Bila periode dua dasawarsa pertama Orde Baru organisasi Islam terbesar ini berada dalam garda depan kekuatan politik Islam yang ”oposan” terhadap
negara, pada awal kepemimpinan Abdurrahman Wahid justru berubah sikap menjadi affirmatif terhadap eksesntuasi politik negara Orde Baru.
3. Kemerosotan Power Politik “Kelompok Tanah Abang” dan Dinamika Elit Islam di GOLKAR
Dalam upaya mencipatakan dapur politik Kitchen kabinet lembaga kepresidenan, Soeharto mangangkat orang-orang kepercayaannya kedalam Spri
Staf Pribadi. Spri yang terbentuk tak lama setelah tersusun kabinet Ampera, beranggotakan enam perwira AD yang telah lama memiliki kedekatan dengan
Soeharto dan dua tim penasehat sipil untuk urusan politik dan ekonomi. Dalam perkembangannya, Spri mengangkat lagi enam orang perwira.
Keseluruhan para perwira yang masuk kedalam Spri tersebut menjadi dua belas, dengan penugasan yang telah digariskan oleh Soeharto.
82
Sedangkan munculnya Ali Moertopo sebagai pembantu politik terpercaya Soeharto disebabkan keduanya telah menjalin hubungan akrab semenjak di Divisi
Diponegoro, kemudian dalam pembentukan Tjuduad-Kostrad. Dalam Spri ini,
Ali Moertopo dan Sudjono Humardani merupakan orang yang paling berpengaruh. Bahkan karena kedekatan hubungannya dengan Soeharto, banyak
beredar desas-desus bahwa Sudjono merupakan penasehat sprituil dukun politik Soeharto.
83
82
Fachry Ali, “ Merosotnya Aliran dalam PPP.” Prisma, Desember 1981,hal.245.
83
Krissantono,”Ali Moertopo di atas Panggung Poltik Orde Baru,” Prisma, Edisi Khusus 20 Tahun Prisma, 1991, hal.139.
Ketika menjadi bawahan Soeharto, terutama pada Asintel Operasi Khusus Opsus, Ali Moertopo
telah banyak menunjukkan reputasi yang cemerlang.
Universitas Sumatera Utara
Daftar keberhasilan Ali Moertopo bisa dilihat pada suksesnya penyelesaian damai konfrontasi dengan Malaysia dan kampanye memenangkan
penentuan pendapat rakyat di Irian Barat 1969. Bahkan Jendral Nasution menengarai, tatkala masa transisi yang penuh ketidakpastian pos usaha kup G-30-
S 1965, Ali Moertopolah yang tekadang menjadi sandaran pemikiran strategi politik yang harus ditempuh Soeharto.
Dengan berbagai reputasi Ali Moertopo tadi, tak mengherankan bila dia dengan keterampilan politiknya berhasil membuktikan diri sebagai seorang
pembantu Soeharto yang sangat diperlukan. Karena itu, bisa dipahami bila kemudian Ali Moertopo mendapat tugas langsung dari Soeharto untuk melakukan
conditioning penggalangan dalam pengamanan kepentingan politik negara Orde Baru, termasuk menjawab tantangan Pemilu yang harus segera dilaksanakan.
Penundaan penyelenggaraan Pemilu telah memberikan waktu lebih banyak bagi para petinggi AD untuk melakukan reorganisasi dalam sekber Golkar.
Kepengurusan DPP Golkar hasil reorganisasi tersebut telah menunjukkan meningkatnya pengaruh Ali Moertopo di dalam sekber Golkar sebagaimana
diperlihatkan dengan munculnya kino baru dalam Golkar yang diisi kaum intelektual dan politisi yang sangat dekat Ali Moertopo.
84
Ada tiga kelompok cendikiawan dan politisi di sekitar Ali Moertopo. Kelompok pertama terdiri dari Lim Bian Kie Yusuf Wanandi , Lim Bian Khoen
Kino baru sekber Golkar yang diberi nama Kino Karya Pembangunan hampir secara keseluruhan
diisi intelektual dan politisi yang memiliki latar belakang kultural Jawa abangan, Katolik dan Sosialis.
84
Leo Suryadinata, Golkar dan Militer. Studi tentang Budaya Politik, Jakarta: LP3ES, 1992, hal.32.
