5.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir
5.2.1. Tanggapan Masyarakat terhadap Pemanfaatan Sumberdaya dan
Kerusakan Kawasan Mangrove Selanjutnya ditanyakan juga apa pendapat masyarakat terhadap pemanfaatan
sumberdaya dan kerusakan kawasan mangrove. Berdasarkan hasil wawancara kepada 330 orang responden yang berasal dari masyarakat umum diketahui bahwa
sebanyak 136 orang atau sekitar 41,2 orang responden menyatakan ekosistem mangrove dimanfaatkan untuk areal konservasi semata.
Sementara itu terdapat sebanyak 101 orang atau 30,6 responden menyatakan bahwa saat ini pemanfaatan ekosistem mangrove berjalan secara seimbang antara
konservasi dan ekonomi. Adapun sebanyak 93 orang atau 28,2 saja responden yang menyatakan ekosistem mangrove dimanfaatkan hanya untuk kepentingan
ekonomi saja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut ini.
Tabel 5.3. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove
Lokasi Responden No.
Penilaian tentang Pemanfaatan
Mangrove Langkat
Deli Serdang Asahan
Jumlah
1. Untuk Kepentingan
Ekonomi Semata 13
49 31
93 2.
Seimbang Antara Konservasi dan
Ekonomi 30
29 42
101 3.
Untuk Areal Konservasi
46 43
47 136
Total 89
121 120
330
Sumber: Wawancara, 2008. Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Kabupaten Langkat
cenderung menjaga ekosistem mangrove dibanding dengan di Kabupaten Deli
Universitas Sumatera Utara
Serdang dan Asahan. Hal ini terjadi karena di Kabupaten Langkat program MCRMP relatif lebih berhasil dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove. Di samping itu
beberapa lembaga swadaya masyarakat telah melakukan pembinaan tentang pengelolaan ekosistem mangrove, seperti JALA yang telah berhasil melahirkan SK
Desa untuk perlindungan hutan bakau di Desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat
.
Demikian juga lembaga PARAS telah melakukan penanaman mangrove di Desa Jaring Halus, juga Yayasan Akar Rumput bekerjasama dengan MAP Mangrove
Action Program melakukan inisiasi untuk membuat bahan baku daun mangrove untuk jadi teh. Selain itu USU sendiri cukup banyak melakukan pembinaan tentang
pengelolaan mangrove di Kabupaten Langkat. Adapun bentuk pemanfaatan kawasan mangrove sebagai lahan konservasi diantaranya berupa penanaman kembali bukaan
hutan mangrove. Pada dasarnya pemanfaatan hutan mangrove sebagai lahan konservasi dapat dilihat dari adanya penetapan status kawasan suaka alam bagi hutan
mangrove di Kabupaten Langkat yang dikenal dengan Suaka Alam Karang Gading. Sementara itu pemanfaatan alam yang sifatnya berimbang antara konservasi dan
ekonomi dapat dilihat di beberapa kawasan tambak yang semula merupakan kawasan hutan mangrove. Walaupun demikian, pada beberapa bagian dari lahan tambak, para
petambak tetap saja menanam atau membiarkan beberapa kelompok vegetasi mangrove hidup sebagai pelindung lahan dari abrasi air laut. Dalam kondisi
demikian terlihat jelas para petambak juga berusaha menjaga keseimbangan ekosistem agar tetap bisa memberi manfaat secara ekonomis maupun ekologis.
