3. Teori Pengaruh lawyer
Teori ketiga ini menjelaskan tentang aturan main untuk self dealing dalam sejarah hukum perseroan berkembang dari sistem larangan secara kaku kepada sistem yang lebih
relaks dan fleksibel adalah karena adanya pengaruh dari pihak lawyer yang menyerukan agar kasus-kasus self dealing diuji di pengadilan yang tentu diajukan oleh lawyer,
sehingga dengan aturan yang fleksibel, menyebabkan lebih banyak pekerjaan bagi pengadilan yang tentunya bertambah banyaknya pekerjaan dari lawyer.
4. Teori Pengaruh hakim Pengadilan
Teori ini berasal dari pengadilan yang mulai menyadari bahwa adakalanya transaksi self dealing bukan berbahaya melainkan jutru diperlukan oleh perseroan.
Mengakui transaksi self dealing secara selektif ini jauh lebih sesuai dengan kebutuhan daripada melarangnya secara mutlak dengan berpegang secara kaku kepada posisi trustee
dengan hubungan fiduciary dari direksi perseroan.
B. Pengaturan Self Dealing di Amerika
Direksi dalam menjalankan tugasnya bertindak untuk dan atas nama perseroan terbatas, maka konsekuensi baik atau buruk sebagai akibat perbuatannya itu pada
prinsipnya dipikul oleh perseroan terbatas sendiri. Prinsip ini berlaku baik dalam sistem hukum Common Law Amerika Serikat maupun dalam sistem Civil Law hukum
Indonesia. Namun demikian prinsip tanggung jawab terpisah ini bukanlah prinsip yang steril, sehingga dalam hal-hal tertentu konsekuensi dan tindakan direktur tersebut harus
Universitas Sumatera Utara
dipikul secara pribadi oleh direktur sendiri, sungguhpun dia bertindak untuk dan atas nama perusahaan.
61
Menurut Hukum Common Law direktur akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya tidak sesuai dengan standar tertentu. misalnya: Direktur
dengan sengaja menyalahgunakan wewenang atau menyalahgunakan dana perusahaan, juga akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia mengisukan sebagai saham yang
disetor penuh padahal secara faktual saham tersebut belum disetor sama sekali, disamping itu menurut hukum Common Law di Amerika Serikat tanggung jawab
direktur secara pribadi tidaklah terjadi hanya karena kedudukannya sebagai direktur, akan tetapi untuk dibebankan tanggung jawab direktur tersebut harus telah melakukan hal-hal
berikut ini terhadap perusahaannya,yakni
62
: a. direktur mengizinkan perbuatan tersebut, atau
b. direktur meratifikasi perbuatan tersebut, atau c. ikut dalam berpartisipasi dengan cara apapun dalam perbuatan tersebut
Terhadap transaksi yang di lakukan atas nama dewan direksi, dalam keadaan tertentu di Amerika Serikat seseorang direktur bahkan bertanggung jawab secara pribadi
sungguhpun dia berkeberatan dengan voting untuk menolaknya. menurut RMBCA Revised Model Business Coorporation Act Pasal 8.24d, seorang direktur dipresumsi
menyetujui terhadap perbuatan dewan direksi dan karenanya harus bertanggung jawab secara hukum,kecuali dia voting untuk menolaknya dan penolakannya dicatat menurut
cara-cara yang tertentu.
61
Munir Fuady I,Op.Cit, hal 59.
62
Munir Fuady I,Op.CIt, hal 60.
Universitas Sumatera Utara
Selanjutnya menurut RMBCA Pasal 8.30 b dan c kecuali jika seorang direktur mempunyai pengalaman atau expertise terhadap perbuatan tersebut, maka seoarang
direktur lepas dari tanggung jawab pribadi jika tindakannya itu di dasari atas : a.
Pendapat tertulis dari legal counsel untuk perusahaan tersebut ; b.
Financial reports yang disiapkan oleh auditor atau accountant; c.
Penyataan oleh pegawai perusahaan dalam hubungan dengan masalah dalam lingkup tugasnya ;
d. Reports dari committee tertentu dalam perusahaan tersebut.
63
Sistem Hukum Civil Law Indonesia tidak mengenal pranata “fiduciary relation”, sehingga hubungan antara direktur dengan perusahaan tidak merupakan hubungan antara
“trustee” dengan “beneficiary” seperti dalam sistem Common Law, dalam sistem hukm Civil Law seperti di indonesia, hubungan tersebut hanya merupakan hubungan antara
pemberi kuasa perusahaan dengan penerima kuasa direktur atau jika direktur diberi upah, maka secara legal hubungan tersebut merupakan juga hubungan perburuhan.
64
Karena hubungannya adalah pemberi kuasa maka direktur sebagai penerima kuasa hanya akan bertanggung jawab secara pribadi jika dia menjalankan tugasnya melebihi kuasa
yang yang diberikan kepadanya. Hal tersebut dapat dilihat dalam anggaran dasar perusahaan. karena itu, secara konkrit dapat dikatakan jika dalam sistem hukum Common
Law direktur bertindak menurut standar tertentu sebagai trustee, maka menurut sistem Civil Law direktur pada prinsipnya bertindak hanya dengan memperhatikan anggaran
dasar perusahaan.
63
Yahya A.Z., Perbandingan Hukum Tanggung Jawab Direktur PT antara Sistem Hukum Civil Law dengan Common Law, http:yahyazein.blogspot.com200907perbandingan-hukum-tanggung-
jawab.html., diakses pada 27 Juli 2010.
64
HMN Purwosutjipto, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta : Djambatan, 1982,
Universitas Sumatera Utara
Menurut Sistem Civil Law apabila setelah berdiri terjadi pengisuan saham baru yang disebutkan disetor penuh, padahal sebenarnya tidak disetor penuh, maka direktur
tidaklah dapat dimintakan tanggung jawab pribadi karena biasanya ditentukan dalam anggaran dasar bahwa saham baru tersebut akan diisukan setelah adanya rapat umum
pemegang saham RUPS, dan ketika anggaran dasar dibuatdiubah karena pengisuan saham, siapa saja direktur,pemegang saham atau komisaris yang memberikan
keterangan tidak benar kepada notaris ketika anggaran dasar dibuatdirubah padahal dia mengetahuinya atau patut mengetahuinya bahwa keterangan tersebut tidak benar maka
dia akan bertanggung jawab terhadap tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana ketentuan Pasal 163, Pasal 264 atau Pasal 266 KUHPidana, selanjutnya menurut hukum
Indonesia seoarang direktur akan bertanggung jawab secara hukum atas tindakan yang dilakukan oleh dewan direksi atau oleh perusahaan. Tidak ada ketentuan dalam sistem
hukum Civil Law Indonesia yang melepaskan tanggung jawab hukum seoarang direktur hanya karena alasan bahwa terhadap perbuatan tersebut tidak setuju, tidak telah
mengizinkan, menyetujui, berpartisipasi, atau mendasari tindakannya atas pendapat prosfesional lainnya. Sungguhpun terhadap yang disebut terakhir tadi, para profesional
tersebut dapat pula dimintakan tanggung jawabnya secara hukum karena malpraktek apabila dia telah memberikan keterangan secara salah. Maka usaha untuk mengelak dari
tanggung jawab tersebut menurut sistem hukum Indonesia hanya mungkin dilakukan apabila direktur yang tidak setuju tersebut berhenti dari direktur sebelum tindakan
tersebut direalisasi.
65
65
Yahya A.Z. Op. Cit http:yahyazein.blogspot.com200907perbandingan-hukum-tanggung- jawab.html., diakses pada 27 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Karena dalam sistem hukum Common Law, terdapat hubungan fiduciary antara direktur dengan perusahaan, seperti ditentutan dalam kasus Mardel Securities, Inc v.
Alexandaria Gazette Corp, dengan demikian perusahaan dianggap cestui que trust beneficiary, sedangkan direktur menjadi trustee-nya. maka dalam mejalankan tugasnya
direktur harus bersandar pada standard of care tertentu. Namun demikian kedudukan direktur agak unik dalam sistem hukum Amerika Serikat, mereka bukan trustee dalam
arti biasa dan mempunyai kekuasaan lebih dari sekedar agen biasa dalam hukum agency mereka. sementara itu dalam sistem hukum Civil Law, tanggung jawab tidak terlalu di
dasarkan pada standard of care tertentu, tetapi semata-mata di dasari atas hubungan pemberian kuasa, yakni seberapa jauh kekuasaan diberikan oleh anggaran dasarnya. dapat
dikatakan juga, jika dalam hukum Common Law basis tanggung jawabnya merupakan “kaidah hukum” sedangkan menurut sistem hukum Civil Law basisnya adalah
“perjanjian” di antara para pihak.
66
Di Amerika Serikat kriteria standard bagi direktur yaitu melakukan “duty of care” terhadap perusahaan dapat dilihat klarifikasinya misalnya dalam Pasal 8 3c dari
RMBCA di mana tugas-tugas direktur harus dilakukan : a.
Dengan itikad baik. b.
Dengan kehati-hatian dengan mana manusia biasa yang berhati-hati ordinarily prudent person pada posisi yang sama akan melakukannya pada
situasi yang sama. c.
Dengan cara-cara yang diyakininya merupakan kepentingan terbaik best intrest bagi perusahaan.
66
Ibid, http:yahyazein.blogspot.com200907perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html.,
diakses pada 27 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
Berkaitan dengan hal tersebut, sering juga dipakai standar yang mirip dengan itu terhadap tingkatan deligence care and skill yaitu “ which ordinary prudent person would
exercise under similar circumtances in their personal business affairs” Secara Klasik prinsip “duty of care” dari direktur dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. a concious exercise of judgement.
b. an informal decision.
c. a rational basis.
Dalam kasus Prancis V.united Yersey Bank, dalam penetapan prinsip “duty of care” mengharuskan direktur :
a. get a redimentary understanding of the business
b. keep informed about the corporations activities.
Pengadilan-Pengadilan Amerika Serikat cukup berhati-hati dalam mencari keseimbangan, dimana salah satu pihak menyalahkan direktur yang berbuat tidak layak
untuk perusahaannya yakni bertentangan dengan prinsip “duty of care” tetapi di lain pihak pengadilan tidak layak jika tidak terlalu jauh mencampuri danatau menilai
kebijaksanaan yang telah di lakukan oleh direktur. Dengan perkataan lain pengadilan tidak akan second guess terhadap keputusan bisnis yang telah diambil oleh direktur,
sungguhpun keputusan direktur tersebut jelas-jelas tidak tepat clear mistakes yang lebih sering disebut honest mistakes kecuali terhadap beberapa pengecualiannya. inilah yang
sering disebut dengan sebutan “Business Judgement Rule”.
67
Business Judgement Rule ini sering juga diterapkan terhadap kasus-kasus yang berhubungan dengan kebijaksanaan dan pembagian deviden, berarti umumnya pengadilan
67
Ibid, http:yahyazein.blogspot.com200907perbandingan-hukum-tanggung-jawab.html.,
diakses pada 27 Juli 2010.
Universitas Sumatera Utara
dalam hal ini tidak akan meninjau kembali segala keputusan direktur terhadap hal tersebut. Business Judgement Rule disini mengandung unsur “reasonable deligence”
Pengadilan di Amerika Serikat juga tidak menerapkan Business Judgement rule terhadap kasus-kasus transaksi self dealing, yakni transaksi yang di lakukan antara
direktur pribadi dengan perusahaan, yang menurut hukum Amerika Serikat, dalam batas- batas tertentu di larang. untuk kasus-kasus yang tidak termasuk dalam disinterested
decision seperti ini, dianggap terdapat pelanggaran terhadap fiduciary duty of loyality, sehingga di pakai standar yang lebih berat, misalnya mengharuskan pelaksanaan transaksi
terebut secara “fairness” atau “intrinsic fairness”. Transaksi self dealing dikatakan mengandung unsur conflict of interest karena
keterlibatan kepentingan pribadi direktur dan sekaligus juga kepentingan perusahaan. contoh lain dari transaksi conflict of interest ini adalah apa yang di cover oleh doktrin
Corporate Opportunity, menurut doktrin ini seorang direktur demikian juga organ perusahaan lainnya, tidak diperbolehkan mengambil kesempatankeuntungan untuk
dirinya sendiri jika kesempatankeuntungan tersebut seyogianya dapat diberikan untuk perusahaannya.
Direktur tidak dibenarkan mengambil profit yang tersembunyi dalam hubungan transaksi perusahaan atau bersaing secara tidak fair dengan perusahaan atau mengambil
sendiri apportunity yang seyogianya dapat diambil untuk kepentingan perusahaan. Standar yang digunakan untuk kasus-kasus corporate opportunity ini sangat bervariasi
bergantung kepada sifat atau seberapa lama kasus tersebut telah diputuskan, bahkan tergantung pengadilan di negara bagian mana yang memutuskan.
Universitas Sumatera Utara
C. Pengaturan Self Dealing dalam UU No. 40 tahun 2007 Tentang Perseroan