pemahaman terhadap peristiwa-peristiwa yang memiliki pengaruh terhadap jalan cerita.
4 Latar
“The overall setting of a narrative or dramatic work is general
locale, historical time, and social circumstance in which its action occurs; the setting of a single episode or scene within such a work is
the particular physical location in which it takes place.”
22
Abrams mengemukakan bahwa latar cerita adalah tempat umum, waktu
kesejarahan, dan kebiasaan masyaratkat dalam setiap episode atau bagian-bagian tempat. Menurutnya, latar atau setting disebut juga
sebagai landasan tumpu, menyaran pada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa
yang diceritakan.
23
Akan tetapi, tidak semua novel menonjolkan ketiga latar tempat, waktu, maupun sosial. Mungkin dalam sebuah cerita
yang paling menonjol adalah latar waktu maupun tempat dan ada kalanya yang menonjol adalah latar sosial.
5 Sudut Pandang
Sudut pandang merupakan strategi, teknik, atau siasat yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan
ceritanya.
24
Dari sinilah pengarang menampilkan tokoh dalam cerita yang dipaparkannya. Dengan demikian, segala sesuatu yang
dikemukakan oleh pengarang disalurkan melalui sudut pandang tokoh. Ada banyak jenis sudut pandang, tetapi semuanya tergantung
dari mana sudut pandang tersebut dilakukan. Jenis sudut pandang yang peneliti gunakan berdasarkan pemaparan Nurgiyantoro. Berikut ini
adalah jenis-jenis sudut pandang.
22
M. H. Abrams, A Glossary of Literary Terms, Boston: Heinle Heinle, 1999, h. 284.
23
Burhan Nurgiyantoro, Teori Pengkajan Fiksi, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2000, h. 216.
24
Ibid., h. 248.
a Sudut pandang persona ketiga: “Dia”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebut nama, atau kata ganti orang. Dalam sudut pandang persona ketiga “Dia”
dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Dia” mahatahu narator mengetahui segalanya dan serba tahu dan “Dia”
terbatas atau hanya sebagai pengamat narator mengetahui segalanya, namun terbatas hanya pada seorang tokoh.
b Sudut pandang persona pertama: “Aku”
Pengisahan cerita yang menggunakan sudut pandang ini terletak pada seorang narator yang ikut terlibat dalam cerita.
Dalam sudut pandang persona pertama “Aku” dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu “Aku” tokoh utama dan “Aku”
tokoh tambahan. c
Sudut pandang campuran Penggunaan sudut pandang ini lebih dari satu teknik.
Pengarang dapat berganti-ganti dari teknik yang satu ke teknik yang lain. Semua itu tergantung pada kemauan pengarang
untuk menciptakan sebuah kreativitas dalam karyanya.
6 Gaya Bahasa
“Figurative language is a conspicuous departure from what the users of a language apprehend as the standard meaning of words,
or else the standard order of words, in order to achive some special meaning or effect.”
25
Abrams mengemukakan bahwa gaya bahasa adalah cara pengarang menggunakan bahasa agar kata-kata yang
standar dapat mencapai makna khusus. Gaya bahasa pada suatu karya
25
Abrams, Op. Cit., h. 96.
sastra biasanya menggunakan pilihan kata yang mengandung makna padat, relektif, asosiatif, bersifat konotatif, dan dipadu dengan kiasan
dan majas, sehingga terwujudlah kalimat yang menunjukkan adanya variasi dan harmoni.
7 Amanat
Amanat adalah gagasan yang mendasari karya sastra; pesan yang ingin disampaikan kepada pembaca atau pendengar.
26
Amanat merupakan ajaran moral atau pesan didaktis yang hendak disampaikan
pengarang kepada pembaca melalui karyanya itu.
27
Amanat merupakan makna yang terkandung dalam sebuah karya dan tertuang
secara tersirat dalam cerita. Melalui amanat dalam cerita, biasanya pengarang menuangkan pandangan hidupnya.
