Kesimpulan Strategi Dakwah Politik Baitul Muslimin Indonesia Dalam Meningkatkan Dukungan Politik Pdi Perjuangan
mengkasifikasikan masyarakat Indonesia kedalam tiga klasifikasi, yaitu. Pertama, Santri, yaitu masyarakat yang berlatar belakang dari pendidikan maupun religius
seperti pondok pesantren dan madrasah. Kedua, priyayi, ialah masyarakt yangberlatar belakangkan sesuai kasta sosial yang tinggi, orang yang berasal dari latar belakang
keluarga keraton, dari keluarga bangsawan ataupun penguasa, dianggap sebagai masyarakat yang semi feodal. dan Ketiga, abangan, yaitu masyarakat yang tidak
memiliki atar belakang pesantren santri, madrasah ataupun dari kalangan bangsawan, keraton priyayi, secara umum kelompok ini disebut kelompok kasta
bawah. Hal ini tentunya, bukan karena stigmatisasi yang melekat pada Bamusi, melainkan ini sudah menjadi sterotip terhadap individu-individu maupun basis
masssa dari PDI Perjuangan. Sehingga Bamusi mencoba menghadirkan sebuah warna baru dari pola-pola
dakwah yang mains tream dalam berdakwah, Dan dakwah politik memang dibutuhkan dalam usaha untuk membendung stigma, ataupun dalam usaha untuk
mendukung dan mensukseskan agenda politik tertentu. Namun, hal ini memicu suatu pergolakan
baru dalam “dakwah”, sehingga muncul perbedaan makna bahkan nilai dari setiap dakwah politik yang dilakukan oleh
beberapa orang ataupun kelompok. Politisasi dakwah di Indonesia diperluas secara signifikan oleh konflik-konflik ideologis yang melibatkan sistem keagamaan dan
keyakinan politik.
Munculnya Konflik Ideologis dalam Dakwah Politik
Agama yang juga muncul sebagai identitas kelompok merujuk pada keberadaan komunitas-komunitas keagamaan, kelompok-kelompok yang terdiri dari
individu-individu yang diikat bersama oleh kesamaan atau kemiripan simmbol- simbol keagamaan. Berbedaan simbol-simbol itu akan memunculkan friksi terhadap
simbol-simbol lain, meskipun berada dibawah bendera kebesaran yang sama, yaitu Islam.
Konflik-konflik ini tidak hanya menyangkut pandangan dunia secara umum, tetapi juga mengenai cetak biru bagi pembangunan masyarakat. Konflik-konflik
ideologis yang melibatkan sistem-sistem keyakinan keagamaan meliputi baik konflik internal maupun eksternal. Konflik internal dapat dijelasakan secaraluas dan kasar
jika kita mengacu pada klasifikasi masyarakat menurut Ciford Getrz. yaitu konflik antara, kalangan abangan dengan santri, tapi, konflik tersebut juga dapat
diterjemahkan antara kaum modernis yang merepresentasikan Muhammadiyah, dan tradisional yang merepresentasikan NU. Sedangkan konflik eksternalbisa dijelaskan
sebagai konflik antara Islam versus sekulerisme dan sistem-sistem keagamaan kainnya, yang memiliki pandangan konfrontatif terhadap salah satu sistem. Konflik
tersebut dapat dijelaskan antara NU, Muhammadiyah yang pro negara dan sistem politik negara, versus HTI yang kontra. Dalam bahasa, Yudi Latif, konflik ideologis
daam banyak kasus diIndonesia selama ini dapat dilukiskan sebagai perjuangan segitiga: Islam tradisional ersus Islam modernis versus Islam sekularisme.
Maka, dalam hal ini, Bamusi bukanlah sebagai salah satu kelompok ataupun organisasi yang menggunkan dakwah sebgai agenda politiknya, dakwah politik akan
memiliki penetrasi yang lebih kuat, dibandingkan dengan dakwah konvensional, yang biasanya hanya memuat kontetn ketaqwaan, ibadah, maupun fiqih. Namun dakwah
politik menggunakan konten-konten yang ada dalam dakwah konvensional untuk menancapkansuatu hegemoni ideologi tertentu di masyarakat, dengan penafsiran-
penafsiran yang merepresentasikan ideologi tersebut.