Doctor of Philosophy di Cornell University dengan disertasi berjudul “Aspect
of Interdepartmental Coordination Problems in Indonesian Community Development” 1965.
Sepulangnya dari Amerika Serikat, oleh Presiden Soeharto ia ditunjuk menjadi Direktur Jenderal Radio, Televisi, dan Film Departemen Penerangan
RI 1966-1969; kemudian ia terpilih untuk menggantikan Trisno Sumardjo 1969-1972 sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta, dan selama itu pula ia
merangkap sebagai Rektor Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta LPKJ; sekarang Institut Kesenian Jakarta, IKJ di Jakarta, di samping sebagai
anggota Board of Trustee International Broadcast Institute yang berpusat di Roma, Italia selama dua tahun. Jabatan lainnya yang pernah diemban adalah
Direktur Pusat Latihan Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Hasanuddin, Ujungpandang 1975-1976, Direktur Pusat Penelitian Kebudayaan di UGM
1977-1997, dosen pascasarjana UGM, dan dosen kontrak di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta 1998-
2001. Ia dikukuhkan menjadi Guru Besar Fakultas Sastra UGM dengan
pidato bertajuk “Transformasi Budaya Kita” yang diucapkannya di depan
rapat senat terbuka Universitas Gadjah Mada, 19 Mei 1989, dan pamit pensiun dalam seminar untuk Umar Kayam sehubungan dengan purnabakti
sebagai guru besar Fakultas Sastra UGM, 11-12 Juli 1997.
4
Umar Kayam juga pernah bermain film dan sinetron, antara lain dalam film Karmilayang disutradarai oleh Ami Priyono, memerankan Bung Karno
dalam film Pengkhianatan G-30-SPKI dengan sutradara arifin C. Noer, dan berperan sabagai Pak Bei dalam sinetron yang diangkat dari novel Arswendo
Atmowiloto yang berjudul Canting.
4
Ibid., h. 4-5
Umar Kayam, disamping seorang sastrawan, adalah seorang budayawan. Sebagai sastrawan ia telah menulis beberapa karya sastra, antara
lain, Seribu Kunang-Kunang di Manhattan Kumpulan Cerpen, Sri Sumarah dan Bawuk, dua novel pendek dalam satu buku, Parta Krama Kumpulan
Cerpen, Para Priyayi, dan Jalan Menikung. Sementara itu, sebagai seorang budayawan ia telah menghasilkan beberapa kumpulan tulisan mengenai seni
dan budaya yang antara lain terkumpul dalam Mangan Ora Mangan Kumpul, Sugih Tanpa Banda, Madhep Ngalor Sugih, Madhep Ngidul Sugih,
Perubahan Nilai dalam Islam, dan Seni dan Tradisi dalam Masyarakat.
5
Umar Kayam menikah dengan Roosliana Hanum, 1 Maret 1959, dikaruniai dua orang putri, yang sulung bernama Sita Aripurnami dan si
Bungsu Wulan Anggraeni. Ia meninggal dunia di Jakarta menjelang usianya yang genap 70 tahun, Sabtu, 16 Maret 2002, dan dimakamkan di Tempat
Pemakaman Umum Karet, Jakarta.
2. Karya-karya Umar Kayam
Dalam karya-karyanya yang berlatar Amerika, Umar Kayam bertutur sebagai pengamat. Umar Kayam mulai menulis cerpen dengan agak teratur
ketika ia tugas belajar di Amerika Serikat. Begitu tugas belajar selesai dan pulang ke tanah air, muncullah cerpen pertamanya di majalah Horison, No. 4
Tahun I, 1966 berjudul “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”. Cerpen ini terpilih sebagai cerpen terbaik majalah Horison19661967. Cerpen ini sangat
populer sehingga oleh Yayasan Obor Indonesia 1999 diterbitkan dalam terjemahan 13 bahasa daerah yang masih hidup di Indonesia dalam rangka
Program Pemetaan Bahasa Nusantara 1999. Setelah kumpulan cerpennya “Seribu Kunang-kunang di Manhattan”,
Umar Kayam menerbitkan kumpulan cerita panjang “Bawuk dan Sri
Sumarah”. Cerpen-cerpennya ini menceritakan tentang kejiwaan dan
5
Acep Iwan Saidi, Matinya Dunia Sastra Biografi Pemikiran Tatapan Terberai Karya Sastra Indonesia, Jakarta: Pilar Media, 2006, h. 112.
pergolakan batin wanita-wanita Jawa, dan telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling. Dua cerpennya yang terakhir ini
diterbitkan kembali pada tahun 1986, dengan ditambah beberapa cerpen lainnya yang terbaru seperti “Kimono Biru untuk Istriku”, bukunya yang
terakhir inilah yang mengantarkan Umar Kayam menjadi pemenang SEA Write Award 1987.
6
Umar Kayam pernah menulis buku kanak-kanak Totok dan Toni 1975
.Dua noveletnya yang berjudul “Sri Sumarah” dan “Bawuk” pernah diterbitkan menjadi satu buku dengan judul Sri Sumarah dan Bawuk1975.
