Pembelajaran sastra dapat ditingkatkan lagi dengan pendidikan melalui sastra. Melalui sastra, kita dapat mengembangkan peserta didik dalam hal keseimbangan
antara spiritual, emosional, etika, logika, estetika, dan kinestetika; pengembangan kecakapan hidup; belajar sepanjang hayat; serta pendidikan keseluruhan dan
kemitraan. Selain itu, dengan pendidikan sastra, peserta didik tidak hanya diajak untuk memahami dan menganalisis berdasarkan bukti nyata yang ada dalam karya
sastra dan kenyataan yang ada di luar karya sastra, tetapi juga diajak untuk megembangkan sikap positif terhadap karya sastra. Pendidikan semacam ini akan
mengembangkan kemampuan berpikir, sikap, dan kemampuan peserta didik. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pembelajaran sastra bertujuan
untuk menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, menyeimbangkan pengembangan kecerdasan spiritual, emosional, intelektual, dan kinestetika peserta didik.
F. Penelitian yang Relevan
Pada penelitian ini penulis menggunakan novel Para Priyayi sebagai objek penelitian. Peneliti menggunakan pendekatan sosiologi sastra dalam mengkaji objek
penelitian. Sebelumnya ada beberapa penelitian lain yang dapat dijadikan perbandingan dan penelitian yang relevan. Penelitian yang relevan dengan penelitian
ini adalah sebagai berikut.
Skripsi Atik Hendriyati 2009 dengan judul penelitian “Kajian Intertekstual
dan Nilai Pendidikan dalam Novel Canting Karya Arswendo Atwomiloto dengan Para Priyayi
Karya Umar Kayam”. Berdasarkan analisis Atik Hendriyati, hubungan intertekstual antara Canting dan Para Priyayi merupakan karya hipogram, yaitu karya
yang melatarbelakangi penciptaan karya selanjutnya, sedangkan Para Priyayi disebut karya transformasi karena mentransformasikan teks-teks yang menjadi hipogramnya.
Persamaan kedua novel ini terdapat dalam beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu maupun sosial.
Perbedaannya terdapat pada nilai yang dianalisis. Penelitian ini meneliti mengenai nilai pendidikan, yaitu nilai pendidikan dalam sikap atau tindakan, yaitu nilai-nilai
yang diperoleh dan dapat dicontoh dari sikap atau tindakan para tokoh dalam cerita. Selain itu, nilai pendidikan disampaikan melalui ungkapan atau pepatah dari para
tokohnya yang mengandung ajaran moral yang tinggi.
38
Kedua, skripsi Permadi Hendra Lesmana 2013 “Perubahan Ideologi
Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di
SMA”. Berdasarkan hasil analisis Permadi Hendra Lesmana, perubahan ideologi yang terdapat dalam Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam
dikelompokkan menjadi enam, yaitu 1 Perubahan Ideologi Kayam terkait pernikahan, 2 Perubahan ideologi Kayam terkait sudut pandang agama lain dalam
menilai Islam, 3 Perubahan ideologi Kayam terkait sikap kepada penguasa, 4 Perubahan ideologi terkait sikap orang tua ditunjukan oleh tokoh utama yang
sebelumnya tidak memberikan restu pernikahan beda agama menjadi sebaliknya, 5 Perubahan ideologi terkait menyikapi kebudayaan Jawa, sebelumnya Kayam
menjadikan budaya Jawa sebagai panduan kehidupan dan kemudian hanya menjadi seni hiburan saja, 6 Perubahan ideologi terkait konsep perselingkuhan, sebelumnya
perselingkuhan hanya dianggap sebagai hiburan dan perselingkuhan itu sendiri tidak pernah terjadi pada tokoh utama tetapi kemudian menjadi sebaliknya, perselingkuhan
menjadi kebutuhan dan benar-benar terjadi.
39
Persamaan penelitian ini dengan kedua penelitian relevan di atas adalah sama- sama meneliti mengenai beberapa aspek, yaitu tema, alur, penokohan dan
perwatakan, dan latar, baik tempat, waktu, maupun sosial. Perbedaannya adalah penelitian ini menganalisis nilai sosial, sedangkan kedua penelitian relevan di atas
meneliti mengenai nilai pendidikan dan perubahan ideologi.
38
Atik Hendriyati, “Kajian Intertekstual dan Nilai Pendidikan Novel Canting Karya Arswendo Atmowiloto dengan Para Priyayi
Karya Umar Kayam”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Sebelas Maret, Purwakarta, Purwakarta, 2009, tidak dipublikasikan.
