Rumusan masalah Manfaat Penelitian Batasan masalah Paham Integralistik

pernah berkembang pada awal 1970 – an ini, barangkali karena suasana ekonomi dan politik ketika itu yang kurang memungkinkan ternyata baru bisa diwujudkan pada dekade 1990 – an. Suatu masa dimana sebagaimana dikemukakan didepan, telah terjadi transformasi intelektualisme dan aktivisme politik Islam secara agak signifikan. Terakhir menyangkut akomodasi kultural negara terhadap Islam. Sebagaimana bentuk akomodasi yang lain, akomodasi jenis ini telah berjalan sejak lama. Digunakannya idiom – idiom Islam dalam perbendaharaaan bahasa pranata ideologis maupun politik oleh negara merupakan bentuk akomodasi kultural yang paling dini. Didalam konteks rentetan – rentetan kebijakan – kebijakan akomodatif sebagaimana telah disinggung diatas, akomodasi kultural ini diperteguh dengan diselenggarakannya Festifal Istiqlal oleh Pemerintah pada tahun 1991. Dalam kesempatan yang jarang ini, telah dipertunjukkan serangkaian budaya Islam. lepas dari makna fisik dari peristiwa ini, sebenarnya akomodasi budaya ini merupakan simbolisasi penghargaan negara terhadap sisi – sisi budaya Islam.

1.2. Rumusan masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah “Bagaimana Negara Orde Baru mengendalikan Politik Islam melalui hubungan yang akomodatif pada periode 1985 – 1994”. Universitas Sumatera Utara 1.3.Tujuan Penelitian 1. Mengidentifikasi faktor–faktor variable yang menyebabkan terjadinya hubungan akomodatif Orde Baru terhadap umat Islam periode 1985–1994 2. Melihat bagaimana langkah–langkah Orde Baru dalam mengendalikan kekuatan politik kelompok Islam perode 1985-1994 3. Melihat dengan lebih jelas bagaimana proses terjadinya politik akomodatif tersebut berlangsung.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khazanah ilmu Pengetahuan di Departemen Ilmu Politik. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referansi bagi peneliti lain dalam menganalisis hubungan antara Orde Baru dan Islam serta hubungan antar keduanya. 3. Untuk penulis sendiri, penelitian ini diharapkan dapat mengasah serta mengembangkan kemampuan berpikir penulis, dan hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai dasar untuk melakukan penelitian lebih lanjut atas permasalahan yang relevan.

1.5. Batasan masalah

Sebuah penelitian memerlukan batasan masalah agar ruang lingkup masalahnya tidak melebar dan meluas. penulis dalam penelitian ini membatasi masalahnya hanya kepada : 1. Penelitian ini hanya dilakukan pada masa Orde Baru yaitu periode 1985–1994. 2. Penelitian ini menitik beratkan pada hubungan akomodatif Orde Baru terhadap umat Islam 1985-1994. Universitas Sumatera Utara 3. “Negara” dan “Pemerintah” dalam penelitian ini dimaksudkan kepada ”Negara Orde Baru”

1.6. Kerangka Teori

Setiap Penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan beripikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya. 11 Sebagai suatu keadaan, akomodasi menunjuk pada kenyataan adanya keseimbangan equilibrium dalam interaksi antara kelompok-kelompok manusia, sehubungan norma-norma dan nilai-nilai sosial yang berlaku didalam masyarakat. Sebagai suatu proses, akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan, yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Untuk itu diperlukan beberapa teori atau konsep yang relevan dengan permasalahan yang akan diteliti. Dalam Penelitian ini Penulis mendeskripsikan beberapa teori atau konsep yang dapat dijadikan acuan dalam memahami penelitian ini antara lain :

