Kondisi Ekosistem Mangrove HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

5.1. Kondisi Ekosistem Mangrove

Secara ekologis, batas ke arah laut dari suatu wilayah pesisir adalah mencakup daerah perairan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alamiah seperti aliran air tawar dari sungai maupun run-off maupun kegiatan manusia seperti pencemaran dan sedimentasi yang terjadi di daratan. Sementara itu, batas ke arah darat adalah mencakup daerah daratan yang masih dipengaruhi oleh proses laut, seperti jangkauan pengaruh pasang surut, salinitas air laut, dan angin laut. Batas ke arah darat dan ke arah laut dari suatu wilayah pesisir bergantung pada kondisi biogeofisik wilayah berupa topografi dan geomorfologi pesisir, keadaan pasang surut dan gelombang, kondisi DAS daerah Aliran Sungai, dan kegiatan pembangunan yang terdapat di daerah hulunya. Berdasarkan pembagian wilayah dan teritorial Propinsi Sumatera Utara Peta Administrasi Lihat Gambar 5.1 diketahui bahwa dari 18 delapan belas kabupaten dan 7 tujuh kota yang membentuk Propinsi Sumatera Utara, hanya ada 14 empat belas kabupatenkota yang memiliki wilayah pesisir, yaitu: Kabupaten Langkat, Kota Medan, Kabupaten Deli Serdang, Kabupaten Serdang Bedagai, Kabupaten Asahan, Kabupaten Batubara, Kota Tanjung Balai, Kabupaten Labuhan Batu, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal, Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Ke-14 kabupaten dan kota yang Universitas Sumatera Utara memiliki garis pantai tersebut terbagai atas dua zona wilayah yaitu wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur Sumatera Utara Lihat Gambar 5.1 Peta Propinsi Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara Pantai Barat Sumatera Utara memiliki garis pantai sepanjang 763,47 km termasuk Pulau Nias yang meliputi 6 enam kabupatenkota yaitu: Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga, Kabupaten Tapanuli Selatan, Kabupaten Mandailing Natal dan Kabupaten Nias dan Kabupaten Nias Selatan. Luas administrasi kawasan pesisir Pantai Barat mencapai 25.328 km². Jumlah pulau kecil yang terdapat di perairan Barat Sumatera Utara mencapai 156 pulau. Karakteristik pantai Barat ditandai dengan kondisi pantai yang curam dan hanya sedikit pantai dengan kondisi landai serta minimnya ditemukan kawasan yang menjadi habitat hidup vegetasi mangrove. Kawasan Pesisir Timur Sumatera Utara mempunyai luas 43.133,44 km² dan memiliki garis pantai sepanjang 545 km, memiliki enam pulau kecil yang didominasi oleh hamparan mangrove yang sangat luas dan membujur dari daerah pantai Utara Kabupaten Langkat ke daerah pantai Selatan Kabupaten Labuhan Batu dengan ketebalan yang bervariasi antara 50-150 meter. Daerah pantai di kawasan Pantai Timur Sumatera Utara didominasi oleh pantai berpasir dan lahannya cukup subur. Topografi pesisir dan pantai di Pantai Timur pada umumnya landai dengan laut yang dangkal dengan suhu udara tinggi serta kelembaban udara tinggi dan curah hujan relatif tinggi. Secara geografis, wilayah laut Propinsi Sumatera Utara sebelah Timur berbatasan dengan Negara Malaysia sedangkan di bagian Utara berbatasan dengan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD, dan ke arah Selatan berbatasan dengan Propinsi Riau. Berdasarkan peta batas wilayah laut Lembar Sumatera Utara DKP, Universitas Sumatera Utara 2000 maka diketahui bahwa batas wilayah laut antara Propinsi Sumatera Utara dan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam NAD terletak di Utara yaitu antara Kabupaten Langkat Sumut dan Kabupaten Aceh Timur NAD. Posisi kedua propinsi tersebut saling berdampingan sehingga penentuan penarikan batas laut juga berdasarkan kaidahketentuan bagi daerah yang saling berdampingan lihat Gambar 5.2. Gambar 5.2. Peta Pesisir Pantai Timur Sumatera Utara Berdasarkan kajian teoritis hutan mangrove merupakan ekosistem yang paling penting di kawasan pesisir, ditinjau dari segi biologis, ekonomis dan fisik-kimia. Oleh sebab itu pembahasan kondisi sumberdaya alam wilayah pesisir difokuskan pada ekosistem mangrove. Walaupun demikian, penggambaran tentang kondisi sumberdaya alam lainnya yang juga dapat ditemukan di wilayah pesisir Timur Universitas Sumatera Utara Sumatera Utara juga akan disinggung sebagai pelengkap ekosistem mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara secara keseluruhan.

