Selanjutnya bangsa Barat, antara lain Inggris, Portugis, dan Belanda pun menyusul berdatangan ke Indonesia. Maka sekali lagi transformasi budaya
terjadi, yakni menyebarnya budaya Barat yang secara otomatis dibawa oleh bangsa-bangsa tersebut.
Kayam menawarkan beberapa kriteria perilaku, yakni terbuka kompromis dan dialogis, luwes, dan kreatif. Kayam mengatakan bahwa
sikap ini adalah “perintah historis”. Ia telah lama dimiliki oleh nenek moyang kita. Ketika Hindu dan Budha datang dengan budaya Indiannya, yang terjadi
bukan Indianisasi, melainkan Indonesianisasi atau Jawanisasi dalam konteks kebudayaan Jawa. Yang menarik dari transformasi itu, menurut Kayam,
adalah nampaknya bahasa “perintah historis” yang agaknya selalu mengingatkan
pada nenek
moyang kita
untuk pandai-pandai
memperhitungkan serta memanfaatkan kondisi geografis, geoekonomis, serta geopolitik dari kepulauan kita. Bahasa tersebut mengisyaratkan idiom luwes,
lentur, adaptable, dan kreatif dalam menghadapi berbagai budaya luar. Dari sikap tersebut terciptalah suatu hasil yang mengagumkan sebagaimana
ungkapan berikut ini. Kebudayaan yang terbentuk di Sriwijaya, Mataram I, Singasari,
Majapahit, Aceh, Makasar, Bone, Kemudian Mataram II, dan sebelumnya Demak dan Pajang adalah contoh-contoh dari hasil dialog
budaya dengan agama-agama Budha, Hindu, dan Islam. Dialog
budaya tersebut manghasilkan, baik arsitektur “dalam” seperti seni memerintah, pertunjukan, tari, kesusastraan, dan berbagai macam seni
ritual yang kaya dan canggih.
Karena sikap terbuka, luwes, dan kreatif tersebut, konflik-konflik budaya dapat dihindarkan meskipun budaya yang datang mengikis habis
hegemoni politik dan kekuasaan pada saat transformasi terjadi di Demak. Untuk hal ini Kayam memberi contoh transformasi Islam yang terjadi di
Demak. Menurutnya, meskipun Demak muncul untuk menggantikan hegemoni Majapahit dalam bidang politik, ekonomi, dan budaya, ia
memberikan satu indikator adanya transformasi yang tidak menimbulkan konflik-konflik sosial, transformasi itu berjalan melalui penyebaran gagasan
dan ide.
11
Cara pandang tersebut ternyata bukan sebatas retorika, melainkan juga melekat dalam perilakunya. Ia adalah seorang Islam abangan, Islam yang
unsur Jawanya sangat kental, Islam yang merupakan hasil dialog terbuka dengan budaya Jawa. Dengan perkataan lain, Islam abangan adalah Islam
hasil transformasi budaya yang kompromis. Jika sebuah cara pandang terhadap sesuatu telah menjadi jalan hidup, sebagai seorang sastrawan,
terbuka peluang besar bagi kawan untuk mengemukakan gagasan-gagasannya tersebut melalui karya-karyanya.
12
Demikianlah inti dari gagasan Kayam mengenai transformasi budaya.Dari gagasannya tersebut dapat ditemukan bagaimana sikap Kayam
dalam “memandang dunia”. Cara pandangnya yang terbuka dalam arti kompromis dan dialogis dengan diimbangi oleh kreativitas adalah sikap
mendasar Kayam dalam menyikapi transformasi budaya yang terjadi di masyarakat, dalam hal ini terutama budaya Jawa tempat ia dilahirkan, hidup,
dan bergaul secara intens, baik melalui media literer maupun interaksi langsung sebagai manusia Jawa.
11
Ibid., h. 115.
12
Ibid., h. 117.