1.6.1. Hubungan akomodatif

Terminologi akomodatif yang menjadi salah satu kata kunci dalam penelitian ini, dipergunakan dalam dua arti: menunjuk pada suatu keadaan dan menunjuk pada suatu proses. 12 Tujuan dari akomodasi antara lain untuk mengurangi pertentangan antara orang perorang atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. Akomodasi seperti itu bertujuan untuk menghasilkan suatu sintesa antara Akomodasi sebenarnya juga merupakan suatu cara untuk menyelesaikan pertentangan tanpa menghancurkan pihak lawan, sehingga lawan tersebut kehilangan kepribadiannya. 11 Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gadjah Mada University Press, 2001, hal.39 12 Suryono Sukanto, Sosiologi: Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali, 1986, hal.63. Universitas Sumatera Utara kedua pendapat tersebut, agar menghasilkan suatu pola yang baru. 13 Gillin dan Gillin menguraikan cukup banyak hasil dari suatu proses akomodasi antaranya adalah perubahan-perubahan dalam kedudukan. Sesungguhnya akomodasi menyebabkan suatu penetapan yang baru dari kedudukan orang perorang dan kelompok-kelompok manusia. Pertentangan-pertentangan menyebabkan kedudukan-kedudukan tersebut goyah, dan suatu akomasi akan mengukuhkan kembali kedudukan-kedudukan tersebut. 14 Akomodasi sebagai suatu proses dapat pula berbentuk compromise, pihak-pihak yang bertikai mengurai tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap untuk dapat melaksanakan compromise berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya, dan juga sebaliknya. 15 13 Ibid., hal. 64. 14 Gillin dan Gillin, Cultural Sociology, a revision of an introduction to sociology,” dalam Ibid., hal. 64. 15 Sukanto, Op.Cit., hal. 65. Hubungan akomodatif yang dimaksud dalam penelitian ini adalah hubungan yang lebih menekankan pada tujuan untuk mengurangi pertentangan antara orang-perorang atau kelompok-kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham agar menghasilkan suatu sintesa antara kedua pendapat tersebut dan menghasilkan suatu pola yang baru. Hubungan akomodatif dalam penelitian ini juga dimaksudkan pada hubungan dimana antara pihak-pihak yang bertikai mengurangi tuntutan- tuntutannya agar tercapai suatu penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Sikap ini berarti bahwa salah satu pihak bersedia untuk merasakan dan mengerti keadaan pihak lainnya. Universitas Sumatera Utara

