Teori Disonansi Kognitif Strategi Dakwah Politik Baitul Muslimin Indonesia Dalam Meningkatkan Dukungan Politik Pdi Perjuangan
berpendapat bahwa disonansi, “karena secara psiologis tidak nyaman, maka akan memotivasi seseorang untuk berusaha mengurangi disonansi dan mencapai
harmonikeselarasan” dan “selain upaya ituorang juga akan secara aktif menilak situasi-
situasai dan informasi sekiranya akan menigkatkan disonansi.”
Dalam disonansi kognitif elemen-elemen yang dipermasalahkan mungkin adalah 1 tidak relevan satu sama lain, 2 konsisten satu sama lain dalam istilah
Festinger, harmoni, atau 3 tidak konsisten satu sama lain disonantidak harmonis, dalam istilah Festinger. Hubungan tidak selalu dikaitkan secara logis dengan
konsistensi atau inkonsistensi. Suatu hubungan bisa saja secara logis konsisten bagi seseorang yang percaya pada pengamatan ini.
10
Beberapa konsekuensi yang lumayan menarik muncul dari teori disonansi, khususnya di bidang-bidang pengambilan keputusan dan permainan peran role
playing. Fokus buku ini adalah pada cara manusia menggunakan informasi dan teori disonansi penting sekali dalam hal itu.
11
1. Pengaruh Disonansi Kognitif dalam Pengambilan Keputusan
Dalam pengambilan keputusan, disonansi diprediksi akan muncul karena alternatif pilihan yang ditolak berisi informasi-informasi yang akan mengakibatkan ia diterima
dan alternatif pilihan yang dipilih berisi fitur-fitur yang akan mengakibatkan ia ditolak. Dengan kata lain, semakin sulit keputusan dibuat, maka semakin besar
10
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan di Dalam Media Massa, Jakarta: Kencana, 2008, h. 165
11
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h. 165.
disonansi setelah keputusan diambil disonansi pasca-keputusan. Selain itu, semakin penting sebuah keputusan, maka semakin besar pula disonansi pasca-keputusan.
12
Pendapat mengenai disonansi pasca-keputusan juga diutarakan oleh Keisler, Collins, dan Miller, mereka berpendapat: Proses pasca-keputusan melipui perubahan
kognitif yang tidak berbeda denga perubahan sikap; efek proses ini benar-benar sacara sah bisa disamakan dengan perubahan sikap.
13
Sementara itu, Antar Venus menguraikan dalam bukunya “Manajemen Kampanye”, bahwa disonansi bersifat dinamis dan memiliki banyak faktor yang
mempengaruhinya. Ada tiga faktor yang dapat mempengaruhi besarnya disonansi pada seseorang yaitu:
a. Derajat Kepentingan atau seberapa penting isu tertentu bagi orang
tersebut. b.
Besarnya perbandingan disonansi atau kesadaran disonansi seorang manusia yang berhubunan dengan jumlah kesadarn konsonan yang
dimilikinya. c.
Dasar pemikiran bahwa orang dapat memerintahkan untuk membenarkan inkonsistensi. Ini berangkat dari alasan yang digunakan untuk
menjelaskan mengapa inkonsistensi bisa terjadi.
14
12
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h. 166.
13
Werner J.Severin - JamesW. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h 166
14
Antar Venus, Manajemen Kampanye: Panduan Teoritis dan Praktis dalam Mengefektifkan Kampanye Komunikasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009, h. 36.
Selain itu dijelaskan pula, bahwa, besarnya disonansi akan menentukan tindakan yang akan diambil seseorang dan kesadaran mereka untuk mengurangi disonansi. Ada
beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengurangi disonansi, yaitu: a
Mengubah kognisi
Apabila diantara dua kognisi terdapat ketidakcocokan, maka orang dapat dengan mudah mengganti salah salah satunya agar konsisten dengan yang
lainnya. b
Menambah kognisi Apabila ada dua kognisi menyebabkan besarnya disonansi, in idapat dikurangi
dengan menambah satu atau lebih kognisi yang sesuai atau cocok. c
Mengubah atau mengganti kepentingan Antara ketidakcocokan dan kecocokan kognisi harus dipertimbangkan
kepentingannya. Hal ini sangat menguntungkan untuk menukar kepentingan dari berbagai macam kognisi.
d Membuat misinterpretasi informasi
Apabila ada ketidaknyamanan karena informasi berlawanan dengan yang selama ini diyakini, maka akan ada kelegaan dengan menganggap bahwa telah
terjadi kesalahpahaman akan informasi baru tersebut. Ini dilakukan misalnya dengan menganggap bahwa pemberi informasi tersebut adalah orang yang
sebenarnya tidak mengerti hal yang ia bicarakan.
e Mencari informasi pembenaran
Sebuah usaha maksimal untuk membuktikan bahwa kognisi yang selama ini diyakini adalah sesuatu yang benar. Ini dilakukan dengan meminta pendapat
orang lain yang akan membenarkan kognisi tersebut.
