Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir

5.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir

5.2.1. Tanggapan Masyarakat terhadap Pemanfaatan Sumberdaya dan

Kerusakan Kawasan Mangrove Selanjutnya ditanyakan juga apa pendapat masyarakat terhadap pemanfaatan sumberdaya dan kerusakan kawasan mangrove. Berdasarkan hasil wawancara kepada 330 orang responden yang berasal dari masyarakat umum diketahui bahwa sebanyak 136 orang atau sekitar 41,2 orang responden menyatakan ekosistem mangrove dimanfaatkan untuk areal konservasi semata. Sementara itu terdapat sebanyak 101 orang atau 30,6 responden menyatakan bahwa saat ini pemanfaatan ekosistem mangrove berjalan secara seimbang antara konservasi dan ekonomi. Adapun sebanyak 93 orang atau 28,2 saja responden yang menyatakan ekosistem mangrove dimanfaatkan hanya untuk kepentingan ekonomi saja. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.3 berikut ini. Tabel 5.3. Pemanfaatan Ekosistem Mangrove Lokasi Responden No. Penilaian tentang Pemanfaatan Mangrove Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Untuk Kepentingan Ekonomi Semata 13 49 31 93 2. Seimbang Antara Konservasi dan Ekonomi 30 29 42 101 3. Untuk Areal Konservasi 46 43 47 136 Total 89 121 120 330 Sumber: Wawancara, 2008. Data di atas menunjukkan bahwa masyarakat di Kabupaten Langkat cenderung menjaga ekosistem mangrove dibanding dengan di Kabupaten Deli Universitas Sumatera Utara Serdang dan Asahan. Hal ini terjadi karena di Kabupaten Langkat program MCRMP relatif lebih berhasil dalam upaya pengelolaan ekosistem mangrove. Di samping itu beberapa lembaga swadaya masyarakat telah melakukan pembinaan tentang pengelolaan ekosistem mangrove, seperti JALA yang telah berhasil melahirkan SK Desa untuk perlindungan hutan bakau di Desa Jaring Halus, Kabupaten Langkat . Demikian juga lembaga PARAS telah melakukan penanaman mangrove di Desa Jaring Halus, juga Yayasan Akar Rumput bekerjasama dengan MAP Mangrove Action Program melakukan inisiasi untuk membuat bahan baku daun mangrove untuk jadi teh. Selain itu USU sendiri cukup banyak melakukan pembinaan tentang pengelolaan mangrove di Kabupaten Langkat. Adapun bentuk pemanfaatan kawasan mangrove sebagai lahan konservasi diantaranya berupa penanaman kembali bukaan hutan mangrove. Pada dasarnya pemanfaatan hutan mangrove sebagai lahan konservasi dapat dilihat dari adanya penetapan status kawasan suaka alam bagi hutan mangrove di Kabupaten Langkat yang dikenal dengan Suaka Alam Karang Gading. Sementara itu pemanfaatan alam yang sifatnya berimbang antara konservasi dan ekonomi dapat dilihat di beberapa kawasan tambak yang semula merupakan kawasan hutan mangrove. Walaupun demikian, pada beberapa bagian dari lahan tambak, para petambak tetap saja menanam atau membiarkan beberapa kelompok vegetasi mangrove hidup sebagai pelindung lahan dari abrasi air laut. Dalam kondisi demikian terlihat jelas para petambak juga berusaha menjaga keseimbangan ekosistem agar tetap bisa memberi manfaat secara ekonomis maupun ekologis. Universitas Sumatera Utara Mengingat bahwa sebagian responden ada yang berpendapat bahwa kawasan mangrove merupakan kawasan yang sumberdaya layak hanya untuk dimanfaatkan atau dieksploitasi, maka sudah pasti ada pengaruhnya pada kerusakan lahan mangrove. Ketika ditanyakan kepada responden tentang kondisi kawasan hutan mangrove di wilayah mereka maka