5.1.1. Kondisi dan Pola Pemanfaatan Kawasan Mangrove

Berdasarkan data yang diperoleh dari berbagai instansi yang terkait dengan pengelolaan kawasan pesisir di Sumatera Utara, diketahui bahwa luas hutan mangrove yang ada di wilayah pesisir Timur Sumatera Utara tahun 287.385,39 ha. Data terakhir mencatat bahwa luas hutan mangrove saat ini dengan kondisi baik hanya tinggal 27.983,16 ha dan selebihnya telah rusak dan atau dialihfungsikan. Dari jumlah luas hutan mangrove yang ada tersebut, sebagian besar masuk dalam kawasan Suaka Alam Karang Gading yang secara administrasi masuk dalam wilayah Kabupaten Langkat. Adapun sisanya merupakan kumpulan vegetasi hutan mangrove yang tersebar secara acak di sepanjang garis pantai dengan ketebalan populasi bervariasi namun biasanya berkisar antara 50-150 m. Berdasarkan data yang ada juga dapat disimpulkan bahwa hamparan luas hutan mangrove yang ada saat ini jauh berkurang bila dibandingkan kondisi 15 atau 20 tahun yang lalu. Kondisi hutan mangrove yang lebih baik dapat ditemukan di wilayah pesisir Kabupaten Langkat, karena terdapat Suaka Margasatwa Karang Gading. Walaupun demikian, pada beberapa titik vegetasi hutan mangrove sudah mengalami kerusakan yang sangat memprihatinkan. Adapun kondisi hutan mangrove di kawasan pesisir Kabupaten Deli Serdang hampir sama dengan yang ada di Kabupaten Asahan. Lebih jelas tentang luas hutan mangrove di tiga daerah yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5.1. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.1. Luas Hutan Mangrove di Lokasi Penelitian Tahun 1997 dan 2006 No. KabupatenKecamatan Luas Mangrove Ha 1997 Luas Mangrove Ha 2008 1. Langkat 43.014,7 38.607,22 - Besitang 361,65 2.268,05 - Berandan Barat 1,936,12 4.166,25 - Gebang 7.421,8 4.693,90 - Pangkalan Susu 9.906,43 10.368,04 - Secanggang 848,3 9.289,81 - Sei Lepan 5.286,82 150.55 - Tanjung Pura 9.953,58 3.382,79 2. Deli Serdang 13.879,53 12.817,55 - Hamparan Perak 6.245 4.073,55 - Percut Sei Tuan 3.600 4.856,63 - Pantai Labu 2.079,53 1.341,03 - Labuhan Deli 1.955 2.546,48 3. Asahan 46.205 - Air Batu 62,5 - Air Joman 7.960 - Meranti 1.879 - Sei Kepayang 3.0211,9 - Tanjung Balai 6.091,6 Total Mangrove di Pantai Timur 287.385,39 Data tidak tersedia Sumber: BPHM Wilayah II Tahun 2006. Data dari Badan Pengelola Hutan Mangrove Wilayah II, berbeda dengan dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah I Sumatera Utara. Untuk lebih jelasnya lihat Tabel 5.2. Tabel 5.2. Luas Mangrove Menurut Kabupaten di Pesisir Timur Sumatera Utara Luas Tahun 1997 Ha Luas Tahun 1987 Ha No. Kabupaten Kecamatan Luas Lahan Luas yang Rusak Luas yang Masih Baik Luas Lahan Luas yang Rusak Luas yang Masih Baik 1. Langkat 35.000 25.300 9.700 33.000 23.000 10.000 2. Deli Serdang 11.800 6.264 5.525 20.000 14.379 5.623 3. Asahan 3.686 401 3.285 14.402 12.902 1.500 Sumber: BKSDA Wilayah I Sumatera Utara. Universitas Sumatera Utara Adanya perbedaan disebabkan adanya perbedaan dalam hal penafsiran data. Menurut Onrizal 2009 yang telah melakukan studi tentang perubahan tentang tutupan luas hutan mangrove di Sumatera Utara, menyatakan bahwa berdasarkan interpratasi Peta Landuse Wilayah Pantai Timur Sumatera Utara pada tahun 1977 terdapat sekitar 103.415 Ha hutan mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara yang sebagian besar 89.093 ha atau 86,2 berupa hutan mangrove primer dan sisanya 14.322 Ha atau 13,8 sebagai hutan mangrove sekunder. Sebagian besar hutan mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara terdapat di Kabupaten Langkat dengan luas sebesar 45.909 Ha, 44,4, kemudian diikuti oleh Kabupaten Deli Serdang 21.051 ha atau 20,4, Kabupaten Asahan 18.785 