15
Teori disonansi kognitif Leon Festinger, yang menguraikan struktur kuasa dan sikap dalam pengambilan keputusan diklasifikasikan kedalam kategori teori persuasi.
Hal ini diperkuat oleh Antar Venus dalam bukunya, Manajemen Kampanye. Dimana, teori disonansi kognitif menjadi bagian dari bab.
“Menggunkan Teori-Teori Persuasi Dalam Praktik Kampanye”,
16
. 2.
Strategi persuasi dalam Dakwah Politik atau Penyampaian pesan Pace, Peterson dan Burnett 1979 mendefinisikan persuasi sebagai “tindakan
komunikasi yang bertujuan untuk membuat komunikan mengadopsi pandangan komunikator mengenai suatu hal atau melakukan suatu tindakan tertentu”.
17
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa persuasi pada prinsipnya adalah setiap
tindakan komunikasi yang ditujukan untuk mengubah atau memperteguh sikap, kepercayaan dan perilaku khalayak secara sukarela sehingga sejalan dengan apa yang
diharapkan komunikator.
15
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 36-37.
16
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 31
17
Pace, R. Wayne; Peterson, Brent D.; Burnett, M. Dallas, Techniques for Effective Communication, New Jersey: AddisonWestley, 1979, h. 13
Pada kenyataannya setiap kegiatan persuasi selalu ditandai denganemat hal yakni: melibatkan sekurang-kurangnya dua pihak, adanya tindakan mempengaruhi
secara sengaja, terjadinya pertukaran pesan persuasif, dan adanya sukarelawan dalam menerima atau menolak gagasan ditawarkan. Istilah persuasi sendiri sangat „cair’ dan
mudah berubah. Bila upaya mempengaruhi itu mengndung unsur-unsur penyimpangan kebenaran isi pesan secara sengaja dan sistematis, maka hal itu disebut
manipulasi. Bila pelaku lebih bersiat memaksa daripada mempengaruhi secara sukarela maka istilah yang digunakan adalah koersi.
Strategi persuasi dalam implementasi teori disonansi kognitif dapat membantu mengidentifikasi proses-proses yang terjadi ketika pesan-pesan diarahkan untuk
mempengaruhi sikap dan perilaku khalayak. Strategi tersebut juga dapat memperkaya pemahaman mengenai tahapan efek yang akan dimunculkan dalam sebuah kegiatan
kampanye maupuan aktivitas komunikasi lain yang bertujuan mempengaruhi sikap khalayaknya. Bertolak dari teori diatas, Perlof 1993 menyarankan beberapa strategi
persuasi yang dapat digunakan dalam praktik kampanye yakni: a.
Komunikator yang terpercaya Pesan yang diorganisasikan dan disampaikan dengan baik belum cukup untuk
mempengaruhi khalayak. Diperlukan juga kommunikator yang terpercaya untuk menyampaikan pesan tersebut. Semua bukti didunika menunjukan bahwa pesan yang
dirancang dan disampaikan denga sempurna tidak akan membawa perubahan perilaku jika khalayak tidak mempercayai komunikator Larson, 1992. Karena alasan ini
maka kredibilitas komunikator merupakan hal yang harus diperhatikan agar ia bisa menjadi pembawa pesan yang dapat dipercaya.
18
b. Mengemas pesan sesuai dengan keyakinan khalayak
Fishbein dan Ajzen Perlof, 1993 mengatakan bahwa pesan akan dapat mempunyai pengaruh yang besar untuk dapat mengubah perilaku, maupun sukap khalayak jika
dikemas sesuai dengan kepercayaan yang ada pada diri khalayak. Karena dari tujuan dan tema utama dari kampanye hendaknya dibuat pesan-pesan yang sesuai dengan
kepercayaan khalayak.
19
Dalam konteks dinamika Islam dan komunikasi politik Indonesia, kain sorban dan peci hitam pun sering menjadi pakaian penting para
politisi dan aktivitas komunikasi politik ketika membutuhkan dukungan massa yang nota-bene mayoritas beragama Islam.
c. Strategi inkonsistensi
Berdasarkan teori disonansi kognitif, memunculkan sebuah pesan yang akan menimbulkan disonansi kaena tidak cocok dengan apa yang selama ini mereka
percayai. Ketidak cocokan tersebut pada akhirnya akan membawanya berada pada kondisi yang aman dan membimbingkhalayak agar melakukan perubahan perilaku
sesuai dengan apa yang dianjurkan dalam kampanye. Salah satu contoh dari strategi ini dapat kita temui pada kampanye anti rokok.
Dahulu, orang yang merokok berpikir bahwa bahaya meroko hanyalah akan menimpa
18
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 43-44
19
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 44
diri merka sendiri. Konsekuensinya, orang lain tidak punya hak untuk mencampuri dan melarang kebiasaan orang dalam merokok. Kemudian dimunculkanlah fakta-
fakta hasil penelitian yang menunjukan bahwa asap rokok juga sangat membahayakan orang yang tidak merokok namun sering terkena asap rokok orang
lain yang dekat dengannya. Pengetahuan ini dapat menimbulkan ketidak nyamanan pada diri perokok karena merasa merugikan orang lain ataupun anggota keluarganya
yang tidak merokok. Kondisi ini akhirnya membawa mereka untuk mengurangi kebiasaan merokoknya.
20
d. Memunculkan kekuatan diri khalayak
Agar dapat membuat perubahan perilaku yang permanen pada diri khalayak, salah satu hal yang harus dilakuakn adalah meyakinkan mereka secara personal mempunyai
kekuatan untuk melakukan perubahan tersebut. Khalayak harus disadarkan bahwa mereka dengan segala kemampuannya pasti akan dapat megubah perilaku kurang
baik menjadi perilaku yang lebih baik seperti yang dianjurkan dalam kampanye. Keyakinan bahwa seseorang secara personal mempunyai kemampuan untuk
membentuk perilaku yang direkomendasikan disebut dengan persepsi kemampuan diri self-efficacy perception. Persepsi kemampuan diri ini berada pada tatran
psikologi khalayak, karenanya yang harus dimunculkan dari khalayak adalah pemikiran bahwa mereka mampu merubah perilaku mereka.
21
20
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 47
21
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 45
3. Prinsip-prinsip Umum Persuasi dalam Teori Disonansi Kognitif
Persuasi secara ilmiah dapat dimaknai sebagai, proses, kemampuan, atau seni mempengaruhi, ajakan tindakan atau pendapat orang lain dengan cara-cara dan alasan
atau himbauan intelektual dan perspektif dan meyakinkan.
22
Menurut Hogan 1996 ada sembilan prinsip umum persuasi yang selalu dapat diterapkan dalam praktik
kampanye baik dalam tataran microlevel maupun macrolevel. Berikut adalah prinsip- prinsip tersebut;
a. Prinsip timbal balik. Jika manusia menerima sesuatu yang dipandang
berharga, maka seketika ia akan menganggapi dengan pmemberikan sesuatu. Contoh dalam kasus ini adalah, konsultasi gratis yang diberikan peerusahaan
kosmetik mengenai perawatan kulit wajah akan membuat konsumen merasa diperhatikan dan memiliki pengetahuan, yang kemudian akan membawanya
untuk menggunakan produk tersebut. Hal ini bahkan bisa terjadi tanpa adanya
anjuran.
b. Prinsip kontras. Sepasang saudara kembar akan terlihat nyata perbedaannya
jika berdiri berdampingan, apalagi dua benda yang relatif beda satu sama lain. Mereka akan semakin berbeda jika berdekatan pada ruang dan waktu. Orang
cenderung akan memilih yang terbaik dari dua buah pilihan yang hampir sama tersebut. Contohnya, perusahaan real estate menwawarkan kepada seseorang
berniat membeli rumah seharga 1,7 milyar, dan setelah itu ditawarkan sebuah
22
M. Dahlan Y. Al-Barry, L. Lya Sofyan Yacub, Kamus Induk Istilah Ilmiah: Seri Intelektual, Surabaya: Target Press, 2003, h.. 607
rumah seharga 2 milyar. Jika dua rumah berada dalam lingkungan yang serupa, semakin mahal rumahnya akan semakin banyak kelebihannya yang
dapat ditawarkan perusahaan tersebut kepada calon konsumen. Prang cenderung mengingat hal terakhir yang mereka lihat atau diberitahu bahwa hal
tersebut jauh lebih baik dari sebelumnya. Dalam kasus ini, konsumen melihat yang kedua jauh lebih bagus dan selisih harga tiga ratus juta adalah hal kecil.
Karenanya dalam sebuah brosur biasanya hal yang terbaik dicantumkan pada
posisi akhir den dengan ukuran yang besar.
c. Prinsip karena teman. Orang akan melakukan hampir semua hal yang diminta
oleh seorang teman kepadanya. Ini terjadi karena teman adalah orang yang disukai dan biasanya rasa suka ini muncul karena teman tersebut juga
mempunyai banyak persamaan dengannya. Semakin banyak komunikator menunjukan persamaan dengan komunikan misalnya dalam hal ideologi,
latar belakang, sikap dan sebagainya maka semakin besar kemungkinan
untuk mempersuai kemungkinan.
d. Prinsip harapan. Orang akan cenderung melakukan sesuatu yang ia percayai
dan ia hormati. Sebuah kampanye garam beryodium untuk menurunkan jumlah penderita penyakit gondok akan dapat mempengaruhi khalayak yang
memiliki harapan besar kan kesehatannya. e.
Prinsip asosiasi. Manusia cenderung menyukai produk, jasa, atau gagasan yang didukung oleh oang lain yang disukai atau dihormati. Seseorang yang
menyukai orang lain berhubungan dengan suatu produk, cenderung akan mempunyai asosiasi positif tentang produk yang mereka dukung. Inilah
mengapa banyak kampanye promosi menggunakan selebritis dan tokoh
masyarakat seperti ulama.
f. Prinsip konsistensi. Seseorang yang mempunyai pendiri tertulis atau lisan
dalam sebuah persoalan akan mempunyai kecenderungan yang kuat untuk membela pendirian itu tanpa peduli bukti-bukti berlawanan yang
menghadangnya. Orang akan melakukan sesuati jika itu sesuai dengan pendiriannya. Jika yang ditawarkan merupakan sesuatu yang berlawanan,
maka komunikator harus dapat memunculkan nilai-nilai lebih yang akania peroleh dengan melakukan tindakan tersebut dan jangan langsung mengatakan
bahwa pendirian yang ia miliki harus diubah. g.
Prinsip kelangkaan. Semakin langka sesuatu yang diinginkan, maka akan semakin besar nilainya. Orang juga akan melakukan sesuatu jika merasa
bahwa kesempatan yang sama tidakakan ia dapatkan pada waktu dan tempat yang lain. Banyak kampanye promosi yang menggunakan prinsip kelangkaan
untuk meningkatkan penjualan pada periode waktu tertentu. Ini dapat terlihat dari adanya pesan-
pesan seperti “berlaku hanya pada tanggal x hingga tanggal
y”.
h. Prinsip kompromi. Kebanyakan orang cenderung menyetujui ide usul, produk,
atau jasa yang akan dipandang bisa diterima oleh mayoritas orang lain atau mayoritas anggota kelompoknya. Orang akan menyesuaikan hal-hal yang ia
lakukan dengan norma-norma yang berlaku.
i. Prinsip kekuasaan. Prinsip ini juga merupakan bagian dari inti pembahasan
dari teori disonansi kognitif. Semakin berkuasa seseorang dipandang oleh
orang lain, semakin besar kemungkinan permintaannya akan dipertimbangkan dan akan diterima. Kekuasaan dapat menyangkut posisi yang ia miliki dalam
sebuah organisasi atau kemampuan yang ia miliki didalam bidangnya.
23
Kesembilan prinsip yang menunjang teori disonansi kognitif tersebut dapat digunakanuntuk membantu merancang dan melaksanakan berbagai tindakan persuasi
dalam sebuah kampanye atau aktivitas publisitas. Penggunaan masing-masing prinsip tentunya disesuaikan dengan tujuan serta khalayak sasaran kampanye.
4. Paparan Selektif dan Perhatian Selektif
Teori disonansi sangat menarik perhatian kita di bidang-bidang pencarian dan penolakan informasi, sering disebut paparan selektif dan perhatian selektif. Teori
disonansi memprediksikan bahwa setiap individu akan menolak informasi yang mengakibatkan disonansi.
24
Beberapa peneliti telah berpendapat bahwa seseorang tidak secara lumrah memilih atau menolak seluruh pesan paparan selektif karena kita sering tidak dapat
menilai isi pesan sebelumnya. Beberapa peneliti lain mengamati bahwa biasanya kita dikelilingi oleh orang-orang dan media yang setuju dengan kita dalam isu-isu besar
McGuire, 1968. Sejumlah peneliti berpendapat bahwa banyak orang yang secara khususakan memperhatikan bagian-bagian sebuah pesan yang tidak bertentangan
dengan sikap, kepercayaan, atau perilaku yag dianutnya perhatian selektif dan tidak
23
Antar Venus, Manajemen Kampanye, h. 48-49.
24
Werner J. Severin – James W. Tankard. Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan
terapan di Dalam Media Massa, Jakarta: Kencana, 2008, h. 167
memperhatikan bagian-bagian sebuah pesan yang sangat bertentangan dengan posisinya dan dapat menimbulkan ketidaknyamanan atau disonansi psikologis.
Terdapat banyak bukti bahwa orang akan memperhatikan hal-hal yang tidak mendukung posisi mereka apabila mereka yakin bahwa hal-hal itu akan mudah
disangkal, tetapi mereka akan menolak informasi yang mendukung posisi mereka bila informasi itu lemah. Bukti yang kedua tersebut dapat menyebabkan mereka
kehilangan kemantapan pada posisi awal Brock dan Balloun, 1967; Lowin, 1969; Kleinhesselink dan Edwards, 1975.
25
Dalam sebuah ringkasan penelitian beberapa penulis menyimpulkan bahwa hanya ada sedikti bukti untuk mendukung hipotesis bahwa seseorang akan menolak
seluruh pesan paparan selektif yang bertentangan dengan keyakinansikap mereka Brehn dan Cohen, 1962; Freedman dan Sears, 1965; Sears, 1968. Para peneliti
menemukan bahwa seseorang yang berupaya mendapatkan hal-hal baru tidak selalu menolak informasi-pemicu disonansi. Manfaat informasi yang tampak misalnya,
pembelajaran argumen- argumen kontra “yang tidak masuk akal” dapat mendorong
seseorang untuk memperhatikan informasi-pemicu disonansi. Informasi kontradiktif yang baru, menarik, penting, relevan secara pribadi, atau menghibur mungkin tidak
akan ditolak. Informasi kontradiktif yang bermanfaat dalam pembelajaran suatu keterapilan atau pemecahan sebuah masalah mungkin akan diperhatikan. Dengan kata
lain, apabila pesan berisi penghargaan yang jauh melampaui ketidaknyamanan psikologis atau disonansi yang ditimbulkan, maka mungkin pesan tersebut tidak akan
25
Werner J. Severin – James W. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h. 167-168
ditolak. Orang lebih cenderung memperhatikan hal-hal yang bertentangan dengan keyakinan, perilaku, atau pilihan mereka yang tidak terlalu kuat. Dengan keyakinan
yang kuat orang yang begitu mantap dengan pandangannya tidak akan menolak informasi kontradiktif karena mereka dapat dengan mudah manangkalnya. Untuk
pendapat yang berbeda, lihat Freedman dan Sears 1650, yang menyipulkan bahwa seseorang tidak menolak informasi disonan; dan Mills, 1968, yang berpendapat
bahwa dalam suasana tertentu seseorang tidak menolak informasi kontradiktif. Keduanya tercantum dalam Abelson et al. 1968, yang memberikan perlakuan yang
mendalam dan luas terhadap teori-teori persuasif dan konsistensi.
26
5. Disonansi kognitif sebagai upaya propaganda politik
Asal istilah propaganda yang mengacu kepada gejala sosial dapat ditelusuri sampai setengah milenia yang lalu. Pada tahun 1662 Paus Gregorius XV mebentuk suatu
komisi para kardinal, congregratio de Propaganda Fide, untuk menumbuhkan keimanan Kristiani diantara bangsa-bangsa lain. Secara khas para misioner itu
ditugasi untuk menyebarkan doktrin ini, seorang misioner untuk satu kelompok yang terdiri atas beberapa ribu pemeluk baru yang diharapkan. Maka dari ini berasal tidak
hanya istilah propaganda, tetapi juga karakteristik utama kegiatannya, yakni propaganda sebagai komunikasi satu-kepada-banyak. Propagandis adalah seseorang
atau kelompok kecil yang menjangkau khalayak kolektif yang lebih besar.
27
26
Werner J. Severin – James W. Tankard. Jr, Teori Komunikasi, h. 169.
27
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media,Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, h. 124
Selain itu, definisi propaganda yang diutarakan oleh Dan Nimmo dalam bukunya Komunikasi Politik, bahwa propaganda adalah sebuah aktivitas yang
dilakukan oleh kelompok masadepan, dimana masyarakat masadepan ini memiliki tiga ciri utama, yaitu 1 komunikasi satu-kepada-banyak, 2 beroprasi terhadap
orang-orang yang mengidentifikasi diri mereka sebagai anggota kelompok, 3 sebagai mekanisme kontrol sosial dengan menggunakan persuasi untuk mencapai
ketertiban. Jacques Ellul, seorang sosiolog dan filosof Perancis, merangkumkan ciri- ciri ini dalam mendefinisikan propaganda, yaitu komunikasi tang digunakan oleh
suatu kelompok terorganisasi yang ingin menciptakanpartisipasi aktif atau pasif dalam tindakan-tindakan suatu massa yang terdiri atas individu-individu,
dipersatukan secara psikologismelalui manipulasi psikologis dan digabungkan di dalam suatu organiasasi.
28
Dalam konteks propaganda dakwah politik yang mengkaji tentang partai politik. Maka, propaganda dapat dicontoh tentang sifat satu-kepada-banyak dari
propaganda politik. Para pembicara keliling pada masa lampau berpidato di depan kumpulan para partisan mereka; sekarang tradisi itu berlanjut dalam pidato-pidato
29
, dan rapat umum partai lainnya.
Seperti yang sudah dikemukakan dalam definisi Ellul, propaganda adalah suatu alat yang dipergunakan oleh kelompok yang terorganisasi untuk menjangkau
individu-individu yang secara psikologis dimanipulasi dan digabungkan kedalam
28
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, h. 123-124
29
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, h. 124
suatu organisasi. Bagi Ellul dan juga bagi sarjana-sarjana yang lain, perkembangan kelompok itu terjadi secara serempak dengan perkembangan propaganda. Propaganda
adalah suatu gejala kelompok yang erat kaitannya dengan “organisasi dan tindakan – yang tanpa itu propaganda praktis tidak ada”. “propaganda yang efektif”, demikian
tulis Ellul, “hany dapat bekerja di dalam suatu kelompok, pada prinsipnya di suatu negara.”
30
Suatu mekanisme kontrol sosial Dasar alasan propaganda terdapat pada teori ini, yaitu bahwa tatanan sosial
dihasilkan oleh orang-orang yang secara sinambung belajar dan memperkuat kesetiaan politik, kepercayaan religius, pandangan sosial, kebiasaan, kaidah-kaidah,
dan sesuatu cara hidup yang mendasar yang sama pada orang-orang tersebut. Akan tetapi, di dalam suatu masyarakat yang berdasar atas premis bahwa partisipasi rakyat
yang luas di dalam peristiwa politik itu diinginkan, tidak ada kelompok yang hanya dapat duduk dan menunggu opini publik yang menguntungkan. Sebaliknya, didalam
kondisi partisipasi politik massa dan konflik dengan kelompok-kelompok lain, setiap organisasi giat memobilisasi dukungan publik. Ia menyebarkan ideologinya,
membangkitkan kewaspadaan jumlah besar orang, menciptakan hubungan yang erat dengan dan diantara mereka, menggalang kesetiaan mereka, dan mempertahankan
ketaatan mereka. Apa yang berlaku bagi setiap kelompok yang berjuang dengan kelompok-kelompok lain di dalam suatu masyarakat, juga berlaku bagi setiap negara
yang di didalam dunia penuh dengan konflik. Dengan berbagai macam teknis, setiap
30
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, h. 125
penguasa negara, atau yang bercita-cita menjadi penguasa negara, mempergunakan propaganda sebagai suatu mekanisme kontrol.
31
31
Dan Nimmo, Komunikasi Politik: Komunikator, Pesan, dan Media, h. 126.
41
BAB III GAMBARAN UMUM