C. Nilai Sosial
1. Pengertian Nilai Sosial
Kehidupan bersama manusia baik sebagai makhluk pribadi maupun makhluk sosial selalu dilandasi aturan-aturan tertentu. Oleh karena itu,
manusia tidak bisa berbuat dan bertindak semaunya. Aturan-aturan ini diciptakan dan disepakati bersama untuk mencapai ketentraman dan
kenyamanan hidup bersama dengan orang lain. Aturan-aturan itu dipakai sebagai ukuran, patokan, anggapan, serta keyakinan tentang sesuatu itu baik,
buruk, pantas, janggal, asing, dan seterusnya. Aturan-aturan ini yang biasa
kita sebut dengan istilah nilai.
Nilai merupakan sesuatu yang menarik bagi kita, sesuatu yang kita cari, sesuatu yang menyenangkan, sesuatu yang disukai dan diinginkan,
singkatnya, sesuatu yang baik. Menurut perkataan bagus filsuf Jerman- Amerika, Hans Jonas, nilai adalah the address of a yes,
“sesuatu yang
26
Wahyudi Siswanto, Pengantar Teori Sastra, Jakarta: Grasindo, 2008, h. 162.
27
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, Bandung: Yrama Widya, 2012, h. 71.
ditujukan dengan „ya‟ „kita”. Memang, nilai adalah sesuatu yang kita iyakan atau aminkan. Nilai selalu mempunyai konotasi positif. Sebaliknya, sesuatu
yang kita jauhi, sesuatu yang membuat kita melarikan diri —seperti
penderitaan, penyakit, atau kematian —adalah lawan dari nilai, adalah “non-
nilai” atau disvalue, sebagaimana dikatakan orang Inggris. Ada juga beberapa filsuf yang menggunakan di sini istilah “nilai negatif”, sedangkan nilai dalam
arti tadi mereka sebut “nilai positif”.
28
Kluckhohn, seorang antropolog yang banyak membahas mengenai nilai-nilai, menyatakan bahwa suatu nilai merupakan C. Kluckhohn 1951:
395 “A conception, explicit or implicit, distinctive of individual or
characteristic of a group, of the desirable, which influences the section from available modes, means and ens action
.”
29
Kata “nilai” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti sifat-sifat hal-hal yang penting atau berguna bagi kemanusiaan. Nilai adalah
sesuatu yang menyempurnakan manusia sesuai dengan hakikatnya; berhubungan erat dengan etika. Kata “nilai” diartikan sebagai harga, kadar,
mutu atau kualitas.
30
Maka, sesuatu harus memiliki sifat-sifat yang penting dan bermutu atau berguna bagi kemanusiaan dan menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya.
Kata “sosial” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai arti berkenaan dengan masyarakat.
31
Maka, segala hal yang berhubungan dengan masyarakat, seperti suka memperhatikan kepentingan umum, suka menolong,
dan menderma dapat disebut sebagai sosial.
28
K. Bertens, ETIKA, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama: 1993, h. 149.
29
Soerjono Soekanto, Pribadi dan Masyarakat Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung: Alumni, 1983, h. 160.
30
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 963.
31
Ibid., h. 1331.
Nilai sosial adalah nilai yang dianut oleh suatu masyarakat, mengenai apa yang dianggap baik dan apa yang dianggap buruk oleh masyarakat. Untuk
menentukan sesuatu itu dikatakan baik atau buruk, pantas atau tidak pantas harus melalui proses menimbang. Dengan ukuran itu, suatu masyarakat akan
tahu mana yang baik atau buruk, benar atau salah, dan boleh atau dilarang. Nilai sosial yang terbukti langgeng dan tahan zaman akan membaku menjadi
sistem nilai budaya. Hal ini tentu sangat dipengaruhi oleh kebudayaan yang
dianut masyarakat. Oleh karena itu, terdapat perbedaan tata nilai antara
masyarakat yang satu dengan masyarakat yang lain.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa nilai sosial merupakan hal-hal yang bersifat penting dan berguna bagi kemanusiaan yang berkaitan
dengan kehidupan masyarakat. Setiap masyarakat sebagai sebuah kehidupan bersama tentulah memiliki berbagai aturan atau kesepakatan yang luhur untuk
mengatur berlangsungnya kehidupan bersama. Kehidupan bersama tentu juga memiliki sesuatu yang dijunjung tinggi, dihormati, serta ditaati oleh seluruh
anggota masyarakatnya. Di sisi lain ada juga sesuatu yang dilarang untuk dilakukan dan harus dijauhi oleh anggota masyarakat. Sesuatu tersebut secara
umum disebut sebagai nilai sosial.
