menghadirkan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara politik. Dalam konteks yang lebih empiric, intelektualisme dan aktivisme baru
ini dikembangkan untuk menghadirkan sebuah Islam politik yang lebih inklusif dan integrative dalam hubungannya dengan kontruk negara Indonesia yang ada.
2. Kemerosotan Pengaruh Politik Partai Islam
Berbagai sikap keras perlawanan kalangan Islam terutama PPP pada Pemilu dan terutama aksi walk-out-nya pada SU MPR 1978 semakin memancing
kemarahan rezim Orde Baru terhadap para pemimpin politik Islam. Dalam menanggapi perilaku “oposisi” PPP itu, Jendral Ali Moertopo dengan geram
menyatakan pada pers: “Bahwa sikap Fraksi PPP di dalam MPR sebagai orang yang mau tenggelam dan setengah gila”.
75
Beberapa waktu kemudian, Presiden Soeharto dalam sebuah pidato mengecam semua kelompok di Tanah Air yang tampak memusuhi Pancasila dan
justru berpegang teguh kepada ideologi-ideologi saingannya, seperti komunisme, marhaenisme atau agama dan dia mangancam menerjunkan ABRI untuk memukul
mereka. Tindakan ini jelas dialamatkan kepada tindakan walk-out PPP, terutama unsur NU, sebagai peringatan bahwa tidak akan ada lagi toleransi untuk
perlawanan terhadap ideologi resmi.
76
Kelanjutan dari ketidaksukaan rezim terhadap “Partai Islam” itu ialah intervensi untuk melumpuhkan PPP dari dalam secara intensif. Tindakan konkret
awalnya adalah penggeseran Ketua Umum PPP, Mintaredja, yang “didubeskan”,
75
Abdul Qadir Djailani, Musuh-musuh Melakukan Offensif, Jakarta: Masyarakat Pelajar Press, 1987, hal..325.
76
Martin Van Bruinessen,NU, Tradisi, Relasi-relasi Kuasa, Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta: Pustaka Pelajar LKiS, 1995, hal.71.
Universitas Sumatera Utara
diganti dengan Djailani Naro “Jhon Naro”, yang diatur rapi melalui manipulasi politik yang dijalankan Ali Moertopo.
Bahkan tanpa ada undangan rapat pengurus, apalagi Muktamar, Naro mengumumkan dirinya sebagai ketua baru Naro nampaknya membawa misi
penguasa untuk membungkam kalau tidak dikatakan menyingkirkan, politisi Islam PPP yang terlalu kritis terhadap rezim Orde Baru. Sebagai orang titipan, Ali
Moertopo dan bekas anggota FKP pada 1968, Naro menjadi sumber penting kemelut dan ketegangan internal PPP yang memang telah cukup rentan akibat
“fusi separo badan”. Tindakan rezim Orde Baru untuk menekan PPP, terutama unsur NU
sebagai elemen “garis oposisi”, bukan hanya itu saja, jaringan NU di daerah- daerah juga mengalami tekanan keras dari penguasa militer dan sipil dari tingkat
pusat hinggan birokarasi lokal yang curiga dan marah. Para usahawan yang merupakan soko guru terpenting sebagian besar cabang NU sangat merasakan
tekanan tersebut. Para usahawan yang dianggap berafiliasi dengan NU tidak hanya dibuntu jalur kontrak bisnisnya dari pemerintah, bahkan urusan-urusan bisnis
swasta mereka pun sering diintervensi. Para usahawan yang sumula cukup terwakili dalam kepengurusan di berbagai cabang-cabang NU itu, karena tekanan
beruntun terhadap mereka, terpaksa mulai bersikap moderat, atau bahkan menarik diri sama sekali dari aktivitas politik paraktis.