Universitas Sumatera Utara
Mengingat bahwa sebagian responden ada yang berpendapat bahwa kawasan mangrove merupakan kawasan yang sumberdaya layak hanya untuk dimanfaatkan
atau dieksploitasi, maka sudah pasti ada pengaruhnya pada kerusakan lahan mangrove. Ketika ditanyakan kepada responden tentang kondisi kawasan hutan
mangrove di wilayah mereka maka jawaban yang diperoleh cukup bervariasi. Menurut sebagian besar responden kawasan mangrove memang mengalami
kerusakan yang secara kuantitas memerlukan perhitungan rinci. Namun demikian sebagian lagi mengatakan bahwa kawasan hutan mangrove di wilayah mereka
kondisinya masih sama dengan 5 atau bahkan 10 tahun lalu. Dan hanya sebagian kecil saja yang mengatakan kondisi hutan mangrove di wilayah mereka kondisinya
menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa wilayah yang diteliti memang
diperoleh hasil bahwa kondisi hutan mangrove pada beberapa bagian mengalami kerusakan. Pada era pertengahan 1900-an, pemanfaatan kayu bakau sebagai bahan
baku arang menjadi pemicu utama penebangan hutan mangrove secara tidak lestari. Sementara itu awal 1980-an sampai dengan tahun 1990-an pembukaan lahan tambak
juga turut menyumbang pada kerusakan lingkungan hutan mangrove. Lebih jelas tentang kondisi kerusakan kawasan hutan mangrove yang ada saat ini di lokasi
penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut:
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.4. Kondisi Hutan Mangrove di Kabupaten yang Diteliti Kondisi Mangrove Ha
No. Kabupaten
Kecamatan Luas
Rusak Berat
Rusak Sedang
Tidak Rusak
1. Langkat
43.014,7 22.387,57
17.915,85 2.711,28
- Besitang 361,65
286,87 74,78
- Berandan Barat 1.936,12
381,92 892,97
661,23 - Gebang
7.421,8 4.851,49
2.570,31 - Pangkalan Susu
9.906,43 2.785,67
7.120,76 - Secanggang
8.148,3 3.489,21
3.187,23 1.471,86
- Sei Lepan 5.286,82
4.943,54 229,7
113,58 - Tanjung Pura
9.953,58 5.648,87
3.840,1 464,61
2. Deli Serdang
12.817,55 7.494,42
3.784,98 1.538,29
- Hamparan Perak 4.073,55
2.581,16 367,38
1.125,01 - Percut Sei Tuan
4.856,63 2.982,88
1.563,08 310,67
- Pantai Labu 1.341,03
1.007,28 333,75
- Labuhan Deli 2.546,48
923,1 1.520,77
102,61 3.
Asahan 46.205
27.792,8 18.412,2
- Air Batu 62,5
60,5 2
- Air Joman 7.960
4.181,3 3.778,7
- Meranti 1.879
1.809,8 69,2
- Sei Kepayang 30.211,9
19.063,1 11.148,8
- Tanjung Balai 6.091,6
2.678,1 3.413,5
Total Mangrove di Daerah Penelitian
102.037,3 57.674,79 21.700,83 22.661,77
Sumber: BPHM Wilayah II Tahun 2006. Sementara itu, tingkat kerusakan yang dipublikasi oleh Balai Konservasi
Sumberdaya Alam Wilayah I Sumatera Utara pada tahun 2006 juga menunjukkan data yang tentunya juga berbeda sesuai dengan perbedaan luas lahan mangrove yang
ada. Secara rinci kerusakan kawasan hutan mangrove di masing-masing daerah menurut data BKSDA Wilayah I adalah seperti pada Tabel 5.5.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.5. Kondisi Hutan Mangrove di Kabupaten yang Diteliti Menurut BKSDA Wilayah I Sumatera Utara
StatusKondisi Ha No.
Kabupaten Kecamatan
Luas Mangrove Ha
Baik Rusak
1. Langkat
6.240,00 4.130,00
2.110,00 2.
Deli Serdang 30.020,00
12.000,00 18.012,00
3. Asahan
14.248,00 2.652,00
11,595,80 4.
Labuhan Batu 8.860,00
4.300,00 4.560,00
5. Serdang Bedagai
- -
- 6.
Batu Bara -
- -
Sumber: BKSDA Wilayah I Sumatera Utara.
data belum tersedia karena merupakan daerah hasil pemekaran
5.2.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut Perikanan Tangkap dan
Budidaya
Sampai saat ini produksi perikanan di pantai Timur Sumatera Utara memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil tangkapan di pantai Barat Sumatera
Utara. Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB dengan BAPPEDA Sumatera Utara pada tahun 2000 disebutkan produksi perikanan tangkap di pantai
Timur Sumatera Utara telah melebihi jumlah yang selayaknya bisa ditangkap Over Fishing. Kondisi over fishing tersebut menjadikan kelangsungan hidup sumberdaya
perikanan di pantai Timur menjadi sangat terancam dan dalam jangka waktu panjang akan menyebabkan kepunahan. Data mengenai produksi perikanan tangkap di laut
dan perairan umum di daerah yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.6. Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian Tahun 2007 No.
Kabupaten Jumlah Produksi
Tahun 2007 ton
1. Langkat
22.077,7 2.
Deli Serdang 18.215,7
3. Asahan
59.150,4
Total 99.443,8
Sumber: Statistik Perikanan, 2007.
Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat tentang pemanfaatan sumberdaya alam laut diketahui bahwa sebanyak
244 orang atau 73,9 responden menyatakan pemanfaatan sumberdaya alam laut hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Adapun sebanyak 85 orang atau 25,8
menyatakan pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir yang terjadi saat ini berlangsung secara seimbang antara konservasi dan ekonomi. Sedangkan sisanya
sebanyak 1 orang atau 0,30 saja yang menyatakan pemanfaatan sumberdaya alam laut dilakukan untuk areal konservasi.
Tabel 5.7. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Laut
Lokasi Responden No.
Penilaian tentang Pemanfaatan Sumber
Daya Laut Langkat
Deli Serdang Asahan
Jumlah
1. Untuk Kepentingan
Ekonomi Semata 68
81 95
244 2.
Seimbang Antara Konservasi dan Ekonomi
21 39
25 85
3. Untuk Areal Konservasi
1 1
Total 89
121 120
330
Sumber: Hasil Wawancara, Tahun 2008.
Secara umum pemanfaatan sumberdaya laut untuk ekonomi telah digambarkan dengan pola pengelolaan potensi sumberdaya laut yang cenderung
Universitas Sumatera Utara
bersifat ekstraktif. Ini artinya masyarakat cenderung hanya mengambil apa yang ada di laut tanpa berfikir untuk melakukan pelestarian apakah dengan mengatur pola
pemanfaatan maupun membuat kebijakan pengintensifan pengelolaan hasil tangkapan. Pola pemanfaatan ini adalah pola umum sebab tanpa modal dana yang
terlalu besar ditambah peralatan terutama bila sifatnya merusak maka akan mudah diperoleh hasil yang menguntungkan dalam jangka waktu singkat.
Bahkan di lokasi penelitian penggunaan alat tangkap trawl semakin meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh JALA 2007 bahwa praktek
penangkapan ikan secara ilegal yang tidak dilaporkan dan tidak diatur telah menjadi ancaman bagi dunia perikanan di pesisir Timur Sumatera Utara. Meskipun pukat
harimau trawl sudah dilarang di perairan sebagaimana tertuang dalam Kepres 39 Tahun 1980, namun peraturan ini gagal ditegakkan. Karena selama lebih 25 tahun
sejak Kepres itu dikeluarkan pukat harimau trawl terus saja beroperasi. Sebagai akibatnya konflik horizontal acapkali terjadi antara nelayan tradisional dengan pukat
harimau trawl yang berakibat jatuhnya korban di pihak nelayan dan hingga saat ini konflik tak kunjung diselesaikan. Konflik juga terjadi antara nelayan dengan pihak-
pihak terkait yang diduga memback-up para pengusaha trawl. Pada penelitian JALA pada tahun 2002 JALA, 2007 disebutkan bahwa kurang lebih 1000 trawl yang