Universitas Sumatera Utara
Sofyan Wanandi , Harry Tjan Silalahi dan Moerdopo. Mereka telah lama menjalin hubungan yang terdekat dengan Ali Moertopo, di mana Lim Bian Kie
menjadi asistennya sejak tahun 1967. mereka tampil sejak Gestapu dengan rasa khawatir akan kejayaan Islam, mereka memiliki rasa khawatir bila gerak laju
pemimpin politik Islam tidak dikendalikan dan rehabilitasi organisasi-organisasi Muslim dibiarkan akan merusak keseimbangan antara kekuatan-kekuatan secular
dan Muslim. Kelompok kedua disebut sebagai Gadjah Mada Group. Pada 1996 sama-
sama tidak memberikan rasa simpatinya terhadap partai-partai Muslim dan secular dan berusaha agara seluruh partai politik dilarang sehingga pemerintahan
Indonesia dapat diberi bentuk baru. Orang-orangnya yaitu Sumiskum, Sulistyo, Sugiharto, Soekarno dan Soeroso, mereka dikenal bersifat anti Presiden Soekarno
dan memusuhi aspirasi-aspirasi Islam. Kelompok ketiga adalah kelompok Bandung dengan tokohnya Rachman
Tolleng dan Midian Sirait. Mereka bekerja sama dengan sponsor-sponsor dari kalangan militer untuk memperlihatkan bahwa modernisasi Indonesia bergantung
pada ABRI. Keberhasilan Ali Moertopo merekrut kelompok-kelompok intelektual dan
mantan aktivis-aktivis di atas merupakan salah satu sumber kekuatan politik yang penting baginya sebagai politicl player idi pentas nasional. Sumber kekuatan
politik lain yang menjadi sumber keberhasilan Ali Moertopo untuk menjadi actor politik yang sangat berpengaruh pada awal Orde Baru adalah kemahiran siasat
politiknya yang diperoleh dari penempaan perjalanan panjang dan berliku-liku sebagai prajurit militer.
Universitas Sumatera Utara
Karir militer Ali Moertopo merangkak dari bawah sebagai prajurit tiga hingga karirnya terus menanjak sampai kemudian secara intens menggeluti dunia
intelijen terutama seksi intelijen Kostrad yang disebut Operasi Khusus Opsus . Setelah Jendral Soeharto memegang kekuasaan, selain ditugaskan sebagai Aspri,
dia tetap dipercaya mengelola jaringan intelijen Opsus Kostrad tersebut. Dengan menggunakan Opsus sebagai basisnya, Ali Moertopo membangun Bapilu Badan
Pengendali Pemilu , sebuah organisasi krusial untuk menghadapi Pemilu 1971. Pada tahun 1971 kelompok Ali Moertopo mendirikan sebuah think-thank
yang diberi nama Center for Strategic and Internasional Studies CSIS untuk mempromosikan kepentingan – kepentingannya. Lembaga yang dipimpin oleh Ali
Moertopo dan Sudjono Humardani dan Daud Yoesoef kemudian populer disebut sebagai kelompok Tanah Abang. Dalam perjalanannya, kelompok Tanah Abang
tak hanya sekedar sebagai tangki pemikir melainkan telah bergerak sebagai kelompok kepentingan politik terlalu jauh, sehingga orang-orangnya banyak
menduduki posisi strategis di GOLKAR dan pemerintahan. Untuk menunjukkan betapa besarnya ambisi kelompok Tanah Abang ini, perlu dicatat bahwa didalam
GOLKAR pernah mendesakkan gagasan untuk menjadikan kelompok Tanah Abang ini sebagai “Kabinet Bayangan”, dimana anggota kabinet bayangan ini
anrara lain terdiri dari Daud Yoesoef dan Panglaykim. Meskipun rencana tersebut gagal karena mendapat tantangan keras dari
berbagai pihak, kelompok CSIS telah banyak berhasil membentuk visi kebijaksanaan negara pada dua dekade pertama kekuasaan rezim Orde Baru.
Keberhasilan lembaga yang dibawah pengaruh patronase Ali Moertopo dan
Universitas Sumatera Utara
Sudjono Humardani dalam mempengaruhi policy process selain karena personal linkages-nya juga barangkali kemampuannya dalam mengelola informasi.
Adalah tidak mengherankan jika kemudian kebijaksanaan politik awal pemerintah Orde Baru banyak dirasakan menyayat hati kaum muslimin, karena
kelompok Ali Moertopo yang memegang kendali begitu besar dalam pendekatan kepada umat Islam berintikan tokoh-tokoh yang tidak Islami bahkan cenderung
hendak memusuhi umat Islam. Dalam pikiran kelompok Ali Moertopo, Islam merupakan potensi yang sangat membahayakan apabila diberi kesempatan. Ada
kecendrungan memandang Islam identik dengan “ Darul Islam”, sehingga ia cendrung menghancurkan Islam.
