ini memilih untuk menyewa orang lain untuk
bekerja ditanah, dia masih memelihara ‘kepemilikan’ tanah sehubungan dengan status tenaga kerjanya yang dilibatkan dalam penggarapan tanah.
96
Pada sisi lain, tuan tanah memiliki hasil tanah yang berkaitan dengan para pekerja itu sendiri, dan membayar kompensasi kepada pemilik tanah
dengan alasan bahwa para pekerja tuan tanah masih ada. Kompensasi ini bisa jadi dalam bentuk atau pinjaman yang tetap atau suatu saham dalam produk
jika pemilik tanah menyediakan benih pupuk atau permesinan.
97
Dalam mengatur aktivitas ekonomi, banyak contoh di beri oleh Sadr
98
: a. Lahan kosong dapat didistribusikan dan dimanfaatkan
b. Larangan Islam yaitu menempati lahan kosong dengan kekerasan pekerjaan, tidak ada keuntungan.
udian
ri Tuhan k manipulasi dalam pasar
c. Prinsip tidak ada d. Larangan Riba
e. Larangan tidak produktif, seperti perj f. Menimbun uang dan barang-barang
g. Larangan yang aktivitas mengalihkan perhatian da h. Penuturan dan mengece
96
Ibid. h.122
97
Ibid. h.122
98
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005, h. 258
108
i. Larangan pemborosan
benang yang dimiliki pengge
i, Sadr
100
selanjutnya
dari penggarapan
d.
ke tangan para buruh,
Sadr
99
membedakan antara bekerja dilahan sumber alam dan dimiliki yang lain seperti diatas dengan bekerja dilahan ‘hasil buruh’ yang dimiliki
oleh orang lain, sebagai contoh seorang pekerja yang membuat benang dari wol seorang pengembala; dalam hal ini, produk
mbala dan pekerja akan dibayar kompensasi. Dengan pandangan prioritas tenaga kerja in
membuat daftar hasil laba ke setiap faktor produksi : a. Buruh-upah atau bagian keuntungan
b. Tanah-sewa atau bagian c. Modal-bagian dari laba
Peralatan modal fisik-sewaan kompensasi Buruh diberikan satu pilihan dari keuntungan yang jelas upah atau
variabel keuntungan bagian dari keuntungan. menyewa tanah diizinkan hanya ketingkat bahwa pemilik tanah telah menyerahkan
sebagai contoh buruh untuk menggarap tanah kosong. Sadr juga memegang pandangannya membolehkan transaksi-transaksi
seperti Mudharabah, Muzara’ah bagi hasil, Musaqat, dan al-Jualah menggaji, upah. konstribusi bekerja ke suatu produk, atau untuk menggarap
99
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis
1995, h.122 , Kuala Lumpur,
100
Ibid. h.122
109
lahan
. Orang yang menggunakan ungkap
ahwa uang pemilik modal di dalam Mudharabah diberikan keuntu
telah digunakan, bukan faktor resiko. Ini Nampak seperti penjela
ang berbeda-beda, ketidaksamaan pendapatan adalah
dan menyewakannya kepada orang lain untuk harga sewaan yang tinggi.
101
Sadr juga membantah kompensasi untuk resiko yang dikemukakan oleh banyak ahli ekonomi, termasuk kaum Muslim
an tidak ada resiko, tidak ada keuntungan, menurut Sadr telah merusak mental pemerintah dengan satu faktor produksi.
Ahli ekonomi Muslim yang mengemukakan argumentasi itu mengatakan b
ngan, suatu kesalahan apabila berkaitan dengan resiko yang ia tanggung.
102
Sadr memandang keuntungan sebagai fakta bahwa mereka memiliki uang yang
san yang lebih logis dan bisa diterima untuk mengembalikan uang modal.
103
Pandangan diatas menunjukan dengan jelas bahwasanya Sadr
104
melihat keuntungan yang sah sebagai dasar daripada pekerjaan. Bagaimana pun, pekerja untuk Sadr, ada sumber hak distributif yang lain di dalam
ekonomi Islam, sebagai contoh kebutuhan. Karena tiap-tiap individu memiliki kapasitas dan kapabilitas y
hal yang wajar. Sebagian mendapatkan sedikit sementara yang lain tidak mendapatkan apa-apa.