Rekayasa suprastruktur lebih lanjut untuk menggeser kelompok berhaluan oposisi di PPP adalah dengan mem-back-up faksi akomodasionis atau oportunis
untuk menguasai sumber-sumber kekuasaan di Parlemen dan kepengurusan Partai. Upaya itu terlihat dari dukungan penuh FKP dan FABRI pada kelompok MI yang
Universitas Sumatera Utara
merebut posisi Ketua Komisi di DPR-RI yang semestinya merupakan jatah NU. Perebutan jatah kursi Komisi dari tangan NU dari perolehan 13 Ketua Komisi FPP
di DPR-RI. Dari 13 Komis jatah FPP itu, alokasi antar unsur dibagi dengan rasio NU:MI:SI:Perti=7:4:1:1.
Sesuai dengan kesepakatan fraksi-fraksi di DPR, alokasi ketua komisi untuk unsur Nu adalah di Komisi I, VII, VIII. Kemudian muncuk kesepakatan
pada 1978, NU meminjamkan posisi Ketua Komisi VII Bidang Perdagangan, Keuangan dan Bank Sentral
77
Merasa mendapat angin dari pemerintah, faksi MI meningkatkan ambisinya untuk merebut ketua komisi lain yang berada dalam kendali unsur NU.
Lagi-lagi unsur NU kalah sehingga beberapa posisi ketua komisi lainnya ikut terserabot unsur lain yang mendapat dukungan dari FKP dan FABRI. Akibat
yang semula di pegang Rahmat Muljomuseno NU kepada Sudarji MI, dengan syarat harus dikembalikan setahaun kemudian,
setelah batas waktu peminjaman habis, ternyata MI masih minta perpanjangan satu tahun lagi. Di sini NU masih menunjukkan jiwa besarnya denag menyetujui
pemintaan perpanjangan unsur MI. Namun kebesaran jiwa unsur NU ternyata membuat faksi MI lupa daratan. Sampai batas waktu perpanjangan terakhir unsur
MI justru bersikeras mencengkram jabatan Ketua Komisi yang basah itu. Kali ini NU habis kesabarannya, sehingga menjelang persidangan DPR
19801981 menjadi pergesekan terbuka antara NU dan MI. Untuk menentukan siapa yang berhak memimpin Komisi VII akhirnya diputuskan melalui voting.
Dalam proses pemungutan suara itu faksi NU kalah, karena MI didukung oleh FKP dan FABRI yang nota bene kepanjangan tangan pemerintah di parlemen.
77
Kacung Marijan, Quo Vadis NU ?, Jakarta: Erlangga, 1992, hal.115
Universitas Sumatera Utara
penyerobotan kursi-kursi yang seharusnya milik NU itu, perbandingan unsur dalam FPP yang memegang jabatan ketua komisi pun berubah dengan
menyusutnya posisi dan meningkatnya posisi MI. Rasio jatah kursi ketua komisi bergeser, yang semula 7 banding 4 antara
NU dan MI berubah menjadi 5 berbanding 6. secara distribusinya sebagai berikut:NU: 5, MI: 6, SI: 1 dan Perti: 1. keadaan itu semakin mengecewakan para
tokoh NU, karena sebelum penyerobotan jatah kursi ketua komisi tersebut mereka juga telah meras a ”dikhianati” dalam pembagian kursi DPR hasil Pemilu 1977.
Dalam distribusi ini seharusnya mengacu pada ”konsensus 1975” yang mendasarkan pembagian kursi dalam PPP dengan perimbangan hasil yang
diperoleh empat Partai Islam pada Pemilu 1971. Tetapi kenyataanya yang terjadi penambahan lima kursi PPP dalam
Pemilu 1977 hanya dinikmati unsur-unsur minoritas dalam partai MI, Perti,dan SI , sedangkan kursi dari NU justru merosot dari 58 menjadi 56. Anehnya, setiap
MI merebut posisi-posisi yang dipegang oleh NU, para politisinya selalu mengklaim sebagai kelompok mayoritas di PPP karena sebagai penerus Masyumi-
partai besar Islam pada 1955. Padahal hampir seluruh pendiri dan aktivis Masyumi seperti M. Natsir sampai Lukman Harun Tokoh Parmusi berkali-kali
membantah bahwa MI merupakan pewaris Masyumi. Berbagai ketimpangan distribusi sumber-sumber kekuasaan dan
kekecewaan dalam tubuh PPP diatas semakin menyulut pertikaian internal lebih besar, tatkala terjadi proses penyusunan daftar calon DPR untuk Pemilu 1982. MI
mulai mengabaikan kesepakatan di antara unsur berfusi pada awal pendirian partai
Universitas Sumatera Utara
menyangkut distribusi nama calon yang handak disusun. Unsur MI mengharapkan dikuranginya jatah NU yang semula 56 kursi menjadi49.
Keinginan ini ditolak unsur NU yang menghendaki komposisi daftar calon tetap seperti semula. Sikap unsur NU itu didasarkan oleh keputusan Munas Alim
Ulama Nu di Kaliurang yang memberikan amanat kepada PBNU untuk mempertahankan jiwa konsensus Munas PPP 1975 serta kekuatan massa riil NU
sebagai kontributor surar terbesar bagi PPP dibandingkan unsur lain. Sikap teguh NU untuk berpegang pada konsesus 1975 dan agresifitas
kelompok NaroMI membuat proses penyusunan Daftar Calon Sementara DCS anggota DPR 1982 menjadi alot dan panas. Dari pernyataan dan sepak terjang
Naro dan Sudarji dalam upaya mengeliminasi tokoh-tokoh dari unsur NU nampak tak diragukan lagi, keduanya membawa “pesan sponsor” untuk menjegal orang-
orang yang berpotensi menjadi “oposan” pemerintah. Dengan arogan Sudardji berkata bahwa ia tak menghendaki satu pun dari unsur NU masuk daftar caleg
DPR PPP. Sudardji berusaha memojokkan Nu, bahwa anggota NU tempo hari sudah melakukan walk-out, mendukung Petisi 50 dan ikut menandatangani angket
mengenai Pertamina. Juga dengan sensasionalnya dikatakan, bila jumlah 50 anggota NU masih dicalonkan maka kehidupan Orde Baru menjadi terancam.
78
Dengan terlontarnya ucapan-ucapan kasar diatas bisa diduga kalau penyusunan caleg PPP sedang meluncur ke jalan buntu. Rapat-rapat pertemuan
penyusunan daftar calon seolah-olah hanya menjadi arena saling menggebrak, hingga batas akhir penyerahan pada 27 September 1981 belum ada kata
kesepakatan di antara mereka, meski tak kurang dari 22 kali rapat telah dilakukan.
78
Fachry Ali dan Iqbal Abdurrauf Rauf Saimina,”PPP, Merosotnya Aliran dalam Partai Persatuan Pembangunan.” dalam Farchan Bulkian Pengantar, Analisa Kekuatan Politik di Indonesia,
Jakarta: LP3ES, 1988, hal.254-255.
Universitas Sumatera Utara
Lembaga Pemilihan Umum LPU memberikan perpanjangan waktu pada PPP untuk menyerahkan susunan daftar calon hingga 27 Oktober 1981. hingga batas
ahir perpanjangan waktu itupun tetap mengalami jalan buntu karena masing- masing pihak ngotot untuk berpegang pada pendiriannya.
J.Naro dengan sekutu-sekutunya dekatnya kemudian mengambil jalan pintas dengan cara sepihak menyerahkan daftar calon anggota DPR kepada
Mendagri selaku Ketua LPU. Dalam daftar calon versi kelompok Naro tersebut porsi NU mengalami pengurangan drastic disbanding Pemilu sebelumnya. Hal ini
tentu saja menjengkelkan para tokoh NU, apalagi urutan daftar nama yang dikehendaki NU diaduk-aduk sedemikian rupa, sehingga tokoh-tokoh utama yang
dijagokan NU tidak mungkin jadi. Mereka yang dijadikan kartu mati oleh J.Naro umumnya sangat vocal
dalam menyikapi Orde Baru seperti Yusuf Hasyim, Syaifuddin Zuhri dan Imron Rosyadi. Daftar calon sementara yang diserahkan secara sepihak oleh J. Naro
tenyata deterima dan dianggap syah oleh Mendagri Ketua LPU dan PPI . Kendati keputusan untuk menerima urutan calon itu diprotes oleh kalangan NU,
Idham Chalid sendiri nyaris tak bisa berbuat banyak, meski telah dilakukan upaya membuat daftar calon tandingan.
