Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Pidana Islam

berbatasan. Kemudian salah seorang dari keduaya mengambil sejengkal dari milik saudaranya itu. Maka jika dia mengmbilnya, akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat.” HR. AHMAD. 2. Imam Ahmad meriwayatkan dari al-mistaurid bin syadad, dia mendengar Rasulullah saw. bersabda: ْﻠَﻓ ٌﺔَﺟوَز ُﮫَﻟ ْﺖَﺴْﯿَﻟ ْوَأ ،ًﻻِﺰْﻨَﻣ ْﺬِﺨﱠﺘَﯿْﻠَﻓ ٌلِﺰْﻨَﻣ ُﮫَﻟ َﺲْﯿَﻟَو ًﻼَﻤَﻋَﺎﻨَﻟ ﱠﻲِﻟُو ْﻦَﻣ ٌمِدﺎَﺧ ُﮫَﻟ َﺲْﯿَﻟْوَأ ،ْجﱠوَﺰَﺘَﯿ ر ٍلﺎَﻏ َﻮُﮭَﻓ َﻚِﻟَذ ىَﻮِﺳ ﺎًﺌْﯿَﺷ َبﺎَﺻَأ ْﻦَﻣَو ،ًﺔﱠﺑاَد ْﺬِﺨﱠﺘَﯿْﻠَﻓ ٌﺔﱠﺑاَد ُﮫَﻟ َﺲْﯿَﻟْوَأ ، ﺎًﻣِدﺎَﺧ ْﺬِﺨﱠﺘَﯿْﻠَﻓ ﺪﻤﺣأ هاو “Barangsiapa yang diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya rumah, maka berikan rumah untuknya; bila tidak punya istri, maka kawinkan dia; bila tidak punya pembantu, maka berilah dia pembantu; dan bila tidak punya kendaraan maka sediakan kendaraan untuknya. Barangsiapa yang mengambil sesuatu selain itu, maka dia koruptor.” 86 b. Risywah Suap-Menyuap Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa arab “ ﺎَﺷَر - ْﻮُﺷْﺮَﯾ ” yang masdar atau verbal nounnya bisa dibaca “ ٌةَﻮْﺷِر” ٌةَﻮْﺷَر” atau “ٌةَﻮْﺷُر” berari “ ُﻞْﻌَﺠﻟا” yaitu upah, hadiah, komisi atau suap. Ibnu Manzhur juga mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna kata risywah, ia mengatakan bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat “ ُخْﺮَﻔْﻟاﺎَﺷَر” anak burung merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya untuk disuapi. Sedangkan secara terminologis, risywah adalah sesuatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan kemaslahatan atau membenarkan yang batilsalah atau menyalahkan yang benar. 87 86 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Jakarta: Gema Insani Press, 1999, Hal. 609-610 87 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 89 Tindakan suap-menyuap al-risywah di dalam al-Qur’an dan hadits jelas diharamkan dan dikategorikan sebagai al-ma’siyyah perbuatan yang melanggar perintah Allah. Surat al-Baqarah ayat 188 88 mengandung pesan hukum bahwa perbuatan memberi dan menerima suap hukumnya haram. Hal ini ditunjukkan dengan penggunaan fi’l al-mudhari yang disertai kata la nahiyah dan penggunaan al-itsm, yang merupakan varian dari sigat al-nahy, yang kemudian dikombinasikan dengan aplikasi qa’idah usuliyyah berupa al-nahy ‘ind al-itlaq yaqtad al-tahrim ungkapan al-nahy atau larangan-ketika bersifat mutlak mengimplikasikan keharaman perbuatan yang dilarang. 89 c. ghasab mengambil paksa hak harta orang lain Menurut M. Nurul Irfan ghasab didefiisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang lain secara permusuhan atau terang-terangan. Larangan perbuatan ghasab ada dalam Firman Allah surat al-Nisa ayat 29: 88 Surat al-Baqarah ayat 188 menjelaskan:                   “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, Padahal kamu mengetahui.” 89 Asmawi, Teori Maslahat dan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia, Tanpa tempat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010, Hal. 131                           “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu, Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” 90 d. khianat Wahbah Zuhaili mendefinisikan khianat dengan segala sesuatu tindkan upaya yang bersifat melanggar janji dan kepercayaan yang telah dipersyaratkan didalamnya atau telah berlaku menurut adat kebiasaan, seperti tindakan pembantaian terhadap kaum muslim atau sikap menampakkan permusuhan terhadap kaum muslim. 91 Dalalm al-Qur’an surat an-Nisa ayat 58 menegaskan:                              Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan menyuruh kamu apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha mendengar lagi Maha melihat. 