101
Ibid. h.122
102
Ibid. h.122
103
Ibid. h.122
104
Ibid. h.123
110
Situasi ini memberikan mereka hak distributif dan pemerintah memainkan peranan penting dalam pencapaian ‘keadilan sosial’. Islam
menekankan standar hidup yang lebih tinggi melalui larangannya berbuat berlebi
belanjaan publik. Dengan investasi pada sektor publik secara spesifik
a prinsip bahwasanya seluruh sumber
ang sesuai menurut situasi zaman yang ada. Dalam konteks ini adalah tugas para mujtahidun itu adalah negara. Maksudnya tiap negara
h-lebihan boros, dan pada saat yang bersamaan, Islam mengangkat hal tersebut pada tingkat yang lebih rendah dengan cara menyediakan sistem
jaminan sosial.
105
Pemerintah juga dipercaya memberikan keamanan sosial secara keseluruhan. Dan hal ini dapat dicapai melalui persaudaraan penyelenggaraan
ini dapat melalui pendidikan diantara anggota masyarakat dan melalui kebijakan pem
dapat membantu orang miskin. Sementara itu dengan pengaturan aktivitas ekonomi memastikan kewajaran dan praktek yang berlaku, bebas dari
eksploitasi.
106
Untuk memastikan keseimbangan sosial dan keamanan yang dibutuhkan bagi keseluruhan, berdasarkan pad
daya alam harus dinikmati oleh semua orang. Pemerintah dipercaya untuk menjalankan tugas pada pemilikan untuk memastikan hal ini dengan
cara membantu mereka yang berkesusahan.
107
Pada akhirnya, sebuah kekuasaan negara dipercaya untuk menciptakan kedinamisan y
105
Ibid. h.123
106
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005, h. 257
107
Ibid. h. 258
111
memili
jelas metodo
ya, Asy Syara’i, bab Wikalah perwakilan, bahwa wikalah
a, maka wikalah dalam
itu atau ia secara langsung mencurahkan usahanya dalam pekerjaan menebang kayu, atau menyabit rumput, atau jenis pekerjaan
ki ahli hukum atau suatu negara memiliki beberapa bentuk dewan penasehat.
108
Pengkajian yang dilakukan Sadr dengan menggunakan metode ijtihad. Menurut analisa Chibli Mallat,
109
pembahasan ini memperlihatkan secara logi yang disarankan Sadr diawal pembahasan. Dalam hal ini penulis
menyajikan prinsip umum dengan mengikutsertakan pendapat ahli fiqh : ‘Allamah al-Hilli, seorang ulama-peneliti muhaqqiq Muslim,
menyatakan dalam kitabn dalam pekerjaan menebang kayu atau jenis pekerjaan lain yang
sejenis, adalah tidak sah. Contohnya, jika seseorang menunjuk orang lain sebagai wakil agen-
nya untuk menebang kayu di hutan demi kepentinganny hal ini tidak sah. Orang itu si penunjuk tidak menjadi pemilik kayu
yang ditebang oleh orang yang ia tunjuk sebagai wakilnya. Alasannya adalah, pekerjaan menebang kayu dihutan atau jenis
pekerjaan lainnya yang sejenis, pada dasarnya tidak menghasilkan pengaruh atau hak khusus apa pun bagi seseorang kecuali bila ia sendiri yang
melakukan pekerjaan
lainnya yang serupa.
108
Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam Dari Masa Klasik hingga Kontemporer, Jakarta : Pustaka Asatruss, 2005, h. 257
109
Chibli Mallat, The Renewal of Islamic Law, penerjemah : santi indra astuti Bandung : Mizan, 2001. h.206
112
B. Relevansi
1.
a yang terkandung dalam ekonomi Islam bertujuan memberikan seb
ki harta kekaya
i, elemen yang berlaku menurut Sadr ialah kebutuh
solidaritas sesama muslim.
Pemikiran Muhammad Baqir Ash-Shadr Relevansi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan
Ekonomi Islam
Muhammad Baqir As-Shadr
110
mengatakan bahwa ekonomi Islam adalah sebuah ajaran doctrine dan bukannya ilmu murni science,
karena ap uah solusi hidup yang paling baik, sedangkan ilmu ekonomi hanya
akan mengantarkan kita kepada pemahaman bagaimana kegiatan ekonomi berjalan.
Dalam mewujudkan gagasan keadilan distribusi menurut Islam, Sadr
111
mendasarkan pada dua faktor. Pertama, faktor primer yang terdiri dari kerja dan kebutuhan. Kedua, faktor turunan berupa kepemilikan.