39
Permadi Hendra Lesmana, “Perubahan Ideologi Kepriyayian Jawa: dari Tradisi ke Modern
dalam Novel Para Priyayi dan Jalan Menikung Karya Umar Kayam serta Implikasinya terhadap Pembelajaran Sastra di SMA”, Skripsi pada Strata 1 Universitas Islam Negeri, Jakarta, Jakarta, 2013,
tidak dipublikasikan.
33
BAB III TINJAUAN NOVEL DAN BIOGRAFI PENGARANG
A. Tinjauan Internal
1. Sinopsis Novel Para Priyayi
Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono
saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di kota Wanagalih. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya Desa Wanalawas yang hanya
beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe. Rupanya tempe
buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Buktinya kemudian tempe Embok itu jadi langganan keluarga tersebut.
Lantip selalu ikut membantu menyiapkan dagangan tempe, dan ikut menjajakan nya berjalan di samping atau di belakang Mboknya menyelusuri
jalan dan lorong kota. Lantip ingat bahwa dalam perjalan itu sengatan terik matahari Wanagalih. Wanagalih memang terkenal sangat panas dan rasa haus
yang benar-benar mengeringkan tenggorokan. Sekali waktu Lantip pernah merengek kepada Emboknya untuk dibelikan jajanan. Dengan ketus
Emboknya menjawab dengan “Hesy Ora usah”, dan Lantip pun terdiam. Lantip tahu Emboknya, meskipun murah hati juga sangat hemat dan tegas.
Dia akan lebih senang bila kami melepas haus di sumur pojok alun-alun atau bila beruntung dapat sekedar air teh di rumah langganan Emboknya. Salah
satu langganan Emboknya yang murah hati itu adalah keluarga Sastrodarsono. Mereka dipanggil oleh keluarga Sastrodarsono. Mereka menyebutnya dengan
“Ndoro Guru” dan “Ndoro Guru Putri”. Waktu mereka melihat Embok datang
membawa Lantip, Ndoro Guru menanyakan dengan nada suara sangatlah ulem-nya dan penuh wibawa.
Sejak itu rumah keluarga Sastrodarsono menjadi tempat persinggahan mereka, hubungan mereka dengan keluarga itu menjadi akrab, bahkan lama-
lama rumah itu menjadi semacam rumah kedua bagi mereka. Tetapi sangatlah tidak pantas rumah gebyok itu terlalu besar dan bagus untuk dikatakan rumah
kedua mereka bila disejajarkan dengan rumah mereka yang terbuat dari gedek atau anyaman bambu di desa Wanalawas. Juga bila diingat bahwa rumah itu
adalah rumah milik seorang priyayi, seorang mantri guru sekolah desa, yang pada zaman itu mempunyai kedudukan cukup tinggi di mata masyarakat
seperti Wanagalih. Mantri guru sudah jelas didudukan masyarakat dan pemerintah sebagai priyayi, ia punya jabatan dan juga punya gaji.
Suatu ketika Soedarsono yang telah berganti nama menjadi Sastrodarsono, mengutus Soenandar untuk mengurus sekolah yang
didirikannya di Wanalawas, diharapkan agar Soenandar lebih mandiri dan dapat bertanggung jawab, tapi Soenandar justru menghamili anak penjual
tempe dan kabur. Lahirlah Wage yang kemudian diboyong ke wanagalih, dirawat dan disekolahkan, kemudian diganti namanya menjadi Lantip.
Wanagalih adalah sebuah ibukota kabupaten. Kota itu lahir sejak pertengahan abad ke-19. Di kota itu Lantip sering teringat akan Mbah guru Sastrodarsono
yang selalu memberikan nasihat pada seisi rumah setiap kali ia pulang dari pertemuan pagi.
Semenjak Lantip mengetahui perihal ayahnya, ia merasa kecewa dan malu karena ia hanya anak jadah dan haram meskipun jelas bapaknya tetapi
tidak mau menikah dengan Emboknya. Ternyata bapaknya adalah gerombolan perampok. Selain itu juga sekarang Lantip mengerti mengapa
keluarga Sastrodarsono sangat memperhatikan kehidupannya dan Ngadiyem Emboknya, karena Soenandar, yang ayahnya Lantip itu, adalah masih
tergolong keluarga dari Sastrodarsono.