49
BAB IV PEMBAHASAN DAN ANALISIS NILAI SOSIAL
A. Unsur-unsur Intrinsik dalam Novel Para Priyayi
1. Tema
Setiap novel mengandung gagasan pokok atau sering disebut dengan tema. Tema merupakan gagasan pokok dalam sebuah cerita. Sebuah karya
sastra, seperti novel tentulah tidak terlepas dengan adanya tema. Selain karena tema adalah sebuah topik dalam cerita, tema juga merupakan gagasan dasar
yang menunjang sebuah karya sastra dan yang terkandung di dalam teks, sehingga tema sering menjadi kiblat untuk menentukan konflik dalam
rangkaian peristiwa.
Tema yang diangkat dalam novel Para Priyayi karya Umar Kayam mengenai perubahan status sosial. Bagaimana perjuangan hidup untuk
mengubah status sosial demi membangun satu generasi priyayi yang berusaha diwujudkan oleh seorang anak petani yang sebagai pemula telah berhasil
menjadi priyayi. Tema ini menonjol pada kutipan di bawah ini. “Hari itu saya, Soedarsono, anak tunggal Mas Atmokasan, petani Desa
Kedungsimo, pulang dari Madiun dengan berhasil mengantongi beslit guru bantu di Ploso. Guru bantu. Itu berarti sayalah orang pertama
dalam keluarga besar kami yang berhasil menjadi priyayi, meskipun priyayi yang paling rendah tingkatnya. Itu tidak mengapa. Yang
penting kaki saya sudah melangkah masuk jenjang priyayi.
”
1
Sastrodarsono, nama aslinya Soedarsono adalah anak Atmokasan seorang petani desa Kedungsimo yang berhasil menempuh pendidikan dengan
baik sehingga diangkat menjadi guru bantu di Ploso. Itulah awal kepriyayiannya, meski priyayi yang paling rendah tingkatannya. Dia
1
Umar Kayam, Para Priyayi Sebuah Novel, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 2011, Cet. XIII, h. 32.
mengawali karir priyayinya dengan menjadi guru bantu hingga akhirnya naik pangkat dan menjadi priyayi sungguhan. Ia membangun keluarga besar
priyayi. Para Priyayi karya Umar Kayam menampilkan kehidupan sosok
priyayi dari berbagai perspektif kepriyayian. Priyayi merupakan sebuah takdir, karena terlahir dari rahim perempuan priyayi. Akan tetapi, priyayi juga
dapat diperoleh dari sebuah proses pendidikan dan pemerolehan jabatan pemerintahan. Novel Para Priyayi menunjukkan hal ini. Status kepriyayian
diungkapnya. Seperti apa sebenarnya kehidupan priyayi, bagaimana seorang priyayi seharusnya berperilaku di masyarakat, dan bagaimana jika priyayi
tidak memiliki etika idealnya seorang priyayi. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut, “… Beberapa tahun lagi, kalau saya rajin dan setia kepada
gupermen, saya akan menjadi guru penuh sekolah desa. Itu akan lebih memantapkan kedudukan saya sebagai priyayi, sebagai abdi gupermen. Dan
kalau saya sudah menjadi mantri guru, wah, itu sudah boleh dikatakan menjadi priyayi yang terpandang.”
2
Masalah pendidikan pun ikut menentukan status sosial dan mengangkat martabat seseorang dalam masyarakat. Pendidikan ikut
menentukan kepriyayian seseorang, dan kesanggupannya mengejawantahkan status kepriyayian itu dalam kehidupan ini, terutama pertanggungjawabannya
dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“... semangat kerukunan dan persaudaraan itu yang terpenting ...semangat pengabdian kepada masyarakat wong cilik. ... perjalanan
mengabdi pada masyarakat banyak, terutama wong cilik, tidak akan ada habisnya.
”
3
Priyayi adalah sebuah status sosial yang dianggap terhormat di masyarakat, yang tidak semua orang dapat menyandang status tersebut.
2
Ibid.,
3
Ibid., h. 333-335.