Bekerja menurut Islam adalah sebab yang mendasar untuk memungkinkan manusia dapat memenuhi kebutuhannya dan memili
an. Namun yang menjadi permasalahan menurut Sadr
112
ialah cara menempatkan seseorang yang dalam kehidupan sosial tidak dapat bekerja atau
mereka yang bekerja tapi tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Dalam konteks in
an, artinya berapapun kebutuhan pokok komunitas masyarakat tersebut menjadi tanggung jawab bersama baik lewat jaminan sosial maupun
110
Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, Teheran : WOFIS, 1983, V
qtishaduna : Our Economics, Teheran : WOFIS, 1983, V
Kedua, Ed.I, h.113 olume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.5-6
111
Muhammad Baqir As-Shadr, I olume 1, Bagian
112
Ibid., h.113
113
Faktor berikutnya dalam mekanisme distribusi adalah kepemilikan. Menurut Sadr,
113
Islam memberikan keterbukaan kepemilikan pribadi dengan Islam dibatasi aturan
nila a.
ntuk mengamati peran kerja dalam distribusi, terlebih dah
sendiri merupakan ekspresi dari kecend
bakat serta potensinya dalam atnya. Sedangkan disisi lain
pekerja b.
lam masyarakat Islam, untuk mengenal lebih dekat peran adanya sarana bekerja, akan tetapi, kepemilikan dalam
i serta kepentingan sosial yang ditegaskan melalui Syari’ah. Peran Kerja al-‘amal dalam distribusi
Dalam Islam, kerja diposisikan sebagai faktor utama dari produksi. Menurut Sadr, u
ulu harus mengkaji hubungan sosial antara kerja serta hasil yang diperolehnya.
114
Kerja menurut Islam merupakan penyebab kepemilikan dari para pekerja. Sedangkan kepemilikan
erungan alami. Maka dalam Islam kepemilikan hak-hak individu mendapat tempat yang proporsional.
Dengan adanya peran positif kerja dalam Islam setiap individu dapat mengekspresikan seluruh kekuatan,
meningkatkan perekonomian suatu masyarak dapat memenuhi kebutuhannya.
Peran Kebutuhan al-Haajah dalam distribusi Peran kerja dan kebutuhan tersebut secara terpadu membentuk pola
distribusi da
113
Ibid., h.120
114
Ibid., h.114
114
kebutu
kesempatan kerja melalui bakat d
yang tinggi.
a komunitas pertama bergantung pada kerja, maka komun
i kelompok ketiga ini melalui instrument kebutuhan yang pengatu
rja sesuai han dalam distribusi, Sadr
115
membagi masyarakat ke dalam 3 komunitas :
Pertama, komunitas yang mendapatkan an kemampuan intelektualnya. Komunitas tersebut dapat menyediakan
kebutuhan hidupnya dengan standar Kedua, komunitas yang mendapat kesempatan kerja namun belum
sesuai dengan kebutuhan hidupnya. Ketiga, komunitas yang tidak mendapat kesempatan untuk terlibat
dalam proses produksi baik kelemahan fisik maupun kemampuan intelektualnya. Menurut Sadr, konsekuensi dari pembagian diatas
mengharuskan komunitas pertama bergantung pada kerja untuk mendapat bagian dalam distribusi. Jik
itas ketiga dalam perekonomian Islam bergantung pada permintaan akan kebutuhan dasarnya.
Pemahaman ini menurut Sadr,
116
berangkat dari realitas bahwa komunitas tersebut tidak dapat terlibat dalam proses produksi sehingga bagian
distribus rannya sesuai dengan prinsip-prinsip jaminan social serta solidaritas
umum. Sedangkan pada komunitas kedua, Sadr menjelaskan adanya dua
instrument sekaligus. Di satu sisi mereka memiliki instrument ke
115
Ibid., h.116
116
Ibid., h.119
115
dengan
c.
yang m
segala fenomena tentang perilaku pilihan dan pe
i dengan ilmu ekonomi Islam. Selama teori yang ada sesuai dengan
kemampuannya, di sisi lain berhak memperoleh bagian distribusi melalui sebagian kebutuhannya yang tidak terpenuhi melalui kerja.
Peran Kepemilikan al-Milk dalam distribusi Islam memberikan dua batasan terhadap hak kepemilikan pribadi.
Pertama, batasan aspek legal Islam, yaitu pelarangan atas berbagai transaksi engandung unsur riba dan spekulasi. Kedua, batasan sosial ekonomi
yaitu adanya kepentingan social ekonomi yaitu adanya kepentingan sosial untuk membantu kebutuhan sesamanya melalui zakat, infaq serta shadaqah.