Ha atau 18,2 dan paling kecil luasannya pada Kabupaten Labuhan Batu 17.670 Ha atau 17,1. Selanjutnya Onrizal 2009 menyatakan bahwa hutan mangrove di Sumatera Utara dalam 4 kali pengukuran mulai tahun 1977, 19881989, 1997 dan 2006 luasannya terus menurun. Jika dibandingkan dengan hutan mangrove tahun 1977, pada tahun 19881989, 1997, dan 2006 hutan mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara terus berkurang, yakni sebesar 14,01 tersisa menjadi 88.931 Ha, 48,56 tersisa menjadi 53.198 Ha dan 59,68 hanya tersisa 41.700 Ha dari luas awal sebesar 103.415 Ha pada tahun 1977. Sebaliknya penggunaan lahan selain hutan mangrove yang pada tahun 1977 tidak dijumpai, kecuali tambak sebesar 308 Ha, pada tiga pengukuran berikutnya terus meningkat, yakni 16.469 Ha pada tahun 19881998, 50.247 Ha pada tahun 1997, dan menjadi 61.746 pada tahun 2006. Universitas Sumatera Utara Penggunaan lahan hutan mangrove menjadi selain hutan mangrove terutama adalah konversi untuk areal pertambakan, perkebunan, pemukiman dan areal pertanian lainnya. Selain itu, areal hutan mangrove juga berkurang akibat abrasi yang diawali oleh rusaknya tegakan hutan mangrove akibat konversi dan penebangan dalam skala yang besar. Tingginya interaksi manusia yang tinggal di sekitar kawasan hutan mangrove menjadi salah satu faktor dominan yang menyebabkan tingginya kerusakan kawasan hutan mangrove. Intensitas interaksi manusia dengan kawasan hutan mangrove yang begitu tinggi pada dasarnya juga dipengaruhi oleh faktor lain dan salah satu faktor pendorongnya adalah tuntutan ekonomi. Berdasarkan hasil wawancara yang dilakukan terhadap masyarakat di tiga kabupaten yang diteliti terungkap bahwa periode tertinggi perusakan kawasan hutan mangrove terjadi pada kisaran pertengahan tahun 1980-an sampai dengan akhir 1990-an. Pada periode tersebut, introdusir teknologi budidaya tambak baik udang maupun hewan laut lainnya diyakini sebagai salah satu alasan utama yang menyebabkan terjadinya pengalihan kawasan hutan mangrove menjadi kawasan tambak. Pada periode tersebut, banyak habitat vegetasi hutan mangrove yang harus ditebang dan kemudian diubah peruntukannya. Pada periode tersebut, sentra utama daerah penghasil produk perikanan hasil tambak di Sumatera Utara memang dipasok oleh tiga daerah yang diteliti yaitu, Kabupaten Langkat, Kabupaten Deli Serdang dan Kabupaten Asahan. Pada periode yang hampir bersamaan, sebagian pengusaha juga melihat ada peluang bisnis pembakaran dengan memanfaatkan kayu yang berasal dari penebangan hutan mangrove. Universitas Sumatera Utara Dalam perkembangan selanjutnya, penebangan hutan mangrove juga tidak hanya diperuntukkan bagi pembukaan lahan tambak semata namun juga murni sebagai upaya untuk memperpanjang pengoperasian pabrik arang. Berdasarkan data yang ada diketahui bahwa di Kabupaten Langkat, pada tahun 2005 terdapat lahan tambak seluas 4.295,4 Ha namun luas lahan yang secara aktif diokupasi hanya 3.695,4 Ha. Adapun di Kabupaten Deli Serdang, luas tampak pada tahun yang sama adalah 1.762,3 Ha dan yang aktif dikelola adalah 1.231,6 Ha. Sementara itu, di Kabupaten Asahan pada tahun 2005 terdapat 862,5 Ha tambak dan yang aktif dikelola hanya 750,0 Ha. Di tahun 2006, kondisi lahan tambak yang ada dan dikelola luasannya tidak berubah. Bila memperhatikan kondisi ini terlihat bahwa laju pemanfaatan kawasan mangrove untuk dijadikan lahan tambak sudah berkurang atau berhenti. Namun demikian, okupasi mangrove untuk keperluan lain masih berlangsung walau frekwensi dan kualitasnya relatif kecil. Bila dibandingkan dengan kondisi mangrove di tahun 1990-an terlihat bahwa luasan mangrove yang ada menunjukkan perubahan. Ini artinya