Karena tidak puas dengan penaganan sengketa intern partai tersebut dan merasa PPP tak bisa diharapkan lagi menjadi alat perjuangan, pada 19 Februari
1981 KH. Syaifuddin Zuhri menyerahkan jabatan Ketua DPP PPP kepada Presiden Partai Idham Chalid.
Mengomentari pengunduran diri KH.Syaifuddin Zuhri, wakil Sekjend NU, Abdurrahman Wahid melihatnya sebagai “kejadian penting”. Suatu tindakan
Universitas Sumatera Utara
formal pertama dilingkungan NU untuk melepaskan organisasi sosial keagamaamitu dari kaitan organisasi dengan PPP. Ini tentu memiliki implikasi
sendiri bagi perkembangan politik jangka panajang di Tanah Air kita. Lebih jauh dari itu, Presiden partai Dr. KH. Idham Chalid mengancam akan juga
mengundurkan diri jika tidak terdapat penyelesaian intern PPP.
79
Begitu menyakitkan kekisruhan PPP menjelang Pemilu 1982, sehingga pengurus Syuriah PB NU merasa perlu secara khusus membahas berbagai
kerugian yang diderita NU itu. Dalam pertemuan tersebut Syuriah PB NU memutuskan akan mempertimbangkan kedudukan NU di PPP apabila azas
musyawarah, solidaritas intern dan prinsip-prinsip organisasi PPP tetap tidak ditegakkan.
Rentetan kejadian yang merugikan kalangan NU tersebut tak kurang menimbulkan
perdebatan panas tentang kegunaan ikut serta dalam politik parlementer.
80
Dampak dari gejolak internal yang tak terselesaikan diatas terasa sekali pengaruhnya dalam penampilan PPP masa kampanye dan Pemilu 1982.
kesemarakan kampanye PPP mulai agai memudar, banyak para pemimpin politik muslim yang semula menyatakan dukungannya dalam kampanye Pemilu 1977
kini menolak memberikan dukungan. Mereka antara lain M. Natsir, Nurcholish Madjid, Kasman Singodimedjo dan sebagainya. Polemik dan perang statemen-
terkadang disertai caci-maki-yang tersebar di media massa yang menyertai kemelut PPP itu memperlihatkan betapa parahnya keretakan yang terjadi sehingga
mulai menimbulkan krisis kepercayaan sebagai partai Islam. Dengan susah payah
79
Umaidi Radi, Strategi PPP 1973-1982: Suatu Studi tentang Politik Islam di Tingkat Nasional, Jakarta:Integrita Press, 1984, hlm.169.
80
Slamet Effendy Yusuf, Mohammad Ichwan Sjam dan Masdar Farid Mas’udi, Dinamika Kaum Santri, Menyusuri Jejak Pergolakan Internal NU, Jakarta: Rajawali, 1983, hal.74-75.
Universitas Sumatera Utara
akhirnya PPP dalam Pemilu 1982 itu memperoleh 94 kursi, yang berarti mengalami penurunan 5 kursi dibandingkan Pemilu 1977.