85
Menurut Richard Tanter,
86
85
Affan Gaffar, “ Partai Politik, Elite dan Massa dalam Pembangunan Nasional,” dalam Ahmad Zaini Abar, Beberapa Aspek dari Pembangunan Orde Baru Solo: Ramadhani, 1990 hal.22.
86
Harian KAMI, 4 Oktober 1973, sebagaimana dikutip Heru Cahyono.op.cit., hal.130-131.
dalam kurun decade 1970-an pemerintah Orde Baru, agen-agen intelijen yang berada dalam pengaruh Ali Moertopo
menempatakan posisi kelompok Islam sebagai sasaran utama dari rangkaian operasi intelijen mereka. Agen intelijen tersebut banyak menanamkan sumber
untuk penetrasi penyusupan dan manipulasi terhadap kelompok Islam militant atau radikal, provokasi menjadi alat yang menonjol dalam operasi yang
dijalankan. Metode operasi intelijen yang dijalankan Opsus biasanya dengan jalan
intervensi pada rapat-rapat atau musyawarah partai dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi partai yang telah ada untuk menciptakan krisis kepemimpinan
yang pada gilirannya pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.
Universitas Sumatera Utara
Dalam usaha memenuhi ambisi politiknya, Ali Moertopo tak segan-segan menggunakan cara-cara inkonvensional, antara lain, seperti dikatakan Soemitro,
Ali Moertopo menghimpun dan membina unsur bekas DITII, PRRI dan unsur parpol peniggalan Orde Lama yang bisa dipergunakan untuk alat manuver
politiknya. Sementara itu dalam komposisi kepengurusan Munas III GOLKAR,
pengaruh dan peranan politik kelompok CSIS yang merupakan kubu Ali Moertopo mulai merosot. Jika dalam kepengurusan Golkar 1978 orang-orang dari
“Tanah Abang” banyak memegang posisi kunci seperti Sekretari Jendral, wakil ketua dan sebagainya, maka produk kepengurusan Munas Golkar 1983, kelompok
Tanah Abang hanya terwakili dua orang. Dan itu pun jabatan yang kurang memiliki bobot politis. Kedua orang dari CSIS itu masing-masing, Drs.
Moerdopo, menjadi wakil ketua dibidang kesenian dan kebudayaan dan Yusuf Wanandi, sebagai wakil ketua bidang Hubungan Luar Negeri DPP Golkar periode
1983-1988. Kemerosotan politik kubu Ali Moertopo sangat terkait dengan
kesenjangan politik Ali Moertopo dengan Soeharto. Ada dua hal yang menyebabkan gap Ali Moertopo dengan Soeharto yang menyebabkan
termarginalisasinya kubu Ali Moertopo dalam percaturan politik nasional dan di DPP GOLKAR, khususnya dalam kurun waktu itu.
Pertama, pada dekade 1970-an Ali Moertopo telah dapat mengerahkan sumber-sumber kekuasaannya sendiri yang dapat menggerogoti kekuasaan
Soeharto. Kedua, kenyataan yang mendasari krisis politik bulan January 1974 Peristiwa Malari adalah persaingan antara Ali Moertopo dengan Jendral
Universitas Sumatera Utara
Soemitro. Selain kedua faktor itu, Soeharto secara jelas ingin mendemonstrasikan supremasi politiknya atas Ali Moertopo dan Sudjono Humardani serta kaki
tangannya di “Tanah Abang”. Berangkat dari kenyataan diatas, Presiden Soeharto di penghujung dekade 1970-an hingga berlanjut dasawarsa1980-an secara
perlahan-lahan mulai menyusutkan peranan politik Ali Moertopo dan sekutu- sekutunya.
Sejak itu Soeharto menoleh kepada Sudharmono yang berhasil mengelola sekretariat negara menjadi “Super birokrasi”. Sebagai orang yang sukses
mereorganisasikan kantor kepresidenan, Sudharmono yang terlihat tidak memiliki ambisi politik yang mengkhawatirkan telah membuktikan sebagai pembantu
Presiden Soeharto yang cakap dan diperlukan. Dengan demikian tak mengherankan bila dalam Munas GOLKAR III
Soeharto merekomendasikan Sudharmono sebagai Ketua Umum GOLKAR Periode 1983-1988. Golkar dibawah kepemimpinan Sudharmono, selain berhasil
mengkonsolidasikan dirinya lebih solid, juga secara intensif melakukan pendekatan dengan ormas-ormas Islam. Kepemimpinan Sudharmono relatif
berhasil menjaga Otonomi Golkar dari intervensi lebih jauh dari pimpinan ABRI. Dia juga mampu mengatasi peranan yang dimainkan oleh Ali Moertopo dan
Sudjono Humardani, serta berhasil menetralisi KINO dalam tubuh GOLKAR.
