Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Terkait Kondisi Sumberdaya Pesisir

Tabel 5.28. Skor Indikator Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir SkorKabupaten No. Indikator Langkat Deli Serdang Asahan 1. Kondisi rumah 2,51 2,5 2,28 2. Tingkat pendidikan 1,6 2,41 1,45 3. Penghasilan 1,2 1,18 1,17 4. Pengeluaran 1,2 1,38 1,47 5. Kepemilikan rumah 2,6 2,55 2,43 6. Kepemilikan Lahan Tambak 0,5 0,03 7. Kepemilikan KerambaJaring Apung 0,3 Rataan 1,41 1,43 1,25 Total Rataan 1,36

5.4. Kondisi Sosial Budaya Masyarakat Terkait Kondisi Sumberdaya Pesisir

5.4.1. Kearifan Budaya yang Berkaitan dengan Pengelolaan Kawasan

Mangrove, Sumberdaya Laut dan Pesisir Kondisi sosial budaya masyarakat diukur dengan indikator nilai sosial dan larangan terhadap ekosistem mangrove, pesisir. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat nilai-nilai sosial pelestarian. Jumlah responden yang berpendapat seperti ini ada 138 orang atau sebanyak 41,8. Sementara itu, masyarakat yang menyatakan bahwa nilai sosial yang ada sifatnya menjaga keseimbangan pemanfaatan dan pelestarian diamini oleh sebanyak 100 orang atau sekitar 30,3. Sedangnya sisanya sebanyak 92 orang atau 27,9 menyatakan nilai sosial yang ada sifatnya merusak kawasan mangrove. Eksistensi nilai sosial yang berisi anjuran untuk melestarikan, memanfaatkan atau merusak untuk setiap desa berbeda. Untuk lebih jelas mengenai persentase penilaian responden tentang keberadaan nilai sosial tersebut dapat dilihat pada Tabel 5.29. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.29. Nilai-nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Lokasi Responden No. Nilai Sosial yang Terkait dengan Pengelolaan Kawasan Mangrove Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Nilai Sosial yang Merusak 13 50 29 92 2. Nilai Sosial Menjaga Keseimbangan 32 26 42 100 3. Nilai Sosial Melestarikan 44 45 49 138 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Contoh nilai yang melestarikan pengelolaan ekosistem mangrove adalah adanya larangan PPA menebang hutan mangrove, karena ekosistem mangrove berguna untuk ekosistem laut dan pelindung masyarakat desa dari banjir dan angin, hutan bakau berguna untuk penghijauan desa, hutan bakau juga berguna untuk tempat bertelur udang dan ikan, selain itu ekosistem mangrove juga bermanfaat untuk mencegah abrasi, melindungi daratan terhadap bencana banjir, longsor, angin, dan gelombang. Menurut responden ekosistem mangrove juga bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar. Sedangkan nilai yang menjaga keseimbangan pengelolaan ekosistem mangrove adalah menanam mangrove kemudian diambil kayunya untuk kebutuhan rumah tangga dan bukan untuk dijual. Contoh lain adalah pelarangan menebang hutan mangrove karena merupakan tempat berpijahnya ikan dan udang, kemudian timbulnya kesadaran bahwa mangrove berguna untuk penghijauan. Contoh lain adalah boleh mengambil kayu bakar tetapi jangan terlalu banyak dan jangan sampai ke tepi sungai atau laut. Selain itu juga setiap mengambil kayu harus diganti dengan Universitas Sumatera Utara tanaman baru. Sedangkan nilai yang merusak ekosistem mangrove, contohnya adalah bebas mengambil hutan bakau untuk menambah penghasilan. Selain itu boleh juga menebang mangrove untuk dijadikan tambak udang, dengan bebas tanpa aturan baik itu aturan dari Pemerintah maupun aturan adat istiadat. Pada masyarakat pesisir Timur Sumatera Utara juga ditemu adanya nilai sosial yang terkait dengan pengelolaan sumberdaya alam laut yang mencakup ikan, udang, kepiting, rumput laut dan terumbu karang. Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden diketahui bahwa dari 330 responden sebanyak 220 orang atau sekitar 66,7 mengatakan bahwa di lingkungan mereka terdapat nilai menjaga keseimbangan dalam pengelolaan sumberdaya alam laut. Namun demikian, sebanyak 106 orang atau 32,1 reponden menyatakan di masyarakat terdapat nilai merusak sumberdaya laut dan hanya 4 responden atau 1,2 yang menjawab bahwa di masyarakat terdapat nilai yang melestarikan sumberdaya laut. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.30 berikut ini. Tabel 5.30. Nilai-Nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Laut Lokasi Responden No. Nilai Sosial yang Terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Laut Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Nilai Sosial yang Merusak 40 45 21 106 2. Nilai Sosial Menjaga Keseimbangan 47 74 99 220 3. Nilai Sosial Melestarikan 2 2 4 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Universitas Sumatera Utara Nilai sosial di masyarakat yang sifatnya melestarikan sumberdaya alam laut diantaranya adalah menganjurkan untuk memakai alat tangkap yang tidak merusak. Sedangkan contoh nilai yang menjaga keseimbangan pengelolaan sumberdaya alam laut adalah kegiatan jamu laut, tidak boleh memakai pukat harimau, menggunakan alat tangkap yang tidak merusak lingkungan, tidak merusak terumbu karang. Selain itu adanya kepercayaan yang menyatakan bahwa laut memiliki penunggunya, jadi jangan dirusak, kemudian disampaikan agar yang ditangkap ikan yang ada saja atau jangan diambil secara besar-besaran, atau jangan ditangkap ikan yang masih kecil, dan perlunya dilakukan zonasi penangkapan ikan. Adapun contoh nilai sosial yang merusak sumber alam laut adalah bebas menggunakan alat tangkap dalam memanfaatkan hasil laut termasuk alat tangkap yang sifatnya merusak seperti racun ikan, alat peledak dan alat-alat lain yang bisa merusak ekosistem dasar laut. Nilai lain yang juga merusak adalah adanya perilaku sebagian nelayan yang hanya taat pada aturan di saat ada petugas mengawasi sementara di saat tidak ada pengawasan maka ada kesan diperbolehkan menggunakan alat tangkap yang merusak. Sebanyak 183 orang atau 55,5 responden menyatakan memiliki nilai yang merusak sumberdaya pesisir. Jumlah responden yang menyatakan bahwa di masyarakat berkembang nilai yang menjaga keseimbangan ada 141 orang atau 42,7. Sedangkan sisanya yakni sebanyak 6 orang atau sekitar 1,8 yang menyatakan bahwa saat ini nilai sosial yang dominan di masyarakat adalah nilai Universitas Sumatera Utara melestarikan sumberdaya pesisir. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.31 berikut ini. Tabel 5.31. Nilai yang Berkaitan dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Lokasi Responden No. Nilai Sosial yang Terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Nilai Sosial yang Merusak 43 72 68 183 2. Nilai Sosial Menjaga Keseimbangan 41 48 52 141 3. Nilai Sosial Melestarikan 5 1 6 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Contoh nilai melestarikan adalah menangkap ikan harus sesuai dengan alat tangkap, jangan memakai alat tangkap yang merusak, kemudian menanam hutan bakau, pelestarian hutan mangrove dan daerah pesisir karena merupakan tempat hidup nelayan dan untuk anak cucu kita. Sedangkan nilai yang sifatnya merusak diantaranya adalah adanya anggapan bahwa selama laut masih bergelombang maka pasti masih ada ikan jadi tidak perlu mengeluarkan tenaga tambahan untuk menjaga hutan bakau, tidak perlu khawatir membuang sampai sembarangan sebab laut tidak akan tercemar, pantai adalah kawasan yang potensial jadi kalau ada kesempatan harus dimanfaatkan dengan maksimal dan nilai-nilai sosial lainnya.