pada periode 1990-an pemanfaatan lahan tambak yang diperoleh dari kegiatan alih fungsi hutan mangrove ternyata tidak dimanfaatkan secara maksimal sebab pada akhirnya banyak lahan tambak yang terabaikan namun pengembalian fungsi awalnya sebagai kawasan hutan mangrove tidak dilakukan. Kondisi tersebut jelas merugikan sebab konversi lahan hutan mangrove menjadi pertambakan ternyata sifatnya hanya untuk keuntungan sesaat saja sementara secara biologis keanekaragaman hayati di wilayah pesisir pantai telah berkurang seiring dengan menyusutnya luasan hutan mangrove yang ditebangi. Universitas Sumatera Utara Perubahan luas hutan mangrove menjadi hutan sekunder disebabkan oleh aktivitas penebangan, baik untuk industri kayu arang maupun kayu bakar dan perancah, sedangkan perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non mangrove diakibatkan oleh konversi dari hutan mangrove menjadi areal non mangrove, terutama pembukaan areal untuk pertambakan dan pertanian. Areal tambak yang pada tahun 1977 hanya terdapat di Kabupaten Deli Serdang seluas 308 Ha. Pada tahun 19881989, areal tambak menyebar dan bertambah di pesisir Timur Sumatera Utara, yakni sebesar 10.333 Ha atau bertambah seluas 10.025 Ha dalam kurun waktu 12 tahun. Areal tambak pada tahun 19881989 terluas terdapat di Kabupaten Deli Serdang 4.786 Ha atau 46,32, kemudian diikuti Kabupaten Langkat 4.462 Ha atau 43,18, Kabupaten Asahan 1.053 Ha atau 10,19 dan sisanya di Kabupaten Labuhan Batu hanya 32 Ha atau 0,31. Hasil inventarisasi BP DAS Wampu Sei Ular 2006 menunjukkan areal tambak di Kabupaten Langkat meningkat menjadi 7.397,47 Ha, di Kabupaten Deli Serdang menjadi 4.842,95 Ha. Areal mangrove di Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu pada tahun 2006 juga meningkat dibandingkan tahun 19881989, yakni secara berturut-turut menjadi 1.106,50 Ha dan 2.555,00 Ha BP DAS Asahan Barumun, 2006. Dengan demikian, areal tambak di pesisir Timur Sumatera Utara pada tahun 2006 mencapai 15.901,92 Ha atau dalam kurun waktu 19881989 sampai 2006 areal tambak bertambah seluas 5.568,92 Ha dalam kurun waktu 17 tahun. Luas tambak tahun 2006 ini tidak termasuk areal yang tambak yang berada di land system KHY yang mencapai 9.189,50 Ha karena pada inventarisasi tahun-tahun sebelumnya tidak dihitung. Universitas Sumatera Utara Berbagai kegiatan rehabilitasi mangrove secara umum belum mampu mengurangi kerusakan hutan mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara. Pada pesisir Kabupaten Labuhan Batu seluruh hutan mangrove primer tidak dijumpai lagi sejak tahun 1997 dari luas awal tahun 1977 sebesar 13.423 Ha. Kondisi hilangnya hutan mangrove primer juga terjadi di Kabupaten Asahan, yakni dari luasan sebesar 15.563 Ha pada tahun 1997 dan hilang seluruhnya pada tahun 2006 berubah menjadi hutan mangrove sekunder atau areal selain mangrove. Dalam skala kecil, kegiatan rehabilitasi hutan mangrove atau suksesi alami mampu mengurangi areal lahan non mangrove menjadi hutan mangrove. Dalam periode 1997-2006 di Labuhan Batu pada land system yang sama terjadi penambahan areal hutan mangrove sebesar 551 Ha yang diduga disebabkan oleh kegiatan rehabilitasi maupun suksesi alami. Hutan mangrove di Deli Serdang dalam kurun waktu yang sama juga bertambah sebesar 5.120 Ha, namun hal ini kemungkinan besar berasal dari tambahan hutan mangrove dari land system KHY sebesar 5.693 Ha yang tidak diperhitungkan pada inventarisasi tahun 1997. Oleh karena itu, patut diduga luasan hutan mangrove pada land system KJP dan PTG jauh berkurang dibandingkan hasil pengukuran tahun 1997, yakni hanya menjadi 5.757,58 Ha pada tahun 2006 dari luas sebelumnya sebesar 11.397 Ha pada tahun 