76
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan
Diskursus mengenai dakwah politik tidak dapat terlepas dari hubungan antara konsep Islam, Politik dan Komunikasi. Islam, karena dakwah tidak terlepas dari
anjuran yang biasanya memuat konten- konten aqidah yang terkendung dalam Qur’an
maupun Sunnah, selain itu objek dan subjek dalam dakwah adalah suatu masyarakat Islam dan permasalhan yang dihadapi umat Islam, Sedangkan unsur politiknya, ialah
terjadinya perebutan kekuasaan dan kompetisi pengaruh dalam menancapkan ideologi, dan komunikasi, karena mengandung unsur yang terpadu dalam disiplin
ilmu komunikasi, yaitu, komunikator, pesan, dan komunikan. Dakwah adalah kegiatan yang mulia, karena bertujuan untuk mengantarkan
manusia pada gerbang peradaban yang dirahmati oleh Allah, hanya saja ketika pemeran ataupun pelaku dakwah tersebut mendapatkan justification dari beberapa
kalangan masyarakat yang menganut atapun berseberangan secara ideologi dengan kelompok masyarakat lain yang berdasarkan pada ideologi-ideologi religius tertentu.
Stigmatisasi yang melekat dala m diri PDI Perjuangan sebagai “punggawa”
sekulerisme dalam tatanan sosio-politik di Indonesia olleh kelompok politik maupun sosial tertentu, tentunya akan membawa konsekuensi dari masyarakat awam yang
mudah tersulut oleh isu-isu sensitif yang dihawatirkan akan merusak krediblitas agama, seperti isu sekulerisme, liberalisme maupun pluralisme.
Bamusi yang sebetulnya jika ditinjau secara administratif maupun redaksional dari penggunaan nama “Baitul Muslimin Indonesia”, sekilas orang akan memandang
bahwa organisasi tersebut bercorakan Islam, seperti halnya corak Islam yang melekat pada organsisasi-organsisasi Islam lainnya, seperti, Hizbut Tahrir, Forum Umat Islam
FUI, Muhammadiyah, NU, ataupun bahkan FPI. Namun, perbedaan disini muncul dibandingkan dengan Ormas-Ormas Islam lainnya.
Pandangan Islam rahmatan lil alamin yang di kontekstualisasikan dalam kontekng kebangaan dan ke Indnesiaan, mencirikan perbedaan yang menonjol
dibanding ormas lainnya, yang memang jika kita bandingakan dengan HTI yang membawa khilafah sebagai jualan atau tagline dakwahnya, ataupun FPI yang
mensuarakan Syariat dalam sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Tapi tentunya, dakwah yang dilakukan oleh Hizbut Tahrir dan FPI tersebut tidak bisa kita
tidak abaikan bahwa dakwah tersebut juga dakwah politik. Unsur-unsur yang mengandung isu politik, berupa kekuasaan, sistem hukum dan pemerintajhan, bahkan
usaha untuk merebut pengaruh dan simpati masyarakat untuk mengambil sikap tertentu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan kaidah-kaidah yang
mereka anjurkan. Itu adalah suatu program politis yang sangat kasat mata, meskipun tidak mengambil langkah ataupun meebur kedalam sistem politik kepartaian seperti
halnya Bamusi. Selain dari pada spirit yang diusungnya menunjukan corak yang berbeda
bahkan kontra, perbedaan yang lainnya dan unik adalah, kelompok-kelompok personalia dalam Bamusi, jika mengacu pada pendapat Cliford Gertz, yang
mengkasifikasikan masyarakat Indonesia kedalam tiga klasifikasi, yaitu. Pertama, Santri, yaitu masyarakat yang berlatar belakang dari pendidikan maupun religius
seperti pondok pesantren dan madrasah. Kedua, priyayi, ialah masyarakt yangberlatar belakangkan sesuai kasta sosial yang tinggi, orang yang berasal dari latar belakang
keluarga keraton, dari keluarga bangsawan ataupun penguasa, dianggap sebagai masyarakat yang semi feodal. dan Ketiga, abangan, yaitu masyarakat yang tidak
memiliki atar belakang pesantren santri, madrasah ataupun dari kalangan bangsawan, keraton priyayi, secara umum kelompok ini disebut kelompok kasta
bawah. Hal ini tentunya, bukan karena stigmatisasi yang melekat pada Bamusi, melainkan ini sudah menjadi sterotip terhadap individu-individu maupun basis
masssa dari PDI Perjuangan. Sehingga Bamusi mencoba menghadirkan sebuah warna baru dari pola-pola
dakwah yang mains tream dalam berdakwah, Dan dakwah politik memang dibutuhkan dalam usaha untuk membendung stigma, ataupun dalam usaha untuk
mendukung dan mensukseskan agenda politik tertentu. Namun, hal ini memicu suatu pergolakan
baru dalam “dakwah”, sehingga muncul perbedaan makna bahkan nilai dari setiap dakwah politik yang dilakukan oleh
beberapa orang ataupun kelompok. Politisasi dakwah di Indonesia diperluas secara signifikan oleh konflik-konflik ideologis yang melibatkan sistem keagamaan dan
keyakinan politik.