5.4.2. Larangan yang Berkaitan dengan Pengelolaan Ekosistem Mangove,

Sumberdaya Laut Serta Pesisir Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 144 orang atau 43,6 responden menyatakan bahwa terdapat larangan-larangan sosial di masyarakat yang mengandung nilai melestarikan kawasan mangrove. Adapun jumlah responden yang Universitas Sumatera Utara menyatakan bahwa di masyarakat terdapat larangan yang malah merusak ekosistem mangrove berjumlah 114 orang atau 34,6 dan hanya 72 orang atau 21,8 yang merasa bahwa larangan yang ada berfungsi melestarikan kawasan hutan mangrove. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.32 berikut ini. Tabel 5.32. Larangan Sosial terkait dengan Pengelolaan Ekosistem Mangrove Lokasi Responden No. Larangan Sosial yang Berkaitan dengan Ekosistem Mangrove Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Larangan yang ada malah merusak 22 40 52 114 2. Larangan bertujuan menjaga keseimbangan 23 25 24 72 3. Larangan yang ada menjaga kelestarian 44 56 44 144 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Contoh larangan yang mengandung nilai pelestarian diantaranya adalah larangan Pemerintah seperti dari Dinas Kehutanan atau PPA untuk menebang hutan mangrove dengan alasan apapun. Sedangkan contoh larangan nilai yang menjaga keseimbangan pengelolaan ekosistem mangrove adalah adanya pelarangan memanfaatkan kayu mangrove kecuali sudah cukup tua usianya dan adanya inisiatif penduduk untuk membentuk kelompok pelestari mangrove dengan kegiatan penanaman kembali hutan mangrove. Bila ada anggota atau masyarakat yang mengambil kayu mangrove tanpa alasan yang membolehkan akan didenda. Larangan yang tujuannya menjaga keseimbangan berupa larangan menebang kayu mangrove bila tujuannya untuk dijual namun bila untuk kebutuhan sendiri masih diperbolehkan Universitas Sumatera Utara namun dengan syarat. Sementara itu, bentuk pelarangan yang malah merusak hutan mangrove adalah adanya nilai untuk tidak menyia-nyiakan sumberdaya yang ada sebab kesempatan tidak akan mungkin datang dua kali. Adapun tanggapan masyarakat mengenai keberadaan pelarangan seputar pengelolaan sumberdaya alam laut persentase jawabannya juga bervariasi. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 215 orang atau 65,2 responden menyatakan larangan yang ada seputar pengelolaan sumberdaya laut memiliki nilai yang merusak sumberdaya laut. Terdapat 110 orang atau 33,3 menyatakan larangan tersebut mengandung nilai menjaga keseimbangan dan sisanya sebanyak 5 orang atau hanya 1,5 menyatakan larangan tersebut mengandung nilai melestarikan. Bila dibandingkan dengan tanggapan masyarakat tentang pelarangan seputar pengelolaan kawasan mangrove terlihat dengan jelas bahwa keberadaan pelarang di sektor pemanfaatan sumberdaya laut ternyata tidak efektif dalam menjaga kelestarian. Hal ini bisa dilihat dari minimnya penilaian masyarakat yang mengatakan bahwa keberadaan larangan yang ada saat ini tidak secara otomatis berkaitan dengan upaya menjaga kelestarian sumberdaya laut. Untuk lebih jelas mengenai persentase jawaban responden tentang keberadaan larangan sosial dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya alam kelautan dapat dilihat pada Tabel 5.33 berikut ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.33. Larangan Sosial Terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Alam Laut Lokasi Responden No. Larangan Sosial yang Berkaitan dengan Sumberdaya Laut Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Larangan yang ada malah merusak 59 60 96 215 2. Larangan bertujuan menjaga keseimbangan 27 59 24 110 3. Larangan yang ada menjaga kelestarian 3 2 5 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Contoh pelarangan yang bertujuan untuk melestarikan adalah larangan memakai alat tangkap yang merusak, dan tidak boleh memakai trawl, serta pelarangan menggunakan peledak dan bom. Namun demikian, secara umum dapat dikatakan bahwa efektivitas larangan yang ada dalam mengontrol prilaku masyarakat masih sangat rendah. Sementara itu contoh larangan yang malah merusak sumberdaya alam laut diantaranya adalah adanya larangan untuk membuang hasil tangkapan yang sudah ditangkap sebab itu adalah rezeki walaupun hasil tangkapan tersebut masih kecil anakan atau binatang yang dilindungi. Keberadaan larangan di seputar pengelolaan sumberdaya pesisir memiliki persentase jawaban yang tidak jauh berbeda dalam pandangan responden dengan larangan tentang seputar pengelolaan sumberdaya laut. Berdasarkan hasil wawancara, sebanyak 250 orang atau sebesar 75,8 responden menyatakan larangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir mengandung nilai merusak sumberdaya pesisir. Sementara itu, terdapat 71 orang atau hanya 21,5 yang Universitas Sumatera Utara menyatakan larangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir memiliki mengandung nilai menjaga keseimbangan sedangkan sisanya sebanyak 9 orang atau 2,7 responden menyatakan mengandung nilai melestarikan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.34 berikut ini. Tabel 5.34. Larangan Sosial Terkait dengan Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Lokasi Responden No. Larangan Sosial yang Berkaitan dengan Sumber Pesisir Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Larangan yang ada malah merusak 54 84 112 250 2. Larangan bertujuan menjaga keseimbangan 29 34 8 71 3. Larangan yang ada menjaga kelestarian 6 3 9 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Contoh larangan yang mengandung nilai melestarikan sumberdaya pesisir adalah dilarang menebang bakau yang ditanam orang lain, dilarang menambang pasir serta adanya pelarangan untuk membuka kawasan hutan mangrove untuk dijadikan tambak tanpa perencanaan dan pertimbangan ekologis. Namun demikian, larangan yang sifatnya malah merusak ternyata dalam pandangan responden lebih dominan yang contohnya adalah adanya larangan untuk tidak menyia-nyiakan kekayaan alam yang ada di pesisir sebab semuanya merupakan pemberian Tuhan untuk manusia. Contoh lain dari larangan yang malah merusak adalah adanya larangan untuk tidak hanya merawat alam tanpa memanfaatkannya sebab bagi sebagian masyarakat, merawat sumberdaya pesisir adalah tanggung jawab bersama. Ada nilai dalam Universitas Sumatera Utara sebagian masyarakat bahwa kalau kita hanya merawat dan tidak pernah memanfaatkan, maka kita akan merugi sebab orang lainlah yang mengambil hasilnya.

