Tema Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi

suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan citra tokoh dalam cerita disebut penokohan. Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer, tokoh sekunder bawahan, dan tokoh komplementer tambahan. a. Lantip Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan Satenan di Wanagalih. Dalam bahasa Jawa, nama ini punya makna yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Nama anakmu akan kami ganti. Nama Wage rasanya kok kurang pantes buat anak sekolah. Saya usul namanya diganti Lantip. Lantip artinya cerdas, tajam otaknya. Bagaimana?” 4 “Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian, menghidupkan.” 5 Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menciptakan tokoh dengan nama yang indah sesuai dengan karakternya. Seperti “Lantip”, maka ia betul-betul seperti itu dalam ceritanya. Benar-benar tajam otaknya, cerdas. Dia selalu menjadi juru selamat tatkala anak-anak dan cucu-cucu Sastrodarsono terkena musibah. Karena kepintarannya juga, dia dengan mudah lulus dari UGM, dan menjadi dosen. Dia juga dengan luwes dan berhasil menyesuaikan diri dalam etika kepriyayian. Lantip direpresentasikan sebagai priyayi ideal. Dalam ceritanya pun, Lantip nyaris tidak mengalami konflik. 4 Ibid., h. 20. 5 Rene Wellek Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, Jakarta: Gramedia, 1989, h. 287. Sebelumnya Lantip tinggal bersama Emboknya di desa Wanalawas yang hanya beberapa kilometer dari kota Wanagalih. Hubungan Embok Lantip dengan keluarga Sastrodarsono itu dimulai dari penjualan tempe keliling. Rupanya tempe buatan Embok Lantip itu berkenan di hati keluarga Sastrodarsono. Hingga akhirnya keluarga Sastrodarsono menjadi pelanggan tetap tempe Emboknya Lantip. Selain itu, Lantip diminta tinggal di Setenan dan disekolahkan oleh Sastrodarsono dan Ngaisah. Lantip sangat bersyukur atas kesempatan yang ia peroleh. Hal ini dapat dilihat pada kutipan ber ikut, “Saya tidak membayangkan apa-apa. Saya sudah merasa bersyukur mendapat kesempatan bersekolah, diongkosi, mendapat tempat berteduh lagi di Setenan.” 6 Lantip merupakan tokoh primer. Tokoh primer merupakan tokoh utama dalam sebuah cerita. Ia menjadi tokoh penting, karena semua cerita terfokus dan tertuju kepadanya sentral. Dalam novel Para Priyayi, Lantip menjadi tokoh yang cukup banyak mengambil bagian dalam cerita. Ia juga berfungsi sebagai pengantar cerita dari tokoh satu kepada tokoh yang lain. Dalam novel diceritakan bahwa Lantip menjadi tokoh yang paling dominan, karena tahapan kehidupan Lantip diceritakan secara tuntas dari awal cerita hingga akhir cerita. Selain karena tahapan kehidupan Lantip yang diceritakan secara tuntas, ia juga menjadi sentral dari penyampaian tema cerita yang tergambar dalam setiap tahapan yang dilaluinya. Tahapan-tahapan tersebut dapat dilihat pada kutipan-kutipan di bawah sebagai berikut. Tahap pertama kehidupan Lantip digambarkan telah menjadi priyayi agung Jakarta. Kemudian, diceritakan keadaan Lantip pada 6 Kayam, Op. Cit., h. 28. masa kanak-kanak dengan ibunya yang berjualan tempe. Lantip diceritakan belum mengetahui ayah kandungnya. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Ayah saya... wah, saya tidak pernah mengenalnya. Embok selalu mengatakan ayah saya pergi jauh untuk mencari duit.” 7 Setelah ibunya meninggal, Lantip diberi tahu oleh Pak Soeto, Dukuh Wanalawas, mengenai ayah kandungnya. Lantip akhirnya tahu bahwa ia adalah anak jadah haram antara ngadiyem dan Soenandar, yang tidak lain adalah keponakan Sastrodarsono. Mulai saat itu ia tahu bahwa ibunya mengenal keluarga Sastrodarsono bukan suatu kebetulan, karena jiwa besar dan baktinya kepada keluarga Sastrodarsono yang ternyata adalah Embah Kakungnya, ia pun telah mengerti dan berjanji tidak akan sakit hati ketika Sastrodarsono marah, kemudian memaki Lantip dengan sebutan anak gento ataupun anak maling. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “Dan Embah Guru yang penuh humor itu akan seketika berubah menjadi makhluk yang lain sekali. Menakutkan. “Guoblok Disuruh minta uang saja tidak bisa. Dasar anak gento, anak maling cecrekan ….” Begitulah umpat se rapah itu.” 8 “Dan panjenengan Ndoro Guru Kakung miwah putri. Apa yang dapat saya katakan selain rasa terima kasih saya yang tulus dan utang budi yang tidak akan mungkin lunas hingga akhir hayat saya. Saya akan kembali ke Wanagalih, ke dalem Setenan, ke bawah perlindunganmu, berbakti kepada seluruh keluargamu. Umpatanmu yang sekali- sekali kau lontarkan, “anak maling, perampok, gerombolan kecu”, tidak akan mungkin menyakiti saya lagi. Bahkan sebaliknya akan memperkokoh semangat saya untuk menjunjung keluarga Sastrodarsono.” 9 7 Ibid., h. 11. 8 Ibid., 9 Ibid., h. 134.