11
BAB II KAJIAN TEORI
A. Sosiologi Sastra
1. Pengertian Sosiologi Sastra
Sosiologi sastra adalah cabang penelitian sastra yang bersifat reflektif. Penelitian ini melihat sastra sebagai cermin kehidupan masyarakat. Asumsi
dasar penelitian sosiologi sastra adalah kelahiran sastra tidak lahir dalam kekosongan sosial. Kehidupan sosial menjadi pemicu lahirnya karya sastra.
Karya sastra yang berhasil atau sukses, yaitu yang mampu merefleksikan
zamannya.
Ilmu sosiologi berkembang menjadi ilmu yang benar-benar otonom, meninggalkan kesusastraan yang dianggap sebagai bidang rumit dengan
definisi yang sangat tidak pasti, dan yang dilindungi oleh semacam rasa hormat manusiawi.
1
Dalam bukunya yang berjudul The Sociology of Literature, Swingewood 1972 dalam Faruk 1994 mendefinisikan sosiologi sebagai
studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat, studi mengenai lembaga-lembaga dan proses-proses sosial. Sosiologi berusaha
menjawab pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup,
2
sedangkan sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tak lepas dari akar kemasyarakatannya.
3
1
Robert Escarpit, Sosiologi Sastra Penerjemah Ida Sundari Husen, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005, h. 8-9.
2
Faruk, Pengantar Sosiologi Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1994, h. 1.
3
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Sastra, Epistemologi, Model, Teori, dan Aplikasi, Yogyakarta: CAPS, 2013, h. 78.
Seperti halnya sosiologi, sastra berurusan dengan manusia dan masyarakat: usaha manusia untuk menyesuaikan diri dan usahanya untuk
mengubah masyarakat itu. Dalam hal isi, sesungguhnya sosiologi dan sastra berbagi masalah yang sama.
4
Perbedaan antara keduanya adalah sosiologi melakukan analisis ilmiah yang objektif, sedangkan novel menyusup menembus permukaan kehidupan
sosial dan menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya.
5
Dengan demikian, Objek studi sastra adalah ekspresi kehidupan manusia yang tidak terlepas dari akar masyarakat di sekitarnya, sedangkan
objek studi sosiologi adalah manusia. Penelitian sosiologi sastra banyak membahas tentang kaitan pengarang
dengan kehidupan sosialnya. Keduanya dapat saling melengkapi dalam kaitan
cabang ilmu sosiologi sastra. Meskipun sosiologi dan sastra adalah dua
cabang ilmu yang mempunyai perbedaan tertentu dan dianggap rumit, namun sosiologi dan sastra memperjuangkan masalah yang sama. Keduanya
berurusan dengan masalah manusia dan masyarakat dalam proses-proses
sosialnya dalam kehidupan.
Ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan mengapa sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat dan dengan demikian harus diteliti
dalam kaitannya dengan masyarakat sebagai berikut.
a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita,
disalin oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota masyarakat.
4
Sapardi Djoko Damono, Sosiologi Sastra Sebuah Pengantar Ringkas, Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1979, h. 10.
5
Ibid., h. 11.
b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek
kehidupan yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh masyarakat.
c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan, dipinjam melalui
kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung masalah-masalah kemasyarakatan.
d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat, dan tradisi
yang lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etika, bahkan juga logika. Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap tiga aspek
tersebut. e.
Sama dengan
masyarakat, karya
sastra adalah
hakikat intersubjektivitas, masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu
karya.
6
Di antara genre utama karya sastra, yaitu puisi, prosa, dan drama, genre prosalah, khususnya novel, yang dianggap paling dominan dalam
menampilkan unsur-unsur sosial. Alasan yang dapat dikemukakan di antaranya: a novel menampilkan unsur-unsur cerita paling lengkap, memiliki
media yang paling luas, menyajikan masalah-masalah kemasyarakatan yang juga paling luas, b bahasa novel cenderung merupakan bahasa sehari-hari,
bahasa yang paling umum digunakan dalam masyarakat. Oleh karena itu, dikatakan bahwa novel merupakan genre yang paling sosiologis dan responsif,
karena sangat peka terhadap fluktuasi sosiohistoris.
7
Dengan demikian, dipilihlah novel Para Priyayi karya Umar Kayam sebagai objek penelitian. Novel Para Priyayi dipilih karena mampu mewakili
perjuangan hidup manusia dalam mobilitas sosial sebuah keluarga di lingkungan masyarakat pada waktu itu. Selain itu, Para Priyayi memiliki
6
Nyoman Kuta Ratna, Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007, h. 332-333.
7
Ibid., h. 335-336.
unsur-unsur cerita
yang lengkap,
menyajikan masalah-masalah
kemasyarakatan yang luas dengan bahasa sehari-hari yang sederhana dan yang paling umum digunakan dalam masyarakat Jawa. Gaya penulisannya
sederhana, bernarasi Jawa yang akrab, mudah dicerna dengan kritik-kritik yang segera mengajak pembaca membuat perenungan yang sebenarnya
memiliki kandungan makna dan filosofi kehidupan. Selain budaya pewayangan yang banyak diekspos dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam
juga menghadirkan nilai-nilai kehidupan sosial para tokoh yang sangat mencerminkan masyarakat sosial pada umumnya.
B. Novel
1. Pengertian Novel
Karya sastra merupakan sarana pendidikan yang memiliki bermacam- macam bentuk, seperti puisi, cerpen, novel, dan lain-lain. Dalam hal ini,
penulis memfokuskan pada salah satu karya sastra, yaitu novel.
Kata novel berasal dari kata Latin novellus yang diturunkan pula dari kata novies
yang berarti “baru”. Dikatakan baru karena bila dibandingkan dengan jenis-jenis sastra lainnya seperti puisi, drama, dan lain-lain.
8
Kata “novel” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia memiliki arti karangan prosa yang panjang yang mengandung rangkaian cerita kehidupan
seseorang dengan orang-orang di sekelilingnya dengan menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku.
9
Novel adalah karya imajinatif yang mengisahkan sisi utuh atas problematika kehidupan seseorang atau beberapa orang tokoh.
10
8
Henry Guntur Tarigan, Prinsip-prinsip Dasar sastra, Bandung: Angkasa, 2001, h. 167.
9
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Edisi Keempat, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008, h. 969.
10
E. Kosasih, Dasar-dasar Keterampilan Bersastra, Bandung: Yrama Widya, 2012, Cet. I, h. 60.