117
Jika penulis relevansikan pemikiran Sadr dengan ekonomi Islam, maka kita harus memahami terlebih dahulu apa makna ekonomi Islam itu sendiri.
Dalam hal ini, penulis mengkaitkan dengan pemikir muslim masa kini semisal, Adiwarman Karim.
118
Menurutnya “…Ekonomi Islam adalah sebuah sistem ekonomi yang menjelaskan
ngambilan keputusan dalam setiap unit ekonomi dengan memasukkan tata aturan syariah sebagai variabel independen ikut mempengaruhi segala
pengambilan keputusan ekonomi. Dengan demikian, segala ilmu ekonomi kontemporer yang telah ada
bukan berarti tidak sesuai dengan ilmu ekonomi Islam dan juga tidak berarti semuanya sesua
asumsi dan tidak bertentangan dengan hukum syariah, maka selama itu pula teori tersebut dapat dijadikan sebagai dasar untuk membentuk teori
ekonomi Islam.
117
Ibid., h.129
118
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007,h.5
116
Begitupun apa yang ditawarkan Sadr mengenai konsep distribusinya, hemat penulis meskipun Sadr adalah seorang yang berlatar belakang Syiah,
tetapi tidaklah mungkin jika pemikiran beliau ditinggalkan hanya karena faktor
’an, surat Al-Hasyr, ayat 7, “ Supaya harta itu jangan hanya beredar
embangkan oleh ilmu ekonom
lu tersebut. Ternyata tak sedikit pemikiran beliau yang selaras dengan
Ekonomi islam antara lain seperti Zakat Khums Pajak,, Anfal, Fay, yang bertujuan untuk mengurangi kemiskinan dan menciptakan kesimbangan sosial.
Berbicara ekonomi Islam maka secara otomatis akan tertuju pada Al- Qur’an dan As-Sunnah, karena keduanya merupakan rujukan utama Absolut.
Maka menurut penulis, Pemikiran Sadr tentang Konsep Distribusi diperkuat dalam Al-Qur
diantara orang-orang kaya saja diantara kamu” serta adanya hadist Nabi yang menyebutkan bahwa “diantara sebagian harta kita ada hak untuk
orang lain”. Sejalan dengan itu, maka semua teori yang dik
i konvensional ditolak dan dibuang. Sebagai gantinya mazhab ini berusaha untuk menyusun teori-teori baru dalam ekonomi yang langsung
digali dan dideduksi dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
119
Oleh karena itu, sikap umat Islami terhadap ilmu-ilmu dari Barat, termasuk ilmu ekonomi versi “konvensional”, adalah La tukadzibuhu jamii’a,
wala tushahihuhu jamii’a Jangan menolak semuanya, dan jangan pula menerima semuanya. Menurut Adiwarman Karim,
120
ekonom Muslim tidak perlu terkesima dengan teori-teori ekonom Barat. Ekonom Muslim per
119
Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007,h.31
120
Ibid.,h.12
117
mempu
an beragam pendapat ahli fiqh sebagai suprast
annya dalam proses produk
alam distribusi pra produksi berkaitan dengan daya alam yang merupakan faktor produksi. Sedangkan pada
patan menurut Islam. nyai akses terhadap kitab-kitab Islami. Di lain pihak, Fuqaha Islami
perlu juga mempelajari teori-teori ekonomi modern agar dapat menerjemahkan kondisi ekonomi modern dalam bahasa kitab klasik Islami.
Hal ini sejalan dengan apa yang dilakukan Sadr dalam proses pengkajian dengan cara Ijtihad untuk menghadapi masalah-masalah
kontemporer. Sadr
121
mulai menampilk ruktur ajaran yang bersumber dari hukum. Selanjutnya, beliau
melakukan deduksi terhadap naskah-naskah klasik tersebut menjadi prinsip- prinsip umum dalam bidang distribusi.