90 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 105-107 91 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 112 Ayat tersebut secara tegas mewajibkan penunaian amanat secara baik dan benar al-amanah, di mana hal ini diimplikasikan dari penggunaan kata ﻢﻛﺮﻣﺄﯾ yang nota bene salah satu varian sigat al-nahy, yang kemudian diterapkan qaidah usuliyyah berupa al-amr ‘ind al-itlaq yaqtad al-tahrim; maka mafhum mukhalafah maksud pemahaman darinya ialah mengharamkan sikap pengabaian amanat al-khiyanah. 92 Dalam terjemahan Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa surat an- nisa ayat 58 diturunkan sehubungan dengan kasus Utsman bin Abi Thalhah, penjaga Ka’bah yang mulia. Ayat ini diturunkan karena tatkala Rasulullah saw. mengambil kunci Ka’bah pada peristiwa penaklukan mekah, beliau mengembalikannya kepada Utsman. Sebagian ahli ilmu menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah berdiri di pintu Ka’bah, lalu bersaba, “Tidak ada Tuhan melainkan Allah Yang Esa dan tidak ada sekutu baginya; Maha benar janjinya. Dia Yang Esa menolong hamba-Nya dan mengalahkan berbagai golongan. Ketahuilah, segala kehormatan, darah, atau kekayaan yang diadukan, maka ia berada dibawah kakiku ini, kecuali soal pemeliharaan Baitullah dan pemberian air minum kepada jama’ah haji.” Dia menuturkan kalimat selanjutnya yang terdapat dalam hadits yang merupakakn khutbah Nabi saw. pada saat itu hingga dia menuturkan: “Rasulullah saw. duduk di masjid. Lalu datanglah Ali bin Abi Thalib, sedangkan kunci Ka’bah berada di tangannya, kemudian berkata, 92 Asmawi, Teori Maslahat dan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia, Hal. 157-168 ‘Ya Rasulullah, satukan saja ke dalam tanggungjawab kita urusan penjagaan Ka’bah dan pemberian air minum kepada jamaah haji, semoga Allah melimpahkan rahmat dan salam kepadamu.’ Maka Rasulullah saw. bersabda, ‘Dimanakah Utsman bin Thalhah?’ maka Utsman dipanggil supaya menghadap beliau. Lalu Nabi bersabda kepadanya, ‘Hai Utsman, ini ambillah kuncimu hari ini merupakan hari pemenuhan atas janji dan hari kebaikan.” Meskipun ayat ini diturunkan berkaitan dengan pengembalian kunci Ka’bah - karena ia merupakan amanat yang dulu diserahkan oleh Utsman bin Thalhah kepada Rasulullah saw. kemudian beliau mengembalikannya kepada Utsman sebagaimana dikemukakan dalam hadits barusan, maka hukum ayat ini mencakup segala jenis amanat yang diterima oleh manusia. Oleh karena itu, Ibnu Abbas berkata, ”Amanat itu bagi orang yang baik maupun durhaka. Yakni, amanat itu merupakan perintah bagi setiap orang agar memberikan amanat kepada ahlinya.” 93 e. sariqah pencurian sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan. 94 Sariqah termasuk salah satu jarimah hudud yang hukumannya potong tangan, 93 Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid 1, Hal. 737-738 94 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 117 tetapi untuk memberlakukan potong tangan harus memenuhi syarat-syarat dan rukun jarimah sariqah. 95 f. hirabah perampokan hirabah adalah penyerangan dengan membawa senjata kepada satu komunitas orang sehingga para pelaku merampas harta kekayaan mereka di tempat-tempat terbuka secara terang-terangan. Dalil naqli tentang perampokan disebutkan secara tegas dalam surah al-Maidah ayat 33:                                      “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri tempat kediamannya. yang demikian itu sebagai suatu penghinaan untuk mereka didunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar, 96 g. al-gasysy penipuan al-gasysy termasuk dalam korupsi karna berdasarkan sabda Rasulullah SAW. bahwa Allah mengharamkan surga bagi orang-orang yang melakukan penipuan.terlebih penupuan itu dilakukan seorang pemimpin yang mempecundangi rakyatnya. “Dari Abu Ya’la Ma’qal ibn 95 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 122 96 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 122-123 Yasar berkata: aku mendengar Rasulullah saw. bersabda: “seorang hamba yang dianugerahi Allah jabatan kepemimpinan, lalu dia menipu rakyatnya; maka Allah mengharamkannya masuk surga.”H.R. Bukhari dan Muslim. 