Keluarga priyayi harus bisa menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang priyayi agar keturunannya tidak keluar dari konsep “kepriyayian”, namun
faktanya banyak keluarga priyayi yang tidak mampu menjaga harkat dan martabatnya sebagai seorang priyayi. Justru orang yang berasal dari keturunan
wong cilik, dengan usahanya dapat mencapai status priyayi dan mampu menjaga sikap dan perilakunya layaknya seorang priyayi.
Perjuangan priyayi sejati demi mengayomi keluarga dan rakyat kecil ini ditunjukkan oleh Lantip. Lantip yang merupakan anak hasil hubungan di
luar nikah antara Ngadiyem dan Soenandar, keponakan Sastrodarsono, tampil sebagai pahlawan. Lantip mampu menyelesaikan permasalahan anak-cucu
Sastrodarsono dan menjadi priyayi yang sebenarnya. Bukan sekedar priyayi yang terhormat, tetapi bagaimana sesungguhnya menjadi seorang priyayi yang
mriyayeni atau mengayomi rakyat kecil. Dengan demikian, dalam novel Para Priyayi digambarkan bahwa
status priyayi tidak mutlak milik darah biru saja, melainkan lebih merupakan sebuah proses pencapaian. Lantip dan Sastrodarsono merupakan tokoh yang
mengemban proses menjadi priyayi. Keduanya bukan berasal dari keluarga priyayi, melainkan hanya wong cilik yang hidup di desa. Hanya saja dengan
usaha, ketrampilan, kecakapan, dan keberuntungan keduanya mencapai tingkatan priyayi.
Setelah menganalisis tema yang merupakan unsur yang paling penting dan dominan dalam unsur intrinsik, selanjutnya peneliti akan menganalisis
tokoh dan penokohan.
2. Tokoh dan Penokohan
Tokoh dan penokohan merupakan dua hal yang paling berkaitan dalam unsur intrinsik pada sebuah cerita rekaan. Keduanya menjadi saling terikat
dan tidak dapat dipisahkan dalam sebuah pembahasan. Tokoh adalah pelaku yang memegang peran sebuah peristiwa dalam cerita rekaan sehingga terjalin
suatu cerita, sedangkan cara sastrawan menampilkan citra tokoh dalam cerita disebut penokohan.
Ditinjau dari peranan dan keterlibatan dalam cerita, tokoh dapat dibedakan atas tokoh primer, tokoh sekunder bawahan, dan tokoh
komplementer tambahan. a.
Lantip Lantip, nama aslinya adalah Wage karena lahir pada hari Sabtu
Wage. Nama Lantip itu adalah sebuah nama pemberian dari keluarga Sastrodarsono saat Lantip tinggal di keluarga itu, yaitu di jalan
Satenan di Wanagalih. Dalam bahasa Jawa, nama ini punya makna yang sangat istimewa. Hal ini dapat dilihat pada kutipan berikut,
“Nama anakmu akan kami ganti. Nama Wage rasanya kok kurang pantes buat anak sekolah. Saya usul namanya diganti Lantip. Lantip
artinya cerdas, tajam otaknya. Bagaimana?”
4
“Bentuk penokohan yang paling sederhana adalah pemberian nama. Setiap sebutan adalah sejenis cara memberi kepribadian,
menghidupkan.”
5
Dalam novel Para Priyayi, Umar Kayam menciptakan tokoh dengan nama yang indah sesuai dengan
karakternya. Seperti “Lantip”, maka ia betul-betul seperti itu dalam
ceritanya. Benar-benar tajam otaknya, cerdas. Dia selalu menjadi juru selamat tatkala anak-anak dan cucu-cucu Sastrodarsono terkena
musibah. Karena kepintarannya juga, dia dengan mudah lulus dari UGM, dan menjadi dosen. Dia juga dengan luwes dan berhasil
menyesuaikan diri dalam etika kepriyayian. Lantip direpresentasikan sebagai priyayi ideal. Dalam ceritanya pun, Lantip nyaris tidak
mengalami konflik.
4
Ibid., h. 20.
5
Rene Wellek Austin Warren, Teori Kesusastraan Terjemahan dari Theory of Literature oleh Melani Budianta, Jakarta: Gramedia, 1989, h. 287.