”Penggembosan” dan Upaya Penetrasi Elit NU ke dalam ”Partai Orde Baru”
Sebagai realisasi dari keputusan kembali ke khittah 1926, yang berarti NU tidak lagi terikat dengan organisasi politik manapun, PB-NU mengeluarkan SK
No.1.PB NU1-1985 tentang larangan bagi pengurus harian Nu memiliki rangkapan jabatan sebagai pengurus harian partai politikorganisasi sosial politik
manapun. Rupanya materi keputusan itu dianggap penting sehingga pada 26 Oktober 1985, PB NU kembali menegaskan pelarangan rangkap jabatan dengan
SK 72A.-II04-dXI85 danNO.921986. Intruksi semacam itu tentu dirasakan sebagai suatu hal yang kurang
mengenakkan bagi sebagian pemimpin-pemimpin di daerah-daerah, karena banyak pengurus NU di daerah-daerah kebanyakan juga juga menjabat sebagai
pengurus PPP. Di hadapkan pilihan seperti itu, sebagian dari mereka mematuhi intruksi itu dengan menanggalkan jabatannya di PPP, namun ada juga yang
menolak. Bila prinsip netralitas NU terhadap partai-partai politik sebagai
konsekuensi kembali ke khittah ’26 benar-benar dijalankan seperti keluarnya intruksi di atas, mau dikamanakan massa NU yang besar dan relatif kohesif itu?
Menjelang di selenggarakannya kampanye Pemilu 1987, jawaban terhadap pertanyaan itu, mulai menampakkan kejelasan.
Para pemimpin NU, termasuk Abdurrahman Wahid, semakin terlihat aktif melakukan perjalanan ke daerah memberikan pengarahan warga NU. Intinya,
Universitas Sumatera Utara
mereka membawa pesan sederhana, warga NU tidak lagi wajib memilih PPP, tidak haram mencoblos GOLKAR dan PDI. Tetapi dalam peyampaian mereka
memiliki titik tekan berbed-beda . yang itu tergantung pada yang melatar belakanginya. Bagi para tokoh NU yang semula di PPP kemudian disingkirkan
Naro, seperti Yusuf Hasyim, Mahbub Junaidi dan seterusnya, pesan-pesan yang disampaikan sarat dengan muatan sentimen PPP.
Bagi mereka yang merasa akan mendapatkan keuntungan bila suara NU berpindah de Golkar, namun tidak pernah terlibat langsung konflik dengan Naro,
umumnya melakukan persuasi lebih halus agar massa NU mengalihkan suaranya ke partai pemerintah. Namun disamping tokoh-tokoh yang menggunakan khittah
dengan muatan-muatan kepentingan itu, banyak tokoh-tokoh NU yang melakukannya dengan tulus demi kebaikan organisasi. Upaya-upaya tokoh NU
agar warganya melakukan meninggalkan dukungannya pada PPP dalam Pemilu, 1987 itulah yang kemudian diistilahkan ”penggembosan”.
Gerakan penggembosan yang nampaknya secara diam-diam menjadi policy kepemipinan Abdurahman Wahid menjadi sangat efektif karena diperburuk
oleh perkataan-perkataan provokatif J.Naro sendiri yang menjelek-jelekkan NU. Di berbagai kesempatan, Naro mengatakan bahwa mereka yang meninggalkan
partai sebagai ”telur busuk” yang jumlahnya tak lebih dari 200 orang. Dalam pidatonya yang sangat kasar dihadapan masa pendukung PPP
Bandung, Naro berujar ”Biar saja ” telur-telur busuk” itu keluar dari partai. Terlalu lama dalam keranjang PPP yang baik ini, malah akan merusakkan telur-
telur yang masih bagus. Pernyataan-pernyataan vulgar semacam itu tentu semakin menyulut emosi dikalangan tokoh-tokoh dan warga NU. Senjata ampuh lain yang
Universitas Sumatera Utara
digunakan untuk mengempiskan suara PPP adalah isu azas tunggal yang berari PPP tidak lagi bisa mengklaim sebagai partai Islam.
Adalah para tokoh-tokoh NU berpengaruh seperti KH. Fuad HasyimCirebon, KH.Hamid Baid howi Lasem, KH.Syafi’i Sulaiman, KH.