jawaban yang diperoleh cukup bervariasi. Menurut sebagian besar responden kawasan mangrove memang mengalami kerusakan yang secara kuantitas memerlukan perhitungan rinci. Namun demikian sebagian lagi mengatakan bahwa kawasan hutan mangrove di wilayah mereka kondisinya masih sama dengan 5 atau bahkan 10 tahun lalu. Dan hanya sebagian kecil saja yang mengatakan kondisi hutan mangrove di wilayah mereka kondisinya menjadi lebih baik. Berdasarkan hasil pengamatan di beberapa wilayah yang diteliti memang diperoleh hasil bahwa kondisi hutan mangrove pada beberapa bagian mengalami kerusakan. Pada era pertengahan 1900-an, pemanfaatan kayu bakau sebagai bahan baku arang menjadi pemicu utama penebangan hutan mangrove secara tidak lestari. Sementara itu awal 1980-an sampai dengan tahun 1990-an pembukaan lahan tambak juga turut menyumbang pada kerusakan lingkungan hutan mangrove. Lebih jelas tentang kondisi kerusakan kawasan hutan mangrove yang ada saat ini di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.4 berikut: Universitas Sumatera Utara Tabel 5.4. Kondisi Hutan Mangrove di Kabupaten yang Diteliti Kondisi Mangrove Ha No. Kabupaten Kecamatan Luas Rusak Berat Rusak Sedang Tidak Rusak 1. Langkat 43.014,7 22.387,57 17.915,85 2.711,28 - Besitang 361,65 286,87 74,78 - Berandan Barat 1.936,12 381,92 892,97 661,23 - Gebang 7.421,8 4.851,49 2.570,31 - Pangkalan Susu 9.906,43 2.785,67 7.120,76 - Secanggang 8.148,3 3.489,21 3.187,23 1.471,86 - Sei Lepan 5.286,82 4.943,54 229,7 113,58 - Tanjung Pura 9.953,58 5.648,87 3.840,1 464,61 2. Deli Serdang 12.817,55 7.494,42 3.784,98 1.538,29 - Hamparan Perak 4.073,55 2.581,16 367,38 1.125,01 - Percut Sei Tuan 4.856,63 2.982,88 1.563,08 310,67 - Pantai Labu 1.341,03 1.007,28 333,75 - Labuhan Deli 2.546,48 923,1 1.520,77 102,61 3. Asahan 46.205 27.792,8 18.412,2 - Air Batu 62,5 60,5 2 - Air Joman 7.960 4.181,3 3.778,7 - Meranti 1.879 1.809,8 69,2 - Sei Kepayang 30.211,9 19.063,1 11.148,8 - Tanjung Balai 6.091,6 2.678,1 3.413,5 Total Mangrove di Daerah Penelitian 102.037,3 57.674,79 21.700,83 22.661,77 Sumber: BPHM Wilayah II Tahun 2006. Sementara itu, tingkat kerusakan yang dipublikasi oleh Balai Konservasi Sumberdaya Alam Wilayah I Sumatera Utara pada tahun 2006 juga menunjukkan data yang tentunya juga berbeda sesuai dengan perbedaan luas lahan mangrove yang ada. Secara rinci kerusakan kawasan hutan mangrove di masing-masing daerah menurut data BKSDA Wilayah I adalah seperti pada Tabel 5.5. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.5. Kondisi Hutan Mangrove di Kabupaten yang Diteliti Menurut BKSDA Wilayah I Sumatera Utara StatusKondisi Ha No. Kabupaten Kecamatan Luas Mangrove Ha Baik Rusak 1. Langkat 6.240,00 4.130,00 2.110,00 2. Deli Serdang 30.020,00 12.000,00 18.012,00 3. Asahan 14.248,00 2.652,00 11,595,80 4. Labuhan Batu 8.860,00 4.300,00 4.560,00 5. Serdang Bedagai - - - 6. Batu Bara - - - Sumber: BKSDA Wilayah I Sumatera Utara. data belum tersedia karena merupakan daerah hasil pemekaran

5.2.2. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Laut Perikanan Tangkap dan