1997. Secara umum di pesisir Timur Sumatera Utara, pengurangan luasan hutan mangrove primer maupun pengurangan areal hutan mangrove menjadi areal selain hutan mangrove terus terjadi. Hilangnya hutan mangrove di Kabupaten Langkat menyumbang kontribusi terbesar berkurangnya hutan mangrove di Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977 sd 2006, yakni sebesar 25.313 Ha 41,0, kemudian Universitas Sumatera Utara diikuti oleh Kabupaten Asahan sebesar 16.480 ha 26,7 25,0 dan Kabupaten Labuhan Batu sebesar 15.419 Ha serta yang paling kecil pada Kabupaten Deli Serdang sebesar 4.534 Ha 7,3. Menurunnya kualitas dan kuantitas hutan mangrove telah mengakibatkan dampak yang sangat mengkawatirkan, seperti abrasi yang meningkat, penurunan tangkapan perikanan pantai, intrusi air laut yang semakin jauh ke arah darat, malaria dan lainnya. Bahkan di pantai Timur Sumatera Utara, kerusakan mangrove di Pulau Tapak Kuda yang terletak di pantai Timur Langkat, mengakibatkan pulau tersebut sekarang sudah hilangtenggelam Onrizal Kusmana, 2008. Purwoko 2005 melaporkan bahwa kerusakan mangrove di pantai Kecamatan Secanggang, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara berdampak pada penurunan volume dan keragaman jenis ikan yang ditangkap 56,32 jenis ikan menjadi langkasulit didapat, dan 35,36 jenis ikan menjadi hilangtidak pernah lagi tertangkap, penurunan pendapatan sebesar 33,89 di mana kelompok yang paling besar terkena dampak adalah nelayan, dan sekitar 85,4 responden kesulitan dalam berusaha dan mendapatkan pekerjaan dibandingkan sebelum kerusakan mangrove. Konversi hutan mangrove di pantai Napabalano, Sulawesi Tenggara menyebabkan berkurangnya secara nyata kelimpahan kepiting bakau Scylla serrata Amala, 2004. Hasil ulasan Walters et al 2008 diketahui 80 spesies biota laut yang komersial diduga sangat tergantung pada kawasan mangrove di kawasan Florida, USA, 67 spesies hasil tangkapan perikanan komersial di bagian Timur Australia, dan hampir 100 udang yang ditangkap pada kawasan ASEAN bergantung pada kawasan mangrove. Oleh Universitas Sumatera Utara karena itu, kerusakan hutan mangrove di Sumatera Utara secara khusus dan umumnya di seluruh dunia harus segera dihentikan, kemudian diikuti dengan upaya segera untuk merehabilitasi hutan mangrove yang rusak dan dilakukan secara masif dengan pelibatan aktif seluruh para pihak terkait. Dengan demikian, diharapkan hutan mangrove kembali pulih sehingga mampu mengembalikan berbagai fungsinya, baik fungsi ekologi, maupun fungsi sosial-ekonomi. Hutan mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara dalam kurun waktu 1977, 19881989, 1997 dan 2006 kondisinya terus menurun, baik secara kuantitas maupun kualitas. Secara kuantitas, hutan mangrove di wilayah tersebut pada tahun 2006 hanya tersisa sebesar 41.700 Ha dari luas awal pada tahun 1977 sebesar 103.415 Ha atau hilang sebesar 59,68 selama 29 tahun. Kerusakan hutan mangrove di pesisir Timur Sumatera Utara telah menyebabkan a meningkatnya abrasi pantai sampai hilangnya Pulau Tapak Kuda, b menurunnya keanekaragaman dan volume hasil tangkap nelayan pesisir dan c pada akhirnya menurunkan pendapatan nelayan secara khusus dan masyarakat pesisir pantai secara umum. Pada sisi lain, upaya rehabilitasi mangrove dalam kurun waktu bersamaan belum mampu mengurangi laju kerusakan hutan mangrove. Oleh karena itu, upaya masif yang terencana dan pelibatan secara aktif seluruh pihak terkait untuk rehabilitasi hutan mangrove yang rusak serta pada saat bersamaan melakukan upaya pencegahan berbagai aktivitas yang merusak hutan mangrove. Universitas Sumatera Utara

5.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir