Gambaran Umum Novel Para Priyayi

Kunang- kunang di Manhattan” dinilai sebagai cerpen terbaik yang dimuat dalam majalah Horison. 1 Dalam dialog santai dengan A.S. Laksana dkk, dua bulan sebelum meninggal, Umar Kayam sempat mengisahkan masa kecilnya, kegemaran membaca yang terkondisi sejak kecilnya, dan awal kepengarangannya. Umar Kayam berasal dari keluarga guru. Ayahnya seorang guru Hollands Inlands School HIS; sekolah dasar untuk anak-anak priyayi yang menyiapkan priyayi-priyayi gubernemen pada saat pemerintahan kolonial Belanda di Mangkunegoro, Surakarta. Di sekolah dasar itu, ia sekelas dengan Wiratmo Soekito —Budayawan yang kelak terkenal sebagai konseptor Manifes Kebudayaan —yang dipanggilnya sebagai Kliwir. Keragaman membaca buku secara dini diperolehnya dari ayahnya yang mempunyai perpustakaan pribadi. Waktu di MULO sekarang SMP, secara sembunyi- sembunyi karenatakut dimarahi ibunya – ia telah banyak membaca roman- roman yang seharusnya baru boleh dibaca setelah ia dewasa, seperti novel Margaret Mitchel Gone with the Wind yang sudah ada terjemahannya dalam bahasa Belanda pada saat itu. Ia bisa menikmati novel yang mengisahkan perang saudara di Amerika Serikat itu. walaupun secara jujur ia mengatakan bahwa banyak yang tidak dipahaminya ketika itu. 2 Kayam memulai dunia kesenian sejak SMP dengan giat di bidang drama, sastra, dan koran dinding. Saat ia di sekolah dasar ada keharusan untuk membaca dongeng-dongeng, dan ada pelajaran bercerita di depan kelas dalam bahasa Belanda. Diakuinya pendidikan Belanda itu memang baik, teratur, dan disiplin. Di kelas lima HIS, ia sudah menguasai bahasa Belanda. Sehari- harinya, bersama orang tuanya ia berbicara dalam bahasa Jawa halus kromo campur Belanda. Bahasa Melayu dalam waktu itu bukan bahasa sehari-hari.Ia 1 DBB,Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, HarianBerita Buana, Jakarta, 14 Juli1987, h. 4. 2 B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 1-2. les bahasa Melayu sore hari. Baru pada masa pendudukan tentara Jepanglah bahasa Indonesia diwajibkan secara intensif sebagai bahasa pengantar. Ia mulai belajar mengarang saat duduk di SMA bagian A Bahasa di Yogyakarta. Awalnya, karena memenuhi tugas pelajaran dengan tema-tema yang diberikan oleh gurunya. Bersama teman-teman sekelasnya, seperti Nugroho Notosusanto dan Daoed Joesoef dua-duanya pernah menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Umar Kayam mendapat tugas mengelola majalah dinding sekolah. Di majalah dinding itulah Umar Kayan dan tema-temannya mengekspresikan tulisannya dalam bentuk puisi katanya yang paling banyak, cerpen, esai, dan pembicaraan karya-karya pengarang, seperti Tagore, S. Takdir Alisjahbana, Amir Hamzah, dan Chairil Anwar. 3 Umar Kayam melanjutkan pendidikan di Fakultas Pedagogi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Ia ruang kemahasiswaan “Universitaria” di RRI Nusantara II Yogyakarta yang berisi berita dan kegiatan mahasiswa dan mendirikan majalah mingguan bertajuk Minggu. Minatnya terhadap dunia pers ini kelak akan tersalurkan lewat kolom rutinnya di halaman depan yang diterbitkan di harian Kedaulatan Rakyat setiap hari Selasa sejak 12 Mei 1987 sampai dengan pertengahan tahun 2000. Kolom Kedaulatan Rakyatmenarik minat banyak pembaca kerena dituturkan dengan singkat, penuh humor cerdas, canda, tidak ngotot, kadang secara tidak langsung menyampaikan sendirian, protes, usul, nasihat, dan sebagainya. Kolom ini akhirnya dikumpulkan dan diterbitkan kembali menjadi 4 buah buku. Tahun 1955 Umar Kayam menyelesaikan sarjana muda-nya, lalu bekerja di Jakarta beberapa tahun. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Amerika Serikat, memperoleh gelar Master of Educationdari Newyork University School of Education 1963, dan akhirnya memperoleh gelar 3 Ibid., h. 2-3. Doctor of Philosophy di Cornell University dengan disertasi berjudul “Aspect of Interdepartmental Coordination Problems in Indonesian Community Development” 1965. Sepulangnya dari Amerika Serikat, oleh Presiden Soeharto ia ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan RI 1966-1969; kemudian ia terpilih untuk menggantikan Trisno Sumardjo 1969-1972 sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan selama itu pula ia merangkap sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ; sekarang Institut Kesenian Jakarta, IKJ di Jakarta, di samping sebagai anggota Board of Trustee International Broadcast Institute yang berpusat di Roma, Italia selama dua tahun. Jabatan lainnya yang pernah diemban adalah Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, Ujungpandang 1975-1976, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan di UGM 1977-1997, dosen pascasarjana UGM, dan dosen kontrak di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 1998- 2001. Ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Sastra UGM dengan pidato bertajuk “Transformasi Budaya Kita” yang diucapkannya di depan rapat senat terbuka Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989, dan pamit pensiun dalam seminar untuk Umar Kayam sehubungan dengan purnabakti sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM, 11-12 Juli 1997. 4 Umar Kayam juga pernah bermain film dan sinetron, antara lain dalam film Karmilayang disutradarai oleh Ami Priyono, memerankan Bung Karno dalam film Pengkhianatan G-30-SPKI dengan sutradara arifin C. Noer, dan berperan sabagai Pak Bei dalam sinetron yang diangkat dari novel Arswendo Atmowiloto yang berjudul Canting. 4 Ibid., h. 4-5