87
Pendekatan Golkar yang dipelopori Sudarmono terhadap kelompok Islam menemukan momentum yang tepat dengan terjadinya “kemenangan” kalangan
pemimpin ormas-ormas Islam terkemuka yang lebih akomodasionis terhadap politik negara sikitar pertengahan dekade 1980-an. Dalam kepengurusan
87
Nazaruddin Syamsuddin,” Ikatan Golkar di Laut Islam,” Forum Keadilan, Nomor 15, 12 November 1992.
Universitas Sumatera Utara
Sudharmono ini, Golkar banyak menampung “pembelotan” dari tokoh-tokoh muslim yang semula berada dibarisan PPP.
Selain mobilisasi massa NU ke GOLKAR, Ridwan Saidi, mantan tokoh HMI di PPP yang dikecewakan oleh Nario, dalam Pemilu 1987 juga menyatakan
“pembelotannya” ke Golkar. Dalam SU MPR 1988. Golkar menunjuk Saiful Mujab, mantan tokoh PPP, manjadi salah satu wakil Golkar di MPR, selain juga
Abdurrahman Wahid dan Nurcholish Madjid yang menjadi Badan Pekerja MPR dari Fraksi Golkar. Untuk menunjukkan perubahan yang lebih simpatik
kepemimpinan Golkar dibawah Sudharmono dibanding Ali Moertopo dalam hubungannya dengan masyarakat politik Muslim dinyatakan secara lugas oleh
Eky Syahruddin: “Sewaktu Golkar dibawah supervisi CSIS, suasananya anti-Islam,
seolah Islam terpojokkan. Sewaktu Dharmono memimpin Golkar, beliau merangkul kalangan Islam. Nah, suasananya mulai berbeda.”
Terlepas dari adanya sedikit akses politik internal Golkar akibat penghijauan
itu, perestasi Sudharmono yang gemilang dengan keberhasilan Golkar menyedot lebih dari 70 suara dalam Pemilu 1987 telah meningkatkan kredibilitas politik-
nya di tingkat nasional dan sekaligus menambah kepercayaan Presiden Soeharto. Dalam konteks semacam itu, maka menjelang pemilihan wakil presiden dalam SU
MPR 1988, Sudharmono memilik peringkat tertinggi dalam bursa pencalonan Wapres yang beredar dimasyarakat.
Tidak seperti SU MPR sebelumnya, Presiden Soeharto dalam SU MPR 1988 kali ini tidak mengumumkan nama calon wakilnya. Tetapi Presiden
Soeharto mengajukan kriteria calon wakil Presiden yang secara implisit dia menginginkan Sudharmono sebagai pendampingnya. Selanjutnya Golkar secara
Universitas Sumatera Utara
resmi mengajukan mengumumkan pengajuan Sudharmono sebagi calon Wakil Presiden. Namun berbagai peristiwa menyertai proses pemilihan wakil Presiden
yaitu Sudharmono, dimana “faksi Benny” yang merupakan orang kuat dalam jajaran Angkatan Darat memperlihatkan keberatannya dengan pengajuan
Sudharmono sebagai Wakil Presiden. Benny Moerdani dengan segala daya upaya berusaha untuk menjegal naiknya Sudharmono yang pada ahirnya membuatnya
berhadapan dengan Soeharto yang segera melucuti basis-basis kekuatan politiknya di militer.
Munas ketiga Golkar yang berlangsung pada Oktober 1983 juga telah menandai awal era baru peranan politik elit Islam di dalam tubuh partai negara
Orde Baru. Tampilnya Akbar Tanjung sebagai kandidat Sekjend yang nota bene memiliki hubungan genealogis dengan kalangan gerakan Islam tentunya memiliki
makna kultural yang penting bagi Golkar dan kalangan Islam pada khususnya. Hal ini ditambah lagi dengan naiknya dua mantan aktivis HMI menduduki
jabatan Departemen Cendikiawan dan TaniNelayan di DPP GOLKAR yaitu Prof. Dr. Ibrahim Hasan dan Ir. Usman Hasan.