97 h. al-Maks pungutan liar, al-Ikhtilas pencopetan, al-Ihtihab perampasan Ketiga istilah ini belum masuk dan belum menjadi bahasa Indonesia. Oleh karena itu secara berurutan akan diuraikan pengertian dan dalil keharamannya. a al-Maks pungutan liar al-maks itu berasal dari kata َﺲَﻜَﻣ - ُﺲِﻜْﻤَﯾ artinya memungut cukai. Muhammad bin Salim bin Sa’id bin Babashil mendefinisikan al-maks adalah suatu aturan yang ditentukan oleh penguasa-penguasa secara zalim, berkaitan dengan harta-harta manusia, aturan ini diatur dengan undang- undang yang sengaja dibuat atau diada-adakan. 98 Dalam hadits Nabi menyatakan bahwa pelaku cukai illegal atau pungutan liar tidak akan masuk surga. ٍﺲْﻜَﻣ ُﺐِﺣﺎَﺻ َﺔﱠﻨَﺠْﻟا ُﻞُﺧْﺪَﯾَﻻ َلﺎَﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻞﺻ ِﷲا ُلﻮُﺳَر ُﺔْﻌِﻤَﺳ َلﺎﻗ ٍﺮِﻣَﺎﻋ ِﻦﺑ َﺔَﺒْﻘُﻋ ﻦَﻋ Dari Uqbah bin Amir, berkata, saya mendengar Rasulullah saw. bersabda: orang yang melakukan pungutan liar tidak akan masuk surga. HR. Abu Dawud. 99 97 Munawar Fuad Noeh, Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi, Hal. 90 98 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 127-129 99 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 133 b al-Ikhtilas pencopetan al-Ikhtilas adalah mengambil dalam suasana lengah dan dengan cara menipu. 100 al-Ikhtilas sangat mirip dengan pencopetan tetapi tidak sama dengan pencurian karena sasarannya bukan sedang disimpan oleh pihak korban melainkan sedang dibawa, dipakai, dijual di warung, atau sedang dipergunakan. Dalilnya terdapat dalam surat al-baqarah ayat 188:                   “dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan jalan berbuat dosa, Padahal kamu mengetahui”. 101 c al-Ihtihab perampasan Para ahli hadits yaitu al-Baihaqi, al-Mubarakfuri, dan al- Siharanfuri mendefinisikan al-Ihtihab ialah mengambil sesuatu dengan cara terang-terangan, memaksa dan menguasai. Mengenai dalil diharamkan al-Ihtihab sebagaimana seperti al-ikhtilas juga tidak secara eksplisit di dalam al-Qur’an, tetapi persoalan al-Ihtihab ini jelas sebagai 100 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 135 101 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 138 salah satu cara memakan harta sesama dengan cara batil. Sehingga ayat 188 al-Baqarah berlaku sebagai dalil diharamkannya al-Ihtihab. 102

4. PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA KORUPSI

Syed Hussain Alatas mengatakan bahwa salah satu sabab musabab korupsi ialah bertambahnya pegawai negeri dengan cepat, dengan akibat gaji mereka menjadi sangat kurang. Hal ini selanjutnya mengakibatkan perlunya pendapatan tambahan. Dengan bertambahnya pegawai negeri maka bertambah pula luasnya kekuasaan dan kesempatan birokrasi, dibarengi dengan lemahnya pengawasan dari atas dan pengaruh partai politik, menyediakan tanah subur bagi korupsi. 103 Krisna Harahap dalam bukunya “pemberantasan korupsi, jalan tiada ujung” menjelaskan ada 2 dua faktor, yakni faktor internal dan faktor eksternal. Secara internal dorongan untuk melakukan tindak pidana korupsi muncul karena:  Dorongan kebutuhan. Seseorang terpaksa korupsi karena gaji yang jauh dari mencukupi dibanding kebutuhannya yang sangat besar akibat beban dan tanggungjawab yang sangat besar pula. Korupsi jenis ini biasanya hanya meliputi nilai yang terbatas tetapi dengan frekuensi berualngkali.  Dorongan keserakahan. Orang yang korupsi karena serakah tentu saja tidak didorong oleh kebutuhan yang sudah mencukupi. Korupsi dilakukan 102 M. Nurul Irfan, Korupsi Dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua, Hal. 140-141 103 Syed Hussain Alatas, Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi, Hal.122 agar hidup lebih mewah dapat memiliki barang-barang yang tak bakal terbeli dengan gaji. Faktor-faktor external yang menyebabkan korupsi terdiri dari:  Lingkungan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa korupsi sudah merambah ke setiap instansi pemerintah. Tindakan korupsi sudah dianggap wajar sehingga dikategorikan sebagai tindakan yang benar.  Peluang. Akibat lemahnya pengawasan sehingga terjadi peluang yang besar bagi mereka yang akan melakukan tindak pidana korupsi. 104 104 Krisna Harahap, Pemberantasan Korupsi jalan tiada ujung, Bandung: PT Grafitri, 2006, Hal. 7-8