beroperasi di perairan Sumatera Utara setiap harinya, baik di Pantai Timur maupun di Pantai Barat. Jenis trawl yang dikenal ada dua jenis pukat trawl yaitu pukat trawl
mini dan pukat trawl besar. Pukat trawl mini biasanya dioperasikan oleh kapal dengan kapasitas antara 5 – 10 GT. Sedangkan pukat trawl besar dioperasikan oleh
Universitas Sumatera Utara
kapal dengan kapasitas 10 GT – 60 GT. Dari jumlah itu yang paling banyak beroperasi secara ilegal adalah pukat trawl mini yang dimiliki oleh pengusaha
pribumi dan non pribumi, sedangkan sisanya trawl dari negara lain seperti Thailand. Lebih lanjut JALA 2007 menunjukkan bahwa data tentang trawl yang beroperasi
di pantai Timur Sumatera Utara adalah sebagai berikut:
Tabel 5.8. Alat Tangkapan Ikan, Jumlah dan Ukuran GT yang Beroperasi di Daerah Tangkapan Nelayan KecilTradisional
Nama Alat Jumlah
GT Daerah Operasi
PIPU TrawlFishnet ≥ 200 buah
≥ 30 GT 5 mil
Pukat Langgei ≥ 400 buah
≥ 5 GT Bibir Pantai
Pukat Layang ≥ 200 buah
≥ 3 – 5 GT Bibir Pantai
Sumber: JALA, 2007. Dilihat dari kaca mata keseimbangan ekologis terlihat dengan jelas bahwa
di beberapa daerah keberadaan nilai budaya yang mengatur pengelolaan kawasan laut turut serta menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya laut dengan upaya
menjaga kesinambungannya. Adapun bentuk kegiatan yang merujuk pada pemanfaatan sumberdaya laut sebagai lahan konservasi masih sangat sulit ditemukan
kecuali pemanfaatan oleh beberapa balai benih Dinas Perikanan dan Kelautan untuk membudidayakan beberapa benih ikan laut yang bisa dibudidayakan di tambak
seperti Ikan Bawal dan Bandeng. Walaupun secara kuantitatif jumlah responden yang mengatakan bahwa pola
pengelolaan sumberdaya laut sifatnya berimbang, namun ketika kepada para responden ditanyakan kondisi sumberdaya laut yang ada di daerah mereka mayoritas
Universitas Sumatera Utara
mereka sepakat mengatakan bahwa kondisi sumberdaya laut yang ada saat ini keadaannya telah rusak bila dibandingkan dengan kondisi 5 dan atau 10 tahun lalu.
Saat ditanyakan lebih lanjut tentang indikasi memburuknya kualitas sumberdaya laut, sebagian besar responden yang hidup dari sektor kelautan
menyatakan bahwa sulitnya memperoleh hasil tangkapan yang banyak dalam waktu singkat merupakan salah satu contohnya. Mereka mengisahkan bahwa lima atau
sepuluh tahun yang lalu, mereka tidak perlu begitu jauh ke tengah laut untuk menangkap ikan serta mereka juga tidak butuh waktu yang lama. Namun, saat ini
mereka harus memiliki persiapan yang lebih banyak dan biaya yang lebih besar untuk mendapatkan jumlah ikan yang sama dengan yang mereka dapatkan lima tahun lalu
sebab waktu menangkap ikan saat ini lebih lama dari sebelumnya. Tidak itu saja, sebagian dari mereka juga mengatakan bahwa saat ini beberapa jenis ikan, sulit
ditemukan atau didapat padahal lima atau sepuluh tahun lalu jenis ikan yang sama mudah dilihat atau ditangkap. Lebih jelas tentang data produksi perikanan di masing-
masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 5.9.
Tabel 5.9. Jumlah Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian
Produksi Perikanan TangkapTahun No.
Kabupaten 2003
2004 2005
2006 2007
1. Langkat
18.998,4 19.237,6
19.307,4 20.272
22.077,7 2.
Deli Serdang 71.698,1
16.792 16.857,2
17.700 18.215,7
3. Asahan
65.540,4 55.092,8
55.418 58.189
59.150,4
Total 156.236,9
91.122,4 91.579,6
96.161 99.443,8
Jumlah Produksi Sumatera Utara Total
314.182,5 323.793,9 326.336,2
342.646 361.673,7
Persentase 49.73
28,14 28,06
28,06 27,49
Sumber: Statistik Perikanan, 2007.