Universitas Sumatera Utara
BAB III ANALISIS HUBUNGAN AKOMODATIF ORDE BARU TERHADAP
UMAT ISLAM PERIODE 1985-1994 1. RUU Pendidikan Nasional
RUU ini diajukan Pemerintah pada tanggal 23 Mei 1988 melalui Mentri Pendidikan dan Kebudayaan Prof.Dr.Fuad Hasan. Masalah pendidikan nasional
pernah menjadi bahan pembicaraan serius dalam SU MPR 1973 dan 1978. Pada SU MPR 1973, persoalan ini diambangkan.
Tidak dibicarakan lebih lanjut karena adanya pertentangan tajam antara FKP-yang mengusulkan penghapusan pendidikan agama di sekolah-sekolah-dan
FPP yang justru mewajibkannya. Dalam SU MPR 1978, usulan FPP untuk memasukkan pendidikan agama sebagai pelajaran wajib di sekolah-sekolah dan
lembaga psantren dalam GBHN gagal melalui voting di Komisi A. RUU Pendidikan Nasional dibuat berdasarkan hasil rumusan KPPN
Komisi Perubahan Pendidikan Nasional yang dibentuk dalam periode Mendikbud Daoed Joesoef.
88
Pada mulanya, hasil rumusan KPPN disebut RUU tentang Ketentuan- Ketentuan Pokok Sistem Pendidikan Nasional, kemudian oleh Prof.Fuad Hasan
diubah menjadi RUU Pendidikan Nasional. Beberapa rumusan pasal yang semula dihapuskan, antara lain: gagasan untuk menyelenggarakan pendidikan dalam satu
atap Depdikbud dan Keberadaan Dewan Pendidikan Nasional DPN dihapus. KPPN dibentuk tahun 1978 dan di ketuai oleh
Prof.Dr.Slamet Imam Santoso dengan Sekretaris I Dr.A.W.M.Pranarka.
88
Pokok-pokok Pembaharuan Pendidikan Nasional menurut Mendikbud Daoed Joesoef dapat dilihat dalam Panji Masyarakat, no. 152, 1 Agustus 1978, hal. 10-13. sedangkan komentar
terhadapnya antara lain dikemukakan oleh Prof.Dr.Deliar Noer, Panji Masyarakat, no. 255, 15 September 1978.
Universitas Sumatera Utara
Pada masa Daoed Joesoef, DPN memilik fungsi yang dominant, yaitu sebagai dapur pemikir yang dihuni banyak anggota CSIS. Ketuanya adalah
Dr.A.W.M.Pranarka. Pada mulanya RUU Pendidikan Nasional yang diajukan pemerintah berisi
pasal-pasal yang merugikan kepentingan pendidikan Islam. 1.
RUU ini tidak mengatur kewajiban penyelenggaraan pendidikan agama disekolah-sekolah sebagaimana yang diamanatkan dalam
GBHN 19831988 dan 19881993. 2.
RUU PN ini tidak mengakui dasar kebebasan untuk mendirikan dan menyelenggarakan lembaga-lembaga pendidikan swasta, termasuk
lembaga-lembaga pendidikan keagamaan. 3.
Adanya aturan tentang pidan maksimal satu tahun dan denda Rp.10 juta terhadap sekolah-sekolah swasta yang tidak memenuhi sumber
belajarnya, seperti perpustakaan. Bagi sekolah-sekolah madrasah, yang umumnya belum berkembang, aturan ini sangat memberatkan.
4. Dalam RUU ini ada kalimat Bertaqwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa,
sedangkan dalam GBHN tertera kalimat, Beriman dan Bertakwa Kepada Tuhan Yang Maha Esa. Ada yang menduga-duga, bahwa yang
membuat RUU PN adalah “orang yang tidak beriman”. 5.
RUU ini memberikan space yang terlalu besar kepada pemerintah untuk membuat Peraturan Pemerintah. Hal ini akan membuat
pemerintah memperoleh kewenangan yang berlebihan untuk mengatur pendidikan nasional. Sebab bisa saja pemerintah melakukan
Universitas Sumatera Utara
interpretasi baru terhadap pasal-pasal dalam RUU yang belum jelas dan operasional tersebut.
Reaksi pertama, seperti yang dicatat oleh Panji Masyarakat, disampaikan oleh Badan Kerja Sama Pondok Psantren BKSPP yang berkedudukan di Jawa
Barat.