Sadr
122
juga mendiskusikan dua teori pendapatan dalam perspektif Islam, yakni teori kompensasi dan bagi hasil. Pertama, seseorang berhak
mendapat balas jasa atas barang yang digunakan dalam proses produksi. Kedua, seseorang berhak mendapat hasil dari keikutserta
si. Sebagaimana contoh hukum yang mengatakan, “Pekerja berhak atas buah kerjanya.” Karena itu, Islam tidak mengakui bunga, karena pendapatan
tanpa kerja bertentangan dengan gagasan keadilan Islam. Jadi, fokus kajian d
sumber pengkajian distribusi pasca produksi lebih menitikberatkan pada teori
penda
121
M. Aslam Haneef, Contemporary Islamic Economic Thought : A Selected Comparative Analiysis, Kuala Lumpur, 1995, h.112-113
122
Muhammad Baqir As-Shadr, Iqtishaduna : Our Economics, Teheran : WOFIS, 1983, Volume 1, Bagian Kedua, Ed.I, h.132
118
2. Releva
inya, merupakan indikator kongkrit yang menand
secara
ijaga dan dipertahankan, maka dapat d
bangsa Indonesia adalah sistem ekonomi yang berbasis pada nilai-nilai ketuhanan, sebab bangsa ini adalah bangsa Religiusitas yang patuh terhadap
nsi Konsep Distribusi Muhammad Baqir As-Shadr dengan Masa Kini
Penulis berpendapat Krisis ekonomi di Indonesia masih belum kunjung selesai. Pengangguran yang membengkak, kesenjangan sosial antara
kaya dan miskin, biaya pendidikan kian mahal, merebaknya kriminalitas dan maksiat, gizi buruk, krisis energi, kelaparan yang selalu menanti di susul
dengan kasus-kasus yang menimpa daerah bencana baik korupsi dana pembangunan dan lain sebaga
akan kegagalan sistem ekonomi konvensional kapitalis yang diusung pemerintah.
Saat ini pemerintah sepertinya semakin tidak memperhatikan rakyat. Tak sedikit kebijakan pemerintah malah semakin membebani rakyat dan
langsung terus melestarikan kemiskinan. Hal ini membuktikan akibat kebijakan ekonomi yang keliru yang kian hari makin terpuruk.
Bila sistem yang secara jelas dan realitas tidak dapat menyelesaikan beragam problematika bangsa ini masih tetap d
ikatakan bahwa bangsa ini sesungguhnya tiada pernah secara bijak untuk belajar memperbaiki diri dari kesalahan.
Pemerintah harus ada solusi alternatif untuk mengganti sistem yang dipakai saat ini dengan sistem yang lebih baik serta sesuai dengan masyarakat
Indonesia. Sistem yang paling sinkron dengan karakteristik dan kepribadian
119
norma dan etika agama yang dianutnya. Sistem yang dimaksud adalah sistem ekonomi Islam.
123
Krisis yang bangsa kita hadapi saat ini secara bertubi-tubi dan melingkar-lingkar sangat berkaitan dengan ketidakmampuan kita untuk
merespons dampak-dampak kapitalisme global yang berfungsi sebagai kendaraan bagi imperialisme baru yang lebih sophisticated.
124
Harus diakui bahwa pembahasan ekonomi dalam karya ini berlatar kondisi masa lalu. Namun demikian, karena pembahasan ekonomi dalam
karya ini menyentuh dasar-dasar filsafat ekonomi dan sosial yang melibatkan relasi-relasi yang bersifat eksistensial dan generik, maka rekomendasi yang
diberikan Sadr dengan mudah dapat diadaptasikan guna menyikapi secara cerdas realitas dan tantangan kondisi ekonomi hegemonik masa kini.
125
Pada hakikatnya, kondisi ekonomi masa kini hanya mengalami perubahan-perubahan instrumental dari dasar-dasar ekonomi masa lalu.
Kapitalisme dan materialisme hanya berganti baju dan rupa, tetapi tidak watak dasarnya. Maka, fatwa ekonomi Ayatullah Baqir Ash Shadr tetap relevan.
126
Kenyataan yang memperihatinkan dalam kehidupan rakyat banyak di Negeri kita ini selama tahun-tahun terakhir sungguh banyak dan susul
menyusul datangnya. Namun, yang sangat luas dampaknya adalah keterpurukan bidang ekonomi yang dialami sebagian besar rakyat. Memang
123
Miftakhus Surur, “Indonesia dan Ekonomi Syariah”, Gontor, No. 11 Th.VI Maret 2009 : h.58
124
Ir. Sayuti Asyathri “ulasan dan komentar”, dalam Muhammad Baqir Ash-Shadr. Buku Induk Ekonomi Islam : Iqtishaduna, Jakarta : Penerbit Zahra, 2008, h.23
125
Ibid. h.24
126
Ibid. h.24.