1.6.2. Islam

Secara etimologis, kata Islam berasal dari bahasa Arab dari bentuk verba salima, yang berarti: 1 he wasbecome safe, he escaped; 2 he wasbecome free from evils of any kind, rom trial or affliction, from the affair, free from fault, defect, imperfection, blemish or vice. Bentuk keempat verba adalah aslama, yang berarti: 1 He resigned or submitted himself; 2 he wasbecame resigned or submissive. Dari kata aslama itu duturunkan kata Islam, yang berarti: The act of resignation to God. Terdapat pengertian yaitu ia menundukkan dirinya atau ia masuk ke dalam kedamaian. Prof. Bernard Lewis, seorang orientalis terkenal, setiap kali memulai pembicaraannya tentang Islam, lebih dulu mengimbau untuk bersepakat tentang apa yang dimaksud dengan Islam. Menurut Lewis, paling tidak ada tiga penjelasan mengenai pengertian Islam 16 1. Islam adalah wahyu dan teladan Nabi Muhammad saw. Yang dikodifikasi menjadi Al – Qur’an dan hadists. Kedua sumber ajaran ini tidak pernah berubah. Yang berubah adalah penafsiran terhadapnya. . 2. Islam yang diceritakan dalam Ilmu Kalam terutama ilmu tauhid, aqaid, dan usuluddin,, ilmu fiqih, dan tasawuf. 3. Islam historis, yaitu Islam yang diwujudkan dalam peradaban dan kebudayaan yang dikembangkan oleh para penganutnya dalam arti luas, 16 Aziz Thaba., Op.Cit., hal. 38. Universitas Sumatera Utara termasuk peradaban dan kebudayaan yang diwarisi oleh Islam walaupun bukan karya kaum muslimin. Pengertian Islam sebagai sikap pasrah kepada Allah SWT menjadikan agama Islam, menurut Al Qur’an, sudah ada sebelum Nabi Muhammad saw. Ketika nabi Adam diutus kedunia, agama Islamlah yang dibawanya. Islam adalah agama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada seluruh umat manusia malalui perantaraan Rasul pilihan – Nya, Nabi Muhammad saw. Ajaran ini bukan sama sekali baru tetapi merupakan kelanjutan dan penyempurnaan agama – agama yang dibawa Rasul sebelumnya. 17 Agama Islam tidak identik dengan Nabi Muhammad saw. Sebab Muhammad adalah manusia biasa seperti manusia lainnya, yang terpilih sebagai Nabi dan Rasul. Dengan tugas menyampaikan ajaran – ajaran – Nya kepada seluruh umat manusia. Islam bersumberkan Sang Khaliq, Allah SWT. Dengan demikian, menamakan Islam dengan Mohammadism adalah suatu kekeliruan. Walaupun demikian, memahami riwayat kehidupan Nabi Muhammad saw adalah suatu keharusan sebab salah satu sumber hukum Islam adalah Sunnah Rasulullah yang berupa sikap, perkataan, dan perbuatan beliau di sampingAl – Qur’an dan ijma Ulama. Salain itu, keduduka n Rasulullah dimata umat Islam sangat sentral. Beliau adalah panutan dan contoh teladan yang harus di ikuti. Bahkan, ahlak Rasulullah itu sendiri adalah Al Qur’an. 18 Sebagaimana disebutkan, Islam manolak sekularisme sebab ajaran Islam mencakup seluruh bidang kehidupan manusia. Termasuk bidang kenegaraan. Dalam Islam tidak ada pemisahan antara urusan agama dan urusan politik. 17 Ibid., hal. 39. 18 Ibid., hal. 40. Universitas Sumatera Utara Pengertiannya, politik sebagai suatu kegiatan harus dilakukan dalam kerangka nilai Islam. 19 “ Masalah politik dan pentadbiran negara adalah termasuk dalam urusan keduniaan yang bersifat umum. Panduan Al Qur’ an juga al – Sunnah bersifat umum. Oleh yang demikian permasalahan politik termasuk dalam urusan ijtihad umat Islam.Tujuan ulama atau cendikiawan Islam I alah berusaha secara terus – menerus menjadikan dasar.Al – Qur’an itu menjadi sistem yang akan konkrit supaya dapat di terjemahkan dan pentadbiran negara dsepanjang zaman. “ Namun demikian, Al Qur’an dan Sunnah Rasulullah tidak membatasi pengaturan kenegaraan tersebut secara kaku. Hal tersebut diserahkan kepada umat – Nya malalui ijtihad. Islam bukan ideologi tapi dapat menjadi ideologi. Akan tetapi, apabila yang terhi ini terjadi, maka terjadi pula “ penyempitan “ Islam. Karena sebagai sistem nilai etik yang seharusnya mendasari semua bangunan struktur, setelah menjadi ideologi berubah fungsi hanya sebagai alat legitimasi bagi kekuasaan. Islam yang menjadi ideologi akan mereduksi Islam sederajat dengan karya filsafat manusia. Islam pun jangan dijadikan pesaing ideologi sebab akan menempatkannya sebagai “ petarung “ , siapa yang menang akan menguasai, dan siapa yang kalah akan tersingkir. Sebagaimana yang disebutkan oleh Dr. Faisal, cendikiawan Muslim Malaysia : 20 Inilah yang telah dilakukan oleh empat khalifah sesudah Rasulullah. Sehingga walaupun mereka tetap dalam rangka mengamalkan