Shobib Bisri, KH. Yusuf Hasyim, H. Saiful Mujab dan H. Mahbub Junaedi yang paling aktif berkeliling ke daerah - daerah untuk melakukan pengembosan. Para
tokoh - tokoh tersebut biasanya menggunakan acara - acara ceramah keagamaan pengajian sebagai ajang penggembosan sehingga kadang sulit dibedakan apakah
itu acara pengajian atau penggembosa. Semakin mendekati Pemilu para tokoh NU terlihat semakin intensif menggerogoti PPP sehingga di Jawa Timur saja tak
kurang dari 900 pengajian. Yang dimuati pesan pemboikotan pada PPP. Mereka baik secara terang-
terangan atau implisit, membujuk warga NU untuk memilih Golkar. Sekurang- kurangnya para tokoh NU dalam materi-materi ceramahnya menegaskan
berulang-ulang garis batas NU dan PPP dibandingkan dua OPP yang lain terutama Golkar.
Rentang waktu masa kampanye, Abdurrahman Wahid mengisi acara-acara pengajian di Golkar. Di Surabaya, Gus dur memberikan ceramah di DPD Golkar
Jawa Timur, ketika pada hari yang sama PPP juga menggelar kampanye. Dalam konteks acara yang sama, Gus Dur berbicara dalam acar Isra’ Mi’raj di Gedung
DPP Golkar di Jakarta. Dalam pada itu, Abdurrahman Wahid pada Harlah NU ke- 61 di Surabaya, dihadapan sekitar 10.000 warga Nahdliyah mensinyalir adanya
kesalah pahaman hubungan umat Islam dan negara yang sering diwarnai
Universitas Sumatera Utara
pertentangan. Gus Dur dalam acara itu berkali-kali menyatakan bahwa NU secara kelembagaan telah meninggalkan politik praktis.
Gus Dur juga aktif melakukan kontak-kontak loby dengan pimpinan Golkar, yang bisa ditafsirkan sebagai suatu konsesi politik dijanjikan akan
diberikan oleh Golkar kepada pemimpin NU itu bila berhasil mengkonversikan pengikutnya ke Golkar berhasil. Atas dasar itu, dalam retropeksi, H. Abdurrahman
Wahid sering kali dianggap bertanggung jawab dalam gerakan penggembosan ini. Pengkritik yang paling vokal terhadap aksi penggembosan itu adalah KH.
Syansuri Badawi, seorang guru senior di Tebu Ireng dan calon PPP di DPR. Dalam sebuah serangan yang tersebar terhadap Abdurrahman Wahid dan
pendukungnya, dia mengatakan bahwa sebagai umat Islam, warga NU tidak punya pilihan kucuali memberikan suaranya kepada partai Islam, PPP.
Martin Van Bruissen menyatakan, umat Islam luar NU yang taat, termasuk banyak diantaranya yang memandang rendah kepemimpinan Naro, melontarkan
cemooh yang bertubi-tubi kepada Abdurrahman Wahid karena dipandang menghianati kepentingan Islam. Apapun tuduhan yang diajukan pada
Abdurrahman Wahid, gerakan penggembosan ini nampaknya merupakan langkah lanjut ”pembaru muda” untuk melakukan ”eksperimen politik strategi akomodasi
berprinsip” dengan negara. Betapapun usaha-usaha yang membendung gelombang penggembosan
telah dilakukan PPP, termasuk tokoh NU yang masih berada di Partai itu, upaya itu sia-sia belaka. Selebaran-selebaran yang beredar di kalangan NU sangat
merugikan PPP. Demikian halnya dengan kajian-kajian keagamaan yang dilakukan tokoh-tokoh NU yang lebih banyak memberi angin kepada Golkar.
Universitas Sumatera Utara
Derasnya gelombang penggembosan yang dilakukan tokoh NU menjelang Pemilu keempat Orde Baru itu benar-benar membuat kelabakan para aktivis PPP.
