Pengertian Nilai Sosial Nilai Sosial

manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama. 32 Teori Interaksi Simmel adalah teori yang mengkaji masalah hubungan antarpribadi interpersonal. Penjelasan Simmel tentang interaksi adalah sebagai berikut: 1 Masyarakat terbentuk dari jaringan relasi-relasi antarorang, sehingga mereka merupakan satu kesatuan. Dalam jaringan relasi tersebut terjadi aksi dan reaksi yang tak terbilang banyaknya, sehingga masyarakat merupakan proses dinamis yang ditentukan oleh perilaku anggotanya, 2 Jaringan relasi-relasi itu tidak sama sifatnya. Artinya dari jaringan relasi tersebut, dapat terbentuk komunitas asosiasi, bahkan ada tendensi, ada pergeseran dari pola relasi afektif dan personal menjadi fungsional dan rasional, 3 Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi dan harmonis, tetapi dapat pula terjadi kritik, oposisi, konflik, dan lain-lain. Bagi strukturasi sosial yang sehat, maka kritik, oposisi, persaingan sama-sama diperlukan, sebagaimana halnya kesesuaian paham, persahabatan, dan partisipasi. Keduanya, baik hal negatif maupun positif menurut pandangan sepintas sebenarnya mempunyai efek positif dalam proses interaksi. Tindakan yang dianggap negatif menurut individu- individu, sebenarnya mempunyai akibat positif bagi keseluruhan relasi yang ada dalam masyarakat atau organisasi, 4 Frekuensi interaksi dan kadar interaksi bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Semakin penting hal yang mempertemukan orang dalam relasi timbal balik, semakin cepat relasi-relasi itu dilembagakan. Pada intinya Simmel memandang masyarakat sebagai produk dari proses interaksi individu-individu. Terjadinya interaksi akibat dorongan-dorongan dan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga akibatnya ada kesatuan sosial yang sifatnya dapat lama atau sementara. Tujuan dan dorongan itu sendiri bukan sosial tetapi sebagai isi 32 M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2001, Cet. IV, h. 122. sosialisasi. Proses sosialisasi itu sendiri terdapat dalam bentuk-bentuk yang berupa interaksi. 33 Individu barulah individu apabila pola perilakunya yang khas di dirinya itu diproyeksikan pada suatu lingkungan sosial yang disebut masyarakat. Kekhasan atau penyimpangan dari pola perilaku kolektif menjadikannya individu, menurut relasi dengan lingkungan sosialnya yang bersifat majemuk serta simultan. Dari individu dituntut kemampuan untuk membawa dirinya secara konsisten, tanpa kehilangan identitas nilai etisnya. Relevan dengan relasi-relasi sesaat antara dirinya dengan berbagai perubahan lingkungan sosialnya. Satuan-satuan lingkungan sosial yang melingkari individu terdiri dari keluarga, lembaga, komunitas, masyarakat, dan nasion. Individu mempunyai “karakteristik” yang setiap kali berbeda fungsinya, struktur, peranan, dan proses-proses yang berlangsung di dalam dirinya. Posisi, peranan, dan tingkah lakunya diharapkan sesuai dengan tuntutan setiap satuan lingkungan sosial dalam situasi tertentu. Relasinya bersifat kompleks dan menjadi sasaran berbagai disiplin ilmu, tetapi diperoleh gambaran mengenai relasi individu dengan lingkungan sosialnya sebagai berikut.

1. Relasi Individu dengan Dirinya

Merupakan masalah khas psikologi. Di sini muncul istilah-istilah Ego, Id, dan Superego serta dipersonalisasikan apabila relasi individu dengan dirinya adalah seperti dengan orang asing saja, dan sebagainya. Dalam diri seseorang terdapat tiga sistem kepribadian yang disebut Id atau “es” jiwa ibarat gunung es di tengah laut, Ego atau “aku”, dan Superego atau uber ich. Id adalah wadah dalam jiwa seseorang, berisi dorongan primitif dengan sifat temporer yang selalu menghendaki agar segera dipenuhi atau dilaksanakan demi kepuasan. Contohnya, seksual dan libido. Ego bertugas melaksanakan dorongan-dorongan Id, tidak bertentangan dengan kenyataan dan tuntutan dari Superego. Ego dalam tugasnya berprinsip pada kenyataan relative principle. 33 Ibid., h. 56. Superego berisi kata hati atau conscience, berhubungan dengan lingkungan sosial, dan punya nilai-nilai moral sehingga merupakan control terhadap dorongan yang datang dari Id. Karena itu ada semacam pertentangan antara Id dan Superego. Bila Ego gagal menjaga keseimbangan antara dorongan dari Id dan larangan dari Superego, maka individu akan mengalami konflik batin yang terus menerus. Untuk itu perlu kanalisasi melalui mekanisme pertahanan. Demikian psikoanalisa sebagai teori kepribadian yang dikemukakan oleh Sigmund Freud 1856-1939, sarjana berkebangsaan Jerman.

2. Relasi Individu dengan Keluarga

Individu memiliki relasi mutlak dengan keluarga. Ia dilahirkan dari keluarga tumbuh, dan berkembang untuk kemudian membentuk sendiri keluarga batinnya. Terjadi hubungan dengan ibu, ayah, dan kakak-adik. Dengan orang tua, dengan saudara-saudara sekandung, terjalin relasi biologis yang disusul oleh relasi psikologis dan sosial pada umumnya. Peranan-peranan dari setiap anggota keluarga merupakan resultan dari relasi biologis, psikologis, dan sosial. Relasi khusus oleh kebudayaan lingkungan keluarga dinyatakan melalui bahasa adat-istiadat, kebiasaan, norma-norma, bahkan nilai-nilai agama sekalipun.

3. Relasi Individu dengan Lembaga

Lembaga diartikan sebagai norma-norma yang berintegrasi di sekitar suatu fungsi masyarakat yang penting. Oleh karena itu, ada segi kultural berupa norma-norma dan nilai-nilai, dan ada segi strukturalnya berupa berbagai peranan sosial. Berfungsi dalam integrasi dan stabilitas karena lembaga sosial merupakan keutuhan tatanan perilaku manusia dalam kebersamaan hidup. Tumbuhnya individu ke dalam lembaga-lembaga sosial berlangsung melalui proses sosialisasi karena lembaga disadari dan mempunyai arti sebagai realitas-realitas objektif. Posisi dan peranan individu dalam lembaga