Karya-karya Umar Kayam Tinjauan Eksternal

Ia berpandangan terhadap para penulis bahwa seorang penulis mempunyai tugas sosialnya sendiri. tugas ini bukan memimpin, bukan mewejang karena dia bukan seorang pendeta atau kyai, bukan „menyelamatkan dunia‟ karena dia bukan seorang nabi. Menurutnya, tugas seorang penulis adalah sederhana: bercerita dengan jujur, pada tempatnya dan indah”. Ia tidak alergi terhadap kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia adalah “… kemajemukan budaya dan kreativitas kita „memainkan‟ kemajemukan kita itu. Ini berarti bahwa kita mesti bersedia memiliki „bidang bahu yang selebar- lebarnya‟ dalam menyediakan ruang gerak yang bebas untuk mengembangkan „kepribadian bangsa‟ yang akan muncul bersama kultur kita yang majemuk dinamis itu”. 9 Kayam dengan semangat sosialnya selalu mengikhtiarkan seni tradisi yang kini baur dengan timbulnya seni kontemporer yang elitis hingga k esenian rakyat makin terpencil dan kesenian klasik “kraton” menjadi kesenian salon, maka ia menghimbau: “Sudah waktunya kreativitas dipahami dalam konteks perkembangan masyarakat. “Sudah waktunya „strategi pengembangan kesenian‟ mengacu kepada kaitan kreativitas seni dengan perkembangan masyarakat”. Salah satu pandangannya mengenai kebudayaan adalah masalah transformasi. Kayam berpandangan bahwa nilai-nilai budaya yang berkembang di masyarakat terbentuk melalui proses transformasi. Melalui tulisannya, Transformasi Budaya Kita, Kayam mengandaikan transformasi sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk baru yang akan mapan. Transformasi dapat pula dibayangkan sebagai suatu proses yang lama 9 Diro Aritonang, Doktor Umar Kayam Budayawan yang Tangguh, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 30 Oktober 1982, h. 7. bertahap-tahap, tetapi dapat pula dibayangkan sebagai suatu titik balik yang cepat, bahkan abrupt. 10 Masyarakat Jawa adalah salah satu komunitas budaya yang mengalami proses transformasi. Gambaran budaya Jawa tersebut, selain dapat dilihat dari perilaku, adat istiadat, gaya hidup, dan pola pikir masyarakat, juga tercermin dalam berbagai karya sastra. Transfrormasi nilai budaya Jawa dalam novel Para Priyayi tercermin melalui peristiwa-peristiwa yang dialami keluarga Sastrodarsono sebagai generasi pertama dan keluarga Hardojo dan Harimurti generasi kedua dan ketiga. Umar Kayam terkenal dengan teorinya mengenai manusia Indonesia sebagai “Pejalan Budaya” Cultural Commuter, yaitu sebagai orang-orang yang bergerak secara bolak-balik dari budaya tradisional ke budaya modern, dari desa ke kota, dan sebagainya. Berbagai ilustrasi mengenai sudut pandang serta teori perubahan dan transformasi menunjukkan bahwa masyarakat Negara dibayangkan, pada suatu masa, berubah, bahkan menghendaki perubahan yang terakhir sementara dengan status transformasi. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa cepat atau lambat serat-serat suatu budaya yang menyangga, anyaman teguh suatu kebudayaan masyarakat, pada suatu saat akan meruyak dan membusuk untuk kemudian tidak berfungsi lagi sebagai pengikat suatu kebudayaan. Dalam konteks kebudayaan Jawa secara khusus dan Indonesia pada umumnya, Kayam menguraikan secara historis terjadinya transformasi tersebut. Menurutnya, transformasi itu mulai terjadi ketika agama Hindu dan Budha dianut masyarakat. Ketika itu terjadi transformasi budaya India ke dalam kebudayaan Indonesia. Berikutnya transformasi budaya terjadi lagi ketika pada abad ke-13 Islam datang. Terjadilah pertemuan antara Hindu- Budha dan Islam yang kemudian di Jawa dikenal juga dengan Islam-Jawa. 10 Acep Iwan Saidi, Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia, Jakarta: Pilar Media, 2006, h.114. Selanjutnya bangsa Barat, antara lain Inggris, Portugis, dan Belanda pun menyusul berdatangan ke Indonesia. Maka sekali lagi transformasi budaya terjadi, yakni menyebarnya budaya Barat yang secara otomatis dibawa oleh bangsa-bangsa tersebut. Kayam menawarkan beberapa kriteria perilaku, yakni terbuka kompromis dan dialogis, luwes, dan kreatif. Kayam mengatakan bahwa sikap ini adalah “perintah historis”. Ia telah lama dimiliki oleh nenek moyang kita. Ketika Hindu dan Budha datang dengan budaya Indiannya, yang terjadi bukan Indianisasi, melainkan Indonesianisasi atau Jawanisasi dalam konteks kebudayaan Jawa. Yang menarik dari transformasi itu, menurut Kayam, adalah nampaknya bahasa “perintah historis” yang agaknya selalu mengingatkan pada nenek moyang kita untuk pandai-pandai memperhitungkan serta memanfaatkan kondisi geografis, geoekonomis, serta geopolitik dari kepulauan kita. Bahasa tersebut mengisyaratkan idiom luwes, lentur, adaptable, dan kreatif dalam menghadapi berbagai budaya luar. Dari sikap tersebut terciptalah suatu hasil yang mengagumkan sebagaimana ungkapan berikut ini. Kebudayaan yang terbentuk di Sriwijaya, Mataram I, Singasari, Majapahit, Aceh, Makasar, Bone, Kemudian Mataram II, dan sebelumnya Demak dan Pajang adalah contoh-contoh dari hasil dialog budaya dengan agama-agama Budha, Hindu, dan Islam. Dialog budaya tersebut manghasilkan, baik arsitektur “dalam” seperti seni memerintah, pertunjukan, tari, kesusastraan, dan berbagai macam seni ritual yang kaya dan canggih. Karena sikap terbuka, luwes, dan kreatif tersebut, konflik-konflik budaya dapat dihindarkan meskipun budaya yang datang mengikis habis hegemoni politik dan kekuasaan pada saat transformasi terjadi di Demak. Untuk hal ini Kayam memberi contoh transformasi Islam yang terjadi di Demak. Menurutnya, meskipun Demak muncul untuk menggantikan hegemoni Majapahit dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya, ia