Akan tetapi, akhirnya disatukan dengan kumpulan cerpennya Seribu Kunang- kunang di Manhattan 1972 ke dalam judul Sri Sumarah dan Cerita Pendek
lainnya 1986. Tiga cerpennya, yaitu “Seribu Kunang-kunang di
Manhattan”.“Bawuk”, “Musim Gugur Kembali di Connecticut”, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan dimuat dalam antologi Harry
Aveling ed. From Surabaya to Armagedon 1976. Cerpen-cerpennya yang lain juga sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Harry Aveling
dan diterbitkan di Singapura dengan judul Sri Sumarah and other stories 1976.
Kumpulan cerpennya yang lain adalah Parta Krama 1997 yang diterbitkan dalam rangka ulang tahunnya yang ke-65, dan Lebaran di Karet,
di Karet ... 2002 yang diterbitkan setelah Umar Kayam meninggal. Ia juga menulis dua buah novel yang berjudul Para Priyayi 1992, dan Jalan
Menikung Para Priyayi 2 1999. Para Priyayi sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Sebagai sastrawan, tahun 1987 ia memperoleh Hadiah Sastra
ASEAN.
7
6
DBB, Umar Kayam Memenangkan SEA Write Award 1987, Harian Berita Buana, Jakarta, 14 Juli 198, h. 4.
7
B. Rahmanto, Umar Kayam: Karya dan Dunianya, Jakarta: PT Grasindo, 2004, h. 5-6.
Umar kayam dalam peta kesusastraan Indonesia mencuat namanya karena cerpen panjangnya “Sri Sumarah” dan “Bawuk” serta beberapa cerpen
lainnya yang dimuat di majalah Horison. Melalui cerpen-cerpennya ia berhasil mengangkat kultur Jawa dengan sangat meyakinkan. Begitu pula dengan
novelnya, yaitu Para Priyayi. Novel Para Priyayi menghadirkan kebudayaan Jawa melalui tokoh-tokohnya yang sangat kental dengan citra priyayinya.
Karya Umar Kayam yang berbentuk buku nonfiksi, antara lain Seni, Tradisi, Masyarakat 1981 dan The Soul of Indonesian, A Culture Journey
yang diterbitkan oleh Louisiana University Press yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Semangat Indonesia: Suatu
Perjalanan Budaya 1985. Selain menjadi kolumnis di beberapa surat kabar dan majalah, kolom-kolomnya yang sangat digemari pembaca di harian
Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta. Kolom-kolomnya yang secara rutin hadir setiap hari Selasa, akhirnya diterbitkan secara berseri dengan judul Mangan
Ora Mangan Kumpul 1990, Sugih Tanpa Banda 1994, Madhep Ngalor sugih, Madhep Ngidul Sugih 1998, dan Satrio Piningit ing Kampung Pingit
2000. Sebelum wafatnya, Umar Kayam masih sempat menerbitkan hasil penelitiannya pada tahun 1993-1995 tentang wayang kulit dan dibukukan
dengan2 judul Kelir Tanpa Batas 2001.
8
3. Pandangan Hidup Umar Kayam
Umar Kayam, disamping seorang sastrawan, adalah seorang budayawan. Dua predikat yang disandang Kayam tersebut tidak bertolak
belakang, tetapi keduanya merupakan satu kesatuan yang sulit dipisahkan. Melalui karya sastra, ia menuangkan pemikiran-pemikirannya mengenai
kebudayaan dan sebaliknya, gagasan-gagasan besarnya mengenai kebudayaan dapat dilihat dalam nilai-nilai yang terdapat dalam tulisannya.
8
Ibid., h. 6.
Ia berpandangan terhadap para penulis bahwa seorang penulis mempunyai tugas sosialnya sendiri. tugas ini bukan memimpin, bukan
mewejang karena dia bukan seorang pendeta atau kyai, bukan „menyelamatkan dunia‟ karena dia bukan seorang nabi. Menurutnya, tugas
seorang penulis adalah sederhana: bercerita dengan jujur, pada tempatnya dan indah”.
Ia tidak alergi terhadap kebudayaan asing. Kebudayaan Indonesia adalah “… kemajemukan budaya dan kreativitas kita „memainkan‟
kemajemukan kita itu. Ini berarti bahwa kita mesti bersedia memiliki „bidang
bahu yang selebar- lebarnya‟ dalam menyediakan ruang gerak yang bebas
untuk mengembangkan „kepribadian bangsa‟ yang akan muncul bersama kultur kita yang majemuk dinamis itu”.
9
Kayam dengan semangat sosialnya selalu mengikhtiarkan seni tradisi yang kini baur dengan timbulnya seni kontemporer yang elitis hingga
k esenian rakyat makin terpencil dan kesenian klasik “kraton” menjadi
kesenian salon, maka ia menghimbau: “Sudah waktunya kreativitas dipahami dalam konteks perkembangan masyarakat. “Sudah waktunya „strategi
pengembangan kesenian‟ mengacu kepada kaitan kreativitas seni dengan perkembangan masyarakat”.
Salah satu pandangannya mengenai kebudayaan adalah masalah transformasi. Kayam berpandangan bahwa nilai-nilai budaya yang
berkembang di masyarakat terbentuk melalui proses transformasi. Melalui tulisannya, Transformasi Budaya Kita, Kayam mengandaikan transformasi
sebagai suatu proses pengalihan total dari suatu bentuk baru yang akan mapan. Transformasi dapat pula dibayangkan sebagai suatu proses yang lama
9
Diro Aritonang, Doktor Umar Kayam Budayawan yang Tangguh, Harian Pikiran Rakyat, Bandung, 30 Oktober 1982, h. 7.