Budidaya Sampai saat ini produksi perikanan di pantai Timur Sumatera Utara memang lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil tangkapan di pantai Barat Sumatera Utara. Dalam sebuah kajian yang dilakukan oleh PKSPL-IPB dengan BAPPEDA Sumatera Utara pada tahun 2000 disebutkan produksi perikanan tangkap di pantai Timur Sumatera Utara telah melebihi jumlah yang selayaknya bisa ditangkap Over Fishing. Kondisi over fishing tersebut menjadikan kelangsungan hidup sumberdaya perikanan di pantai Timur menjadi sangat terancam dan dalam jangka waktu panjang akan menyebabkan kepunahan. Data mengenai produksi perikanan tangkap di laut dan perairan umum di daerah yang diteliti dapat dilihat pada Tabel 5.6 berikut. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.6. Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian Tahun 2007 No. Kabupaten Jumlah Produksi Tahun 2007 ton 1. Langkat 22.077,7 2. Deli Serdang 18.215,7 3. Asahan 59.150,4 Total 99.443,8 Sumber: Statistik Perikanan, 2007. Berdasarkan hasil wawancara terhadap masyarakat dan tokoh-tokoh masyarakat tentang pemanfaatan sumberdaya alam laut diketahui bahwa sebanyak 244 orang atau 73,9 responden menyatakan pemanfaatan sumberdaya alam laut hanya untuk kepentingan ekonomi semata. Adapun sebanyak 85 orang atau 25,8 menyatakan pemanfaatan sumberdaya alam laut dan pesisir yang terjadi saat ini berlangsung secara seimbang antara konservasi dan ekonomi. Sedangkan sisanya sebanyak 1 orang atau 0,30 saja yang menyatakan pemanfaatan sumberdaya alam laut dilakukan untuk areal konservasi. Tabel 5.7. Pemanfaatan Sumberdaya Alam Laut Lokasi Responden No. Penilaian tentang Pemanfaatan Sumber Daya Laut Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Untuk Kepentingan Ekonomi Semata 68 81 95 244 2. Seimbang Antara Konservasi dan Ekonomi 21 39 25 85 3. Untuk Areal Konservasi 1 1 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, Tahun 2008. Secara umum pemanfaatan sumberdaya laut untuk ekonomi telah digambarkan dengan pola pengelolaan potensi sumberdaya laut yang cenderung Universitas Sumatera Utara bersifat ekstraktif. Ini artinya masyarakat cenderung hanya mengambil apa yang ada di laut tanpa berfikir untuk melakukan pelestarian apakah dengan mengatur pola pemanfaatan maupun membuat kebijakan pengintensifan pengelolaan hasil tangkapan. Pola pemanfaatan ini adalah pola umum sebab tanpa modal dana yang terlalu besar ditambah peralatan terutama bila sifatnya merusak maka akan mudah diperoleh hasil yang menguntungkan dalam jangka waktu singkat. Bahkan di lokasi penelitian penggunaan alat tangkap trawl semakin meningkat. Hasil penelitian yang dilakukan oleh JALA 2007 bahwa praktek penangkapan ikan secara ilegal yang tidak dilaporkan dan tidak diatur telah menjadi ancaman bagi dunia perikanan di pesisir Timur Sumatera Utara. Meskipun pukat harimau trawl sudah dilarang di perairan sebagaimana tertuang dalam Kepres 39 Tahun 1980, namun peraturan ini gagal ditegakkan. Karena selama lebih 25 tahun sejak Kepres itu dikeluarkan pukat harimau trawl terus saja beroperasi. Sebagai akibatnya konflik horizontal acapkali terjadi antara nelayan tradisional dengan pukat harimau trawl yang berakibat jatuhnya korban di pihak nelayan dan hingga saat ini konflik tak kunjung diselesaikan. Konflik juga terjadi antara nelayan dengan pihak- pihak terkait yang diduga memback-up para pengusaha trawl. Pada penelitian JALA pada tahun 2002 JALA, 2007 disebutkan bahwa kurang lebih 1000 trawl yang beroperasi di perairan Sumatera Utara setiap harinya, baik di Pantai Timur maupun di Pantai Barat. Jenis trawl yang dikenal ada dua jenis pukat trawl yaitu pukat trawl mini dan pukat trawl besar. Pukat trawl mini biasanya