Universitas Sumatera Utara
Data di atas menunjukkan bahwa ada trend penurunan jumlah produksi perikanan di lokasi penelitian.
5.2.3. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir
Sejalan dengan arti penting kawasan mangrove, pemanfaatan sumberdaya pesisir juga menjadi perlu diperhatikan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para
responden, diperoleh hasil bahwa sebanyak 265 orang atau 80,2 responden menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam pesisir hanya untuk kepentingan
ekonomi saja. Hanya 55 orang atau 16,8 responden yang menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir berjalan seimbang antara konservasi dan ekonomi,
sisanya sebesar 10 orang atau sebanyak 3 orang yang menyatakan pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan untuk konservasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada Tabel 5.10 berikut ini.
Tabel 5.10. Penilaian tentang Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir
Lokasi Responden No.
Penilaian tentang Pemanfaatan Sumberdaya
Pesisir Langkat
Deli Serdang Asahan
Jumlah
1. Untuk Kepentingan
Ekonomi Semata 57
105 103
265 2.
Seimbang Antara Konservasi dan Ekonomi
25 13
17 55
3. Untuk Areal Konservasi
7 3
10
Total 89
121 120
330
Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Melihat data yang dimuat dalam Tabel 5.10 dapat kita simpulkan beberapa hal
diantaranya adalah bahwa sejauh ini orientasi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir masih didominasi motif ekonomi. Bila ini berlanjut, maka
Universitas Sumatera Utara
kualitas lingkungan kawasan pesisir akan mengalami penurunan dan pada gilirannya akan mempengaruhi daya dukungnya terhadap kehidupan manusia. Tidak itu saja,
eksploitasi sumberdaya pesisir yang terjadi merupakan sebuah faktor dominan yang juga menjadi sebab pada rusaknya kawasan lain yang terkait dengan pesisir yakni laut
dan mangrove. Sejalan dengan data mengenai tingkat pemanfaatan, jawaban responden menyangkut kualitas sumberdaya pesisir di wilayah mereka saat ini juga
menunjukkan pola linear. Penilaian sebagian besar atau bahwa hampir semua responden sepakat mengatakan kalau kondisi sumberdaya pesisir di wilayah mereka
mengalami kerusakan yang parah bila dibandingkan dengan kondisi lima atau sepuluh tahun lalu. Bila dalam jangka waktu dekat tidak dilakukan pengelolaan
secara terintegrasi menyangkut kawasan pesisir, laut dan mangrove, maka seluruh potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut akan turut menurun dan
kemudian menyebabkan kualitas hidup manusia juga memburuk. Hampir sama dengan data tentang pandangan masyarakat terhadap ekosistem mangrove, pandangan
masyarakat terhadap ekosistem pesisir juga menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Langkat lebih konservatif dibandingkan dengan dua Kabupaten Deli
Serdang dan Asahan. Hal ini terjadi karena program MCRMP relatif lebih berhasil di Kabupaten Langkat, juga karena banyaknya program-program dari lembaga lain
yang melakukan pembinaan di Kabupaten Langkat. Bila dilakukan penghitungan skor pandangan masyarakat terhadap pola pemanfaatan ekosistem mangrove,
sumberdaya laut perikanan tangkap dan sumberdaya pesisir dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Universitas Sumatera Utara
Tabel 5.11. Skor untuk Komponen Pemanfaatan dan Laju Kerusakan Sumberdaya Alam Laut
Kabupaten No.
Komponen Pemanfaatan Sumberdaya
Langkat Deli Serdang Asahan
Pengelolaan dan pemanfaatan 1.
Pola pemanfaatan kawasan mangrove
2,4 1,95 2,13 2. Pemanfaatan
sumberdaya laut
1,2 1,34 1,21 3. Pemanfaatan
sumberdaya pesisir
1,4 1,16 1,14
Rataan 1,67 1,48 1,49
Total Rataan 1,54
Berdasarkan uraian yang telah dimuat pada bagian awal terlihat dengan jelas bahwa kondisi sumberdaya pesisir yang meliputi hutan mangrove, sumberdaya laut
dan sumberdaya pesisir sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari data laju kerusakan hutan yang cukup tinggi sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 5.12. Apa
yang diungkapkan dalam Gambar 5.12 juga sejalan dengan penilaian responden terhadap kondisi sumberdaya mangrove yang analisa jawabannya menunjukkan hasil
yang juga cenderung buruk atau tingkat kerusakannya adalah sedang dan menjurus tinggi. Satu hal yang menarik adalah kondisi hutan mangrove di Kabupaten Asahan
cenderung lebih baik dibanding dua kabupaten lainnya. Hal ini terjadi karena luas hutan mangrove di Kabupaten Asahan memang kecil sehingga perubahan yang terjadi
juga kecil, dibandingkan dengan Kabupaten Langkat yang luas hutan mangrovenya pada awalnya besar, ketika berubah fungsi, maka perubahan itu kelihatan sangat
besar.
Universitas Sumatera Utara
5000 10000
15000 20000
25000 30000
35000 40000
45000 50000
L u
a s
Ma n
g ro
v e
H a
L angkat Deli
S erdang Asahan
L uas R usak
S edang R usak
Berat T idak
R usak
Gambar 5.3. Diagram tentang Kondisi Hutan Mangrove
Pengelolaan sumberdaya kelautan juga menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun, namun maksimalisasi penangkapan telah melebihi ambang batas
penangkapan ideal dan ini tentu menjurus pada eksploitasi yang berlebihan. Kenyataan ini jelas menunjukkan suatu kondisi yang tidak sehat dalam pengelolaan
sumberdaya alam. Temuan data statistik perikanan juga sejalan dengan penilaian masyarakat yang cenderung menilai kondisi sumberdaya laut saat ini adalah
mengarah pada kategori buruk dengan tingkat kerusakan yang tinggi. Lebih jelasnya tentang gambaran produksi perikanan di masing-masing kabupaten yang diteliti dapat
dilihat pada Gambar 5.4. Sementara itu, kondisi kawasan pesisir yang dimanfaatkan
Universitas Sumatera Utara
untuk tambak nasibnya juga tidak jauh berbeda. Data yang ada menunjukkan kalau tidak semua lahan tambak pada tahun 2007 diaktifkan. Adanya lahan yang tidak
dimanfaatkan tentu secara ekologis mengurangi manfaat sebab lahan tersebut statusnya juga tidak dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai kawasan mangrove. Ini
artinya ada lahan hasil bukaan hutan mangrove yang statusnya tidak jelas.
0,00 10.000,00
20.000,00 30.000,00
40.000,00 50.000,00
60.000,00 70.000,00
80.000,00
2003 2004
2005 2006
2007
T ahun P
ro d
u k
s i
T o
n
L angkat Deli
S erdang As ahan
Gambar 5.4. Grafik Produksi Perikanan di Daerah Penelitian 2003-2007
Untuk mengetahui lebih jelas tentang kondisi lahan tambak di ketiga kabupaten, dapat dilihat pada Gambar 5.5.
Universitas Sumatera Utara
500 1000
1500 2000
2500 3000
3500 4000
4500
L u
a s
L a
h a
n H
a
Langkat Deli
Serdang Asahan
Luas Kotor Lahan Tambak
Luas Bersih Lahan Tambak
Gambar 5.5. Luas dan Kondisi Lahan Tambak Tahun 2007
Bila memperhatikan uraian pada bagian sebelumnya, maka skor untuk pola pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat dilihat dari pemanfaatan lahan
di wilayah pesisir, pengelolaan terhadap ekosistem mangrove, pemanfaatan sumberdaya laut menunjukkan nilai yang rendah.
Universitas Sumatera Utara
5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Timur Sumatera Utara