Madinah, maka cukuplah untuk dikatakan bahwa itu sesuai dengan prinsip-prinsip Islam.
Atas dasar pemikiran demikian, mereka tidak memiliki persoalan teologis dalam hubugannya dengan konstruk negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila.
Kenyataan bahwa nilai-nilai yang ada dalam Pancasila sesuai dengan prinsip- prinsip Islam, cukuplah bagi mereka untuk berpendapat, bahwa Indonesia adalah
negara yang memperhatikan nilai-nilai keagamaan religious state, tanpa harus menjadi “negara-agama” atau”negara-teokratis” theocratic state.
2. Mendefinisikan ulang cita-cita politik Islam.
Dilihat dari perspektif keagamaan, sebenarnya tidak ada perbedaan esensial antara pemikir dan aktivis politik Islam terdahulu dan yang muncul pada
dekade 1970-an dan berikutnya. Sebanding dengan situasi keagamaan yang melingkup i kaum calvinis, dimana diskursus ekonomi mereka dipengaruhi oleh
doktrin beruf,
72
Keterlibatan politik umat Islam juga dilandasi oleh semangan ajaran Islam, seperti amar ma’ruf nahi munkar. Perumusan cita-cita politik
mereka tampaknya dipengaruhi oleh konsepsi ajaran tentang baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur- sebuah negeri yang makmur dibawah ampunan Ilahi. Dalam
konteks demikian, dapatlah dikatakan bahwa para pemikir dan aktivis politik Islam itu sebenarnya Qur’anic centerd- bergerak berdasarkan pemahaman mereka
terhadap Al Qur’an. Hal ini dalam pengertian, bahwa ide dan praktik politik mereka, setidak-tidaknya ada hubungannya dengan nilai-nilai Islam.
73
Tapi, pada soal implementasi cita-cita dasar ini, dua generasi pemikir dan aktivis Islam itu berdoa. Kecendrungan skriptualistik generasi lama telah
72
Max Weber, The Protestan Ethnic and the Spirit or Capitalism, Translated by Tallcot Parson, London: George Allen and Unwin L.td.,1985 dalam Bahtiar Efendy, Op.Cit.,hal. Hal. 31.
73
Bahtiar Effendy., Op. Cit., hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
mendorong mereka untuk menegakkan sebuah cita-cita ketika hubungan antara Islam dan negara bersifat formulatistik dan legalistic. Cita-cita ini ditandai dengan
keinginan untuk menjadikan Islam sebagai dasar ideologi negara. Tampaknya bagi mereka, ide tentang “negara yang damai dibawah ampunan Ilahi” tak akan
dapat diciptakan dalam kontruksi negara yang secara forma tidak berdasarkan Islam sebagai ideologinya.
Sebaliknya, sebagimana telah diisyaratkan dimuka, generasi pemikir dan aktivis Islam baru lebih cendrung pada pendekatan yang subtansialistik atas
doktrin-doktrin kemasyarakatan Islam. Dengan lebih menekankan pada substansi, mereka menolak cita-cita politik Islam yang bersifat legalistik dan formalistic.
Karena itu, mereka tidak berkeinginan untuk menegakkan “Negara Islam”. Bahkan, mereka menolak gagasan tentang Islam sebagai dasar negara. Perhatian
utama mereka adalah tebentuknya sebuah sistem social politik yang merefleksikan, atau sesuai dengan, nilai-nilai Islam.
Karena prinsip-prinsip etis politik Islam berbicara tentang keadialan adl, masyawarah syura, persamaan musawah, maka bentuk sistem kenegaraan yang
secara subtansif mencerminkan nilai-nilai Islam adalah demokrasi. Untuk itu, perumusan ulang cita-cita politik Islam berujung pada 1 terbentuknya
mekanisme politik yang sifatnya egaliter dan demokratis; dan 2 berlakunya proses-proses ekonomi yang lebih kurang equitable.
Kenyataan bahwa jalan untuk menuju Indonesia yang demokratis dan egaliter masih panjang, hal itu harus dilihat sebagai sesuatu yang memprihatinkan seluruh
bangsa Indonesia. Karena watak cita-cita politik Islam yang universal itu, pendekatannya pun harus bersifat integrative, dengan melibatkan seluruh kekuatan
Universitas Sumatera Utara
bangsa. Dengan demikian, cita-cita untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi hendaknya dilakukan dengan kerangka sistem politik yang ada.
74
3. Meninjau kembali strategi politik umat Islam