Dilaporkan banyak DPC PPP mengeluhkan sulitnya mencari saksi pemungutan suara dan Panwaslakcam. Kampanye-kampanye partai berlambang bintang
tersebut juga sepi dari pengunjung. Sebagian pemimping NU Jawa Timur, menurut Martin Van Bruissen,
malah terlihat berlebihan dalam menyerang PPP, sehingga memunculkan berbagai ketegangan sosial di beberapa tempat. Suatu hal yang dianggap melebihi proporsi
yang diharapkan pemerintah. Oleh karena itu, Laksusda aparat militer yang elitnya kebetulan terlibat dengan rivalitas dengan pimpinan Golkar segera
mengeluarkan larangan berceramah beberapa tokoh NU. Meskipun kumudian Ditsospol mencabut kembali ”pencekalan” terhadap tokoh NU yang
”menghantam” PPP melalui ceramah-ceramahnya. Alasan yang dipakai dalam ”penggiringan” massa NU ke ”Partai Orde
Baru” antara lain adalah, meningkatakan sarana-sarana ibadah umat Islam berkat bantuan pemerintah. Suatu Bathsul-Masail yang diadakan di pondok-pondok
psantren si – DIY Yogyakarta berkesimpulan: ” Apabila pertimbangan-pertimbangan di atas diterapkan dengan kritis
dan tidak emosional, Golkar lah yang pantas dipilih dalam Pemilu, sebab keculi telah membawa manfaat bangsa dan umat Islam
Indonesia, kita juga lebih dapat mengamalkan taat kepada Ulil Amri dan dapat lebih dekat lagi dengan... jadi memilih Golkar adalah pilihan
yang tepat...Kami yakin, dengan menitipkan aspirasi melalui Golkar, di samping kita ikut menjaga kewibawaan Ulama, juga
pamasyarakatan ajaran Ahlussunnah wal jamaah akan lebih dapat teralisir.
81
81
Marijan, Op. Cit., hal.162-163.
Universitas Sumatera Utara
Koalisi de facto NU dengan bekas ”musuh besarnya” Golkar, sebagaimana telah diketengahkan diatas, menghasilkan suatu perolehan suara yang
mengejutkan dalam Pemilu 1987. Golkar mengalami lonjakan suara yang cukup besar, dari 66,34 pada Pemilu 1982 menjadi 72,99 pada Pemilu 1987.
sementara PPP hanya memperoleh 15,96 yang berarti mengalami penurunan 11,82 dibanding Pemilu sebelumnya. Di daerah-daerah kantong NU, PPP
mengalami kemerosotan suara yang besar, sebaliknya perolehan suara Golkar menggelembung.
Sebagai konsesi atas penyeberangan massa NU ke Golkar dalam Pemilu 1987, H. Abdurrahman Wahid dan Saiful Mujab Mantan Politisi PPP
memperoleh kursi MPR – RI dari FKP. Beberapa tokoh NU lain, yang menjadi anggota MPR yang ditunjuk pemerintah adalah KH.Imron Hamzah mantan
anggota DPR dari PPP dan HM. Syah manaf Mantan fungsionaris PPP DKI Jakarta . Lebih jauh lagi, dalam SU MPR itu, Abdurrahman Wahid melakuakan
lompatan akamodasi politik yang ”spektakuler”, dengan kesediaannya menyetujui status aliran kepercayaan dalam GBHN sebagimana yang dikehendaki oleh
kelompok kebathinan Golkar. Langkah ini jelas sangat berlawanan dengan sikap politik para Ulama dan pemimpin NU yang dalam SU MPR 1978 melakukan walk
out atas kedudukan aliran kepercayaan dalam GBHN. Namun usaha NU untuk memasukkan pesantren ke dalam GBHN tidak
berhasil karena kurang mendapat dukungan fraksi-fraksi pemerintah. Tetapi, yang terpenting dari kehadiran pimpinan NU di MPR mewakili FKP dan kesediaannya
dalam menyetujui keberadaan aliran kepercayaan dalam GBHN itu adalah makna simbolis bagi suatu tahap pembalikan dari periode sebelumnya.
Universitas Sumatera Utara
Bila periode dua dasawarsa pertama Orde Baru organisasi Islam terbesar ini berada dalam garda depan kekuatan politik Islam yang ”oposan” terhadap
negara, pada awal kepemimpinan Abdurrahman Wahid justru berubah sikap menjadi affirmatif terhadap eksesntuasi politik negara Orde Baru.
3. Kemerosotan Power Politik “Kelompok Tanah Abang” dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR