Analisis Hukum PERTANGGUNGJAWABAN DIREKSI PADA PUTUSAN PERDATA

8. Menolak gugatan selain dan selebihnya.

D. Analisis Hukum

Dari hal-hal yang dikemukakan oleh penggugat dan tergugat, penulis berpendapat sebagai berikut: Tindakan Djamal Nasser Attamimi Tergugat dengan jabatannya selaku Direksi bidang investasi PT. Sigma Batara yang memutuskan secara sepihak membeli surat hutang walaupun surat hutang tersebut telah jatuh tempo adalah tindakan fraud kecurangan yang telah melanggar prinsip Fiduciary Duty dalam melakukan pengurusan perseroan sebagaimana diatur dalam Pasal 97 ayat 2 UUPT dimana Tergugat selaku direksi Penggugat pada waktu itu mempunyai duty of care dan duty of loyality terhadap perseroan, yang seharusnya direksi dengan perseroan korporasi sebagai badan hukum terdapat hubungan fiduciary sehingga pihak direksi hanya bertindak seperti seorang trustee atau agen semata yang mempunyai kewajiban mengabdi sepenuhnya dengan itikad baik dan bertanggung jawab kepada perseroan. Kecurangan yang Tergugat perbuat menimbulkan benturan kepentingan conflict of interest dengan melakukan self dealing transaction. Dalam hal ini kepentingan pribadi direksi berbenturan dengan kepentingan perseroan ketika direksi melakukan kehendaknya karena ada keuntungan tersembunyi didalamnya. Tergugat juga melakukan usaha-usaha untuk mengalihkan pokok permasalahan dengan cara seolah-olah adanya pembelian Promissory Note melalui Agreement of the Issuance of Secured Promissory Note. Hal itu dilakukan Tergugat dengan cara : Universitas Sumatera Utara Merekayasa prosedur pembelian surat hutang yang sebenarnya telah default yakni dengan PT CBE menerbitkan Surat Hutang Baru dalam bentuk Commercial Paper diluar program Medium Term Note dalam mata uang Yen Jepang dengan Nilai 250.365.877.70 Yen Jepang atau Equivalen dengan US 2.500.000,-. Promissory Note yang baru tersebut melalui Agreement of the Issuance of Secured Promissory Note tertanggal 05 Desember 1995 yang dibuat antara PT. CBE dengan PT. Sigma Batara berupa pengalihan seluruh dana hasil PT. CBE yang dilakukan melalui pencairan Letter of Credit PT CBE. Pembayaran dilakukan dengan cara Foreign Engine Swap, yang berarti boleh menggunakan Dollar Amerika. Kemudian pembayaran dilakukan dengan cara transfer, namun tidak ke rekening PT. CBE sebagai orang yang menjual Surat Hutang tetapi ke Indover bank. Hal ini menimbulkan kejanggalan, yang semestinya jika surat hutang tersebut dibeli dari PT. CBE, maka uang yang ditransfer haruslah ke rekening PT. CBE bukan ke rekening Indover Bank. Tentang kebenaran proses transfer itu dikuatkan dengan surat konfirmasi pihak Indover Bank tertanggal 13 Desember 1995 berupa Faxcimille kepada PT. Sigma Batara bahwa dana sebesar US 2.500.000,- telah diterima oleh pihak Indover Bank bukti P-9, P-10 Secara tiba-tiba terjadi penyerahan Surat Hutang dengan Bentuk promissory Note yang telah jatuh tempo dan gagal bayardefault.Promissory Note dibukukan sebagai asset PT. Sigma Batara penggugat Disamping itu terjadi pula Penghapusan Porto Folio Indover Bank sebesar US 2.500.000,- pada tanggal 05 Desember 1995 . Hal ini semakin menguatkan bahwa yang sebenarnya dibeli adalah Promissory Note yang telah default dan yang digunakan untuk membayar adalah Prommissory Note yang baru. Semua yang dilakukan direksi PT Sigma Batara adalah untuk mengamankan Promissory Note PT. Universitas Sumatera Utara CBE yang telah default dengan mengorbankan PT. Sigma Batara pimpinannya yang juga sebagai Penata Usaha di PT CBE. Pembelian Promissory Note dari Indover Bank dengan modus penerbitan Commercial Paper jelas-jelas telah merugikan Penggugat sebagai beneficiary, karena penggugat harus mengeluarkan dana sebesar US 2.500.000 dua juta lima ratus ribu dolar Amerika serikat sebagai biaya pembelian Promissory Note PT CBE yang telah jatuh tempo dan gagal bayar default kepada Indover Bank. Bad faith sangat menonjol dalam hal ini, direksi berupaya menutupi self dealing yang ia perbuat dengan segala cara demi keuntungan pribadinya. Pada pengambilan keputusan, pelanggaran duty of care juga dilakukan Tergugat dengan tidak hati-hati dalam bertindak untuk dan atas nama perseroan, sedangkan pelanggaran duty of loyality dilakukan dengan tidak menempatkan kepentingan pribadi selaku direksi Penggugat pada waktu itu di bawah kepentingan perseroan dan pemegang saham, yaitu melakukan self dealing dimana kepentingan keuangan secara potensial bertentangan dengan kepentingan keuangan perseroan. Tergugat selaku direksi penggugat pada waktu itu seharusnya wajib dengan itikad baik dan penuh tanggung jawab menjalankan tugas untuk kepentingan dan usaha perseroan. Hal ini membawa konsekuensi hukum bahwa Tergugat bertanggung jawab secara pribadi apabila yang bersangkutan bersalah atau lalai menjalankan tugasnya untuk kepentingan dan usaha perseroan. Sekalipun secara tegas tidak terdapat larangan terhadap transaksi yang demikian, tetapi mengingat fungsi dan tugas direksi sebagaimana diamanatkan dalam UUPT, maka transaksi tersebut menimbulkan benturan kepentingan conflict of interest yang oleh Universitas Sumatera Utara karenannya bertentangan dengan prinsip fiduciary duty dan duty of care and loyality. Dengan tindakan self dealing ini berarti ia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan ia bertanggungjawab secara pribadi. Dikarenakan kegagalan melaksanakan duty of care dengan sendirinya merupakan pelanggaran terhadap fiduciary duty tanpa memperhatikan apa yang sebenarnya menimbulkan kerugian pada pemberi fiducia yang seharusnya direksi merupakan pemegang kepercayaan trustee diharuskan untuk menerapkan standar perilaku yang lebih tinggi dan dapat diminta pertanggungjawabannya untuk pelanggaran fiduciary duty. Universitas Sumatera Utara

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Dari uraian Bab-bab di muka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1. Sejarah perkembangan hukum tentang transaksi self dealing di Indonesia terefleksi dari perkembangannya dalam sejarah hukum di Amerika Serikat, di mana terjadi perkembangan dari prinsip hukum tentang self dealing yang tegas bahkan kaku, menjadi peraturan yang lebih relaks. Tidak ada secara khusus UU yang mengatur tentang transaksi self dealing ini namun dalam beberapa Pasal dalam Undang- Undang No 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas terdapat pengaturan yang relevan terhadap masalah transaksi self dealing ini. Yakni dalam Pasal 97 Ayat 2 dan Ayat 3 sebagai tuntutan pengurusan direksi yang harus dengan itikad baik dan bertanggung jawab, dan berikutnya sebagai tuntutan pertanggungjawaban pribadi atas kelalaian tugas tersebut. 2. Direksi yang dapat diminta pertanggungjawaban secara pribadi persoonlijk aansprakelijk, personally liable apabila bersalah schuld, guilt or wrongful act, atau lalai culpoos, negligence menjalankan tugasnya melaksanakan pengurusan perseroan. Pengurusan perseroan dalam hal ini direksi wajib melakukannya dengan itikad baik good faith yang meliputi aspek : wajib percaya fiduciary duty yakni selamanya dapat dipercaya must always bonafide dan selamanya harus jujur must always honest; wajib melaksanakan pengurusan untuk tujuan yang wajar atau layak duty to act for a proper purpose; wajib menaati peraturan perundang- Universitas Sumatera Utara