ajaran Islam, pengorganisasian pemerintahannya berbeda – beda satu sama lain. Pemilihan empat khalifah saja melalui mekanisme yang berbeda – beda. Munawir Sadjali berpendapat, Islam tidak mempunyai preferensi terhadap sistem politik yang 19 Abd.ar–Rahman Abd. al–Khaliq, “Islam dan Politik, Jakarta: Pustaka Hidayah”, 1987. hal.13. Juga Prof. Dr. T.M. Ash shiddieqy, Ilmu Kenegaraan dalam Fiqih Islam, Jakarta:Bulan Bintang, 1991, hal.56 20 Dr.Haji Faisal bin Haji Othman.” Islam dan Permasalahan Sosial dan Politik “, makalah dalam Seminar Sehari tentang Agama….” dalam Aziz Thaba., Op.Cit. hal. 41. Universitas Sumatera Utara mapan. Islam tidak mempunyai sistem politik, dan hanya memilik seperangkat nilai etis yang dapat dijadikan pedoman penyelenggaraan negara. Di dalam Al Qur’an, lanjut mantan menteri agama ini, tidak terdapat pembahasan tentang sistem politik. Begitu pula ketika Nabi wafat, beliau tidak memberikan petunjuk mengenai penggantinya dan bagaimana cara memilihnya. Tidak ada dalil, baik qathi’ dan zhanni yang memerintahkan untuk mendirikan negara Islam. Selama ini, teori negara dalam sejarah Islam bisa muncul dari tiga jurusan: 1. Bersumber pada teori khilafah yang dipraktekkan sesudah Rasulullah wafat, terutama biasanya dirujuk pada masa Khulafaur Rasyidin. 2. Bersumber pada teori imamah dalam paham Islam Syi’ah 3. Bersumber pada teori imarah atau pemerintahan. 21 Namun demikian perlu dipertegas bahwa Al Qur’andan Sunnah Rasulullah hanya memberikan prinsip – prinsip dasar dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Berbagai upaya ijtihad yang dilakukan sesudahnya untuk membentuk “ negara Islam “ ternyata lebih banyak gagal dari pada berhasil. Sebab dalam realitanya, negara yang dibentuk atas nama Islam tersebut, oleh rezim yang bersangkutan digunakan sebagai legitimasi untuk menggenggam kekuasaan secara absolut. Itulah yang terjadi dalam rezim yang menamakan dirinya “Negara Islam” Peringatan Affan Gaffar sebagaimana yang telah dikutip pendapat Dr. Abdelwahab setelah ia melakukan penelitian terhadap beberapa “negara Islam” : “…kita harus berkesimpulan, bahwa konsep negara Islam harus ditinggalkan sama sekali….. Kita harus meninggalkan ilusi tentang melenium tabg dijanjikan oleh pembaharu negara utopia, yang menghadirkan orang saleh 21 M.Dawam Rahardjo,“ Ensiklopedi al Qur’an : Ulil Amri”, Ulumul Qur’an, no.21993, hal..26-34 Universitas Sumatera Utara dan suci secara ajaib untuk mengembalikan zaman keemasan yang sudah lama hilang. “ 22 Sebuah seminar yang membahas topik pemikiran politik Islam yang diadakan pada tahun 1982 23 1. Dalam rangka menyusun teori politik Islam, yang ditekankan bukanlah struktur “ negara Islam “, malainkan substruktur dan tujuannya. Sebab, struktur negara akan berbeda – beda di satu tempat dan tempat lainnya. Ia merupakan ijtihad kaum muslimin sehingga berubah – ubah. Sementara itu, subkultur dan tujuannya menyangkut prinsip - prinsip bernegara secara Islami. menyimpulkan : 2. Tercapai kesepakatan bahwa demokrasi , merupakan jiwa sistem pemerintahan Islam meskipun mereka sepakat untuk menolak asumsi filosofis “ Demokrasi Barat “. Islam sebagai konsep kekuatan politik dalam studi ini menunjuk pada kekuatan politik yang meletakkan paradigma orientasi politiknya pada prinsip- prinsip Islam. Dalam diskursus politik Indonesia, penyebutan kekuatan politik Islam, umumnya, selain dengan sebutan kekuatan politik santri juga disebut umat Islam atau gerakan Islam. Repersentasi kekuatan politik Islam di arena politik pun juga memiliki bentuk bermacam-macam, kadang-kadang menjelmakan dirinya 22 Dr.Abdelwahab El–Affendi, ”Masyarakat Tak Bernegara, Kritik Teori Politik Islam”, Yogyakarta : LKIS, 1994. 23 Seminar tersebut diadakan pada tanggal 6 – 8 September 1982 di India, AS. Dengan topik “ Islamic Political Thought and Institutions “. Dihadiri oleh para cendikiawan muslim terkenal dari seluruh dunia, diantaranya Fazlur Rahmanm Fathi Osman, Jacid Iqbal, Ahmad Moussavi, Khalif M. Ishaque, Jamilah Jidmoud, dan A.A.Sachedina. Makalah yang dipresentasikan dalam seminar tersebut dihimpun dan diterbitkan dalam bentuk buku. Dalam edisi bahasa Indonesia, periksa Mumtaz Ahmad ed ., Masalah – masalah Teori Politik Islam Bandung : Mizan,1993 . Dikutip dari Aziz Thaba., Op.Cit. hal.42. Universitas Sumatera Utara berupa partai politik , ormas Islam atau tak jarang menampilkan sosok tokoh personal yang memiliki kharisme yang kuat.

1.6.3. Pemikiran Politik Islam

Pemikiran politik yang berkembang dalam dunia Islam dapat dibedakan atas tiga periode, yaitu masa klasik, masa pertengahan, dan masa modern. Biasanya, dua yang pertama digabungkan karena memilik pokok – pokok pemikiran yang sama. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dalam pemikiran politik masa klasik dan pertengahan adalah: Pertama; dari enam pemikir yang hidup dimasa ini, Ibnu Abi Rabi, Farabi, Mawardi, Ghazali, Ibnu Thaimiyah, dan Ibnu Khaldun, hanya Farabi yang mengemukakan idealisasi tentang segi – segi dan perangkat kehidupan bernegara. Sedangkan lima pemikir lainnya berangkat pada realitas system kekuasaan. Menurut pandangan mereka, system kekuasaan yang sedang berjalan tidak perlu dipertanyakan keabsahannya. Pemikiran politik Farabi banyak dipengaruhi oleh model Platonik sehingga model Negara yang diajukannya, “ Negara utama “ Al – Madinah al – Fadhilah termasuk dalam model utopian, mirip Negara raja – raja Filosofnya Plato. Kedua; Keenam pemikir ini sangat dipengaruhi oleh alam pemikiran Yunani tentang asal mula Negara. Bedanya, pemikiran pemikir Islam diwarnai oleh aqidah Islam. Di antara mereka pun terdapat perbedaan dalambanyak hal. Ibnu Rabi, Ghazali, dan Ibnu Thaimiyah memandang bahwa kekuasaan kepala Negara atau raja merupakan mandat Allah yang diserahkan kepada hamba – hambanya yang terpilih sehingga kepala Negara atau raja merupakan Khalifah Penganti Allah di bumi. Al – Ghazali memandaskan bahwa kekuasaan kepala Universitas Sumatera Utara Negara itu Muqaddas suci sehingga tidak bisa diganggu gugat. Al – Mawardi menganggap, kekuasaan kepala Negara berasal dari kontrak social yang melahirkan hak dan kewajiban kepala negara dan rakyatnya. Dengan demikian, Al – Mawardi dapat dianggap pelopor utama teori kontrak social karena tiga serangkai di Barat yatu Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Rosseau baru membicarakannya lima abad kemudian. Kecuali Mawardi, para pemikir lain menganggap bahwa kekuasaan kepala negara berlangsung seumur hidup. Mereka tidak pernah memikirkan mekanisme penggantian kepala negara.Ibnu Thaimiyah berpendapat bahwa menerima seorang kepala negara yang zalim lebih baik daripada tidak memiliki kepala negara. Mawardi adalah satu – satunya tokoh yang menguraikan proses pemilihan dan penggantian kepala negara. Ia juga mengemukakan kemungkinan dijatuhkannya kepala negara apabila ia tidak mampu lagi memerintah karena factor jasmani, rohani, atau akhlak. Dengan tegas, Mawardi dan Ghazali mensyaratkan bahwa kepala negara harus berasal dari suku Quraisy, sementara Ibnu Khaldun merasionalkannya dengan Teori Abbasiyah. Ketiga, Ibnu Khaldun menyatakan bahwa dasar kebijakan dan peraturan negara seharusnya berasal dari ajaran dan hokum agama, bukan hasil karya manusia. Keempat : Ibnu Thaimiyah yang terkenal puritan, zahid, dan keras pendiriannya, mendambakan keadilan sedemikian rupa sehingga ia sepakat bahwa kepala negara yang bukan muslim tetapi adil lebih baik daripada kepala negara yang muslim tetapi tidak adil. Universitas Sumatera Utara Sejak abad pertengahan sampai akhir abad ke – 19 ini, pemikiran Islam berada dalam kegelapan. Dalam kurun waktu berabad – abad ini tercatat hany Abdul Wahab 1703 – 1792 yang menonjol. Pemikiran politik abad modern ini dilator belakangi oleh tiga hal: 1 Kemunduran dan kerapuhan dunia Islam yang disebabkan oleh factor – factor internal yang kemudian melahirkan gerakan pembaharuan dan pemurnian, 2 Masuknya imperialisme barat ke dunia Islam yang melahirkan penjajahan barat sehingga membangkitkan perlawanan Islam, dan 3 Keunggulan Barat dalam bidang ilmu pengetahuan, teknologi, dan organisasi. mereka yang terkenal dalam masalah ini adalah al – Afghani, Muhammad Abduh, Muhammad Ridha, al – Raziq, Hassan al – Banna, Sayyid Qutb, Al – Maududi, Muhammad Husain Haikal, Muhammad Iqbal, Hassan al – Turbabi, Ismail al – Faruqi, Khurshid Ahmad, Abdul Aziz Sachedina, Imam Khomeini, Ali Syariati dan sebagainya. Beberapa simpulan penting pemikiran politik pada masa ini berbeda dengan pemikiran pada masa klasik dan pertengahan yang tidak mempertanyakan keabsahan sistem monarki yang berkuasa . Pada masa ini, pemikiran politik beragam, bahkan satu sama lain seringkali bertentangan secara tajam dan menimbulkan perdebatan panjang dan terkesan “ kasar “ misalnya, perdebatan antara al – Raziq dan Ridha. Secara umum ada tiga kelompok pemikir. Kelompok pertama sangat anti Barat dan berpendapat bahwa ajaran Islam sudah mengatur semua bidang kehidupan manusia, termasuk dalam sistem politik. Mereka menganggap sistem politik yang ideal adalah sistem yang dipraktikkan pada masa Nabi dan Khulafa ar – Rasyidin. Termasuk dalam kelompok ini adalah Rasyid Ridha, Qutb, dan al – Universitas Sumatera Utara Maududi. Sebaliknya, kelompok kedua menganggap Islam memilik kedudukan yang sama dengan agama lain, dengan pendukung antara lain al – Raziq. Kelompok ketiga, yang tidak sependapat dengan pandangan pertama dan kedua, berpandangan bahwa Islam hanya menyediakan seperangakat tata nilai dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, sedangkan realisasinya bergantung pada ijtihad masing – masing. Termasuk didalam kelompok ini adalah Husai Haikal. Perbedaan lainnya, jika pada masa klasik dan masa pertengahan pemikiran politik bercorak teologis, maka pada masa modern ini bercorak filosofis – teoritis, bahkan empiris seperti pemikiran Ali Shariati .