5.4.3. Hubungan Sosial Masyarakat di Pesisir Timur Sumatera Utara

Sebanyak 219 orang atau sekitar 66,4 responden menyatakan hubungan sosial antara individu di masyarakat desa yang diteliti dalam kurun lima tahun terakhir berlangsung biasa saja. Bila dibandingkan dengan pola hubungan sosial antarindividu pada periode 10 sd 15 tahun yang lalu, sebagian besar responden menyetujui adanya perubahan suasana. Walaupun demikian, secara umum responden juga setuju bahwa dalam lima tahun terakhir tidak ada perubahan yang berarti menyangkut hubungan sosial antar- individu di desa mereka. Sementara itu, sebanyak 100 orang atau 30,3 responden menyatakan hubungan sosial diantara mereka berlangsung dalam suasana yang harmonis. Keharmonisan hubungan ini dalam pandangan masyarakat dapat dilihat dari tidak adanya konflik dan pertikaian dalam masyarakat yang memunculkan kerugian di salah satu pihak dalam skala yang besar. Adapun sisanya sebanyak 11 orang atau 3,3 responden menyatakan hubungan sosial diantara mereka sangat harmonis. Kondisi sangat harmonis ditandai adanya frekwensi kerjasama yang makin intensif diantara sesama warga tanpa membedakan latar belakang suku, agama dan hal lainnya. Tidak itu aja, kondisi kehidupan sosial dalam kurun lima tahun terakhir juga sangat mendukung aktivitas di sektor lain seperti ekonomi, keagamaan dan lain- lain. Untuk lebih jelas tentang penilaian responden terhadap kondisi hubungan sosial di wilayah mereka tinggal dapat dilihat pada Tabel 5.35 berikut ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.35. Kondisi Hubungan Sosial Antara Individu di Masyarakat Lokasi Responden No. Kondisi Hubungan Sosial di Masyarakat Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Biasa Saja 53 79 87 219 2. Harmonis 28 41 31 100 3. Sangat Harmonis 8 1 2 11 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Sebanyak 309 orang atau sekitar 93,6 responden menyatakan tidak ada konflik sosial yang terjadi di wilayah mereka tinggal. Sedangkan sebanyak 17 orang atau 5,2 mengatakan terdapat beberapa kasus konflik sosial yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Adapun responden yang mengatakan bahwa di daerah tempat tinggal mereka sering terjadi konflik hanya 4 orang atau 1,2. Untuk lebih jelasnya tentang hal ini dapat dilihat pada Tabel 5.36 berikut ini. Tabel 5.36. Kondisi Konflik Sosial dengan Warga dalam Lima Tahun Terakhir Lokasi Responden No. Penilaian Responden tentang Konflik Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. Sering Terjadi Konflik 1 3 4 2. Ada Beberapa Konflik 11 5 1 17 3. Tidak Ada Konflik 77 113 119 309 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Pendalaman tentang bentuk-bentuk konflik yang pernah terjadi di masyarakat pesisir Pantai Timur Sumatera Utara adalah konflik antardesa yang berkenaan dengan pengoperasian trawl pada kurun waktu tahun 2001 dan 2007. Di samping itu, beberapa konflik sosial yang terjadi biasanya berupa perselisihan antarkelompok Universitas Sumatera Utara pemuda yang sering dipicu karena adanya persaingan perebutan wanita. Untuk di daerah yang terdapat perusahaan tambak, bentuk konflik yang terjadi biasanya adalah menyangkut aturan keterlibatan masyarakat dalam melakukan aktivitas meleles. Meleles adalah memungut sisa hasil panen tambak yang biasanya dilakukan oleh perusahaan tambak. Di tahun 2000-2002 beberapa perusahaan tambak melarang penduduk sekitar tambak untuk meleles karena secara ekonomis mengurangi pendapatan perusahaan walaupun di sisi lain kegiatan ini bisa meredam konflik akibat hilangnya sumberdaya subsistensi masyarakat.

5.4.4. Keberadaan Norma SosialAdat Istiadat dan Norma Agama

di Masyarakat Hal lain yang juga terkait dengan keteraturan sosial di masyarakat adalah menyangkut kepatuhan masyarakat terhadap nilai-nilai sosial yang ada. Ketika kepada 330 responden masyarakat umum ditanyakan mengenai hal ini, sebanyak 45 orang atau sekitar 13,6 menyatakan kalau keberadaan nilai-nilai sosial yang berupa norma adat tidak lagi dipatuhi. Sedangkan sebanyak 266 orang atau sekitar 80,6 mengatakan kalau kepatuhan masyarakat terhadap nilai adat istiadat yang ada kondisinya sama saja atau tidak ada perubahan. Sementara itu, sebanyak 19 orang atau sebesar 5,8 responden menyatakan bahwa norma sosialadat istiadat yang ada saat ini semakin dijadikan acuan dalam bertindak termasuk dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya alam yang ada di wilayah tempat tinggal mereka. Kelompok responden yang menilai bahwa masyarakat semakin patuh pada nilai adat istiadat yang ada karena ada keyakinan bahwa dahulu ketika semua penduduk pesisir Universitas Sumatera Utara patuh pada nilai sosial termasuk adat istiadat kondisi kesejahteraan masyarakat terjaga dan kerusakan lingkungan juga tidak seburuk yang ada saat ini. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.37 berikut ini. Tabel 5.37. Kondisi tentang Keberadaan Norma SosialAdat Istiadat Lokasi Responden No. Tanggapan tentang Keberadaan Norma SosialAdat Istiadat Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. KurangTidak Dipatuhi 12 18 15 45 2. Biasa Saja 71 91 104 266 3. Semakin dipatuhi 6 12 1 19 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Kecuali nilai adat istiadat, nilai penting lainnya dalam masyarakat yang juga perlu digali untuk mengetahui kondisi sosial budaya masyarakat adalah keberadaan norma agama. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, sebagian besar yakni sebanyak 236 orang atau 71,5 responden menyatakan bahwa nilainorma agama di desa mereka biasa saja atau sama saja kondisinya. Selanjutnya sebanyak 9 orang atau 2,7 menyatakan bahwa nilainorma agama tidak dipatuhi, dan 85 orang atau 25,8 responden saja yang menyatakan nilainorma agama makin dipatuhi sebagai referensi dalam bertindak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 5.38 berikut ini. Universitas Sumatera Utara Tabel 5.38. Kondisi Nilai-nilaiNorma-norma Agama di Desa Ini Lokasi Responden No. Tanggapan tentang Keberadaan Norma Agama Langkat Deli Serdang Asahan Jumlah 1. KurangTidak Dipatuhi 1 5 3 9 2. Biasa Saja 45 85 106 236 3. Semakin Dipatuhi 43 31 11 85 Total 89 121 120 330 Sumber: Hasil Wawancara, 2008. Berdasarkan data yang ada pada tabel di atas terlihat bahwa masyarakat Langkat memiliki persentasi responden yang menilai masyarakat pesisir lebih patuh atau biasa pada aturan agama jumlahnya lebih besar daripada masyarakat di kabupaten lain. Kenyataan ini dapat dimaklumi sebab masyarakat Melayu Langkat yang saat ini tinggal di pesisir sangat dikenal sebagai penganut ajaran Islam yang taat. Sementara itu, walaupun masyarakat Asahan dan Deli Serdang juga sebagian besar penganut Islam, namun masyarakat di dua kabupaten ini cenderung lebih dinamis sebab intensitasnya interaksinya dengan masyarakat yang berasal dari suku dan agama lain juga lebih tinggi.