D. Teori Interaksi Simmel
Manusia tercipta sebagai makhluk pribadi sekaligus juga makhluk sosial. Sebagai makhluk pribadi, manusia berjuang untuk memenuhi kebutuhannya agar
dapat bertahan hidup. Dalam memenuhi kebutuhannya tersebut manusia tidak dapat hidup sendiri. Manusia memerlukan orang lain untuk mencapai tujuannya. Itulah
sebabnya manusia berinteraksi dengan manusia lainnya sebagai makhluk sosial. Para ahli, seperti Maclver, J.L. Gillin, dan J.P.Gillin sepakat bahwa adanya
saling bergaul dan interaksi karena mempunyai nilai, norma, cara-cara, dan prosedur yang merupakan kebutuhan bersama sehingga masyarakat merupakan kesatuan hidup
manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat tertentu yang bersifat kontinyu dan terikat oleh suatu rasa identitas bersama.
32
Teori Interaksi Simmel adalah teori yang mengkaji masalah hubungan antarpribadi interpersonal. Penjelasan Simmel tentang interaksi adalah sebagai
berikut: 1 Masyarakat terbentuk dari jaringan relasi-relasi antarorang, sehingga mereka merupakan satu kesatuan. Dalam jaringan relasi tersebut terjadi aksi dan
reaksi yang tak terbilang banyaknya, sehingga masyarakat merupakan proses dinamis yang ditentukan oleh perilaku anggotanya, 2 Jaringan relasi-relasi itu tidak sama
sifatnya. Artinya dari jaringan relasi tersebut, dapat terbentuk komunitas asosiasi, bahkan ada tendensi, ada pergeseran dari pola relasi afektif dan personal menjadi
fungsional dan rasional, 3 Dalam jaringan relasi tidak selamanya terbentuk integrasi dan harmonis, tetapi dapat pula terjadi kritik, oposisi, konflik, dan lain-lain. Bagi
strukturasi sosial yang sehat, maka kritik, oposisi, persaingan sama-sama diperlukan, sebagaimana halnya kesesuaian paham, persahabatan, dan partisipasi. Keduanya, baik
hal negatif maupun positif menurut pandangan sepintas sebenarnya mempunyai efek positif dalam proses interaksi. Tindakan yang dianggap negatif menurut individu-
individu, sebenarnya mempunyai akibat positif bagi keseluruhan relasi yang ada dalam masyarakat atau organisasi, 4 Frekuensi interaksi dan kadar interaksi
bervariasi ada yang tinggi dan ada yang rendah. Semakin penting hal yang mempertemukan orang dalam relasi timbal balik, semakin cepat relasi-relasi itu
dilembagakan. Pada intinya Simmel memandang masyarakat sebagai produk dari proses
interaksi individu-individu. Terjadinya interaksi akibat dorongan-dorongan dan tujuan-tujuan tertentu. Sehingga akibatnya ada kesatuan sosial yang sifatnya dapat
lama atau sementara. Tujuan dan dorongan itu sendiri bukan sosial tetapi sebagai isi
32
M. Munandar Soelaeman, Ilmu Sosial Dasar Teori dan Konsep Ilmu Sosial, Bandung: PT Refika Aditama, 2001, Cet. IV, h. 122.