totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan”,
bukan “bagian-bagian”.
37
Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak
lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat
apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu di ikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum yang lahir dari
kodrat manusia sebagai makhluk sosial mengatasi kepentingan individual yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual.
38
Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan
dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak di kenal tirani mayoritas atas minoritas.
39
Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi
pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien, dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan
ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber.
b. Beamstenstaat
40
37
Marsilam Simanjuntak, Pandangan Negara Integralistik, Jakarta: Grafiti, 1994, hal. 8-9,217-18.
38
Abdul Azis Thaba, Op.Cit, hal.54.
39
Ibid. hal. 55.
40
Marsilam Simanjuntak, Op,Cit., hal. 247.
Universitas Sumatera Utara
Dalam konteks demikian, Ruth T. Mc Vey
41
Model kepolitikan ini berangkat dari pendekatan kultural, di antaranya dianut oleh Donald K. Emmerson
memperkenal model Beamstenstaat, yaitu model yang menunjukkan adanya persamaan gaya politik
pemerintahan Orde Baru dengan gaya pemerintahan kolonial Belanda, terutama pada masa-masa akhir tahun 1930-an. Keduanya memperlihatkan ciri-ciri yang
sama dalam hal tekanan terhadap administrasi daripada terhadap politik, keahlian teknis, dan pembangunan ekonomi. Inilah bentuk ideal “negara pegawai”
Beamtenstaat, ketika negara menjadi mesin birokrasi yang efesien the state as efficient bureaucratic machine.
c. Patrimonialisme Jawa
42
Dalam menjelaskan kepolitikan Orde Baru, hubungan yang bersifat patrimonialisme didasarkan pada budaya Jawa. Menurut model ini, terdapat
, William L. Liddle, dan Harold Crouch. Sedangkan dari kalangan pakar Indonesia di antaranya karya Soemarsaid
Martono, Yahya Muhaimin, Soedjatmoko, Fachry Ali, dan Sartono Kartodirjo. Konsep patrimonialisme banyak dipakai oleh ilmuwan politik dan
mencoba menjelaskan perkembangan politik di Eropa pada abad pertengahan hubungan yang bersifat patrimonialisme tersebut, ada pihak yang merupakan
“penguasa” lain mengidentifikasi kepentingannya. Hubungan tersebut berlangsung dalam “pertukaran keuntungan” advantage exchange yng dijaga
dengan rapi oleh kedua belah pihak.
41
Ruth T. Mc. Vey, “ The Beamstentaat in Indonesia”, dalamBennedict Anderson dan Audrey Kahin eds , Interpretating Indonesian Politics : Thirteen Contributions to Debate, Ithaca :
Cornell Modern Indonesia Project, 1982, hlm.85 – 91.
42
Donald K. Emmerson, The Bureaucracy in Indonesia, Cambidge, Mass: Center for Internasional Studies, MIT, 1974, dan Donald K. Emmerson, Indonesia’s Elite Political Culture and Cultural
Politis, Ithaca: Cornell University Press, 1976.
Universitas Sumatera Utara
kontinuitas nilai-nilai politik yang berlangsung pada masa lalu di rujuk pada kerajaan Mataram II dengan nilai-nilai politik Orde Baru. Misalnya, nilai-nilai
kekuasaan dalam paham kebudayaan Jawa yang menurut Anderson memenuhi empat sifat; konkret, homogen, tetap, dan tidak mempersoalkan legitimasi.
43
Birokrasi Orde Baru, walaupun memperlihatkan ciri-ciri modern, tetap dipengaruhi nilai-nilai lama yang merupakan tradisi dan budaya politik masa lalu
Jawa, seperti karakteristik patrimonial. Jabatan dan keseluruhan hirarki birokrasi didasarkan atas hubungan personal atau hubungan “bapak-anak buah” patron-
client.
44
Berdasarkan asumsi di atas, menurut Richard Robinson pendekatan kultural menghasilakan dua proposisi
45
1. Bahwa hakikat pemerintahan Orde Baru dapat dijelaskan melalui kerangka
perspektif daya tahankelangsungan kebudayaan Jawa yang membentuk praktik politik para pejabat atau elite birokrasi tersebut; dan
:
2. Bahwa identitas dan struktur kelompok-kelompok politik dan hakikat
konflik politik ditentukan oleh hubungan politik yang bersifat patrimonial yaitu stuktur-struktur patront-client yang bersifat pribadi dan tersusun
secara vertikal.
d. Negara Otoriter Birokrasi Rente