5.4.5. Analisis Kondisi Sosial Budaya Masyarakat

Berdasarkan temuan yang diperoleh terlihat bahwa mayoritas responden menilai bahwa kondisi masing-masing komponen sosial budaya yang mencakup keberadaan nilai dan larangan sosial seluruhnya dominan masuk dalam kategori baik. Berdasarkan analisa data yang ada diketahui bahwa masyarakat di Kabupaten Langkat masih menganggap bahwa keberadaan nilai dan larangan sosial yang terkait Universitas Sumatera Utara dengan ekosistem mangrove masih dalam kondisi yang terjaga walaupun mengalami perubahan. Keberadaan nilai sosial yang berkenaan dengan ekosistem mangrove juga berada dalam kondisi yang sama walaupun di Kabupaten Deli Serdang keberadaan nilai sosial seputar mangrove memiliki skor yang terendah bila dibandingkan dengan dua daerah lainnya. Adapun kondisi sumberdaya kelautan di masing-masing kabupaten menunjukkan fenomena yang hampir sama. Keberadaan nilai sosial yang terkait dengan kondisi sumberdaya kelautan masih menunjukkan nilai yang tertinggi namun secara keseluruhan persepsi masyarakat, keberadaan nilai sosial dan larangan sosial yang terkait dengan komponen sumberdaya laut berada dalam kondisi yang cenderung burukrendah. Lebih jelas tentang keadaan sosial budaya dalam kaitannya dengan keberadaan sumberdaya kelautan dapat dilihat pada Gambar 5.10. Universitas Sumatera Utara 0,5 1 1,5 2 2,5 3 S k a la P e n il a ia n 1 = B u ru k R e n d a h 2 =S e d a n g 3 = B a ik T in g g i Langkat Deli Serdang Asahan Persepsi Terhadap SDA Laut Nilai Sosial Mengenai SDA Laut Larangan Seputar Pengelolaan SDA Laut Gambar 5.10. Diagram tentang Kondisi Sosial Budaya dalam Kaitannya dengan Keberadaan Sumberdaya Kelautan Universitas Sumatera Utara Diagram di atas menunjukkan bahwa di masyarakat pesisir terdapat nilai sosial yang telah mengalami degradasi terutama menyangkut keberadaan sumberdaya kelautan. Bila hal ini tidak mendapat perhatian lebih, maka secara otomatis apresiasi masyarakat terhadap sumberdaya pesisir akan berkurung sehingga apa yang dikhawatirkan oleh Hardin 1968 dengan teori Tragedi Kebersamaan akan terjadi secara nyata. Tidak jauh berbeda dengan kondisi sumberdaya kelautan, persepsi dan nilai sosial masyarakat yang terkait dengan kawasan pesisir juga menunjukkan kondisi yang hampir bersamaan. Analisa terhadap jawaban responden tentang hal ini malah menunjukkan kenyataan yang lebih buruk bila dibandingkan dengan persepsi dan nilai sosial mengenai sumberdaya kelautan. Lebih jelas tentang keberadaan pengelolaan ekosistem pesisir dikaitkan dengan persepsi masyarakat dan keberadaan nilai sosial serta larangan sosial yang ada dapat dilihat pada Gambar 5.11 berikut: Universitas Sumatera Utara 0,5 1 1,5 2 2,5 3 S k a la P e n il a ia n 1 = B u ru k R e n d a h 2 = S e d a n g 3 = B a ik T in g g i Langkat Deli Serdang Asahan Persepsi Terhadap Kawasan Pesisir Nilai Sosial Mengenai Kawasan Pesisir Larangan Seputar Pengelolaan Kawasan Pesisir Gambar 5.11. Diagram tentang Kondisi Sumberdaya Pesisir dalam Pandangan Masyarakat Universitas Sumatera Utara Apa yang digambarkan oleh diagram di atas jelas mengharuskan kita prihatin dalam melihat sumberdaya pesisir. Ini perlu dipahami sebagai salah satu habitat tempat tinggal favorit manusia, kawasan pesisir tampaknya harus diperbaiki agar bisa memberi daya dukung yang lebih baik bagi kehidupan masyarakat yang ada di dalamnya. Bertolak belakang dengan persepsi