dioperasikan oleh kapal dengan kapasitas antara 5 – 10 GT. Sedangkan pukat trawl besar dioperasikan oleh Universitas Sumatera Utara kapal dengan kapasitas 10 GT – 60 GT. Dari jumlah itu yang paling banyak beroperasi secara ilegal adalah pukat trawl mini yang dimiliki oleh pengusaha pribumi dan non pribumi, sedangkan sisanya trawl dari negara lain seperti Thailand. Lebih lanjut JALA 2007 menunjukkan bahwa data tentang trawl yang beroperasi di pantai Timur Sumatera Utara adalah sebagai berikut: Tabel 5.8. Alat Tangkapan Ikan, Jumlah dan Ukuran GT yang Beroperasi di Daerah Tangkapan Nelayan KecilTradisional Nama Alat Jumlah GT Daerah Operasi PIPU TrawlFishnet ≥ 200 buah ≥ 30 GT 5 mil Pukat Langgei ≥ 400 buah ≥ 5 GT Bibir Pantai Pukat Layang ≥ 200 buah ≥ 3 – 5 GT Bibir Pantai Sumber: JALA, 2007. Dilihat dari kaca mata keseimbangan ekologis terlihat dengan jelas bahwa di beberapa daerah keberadaan nilai budaya yang mengatur pengelolaan kawasan laut turut serta menjaga keseimbangan antara pemanfaatan sumberdaya laut dengan upaya menjaga kesinambungannya. Adapun bentuk kegiatan yang merujuk pada pemanfaatan sumberdaya laut sebagai lahan konservasi masih sangat sulit ditemukan kecuali pemanfaatan oleh beberapa balai benih Dinas Perikanan dan Kelautan untuk membudidayakan beberapa benih ikan laut yang bisa dibudidayakan di tambak seperti Ikan Bawal dan Bandeng. Walaupun secara kuantitatif jumlah responden yang mengatakan bahwa pola pengelolaan sumberdaya laut sifatnya berimbang, namun ketika kepada para responden ditanyakan kondisi sumberdaya laut yang ada di daerah mereka mayoritas Universitas Sumatera Utara mereka sepakat mengatakan bahwa kondisi sumberdaya laut yang ada saat ini keadaannya telah rusak bila dibandingkan dengan kondisi 5 dan atau 10 tahun lalu. Saat ditanyakan lebih lanjut tentang indikasi memburuknya kualitas sumberdaya laut, sebagian besar responden yang hidup dari sektor kelautan menyatakan bahwa sulitnya memperoleh hasil tangkapan yang banyak dalam waktu singkat merupakan salah satu contohnya. Mereka mengisahkan bahwa lima atau sepuluh tahun yang lalu, mereka tidak perlu begitu jauh ke tengah laut untuk menangkap ikan serta mereka juga tidak butuh waktu yang lama. Namun, saat ini mereka harus memiliki persiapan yang lebih banyak dan biaya yang lebih besar untuk mendapatkan jumlah ikan yang sama dengan yang mereka dapatkan lima tahun lalu sebab waktu menangkap ikan saat ini lebih lama dari sebelumnya. Tidak itu saja, sebagian dari mereka juga mengatakan bahwa saat ini beberapa jenis ikan, sulit ditemukan atau didapat padahal lima atau sepuluh tahun lalu jenis ikan yang sama mudah dilihat atau ditangkap. Lebih jelas tentang data produksi perikanan di masing- masing kabupaten dapat dilihat pada Tabel 5.9. Tabel 5.9. Jumlah Produksi Perikanan di Lokasi Penelitian Produksi Perikanan TangkapTahun No. Kabupaten 2003 2004 2005 2006 2007 1. Langkat 18.998,4 19.237,6 19.307,4 20.272 22.077,7 2. Deli Serdang 71.698,1 16.792 16.857,2 17.700 18.215,7 3. Asahan 65.540,4 55.092,8 55.418 58.189 59.150,4 Total 156.236,9 91.122,4 91.579,6 96.161 99.443,8 Jumlah Produksi Sumatera Utara Total 314.182,5 323.793,9 326.336,2 342.646 361.673,7 Persentase 49.73 28,14 28,06 28,06 27,49 Sumber: Statistik Perikanan, 2007. Universitas Sumatera Utara Data di atas menunjukkan bahwa ada trend penurunan jumlah produksi perikanan di lokasi penelitian.

