Penelitian yang Relevan KAJIAN TEORI

membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh wibawa. Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama- lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji. Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab, tapi Soenandar justru menghamili anak penjual tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip. Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi. Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih tergolong keluarga dari Sastrodarsono. Keluarga Sastrodarsono perlahan berhasil membangun keluarga priyayi mereka sendiri. Kelahiran tiga anak mereka, yaitu Noegroho, Hardojo dan Soemini menambah lengkap keluarga priyayi mereka. Semua anak mereka pun sukses mengikuti jejak Sastrodarsono menjadi seorang priyayi. Noegroho yang menjadi Guru HIS kemudian banting setir ikut PETA pada zaman pendudukan Jepang, dan kemudian pindah menjadi perwira TNI pada zaman kemerdekaan. Hardojo, menjadi seorang abdi Mangkunegaran dan menantunya Harjono suami Soemini seorang Asisten Wedana. Sastrodarsono, adalah anak tunggal Mas Atmokasan seorang anak petani desa Kedung Simo. Sebelumya ia hanya bekerja sebagai guru bantu di Ploso. Dengan jabatan guru bantu itu, berarti Sastrodarsono adalah orang pertama dalam keluarganya yang berhasil menjadi priyayi. Sastrodarsono dijodohkan dengan Ngaisah yang nama aslinya Aisah putri tunggalnya seorang mantri candu di Jogorogo. Dik Ngaisah, begitu ia memanggil istrinya, ia seorang istri yang mumpunyai lengkap akan kecakapan dan keprigelannya bukan hanya pandai mamasak ia juga memimpin para pembantu di dapur, karena memang sejak lahir ia sudah menjadi anak priyayi dibandingkan dengan Sastrodarsono yang baru akan menjadi priyayi. Sepeninggalannya Mbah putrid, kesehatan Eyang kakung semakin memburuk yang sampai akhirnya ia meninggal dunia. Dalam upacara sambutan selamat tinggal untuk Sastrodarsono, semua anggota keluarga Sastrodarsono tidak ada yang berani memberikan pidato kata-kata terakhir. Akhirnya Lantip yang dijadikan wakil dari keluarga besar Sastrodarsono yang menyampaikan pidato selamat jalan itu. Lantip, meskipunia adalah anak haram hasil hubungan Soenandar dan ibu kandungnya, Ngadiyem, tetapi sesungguhnya dialah yang telah berhasil menjadi seorang priyayi yang sebenarnya. Terlihat dari ketulusan dan kesediaannya membantu para anggota keluarga Sastrodarsono. Namun, ia tak bangga dengan semua itu. Cerita pun ditutup dengan peristiwa Lantip mengajak calon istrinya yang bernama Halimah ke makam Embok dan Embahnya dengan perasaan yang bahagia.

2. Gambaran Umum Novel Para Priyayi

Novel Para Priyayi karya Umar Kayam dengan 308 halaman yang diterbitkan pada tahun 1992 ini menggambarkan warna-warni kehidupan tokoh-tokohnya yang berlatar kehidupan Jawa. Novel ini menceritakan realita kehidupan tokoh-tokohnya mengenai kehidupan keluarga besar priyayi Jawa dan masalah-masalah yang ada didalamnya. Keluarga ini adalah keluarga Sastrodarsono. Sastrodarsono adalah seorang anak petani desa yang berjuang hidup untuk membangun keluarga besar priyayi. Berkat kesetiaan ayahnya menggarap sawah Ndoro Seten, seorang priyayi Kedungsimo, ia disekolahkan dan berhasil mengantongi beslit guru bantu. Melalui dunia pendidikan itulah ia masuk golongan para priyayi. Pandangan hidup yang dimulai dari hal yang sangat sederhana, yaitu sebagai guru bantu ternyata membuahkan hasil yang tak terduga. Mimpinya membangun keluarga priyayi, disertai dengan keuletan, taat pada orang tua dengan sikap orang jawa yang ikut, nurut, dan manut ternyata dapat terwujud. Ia merupakan gambaran pria jawa yang selalu patuh, mulai dari perjodohannya dengan seorang gadis sampai pada kesabaran dan ketelatenannya menjalani karir dan juga berumah tangga. Perjuangan menaiki tangga priyayi yang dibangun oleh Satrodarsono tidak selamanya berjalan sesuai keinginannya. Perjuangannya mulai luntur pada generasi anak cucunya. Mereka sudah mulai tergilas arus modernisasi. Akan tetapi, di sisi yang lain, keluarga Sastrodarsono berhasil menemukan priyayi yang sesungguhnya, yaitu Lantip. Ia adalah seorang lelaki yang tidak berdarah priyayi, namun memiliki jiwa priyayi yang sebenarnya. Dalam konteks kebudayaan Jawa, kata priyayi digunakan untuk menyebut orang-orang yang terhormat atau disegani dalam masyarakat. Dalam konteks ini, semua guru, pejabat atau pemerintah bisa juga disebut