masyarakat, nilai dan larangan sosial yang terkait dengan kondisi komponen pembentuk ekosistem pesisir, indikator sosial budaya lainnya seperti kondisi hubungan sosial, ketiadaan konflik, kepatuhan terhadap nilai sosial dan agama dalam kegiatan sehari-hari menunjukkan kondisi yang bervariasi ditiap kabupaten. Namun demikian, mayoritas responden merasa bahwa kecilnya konflik sosial yang terjadi memberi arti positif dalam kehidupan sosial di pesisir. Lebih jelas tentang hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.12. Universitas Sumatera Utara 0,5 1 1,5 2 2,5 3 S k a la P e n il a ia n 1 = B u ru k R e n d a h 2 =S e d a n g 3 = B a ik T in g g i Langkat Deli Serdang Asahan Hubungan Sosial Ketiadaan Konflik Sosial Keberadaan Norma Adat Keberadaan Norma Agama Gambar 5.12. Diagram Kondisi Sosial Budaya Masyarakat yang Diteliti Secara lebih sederhana skoring terhadap indikator nilai sosial budaya masyarakat pesisir Timur Sumatera Utara dikaitkan dengan keberadaan dan Universitas Sumatera Utara pengelolaan sumberdaya yang ada di pesisir dapat dilihat dalam Tabel 5.39 rangkuman berikut. Tabel 5.39. Skor Indikator Sosial Budaya Masyarakat Pesisir yang Diteliti SkorKabupaten No. Aspek Sosial Budaya Indikator Langkat Deli Serdang Asahan Nilai Sosial Mengenai Mangrove 2,4 1,96 2,17 Larangan Seputar Pengelolaan Kawasan Mangrove 2,3 2,13 1,93 Nilai Sosial Mengenai SDA Laut 1,6 1,66 1,83 Larangan Seputar Pengelolaan SDA Laut 1,4 1,52 1,2 Nilai Sosial Mengenai Kawasan Pesisir 1,6 1,41 1,43 1. Nilai Budaya yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir Larangan Seputar Pengelolaan Kawasan Pesisir 1,5 1,33 1,07 Hubungan Sosial 1,5 1,35 1,29 2. Hubungan Sosial Masyarakat Ketiadaan Konflik Sosial 2,9 2,91 2,99 Keberadaan Norma Adat 1,9 1,95 1,88 3. Norma adat dan agama Keberadaan Norma Agama 2,5 2,25 2,07 Rataan 1,92 1,81 1,76 Total Rataan 1,83 Data di atas menunjukkan bahwa secara umum kondisi sosial budaya termasuk kategori rendah. Namun bila ditelusuri lebih lanjut kondisi sosial budaya di Kabupaten Langkat relatif lebih baik daripada di Kabupaten Deli Serdang dan Asahan. Hal ini terjadi karena nilai-nilai budaya yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir relatif masih terpelihara di Kabupaten Langkat. Sebagai contoh, Universitas Sumatera Utara masyarakat nelayan di Kabupaten Langkat masih melaksanakan kearifan tradisional seperti upacara jamu laut. Menurut mereka ada kaitan yang erat antara pesta jamu laut dengan banyaknya hasil ikan yang diperoleh. Upacara jamu laut adalah suatu penyelenggaraan upacara selamatan yang berhubungan dengan kehidupan di laut. Dengan perkataan lain dalam upacara jamu laut juga terkandung suatu perjamuan makan yang ditujukan kepada makhluk supra alami, penghuni dan penguasa laut, sehingga akan memperoleh imbalan keselamatan dan berkat darinya. Tujuan utama jamu laut adalah menjalin hubungan antarsesama manusia dengan alam agar tercipta harmoni demi menjamin hubungan solidaritas sosial di dalam struktur dan organisasi sosial masyarakat nelayan setempat, baik antara individu sebagai anggota warga kelompok masyarakat dengan komunitas hidupnya, antara berbagai generasi dan antara berbagai lapisan sosial yang ada di dalamnya. Sementara itu di dua kabupaten lainnya kearifan tradisional yang berkaitan dengan pengelolaan pesisir tidak ada lagi.

5.5. Instrumen, Kapasitas dan Proses Perencanaan Wilayah Pesisir