ditutup dengan peristiwa Lantip mengajak calon istrinya yang bernama Halimah ke makam Embok dan Embahnya dengan perasaan yang bahagia.
2. Gambaran Umum Novel Para Priyayi
Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan 308 halaman yang diterbitkan pada tahun 1992 ini menggambarkan warna-warni kehidupan
tokoh-tokohnya yang berlatar kehidupan Jawa. Novel ini menceritakan realita kehidupan tokoh-tokohnya mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa
dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Keluarga ini adalah keluarga Sastrodarsono.
Sastrodarsono adalah seorang anak petani desa yang berjuang hidup untuk membangun keluarga besar priyayi. Berkat kesetiaan ayahnya
menggarap sawah Ndoro Seten, seorang priyayi Kedungsimo, ia disekolahkan dan berhasil mengantongi beslit guru bantu. Melalui dunia pendidikan itulah
ia masuk golongan para priyayi. Pandangan hidup yang dimulai dari hal yang sangat sederhana, yaitu sebagai guru bantu ternyata membuahkan hasil yang
tak terduga. Mimpinya membangun keluarga priyayi, disertai dengan keuletan, taat pada orang tua dengan sikap orang jawa yang ikut, nurut, dan
manut ternyata dapat terwujud. Ia merupakan gambaran pria jawa yang selalu patuh, mulai dari perjodohannya dengan seorang gadis sampai pada kesabaran
dan ketelatenannya menjalani karir dan juga berumah tangga. Perjuangan menaiki tangga priyayi yang dibangun oleh Satrodarsono
tidak selamanya berjalan sesuai keinginannya. Perjuangannya mulai luntur pada generasi anak cucunya. Mereka sudah mulai tergilas arus modernisasi.
Akan tetapi, di sisi yang lain, keluarga Sastrodarsono berhasil menemukan priyayi yang sesungguhnya, yaitu Lantip. Ia adalah seorang lelaki yang tidak
berdarah priyayi, namun memiliki jiwa priyayi yang sebenarnya. Dalam konteks kebudayaan Jawa, kata priyayi digunakan untuk
menyebut orang-orang yang terhormat atau disegani dalam masyarakat. Dalam konteks ini, semua guru, pejabat atau pemerintah bisa juga disebut
priyayi. Namun, novel Para Priyayi menyajikan ceritayang berbeda mengenai priyayi yang sebenarnya, bahwa priyayi itu bukan dari darah birunya, bukan
dari posisi dan jabatannya, melainkan dari sikap kesungguhannya untuk melayani dan mengayomi rakyat. Hal ini disampaikan pada bagian terakhir
saat tokoh Lantip ketika ia berpidato di pemakaman Eyangnya. Lantip memaparkan dengan jelas tentang keberadaan Eyangnya selama masih hidup
dalam mengayomi rakyat banyak terutama di bidang pendidikan. Novel ini menggambarkan kebudayaan lokal dengan penciptaan
suasana, tempat, budaya, gaya bahasa, alur dan banyak hal lainnya dengan sangat mendetail. Budaya Jawa menjadi salah satu tolok ukur dan juga
masalah yang diangkat dalam novel ini. Adanya kelas dalam masyarakat Jawa, membuat Sastrodarsono ingin membangun keluarga priyayi yang
priyayi agung. Perjalanan Sastrodarsono diwarnai dengan berbagai tradisi lokal tentang perjodohan, gaya hidup priyayi yang meliputi cara hidupnya,
berpakaian, makan, dan bagaimana posisi seorang istri priyayi harus bersikap intelek, baik secara pemikiran atau sikap.
Para tokoh dalam novel ini pun dilahirkan dari latar tempat, sosial, dan waktu yang memang benar-benar menggambarkan kebudayaan Jawa pada
saat itu. Terlihat jelas karena novel ini diwarnai dengan beberapa penggal tembang kinanti yang merupakan perwujudan kesenian Jawa di bagian tengah
dan akhir novel. Tokoh-tokoh dalam novel terlahir dari latar budaya Jawa yang sangat kental, terutama dari dialog dan cara mengatasi berbagai konflik.
Dalam novel ini terdapat kesenjangan sosial atau perbedaan kelas antara golongan priyayi dan masyarakat biasa, dimana seolah priyayi adalah
cerminan tokoh putih dalam suatu cerita yang sangat dihormati dan dipercayai secara berlebihan. Status priyayi merupakan status yang banyak terlahir dalam
suasana kehidupan orang Jawa. Priyayi sangat konsekuen dalam menjaga berlakunya sistem nilai dan rakyat kecil mengacu serta menganggap sistem
nilai tersebut sempurna dan yang terbaik untuk dihormati bahkan diikuti.
