Meninjau kembali strategi politik umat Islam

bangsa. Dengan demikian, cita-cita untuk menegakkan nilai-nilai demokrasi hendaknya dilakukan dengan kerangka sistem politik yang ada. 74

3. Meninjau kembali strategi politik umat Islam

Strategi politik Islam di masa lalu ditandai oleh dua karakter utama: 1 politik partisan, dan2 parlemen sebagai satu-satunya medan perjuangan. Yang pertama berkaitan erat dengan adanya pengelompokan Islam sebagai kategori kekuatan-kekuatan politik Masyumi, NU, PSII, Perti. Dalam konteks pengelompokan seperti itu, terdapat kejelasan peran dan kelembagaan politik Islam. Tetapi karena tajamnya polarisasi ideology di antara partai politik yang ada ketika itu, pendekatan politik partisan ini menimbulkan persoalan bagi Islam sebagai entitas keagamaan. Karenanya, konsep umat Islam sering tidak jelas. Pengakuan atas keIslaman seseorang tidaklah didasarkan atas kenyataan bahwa ia adalah seorang Islam, tetapi lebih didasarkan atas hubungannya dengan organisasi social-politik Islam serta ide-ide yang dikembangkannya. Karena sifatnya yang reduksionis ini, cita-cita politik Islam menjadi milik organisasi social-politik Islam, bukan masyarakat Islam secara keseluruhan. Yang kedua merujuk kepada kenyataan bahwa pendekatan politik Islam bersifat monolitik. Hal ini dalam pengertian bahwa cita-cita politik Islam lebih banyak di perjuangkan lewat parlemen. Sementara sarana-sarana lain, yang mungkin secara makropolitik lebih strategis, kurang diperhatikan. Karenanya, dapat dipahami jika kegiatan-kegiatan NU dan Muhammadiyah yang sifatnya “non politik” tidak mempunyai makna politik yang strategis. 74 Munawir Sadjali,” Wawasan Perjuangan Muslim Indonesia”, Makalah disampaikan pada harI jadi HMI ke-43 di Yogyakarta, 4 Februari 1990. dikutip dari Bahtiar Efendy, Op.Cit. hal. 32. Universitas Sumatera Utara Strategi politik Islam yang dikembangkan oleh generasi baru Muslim sekarang ini lebih bersifat inklusif, integrative, dan diversifikatif. Sementara tetap berpegang pada prinsip baldatun tayyibatun wa rabbun ghaffur dan amar ma’ruf nahi munkar, mereka tidak mengartikulasikannya dalam konteks subjektivisme ideologis dan simbolis, tetapi merumuskannya dalam kerangka cita-cita masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kalau buku Aspirasi Umat Islam Indonesia bisa dijadikan rujukan, dapat dikatakan bahwa agenda mereka meliputi soal-soal besar, termasuk demokratisasi, toleransi politik dan agama, egalitarianisme social-ekonomi dan partisipasi politik. Sementara itu, mereka juga tidak menganggap parlemen sebagai instrumen utama untuk menyalurkan aspirasi politik umat Islam. Kendatipun sifatnya yang “non politik”, organisasi semacam NU, Muhammadiyah, MUI, dan sejumlah lembaga-lembaga swadaya masyarakat lainnya yang dikembangkan oleh generasi baru pemikiru dan aktivis Islam dianggap mempunyai makna strategis untuk mengembangkan cita-cita politik Islam. Kalaupun harus melalui jalur partai, organisasi politik Islam seperti PPP tidak merupakan satu-satunya pilihan. Karena sifat dari politik Islam yang lebih inklusif dan integrative, GOLKAR dan PDI pun dianggap potensial untuk memperjuangkan kepentingan Islam. Bahkan, ada kecendrungan pada sebagian besar pemikir dan aktivis Islam untuk menyalurakan aspirasi sosial-politiknya melalui GOLKAR. Ini semua menunjukkan adanya sebuah transformasi yang cukup berarti dalam pemikiran dan praktik politik Islam. Semua itu, baik pada tataran dasar-dasr teologis, cita-cita politik, dan strategi pendekatannya, ditujukan untuk Universitas Sumatera Utara menghadirkan sebuah sintesis yang memungkinkan antara Islam dan negara politik. Dalam konteks yang lebih empiric, intelektualisme dan aktivisme baru ini dikembangkan untuk menghadirkan sebuah Islam politik yang lebih inklusif dan integrative dalam hubungannya dengan kontruk negara Indonesia yang ada.

2. Kemerosotan Pengaruh Politik Partai Islam