5.2.3. Pola Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir

Sejalan dengan arti penting kawasan mangrove, pemanfaatan sumberdaya pesisir juga menjadi perlu diperhatikan. Berdasarkan hasil wawancara terhadap para responden, diperoleh hasil bahwa sebanyak 265 orang atau 80,2 responden menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya alam pesisir hanya untuk kepentingan ekonomi saja. Hanya 55 orang atau 16,8 responden yang menyatakan bahwa pemanfaatan sumberdaya pesisir berjalan seimbang antara konservasi dan ekonomi, sisanya sebesar 10 orang atau sebanyak 3 orang yang menyatakan pemanfaatan sumberdaya pesisir dilakukan untuk konservasi. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.10 berikut ini. Tabel 5.10. Penilaian tentang Pemanfaatan Sumberdaya Alam Pesisir Lokasi Responden No. Penilaian tentang Pemanfaatan Sumberdaya Pesisir Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Untuk Kepentingan Ekonomi Semata 57 105 103 265 2. Seimbang Antara Konservasi dan Ekonomi 25 13 17 55 3. Untuk Areal Konservasi 7 3 10 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Melihat data yang dimuat dalam Tabel 5.10 dapat kita simpulkan beberapa hal diantaranya adalah bahwa sejauh ini orientasi masyarakat dalam memanfaatkan sumberdaya pesisir masih didominasi motif ekonomi. Bila ini berlanjut, maka Universitas Sumatera Utara kualitas lingkungan kawasan pesisir akan mengalami penurunan dan pada gilirannya akan mempengaruhi daya dukungnya terhadap kehidupan manusia. Tidak itu saja, eksploitasi sumberdaya pesisir yang terjadi merupakan sebuah faktor dominan yang juga menjadi sebab pada rusaknya kawasan lain yang terkait dengan pesisir yakni laut dan mangrove. Sejalan dengan data mengenai tingkat pemanfaatan, jawaban responden menyangkut kualitas sumberdaya pesisir di wilayah mereka saat ini juga menunjukkan pola linear. Penilaian sebagian besar atau bahwa hampir semua responden sepakat mengatakan kalau kondisi sumberdaya pesisir di wilayah mereka mengalami kerusakan yang parah bila dibandingkan dengan kondisi lima atau sepuluh tahun lalu. Bila dalam jangka waktu dekat tidak dilakukan pengelolaan secara terintegrasi menyangkut kawasan pesisir, laut dan mangrove, maka seluruh potensi sumberdaya alam yang ada di kawasan tersebut akan turut menurun dan kemudian menyebabkan kualitas hidup manusia juga memburuk. Hampir sama dengan data tentang pandangan masyarakat terhadap ekosistem mangrove, pandangan masyarakat terhadap ekosistem pesisir juga menunjukkan bahwa masyarakat Kabupaten Langkat lebih konservatif dibandingkan dengan dua Kabupaten Deli Serdang dan Asahan. Hal ini terjadi karena program MCRMP relatif lebih berhasil di Kabupaten Langkat, juga karena banyaknya program-program dari lembaga lain yang melakukan pembinaan di Kabupaten Langkat. Bila dilakukan penghitungan skor pandangan masyarakat terhadap pola pemanfaatan ekosistem mangrove, sumberdaya laut perikanan tangkap dan sumberdaya pesisir dapat dilihat pada tabel di bawah ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.11. Skor untuk Komponen Pemanfaatan dan Laju Kerusakan Sumberdaya Alam Laut Kabupaten No. Komponen Pemanfaatan Sumberdaya Langkat Deli Serdang Asahan Pengelolaan dan pemanfaatan 1. Pola pemanfaatan kawasan mangrove 2,4 1,95 2,13 2. Pemanfaatan sumberdaya laut 1,2 1,34 1,21 3. Pemanfaatan