89
1. Menolak RUU Pendidikan Nasional untuk ditetapkan menjadi Undang-
Undang. Dalam pernyataannya tanggal 11 Juli 1988 mereka menyampaikan sikap :
2. Meminta kepada pemerintah untuk meninjau kembali dan
menyempurnakan RUU tersebut dengan memperhatikan aspirasi yang hidup di tengah masyarakat.
3. Mengimbau DPR untuk membahas secara mendalam dengan penuh
tanggung jawab, dan kalau perlu mengambil inisiatif mengubah RUU PN, sesuai dengan kepentingan bangsa Indonesia yang sedang membangun.
4. Para Ulama, pemimpin lembaga pendidikan dakwah, ormas dan ahli
pendidikan, khususnya Majelis Ulama Indonesia MUI agar mempelajari dan memperhatikan hal yang sangat menentukan nasib umat ini.
Reaksi berikut berasal dari para Ulama dan pimpinan Psantren yang tergabung dalam Yayasan Pondok Psantren Indonesia YPPI ketika melakukan
dengar pendapat dengan FPP.
90
89
Panji Masyarakat, 1-10 Agustus 1988, hal.49
90
Kompas, 22 Agustus 1988
Alasan penolakannya adalah bahwa RUU PN tidak megatur pendidikan agama dan RUU PN sama sekali tidak menyebut
pesantren. Malalui lobyng-lobyng yang dilakukan oleh tokoh-tokoh Islam, pasal- pasal yang memberatkan ini berhasil dihapus.
Universitas Sumatera Utara
2.RUU Peradilan Agama
RUU Peradilan Agama berhasil disyahkan dalam DPR dan diundangkan menjadi Undang-Undang Nomor 1989. hal ini tidak terlepas dari upaya keras
pemerintah melalui Menteri Agama untuk meyakinkan para pengkritik RUU PA tersebut.
Temasuk pula pernyataan Presiden Soeharto yang menjamin bahwa Piagam Jakarta tidak akan diberlakukan. Dengan berhasil diundangkannya RUU
PA tersebut, maka beberapa kemajuan untuk kepentingan Islam dapat dicatat. 1.
Peradilan Agama di Jawa dan Madura serta Kalimantan sebelah barat dan timur diutuhkan kembali kewenangannya untuk juga menangani pembagian
warisan bagi umat Islam seperti halnya Peradilan Agama di wilayah Indonesia yang lain.
2. Keputusan Peradilan Agama sifatnya final, tidak perlu dikukuhkan lagi oleh
Peradilan Umum. Eksekusi keputusannya dilakukan Peradilan Agama sendiri. Sehingga di Peradilan Agama diadakan jabatan juru sita.
3. Hakim-hakim Peradilan Agama diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Sehingga statusnya sama dengan hakim-hakim lainnya. 4.
Jabatan Hakim, panitera, dan juru sita dalam Peradilan Agama hanya dapat di isi oleh orang-orang yang beragama Islam. Hal ini tentunya memberikan
ketenangan psikologis. Menurut Mentri Agama Munawir Sadjali, kedudukan peradilan Agama di
negara Pancasila Indonesia, malah lebih kokoh dan lebih hormat dibandingkan dengan Peradilan Agama di ”negara-negaara Islam” lainnya. Atau dalam bahasa
Universitas Sumatera Utara
Mentri Agama Munawir Sadjali sendiri, UUPA adalah lompatan besar. Dari segi perundang-undangan adalah lompatan seratus windu.
91
Reaksi keras umat Islam ini, dapat dipahami, karena berhubungan dengan kecintaan umat kepada Rasul-Nya. Di sisi lain, pemerintah menanggapinya
dengan cepat. TVRI langsung menayangkan permintaan maaf Arswendo Upaya bapak Presiden Soeharto tahun 1985 membentuk proyek
komplikasi hukum Islam di Indonesia untuk menyeragamkan acuan hukum Islam untuk menjadi pegangan yang seragam bagi hakim-hakim agama di seluruh
Indonesia. Tahun 1987, proyek ini berhasil menyusun tiga rancangan, yaitu mengenai perkawinan, mengenai pembagian warisan, dan mengenai pengelolaan
benda-benda wakaf, infak, dan sedekah. Setelah disempurnakan, maka sesuai dengan intruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1992 tertanggal 10 Juni 1991 secara
resmi diperintahkan untuk mamasyarakatkannya sebagai komplikasi hukum.
3. Kasus Monitor dan berbagai isu lainnya.