Bahasa Jawa yang disajikan dalam novel ada tiga bahasa; Kromo Inggil sangat halus, Kromo halus, dan Ngoko kasar. Misalnya, pada saat
Lantip berbicara pada Sastrodarsono, Lantip menggunakan bahasa yang terkesan begitu halus dan berbeda pada saat Lantip berbicara dengan orang
yang statusnya sama atau sebaya dengannya. Biasanya bahasa seperti Kromo Inggil tersebut dipakai oleh orang yang muda kepada orang yang tua apapun
strata sosialnya, sedangkan kalau orang yang muda berbicara kepada orang yang muda juga atau yang setara umurnya, biasanya memakai yang halus
Kromo atau bahasa yang kasar Ngoko. Selain itu, disisipi pula istilah atau ungkapan Jawa disertai artinya.
Bahasa yang digunakan mampu menghidupkan suasana, sehingga mampu membawa pembaca serasa larut dalam cerita. Terutama bahasa Jawa
logat Jawa yang digunakan tokoh untuk berdialog. Selain itu, terdapat bahasa lain seperti bahasa Belanda dan Bahasa Jepang untuk menunjukkan
masa pemerintahan pada saat itu. Melalui novel Para Priyayi, pembaca Indonesia yang berlatar
belakang bukan Jawa akan dapat mengenal dan memahami sebagian kehidupan sosial budaya Jawa. Tingkah laku tokoh-tokoh dalam novel
tersebut sarat akan nilai sosial. Mereka mengikatkan diri dengan penuh kesadaran terhadap aturan kelembagaan masyarakat Jawa.
B. Tinjauan Eksternal
1. Biografi Umar Kayam
Umar Kayam lahir di Ngawi, Jawa Timur, pada tanggal 30 April 1932.Ia memperoleh gelar Ph. D di Cornell University dengan tesis mengenai
problem koordinasi pembangunan masyarakat Indonesia. Sejak menjadi mahasiswa di Universitas Gajah Mada ia telah aktif dalam berbagai kegiatan
kesenian. Namun baru mulai menulis karya-kar ya sastra pada tahun 1960‟an
ketika berada di New York. Pada tahun 1968, cerita pendeknya “Seribu
Kunang- kunang di Manhattan” dinilai sebagai cerpen terbaik yang dimuat
dalam majalah Horison.
1
Dalam dialog santai dengan A.S. Laksana dkk, dua bulan sebelum meninggal, Umar Kayam sempat mengisahkan masa kecilnya, kegemaran
membaca yang terkondisi sejak kecilnya, dan awal kepengarangannya. Umar Kayam berasal dari keluarga guru. Ayahnya seorang guru
Hollands Inlands School HIS; sekolah dasar untuk anak-anak priyayi yang menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen pada saat pemerintahan kolonial
Belanda di Mangkunegoro, Surakarta. Di sekolah dasar itu, ia sekelas dengan Wiratmo Soekito
—Budayawan yang kelak terkenal sebagai konseptor Manifes Kebudayaan
—yang dipanggilnya sebagai Kliwir. Keragaman membaca buku secara dini diperolehnya dari ayahnya yang mempunyai
perpustakaan pribadi. Waktu di MULO sekarang SMP, secara sembunyi- sembunyi karenatakut dimarahi ibunya
– ia telah banyak membaca roman- roman yang seharusnya baru boleh dibaca setelah ia dewasa, seperti novel
Margaret Mitchel Gone with the Wind yang sudah ada terjemahannya dalam bahasa Belanda pada saat itu. Ia bisa menikmati novel yang mengisahkan
perang saudara di Amerika Serikat itu. walaupun secara jujur ia mengatakan bahwa banyak yang tidak dipahaminya ketika itu.
2
Kayam memulai dunia kesenian sejak SMP dengan giat di bidang drama, sastra, dan koran dinding. Saat ia di sekolah dasar ada keharusan untuk
membaca dongeng-dongeng, dan ada pelajaran bercerita di depan kelas dalam bahasa Belanda. Diakuinya pendidikan Belanda itu memang baik, teratur, dan
disiplin. Di kelas lima HIS, ia sudah menguasai bahasa Belanda. Sehari- harinya, bersama orang tuanya ia berbicara dalam bahasa Jawa halus kromo
campur Belanda. Bahasa Melayu dalam waktu itu bukan bahasa sehari-hari.Ia
1
DBB,Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, HarianBerita Buana, Jakarta, 14 Juli1987, h. 4.
2
B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 1-2.