1.6.4. Negara

Negara diterjemahkan dari kata – kata asing yaitu “ staat “ bahasa Belanda dan Jerman, selanjutnya berasal dari bahasa Inggris yaitu “ state “ dan juga bahasa Prancis yaitu “ etat “ . Istilah “ staat “ mula – mula dipergunakan pada abad ke – 15 di Eropa Barat. Anggapan umum yang diterima adalah bahwa kata “ staat “ state, etat dialihkan dari bahasa latin “status” atau “statum”. 24 Secara etimologis kata “status” dalam bahasa latin klasik adalah suatu istilah yang abstrak yang menunjukkan keadaan yang tegak dan tetap, atau sesuatu yang memiliki sifat – sifat yang tegak dan tetap. 25 1. Adanya rakyat atau adanya sejumlah orang yang juga bisa disebut dengan adanya msyarakat Negara adalah suatu organisasi dalam suatu wilayah yang mempunyai kekuasaan tertinggi yang sah dan ditaati oleh rakyat. Dan juga pengertian negara dapat dibagi dengan tiga unsur pokok yang dijadikan standar Internasional. Ketiga unsur tersebut adalah: 24 F.Isyawara, Pengantar Ilmu Politik, Jakarta :Binacipta, 1980, hal.90. 25 Ibid. hal. 91. Universitas Sumatera Utara 2. Adanya sebuah wilayah dimana masyarakat itu tinggal dan bermukim dalam jangka waktu lama, dan 3. Adanya pemerintahan yang berwibawa ditaati dan pemerintahan yang berdaulat. 26 Roger H. Soltau menyatakan negara adalah alat agency atau wewenag authorty yang mengatur atau mengendalikan persoalan-persoalan bersama, atas nama masyarakat. Selanjutnya Harold J. Laski mengatakan negara adalah suatu masyarakat yang diintegrasikan karena mempunyai wewenang yang bersifat memaksa dan secara sah lebih agung daripada individu atau kelompok yang merupakan bagian dari masyarakat itu. Dan Robert M. Maciver mengatakan negara adalah asosiasi perkumpulan yang menyelenggarakan penertiban di dalam suatu masyarakat dalam suatu wilayah berdasarkan sistem hukum yang diselenggarakan oleh suatu pemerintah yang untuk maksud tersebut di beri kekuasaan memaksa. Pada umumnya negara memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki oleh asosiasi atau organisasi lainnya yaitu sifat memaksa, monopoli, dan sifat mencakup semua hal all-encompassing, all-embracing. 27 Miriam Budiardjo mendefinisikan negara sebagai suatu organisasi yang dalam suatu wilayah yang dapat memaksakan kekuasaannya secara sah terhadap semua golongan dan yang dapat menetapkan tujuan – tujuan dari kehidupan bersama itu. 28 Jadi sebagai definisi umum dapat dikatakan bahwa negara adalah suatu daerah territorial yang rakyatnya diperintah government oleh sejumlah pejabat 26 Ibid., hal. 90-93 27 Miriam Budiardjo, Dasar – Dasar Ilmu Politik, Jakarta: PT.Gramedia, 2000 hal.39-40 28 Ibid. Hal. 41. Universitas Sumatera Utara dan yang berhasil menuntut dari warganya ketaatan pada peraturan perundang – undangannya melalui penguasaan control monopolistis dari kekuasaan yang sah.

1.6.5. Negara Orde Baru

Orde Baru 29 merupakan tatanan pemerintahan negara Republik Indonesia yang berkuasa sejak tahun 1966 sampai Mei 1998 di bawah pemerintahan Soeharto, setelah keruntuhan rezim Soekarno dengan demokrasi terpimpin, yang bercorak otoritarian. 30 Misi utama penguasa Orde Baru adalah untuk maluruskan kembali sejarah perjalanan bangsa dan negara, berdasarkan pada falsafah dan moral Pancasila serta melalui jalan yang lurus seperti ditunjukkan oleh UUD 1945. Rezim Soeharto berusaha melakukan koreksi total segala macam penyimpangan sejarah di masa lampau sejak tahun 1945 – 1965. Rezim ini juga berupaya memelihara dan malahan memperkuat hal – hal yang benar dan lurus dari pengalaman dan hasil sejarah masa lampau. Karena itu pula Orde Baru sesungguhnya merupakan koreksi total terhadap diri sendiri, koreksi total terhadap kekeliruan pemerintahan rezim Soekarno untuk kebaikan. Koreksi total ini meliputi pikiran dan tingkah Cita – cita utama Orde Baru adalah untuk melaksanakan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945 secara murni dan konsekwen. Rezim ini manobatkan dirinya sebagai pengoreksi total terhadap kesalahan, kegagalan, keburukan rezim orde lama yang telah melakukan penyelewengan dan melanggar konstitusi Undang – undang Dasar 1945 dan Pancasila. Dalam perspektif penguasa rezim orde baru, Soekarno dianggap telah melakukan sejumlah penyelewengan dan melanggar dasar negara dengan konsep Nasakom yang mengikutsertakan komunis dalam pelaksanaan Pancasila. 29 Penamaan Orde Baru ini dapat dilihat dalam Herbeth Feith dan Lance Castle Ed , Pemikiran Politik Indonesia 1945 – 1965. Jakarta : LP3ES. 1988, hal.16-18. 30 Moh. Mahfud, Politik Hukum Islam di Indonesia , Jakarta : LP3ES, 1998, hal.196. Universitas Sumatera Utara laku menyangkut kemurnian cita – ciat kemerdekaan, dan implementasi Undang – Undang Dasar 1945 dan Pancasila ditambah dengan analisis penyelewengan Soekarno terhdap Pancasila dan UUD 1945. Sikap mental dan tekad pemerintah Soeharto ini disampaikannya dalam pidato pertama sebagai pejabat Presiden 12 Maret 1967. Soeharto mengatakan apa yang telah dicapai melalui sidang istimewa MPRS adalah kemampuan mengembalikan kedaulatan ketangan rakyat yang dilaksanakan MPRS sebagai penyelenggara tertinggi penjelmaan rakyat dan pemegang kedaulatan rakyat. Soeharto menegaskan perlunya melaksanakan ketentuan UUD 1945 untuk mencegah kesewenang – wenangan penguasa secara murni dan konsekuen. Negara Orde Baru adalah negara yang tampil secara otonom, mengatasi kelas-kelas lain yang ada di dalam masyarakat. Negara Orde Baru telah menjelma sebagai negara organis yang kuat yang menjadikan dirinya sebagai tampat bergantungnya organisasi-organisasi politik dan organisasi-organisasi profesi atau fungsionalis. Proses penjelmaan negara kuat Orde Baru di dasarkan pada komitmen awal perjalanan Orde Baru untuk “membangun perekonomian” dengan disertai “pembangunan stabilitas nasional” yang dengan komitmen tersebut kemudian dilakukan political engineering atau penggalangan besar-bsaran untuk membangun infra struktur politik yang tidak boleh menyebabkan disintegrasi, sebab integrasi merupakan tuntutan mutlak bagi suatu upaya stabilitas nasional. 31 Demikianlah, dua main stream pemikiran berpadu untuk membangunOrde Baru. Penyusunan GBHN yang pertama misalnya, dikerjakan oleh para teknokrat tanpa melibatkan wakil-wakil rakyat dalam MPRS. Memasuki PJP II, dalam 31 Moh. Mahfud, Demokrasi dan Konstitusi di Indonesia, Jakarta: PT. 2000, hal. 104. Universitas Sumatera Utara Kabinet Pembangunan VI, era teknokrasi mulai bergeser dengan tampilnya para teknolog dengan tokoh Prof. Dr. Habibie. Banyak pengamat yang memandang bahwa era Wijoyonomics berganti menjadi habibienomics. Indikatornya adalah tampilnya para teknolog, seperti Habibie, Mar’ie Muhammad, J. Boedino, Ginanjar Kartasasmita, Soederajat Djiwandono, dan beberapa insinyur untuk jabatan menteri lainnya. Negara selalu berusaha memperlemah segala macam kelas baik petani maupun borjuis dan tuan tanah. Negara bukan legi sebagai penitia kecil pelaksanaan penghisap surplus, dan bukan sebagai wasit yang netral dari pengaruh-pengaruh kelas dominan tetapi negara menjadi ekspresi dari prospek spesifik formasi dan konflik kelas dan proses umum akumulasi modal. 32 Negara dalam hal ini, memiliki otonominya sendiri dan bertindak atas nama semua kelas sebagai penjaga tatanan sosial sebagai tempat menanam kepentingan-kepentingan kelas itu. Dan peranan negara dalam masyarakat menjadi sangat dominan. 33 Setelah Orde Baru lahir pada tahun 1966 penataan dan pengukuhan telah di mungkinka n oleh: 34 1 Pengusahaan negara menjadi lembaga yang relevan untuk mempertahankan stabilitas perekonomian. 2 Diberikannya kesempatan kepada pasar untuk mengatur mekanisme perekonomian. 3 Dibukanya kesempatan kepada modal, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk giat dalam ekonomi. 32 Ibid., hal. 103. 33 Ibid., hal. 106. 34 Ibid., hal. 108. Universitas Sumatera Utara 4 Pengintegrasian kembali perekonomian Indonesia ke dalam perekonomian internasional. Senada dengan yang pernah di kemukakan Alfian bahwa dengan terciptanya format politik baru opada tahun 19691971 telah tampil negara kuat Orde Baru. 35 “Dengan bekal seperti inilah maka pada awal 1970-an telah tercipta beamstaat pasca kolonial Indonesia yang lebih kuat di bandingkan dengan negara-negara sebelumnya dengan akibat-akibat yang tidak jauh berbeda dengan beamtenstaat terdahulu” . Farchan Bulkin juga mencatat bahwa: 36 Negara strukturalis klasik yang sering di klaim sebagai basis teoritis- konseptual negara modren dengan bapak pembangunannya Max Weber, selalu menganggap bahwa negara merupakan agen yang berhak melakukan monopoli. Penggunaan kekerasan fisik dan mampu memaksakan kehendaknya atas masyarakat, karena, negara memiliki kekuasaan otoritatif yang sah. Tugas utama negara adalah menjamin ketertiban masyarakat melalui agen-agennya yaitu: Jelas bahwa negara Orde Bru bukan sekedar instrumen teknis penyelenggara roda administrasi pemerintahan yang terikat konstitusi dan aturan hukum, objektif, dan apolitik sepeerti yang di bayangkan Weber, tetapi sebaliknya yang terlihat adalah mekarnya peranan negara cenderung melampaui batas-batas konstitusinal, bahkan semakin dominan dalam mengatur brbagai sektor kehidupan masyarakat dan negara terutama dalam mekanisme pengambilan keputusan dan penyelenggaraan kekuasaan politik. Tampak bahwa negara telah menjadi mesin politik yang aktif dalam berbagai upaya rekayasa dalam masyarakat. 35 Alfian, “Format Baru Politik Indonesia”, Indonesia magazine No. 24, Jakarta: Yayasan Harapan Kita, 1974, hal. 26. 36 Farchan Bulkin, op.cit., hal. 16 Universitas Sumatera Utara politisi, tentara dan birokrasi dengan usaha yang sungguh-sungguh untuk menciptakan lahirnya kepatuhan masyarakat terhadap negara. Besarnya peran negara terhadap masyarakat menyebabkan rapuhnya tingkat kemandirian politik masyarakat sehingga prakarsa dalam masyarakat seakan-akan menjadi tidak bisa tumbuh. Lembaga perwakilan rakyat kurang berfungsi dengan baik karena lembaga ini kurang mempunyai kebebasan berpendapat. Sementara organisai-organisasi politik yang berfungsi untuk menjaring calon-calon wakil rakyat pada hakekatnya bukan merupakan organisasi yang mandiri, baik secara finasial maupun secara intelektual.

1.6.6. Model – model Kepolitikan Orde Baru

Para ahli politik dan pengamat Indonesianis dari dalam maupun luar negeri mengidentifikasi perpolitikan Orde Baru kepada beberapa model. Model perpolitikan ini diharapkan dapat membantu usaha untuk mengenal secara mendetail konfigurasi politik hukum rezim Orde Baru serta implikasinya terhadap lembaga peradilan Islam di Indonesia, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya bahwa energi politik sangat berpengaruh terhadap hukum dan lembaganya. Oleh sebab itu, berikut ini di kemukakan model – model perpolitikan rezim pemerintahan Orde Baru berikut :

a. Paham Integralistik

Paham integralistik muncul pertama kali yaitu pada saat Prof. Mr. Dr. Soepomo mengajukan tiga pilihan yaitu paham individualisme, paham kolektivisme, dan paham integralistik tepatnya dalam pidato Sidang BPUPKI pada tanggal 31 Mei 1945. Dalam paham integralistik, negara menjadi mutlak. Kedaulatan negara mengatasi kedaulatan rakyat. Dalam paham ini negara bersifat Universitas Sumatera Utara totalitarianisme. Semua bagian dalam keseluruhan diarahkan kepada persatuan dan kesatuan dalam negara. Dalam negara, yang terpenting adalah “keseluruhan”, bukan “bagian-bagian”. 37 Paham integralistik menolak pandangan yang mengatakan bahwa manusia adalah bebas seperti yang dianut liberalisme. Manusia tidak bebas sebab sejak lahirnya sudah terikat. Manusia, di samping sebagai makhluk individual juga dalam makhluk sosial. Artinya sebagai makhluk individual, manusia bisa berbuat apa saja, akan tetapi “kebebasan” itu di ikat oleh kepentingan umum lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial. Kepentingan umum yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk sosial mengatasi kepentingan individual yang lahir dari kodrat manusia sebagai makhluk individual. 38 Dalam hal ini oposisi dilarang dan kritik terbuka ditabukan karena sama dengan “mendupak air di dulang terpercik muka sendiri”. Pengambilan keputusan dilakukan melalui musyawarah untuk mufakat. Sedapat mungkin voting dihindarkan. Dalam sistem ini tidak di kenal tirani mayoritas atas minoritas. 39 Dalam dua dekade sejak Orde Baru memulai program pembangunan, terdapat political will pemerintah untuk menyehatkan sistem birokrasi pemerintahan sehingga tercipta suatu birokrasi yang modern, efisien, dan efektif dalam rangka memelihara stabilitas politik sebagai prasyarat pembangunan ekonomi. Tipe birokrasi ini mengikuti tipe ideal Max Weber.

b. Beamstenstaat