sumberdaya pesisir 1,4 1,16 1,14 Rataan 1,67 1,48 1,49 Total Rataan 1,54 Berdasarkan uraian yang telah dimuat pada bagian awal terlihat dengan jelas bahwa kondisi sumberdaya pesisir yang meliputi hutan mangrove, sumberdaya laut dan sumberdaya pesisir sangat memprihatinkan. Hal ini dapat dilihat dari data laju kerusakan hutan yang cukup tinggi sebagaimana bisa dilihat pada Gambar 5.12. Apa yang diungkapkan dalam Gambar 5.12 juga sejalan dengan penilaian responden terhadap kondisi sumberdaya mangrove yang analisa jawabannya menunjukkan hasil yang juga cenderung buruk atau tingkat kerusakannya adalah sedang dan menjurus tinggi. Satu hal yang menarik adalah kondisi hutan mangrove di Kabupaten Asahan cenderung lebih baik dibanding dua kabupaten lainnya. Hal ini terjadi karena luas hutan mangrove di Kabupaten Asahan memang kecil sehingga perubahan yang terjadi juga kecil, dibandingkan dengan Kabupaten Langkat yang luas hutan mangrovenya pada awalnya besar, ketika berubah fungsi, maka perubahan itu kelihatan sangat besar. Universitas Sumatera Utara 5000 10000 15000 20000 25000 30000 35000 40000 45000 50000 L u a s Ma n g ro v e H a L angkat Deli S erdang Asahan L uas R usak S edang R usak Berat T idak R usak Gambar 5.3. Diagram tentang Kondisi Hutan Mangrove Pengelolaan sumberdaya kelautan juga menunjukkan peningkatan dari tahun ketahun, namun maksimalisasi penangkapan telah melebihi ambang batas penangkapan ideal dan ini tentu menjurus pada eksploitasi yang berlebihan. Kenyataan ini jelas menunjukkan suatu kondisi yang tidak sehat dalam pengelolaan sumberdaya alam. Temuan data statistik perikanan juga sejalan dengan penilaian masyarakat yang cenderung menilai kondisi sumberdaya laut saat ini adalah mengarah pada kategori buruk dengan tingkat kerusakan yang tinggi. Lebih jelasnya tentang gambaran produksi perikanan di masing-masing kabupaten yang diteliti dapat dilihat pada Gambar 5.4. Sementara itu, kondisi kawasan pesisir yang dimanfaatkan Universitas Sumatera Utara untuk tambak nasibnya juga tidak jauh berbeda. Data yang ada menunjukkan kalau tidak semua lahan tambak pada tahun 2007 diaktifkan. Adanya lahan yang tidak dimanfaatkan tentu secara ekologis mengurangi manfaat sebab lahan tersebut statusnya juga tidak dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai kawasan mangrove. Ini artinya ada lahan hasil bukaan hutan mangrove yang statusnya tidak jelas. 0,00 10.000,00 20.000,00 30.000,00 40.000,00 50.000,00 60.000,00 70.000,00 80.000,00 2003 2004 2005 2006 2007 T ahun P ro d u k s i T o n L angkat Deli S erdang As ahan Gambar 5.4. Grafik Produksi Perikanan di Daerah Penelitian 2003-2007 Untuk mengetahui lebih jelas tentang kondisi lahan tambak di ketiga kabupaten, dapat dilihat pada Gambar 5.5. Universitas Sumatera Utara 500 1000 1500 2000 2500 3000 3500 4000 4500 L u a s L a h a n H a Langkat Deli Serdang Asahan Luas Kotor Lahan Tambak Luas Bersih Lahan Tambak Gambar 5.5. Luas dan Kondisi Lahan Tambak Tahun 2007 Bila memperhatikan uraian pada bagian sebelumnya, maka skor untuk pola pemanfaatan sumberdaya pesisir yang dapat dilihat dari pemanfaatan lahan di wilayah pesisir, pengelolaan terhadap ekosistem mangrove, pemanfaatan sumberdaya laut menunjukkan nilai yang rendah. Universitas Sumatera Utara

5.3. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir Timur Sumatera Utara