BAB III TINDAK PIDANA GRATIFIKASI DALAM HUKUM PIDANA POSITIF

DAN HUKUM PIDANA ISLAM A. PENGERTIAN GRATIFIKASI MENURUT UU TIPIKOR DAN HUKUM PIDANA ISLAM Secara etimologis kata gratifikasi berasal dari bahasa belanda yaitu “gratificatie” yang berarti Tunjangan atau gratifikasi. 105 Dalam kamus hukum gratifikasi diartikan sebagai pemberian upah gaji hadiah dengan maksud mendapat keuntungan dibidang lain atau hadiah sebagai tanda balas jasa. 106 Perlu kita pahami bahwa gratifikasi terdiri dari dua jenis, yakni gratifikasi ilegal terlarang dan gratifikasi legal tidak terlarang. 107 Yang dimaksud gratifikasi ilegal sebagaimana terdapat dalam penjelasan pasal 12B UU No. 20 Tahun 2001 yaitu gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat discount, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana 105 Wojo Wasito, Kamus Umum Belanda Indonesia, Jakarta: Ichtar Baru Van Hoeve, 1997, Hal. 244 106 B.N Marbun, Kamus Hukum Indonesia edisi kedua, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006, Hal. 87 107 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 25 april 2014 elektronik. 108 Sedangkan gratifikasi yang legal adalah gratifikasi yang tidak dimaksudkan dalam penjelasan undang-undang tersebut. Gratifikasi legal dilakukan untuk menjalankan hubungan baik, menghormati martabat seseorang, memenuhi tuntutan agama, dan mengembangkan berbagai bentuk perilaku simbolis Diberikan karena alasan yang dibenarkan secara sosial. 109 Untuk memahami apakah gratifikasi yang diterima termasuk suatu pemberian hadiah yang ilegal atau legal, maka ilustrasi berikut dapat membantu memperjelas. Jika seorang Ibu penjual makanan di sebuah warung memberi makanan kepada anaknya yang datang ke warung, maka itu merupakan pemberian keibuan. Pembayaran dari si anak bukan suatu yang diharapkan oleh si Ibu. Balasan yang diharapkan lebih berupa cinta kasih anak, dan berbagai macam balasan lain yang mungkin diberikan. Kemudian datang seorang pelanggan, si Ibu memberi makanan kepada pelanggan tersebut lalu menerima pembayaran sebagai balasannya. Keduanya tidak termasuk gratifikasi ilegal. Pada saat lain, datang seorang inspektur kesehatan dan si Ibu memberi makanan kepada si inspektur serta menolak menerima pembayaran. Tindakan si Ibu menolak menerima pembayaran dan si Inspektur menerima makanan ini adalah gratifikasi ilegal karena pemberian makanan tersebut memiliki harapan bahwa inspektur itu akan menggunakan jabatannya untuk melindungi kepentingannya. Andaikan inspektur 108 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Hal. 3 109 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Hal. 14 kesehatan tersebut tidak memiliki kewenang dan jabatan lagi, akankah si ibu penjual memberikan makanan tersebut secara cuma-cuma? 110 Banyak sebutan untuk pemberian sesuatu kepada petugas atau pegawai diluar gajinya, seperti suap, hadiah, bonus, fee dan sebagainya. Dalam syari’at islam Sebagian ulama menyebutkan empat pemasukan seorang pegawai, yaitu gaji, bonus, hadiah dan uang suap. 111 Gaji ialah upah kerja yg dibayar dalam waktu yg tetap atau balas jasa yg diterima pekerja dalam bentuk uang berdasarkan waktu tertentu, 112 sementara bonus pengertiannya tidak jauh beda dengan hadiah yaitu upah tambahan di luar gaji atau upah sebagai hadiah. 113 Dalam istilah syara’ hadiah atau pemberian disebut sebagai Hibah yang artinya memberikan sesuatu kepada orang lain selagi hidup sebagai hak miliknya, tanpa mengharapkan ganti atau balasan. Apabila mengharapkan balasan semata- mata karena Allah Swt. hal itu dinamakan sadaqah, dan jika pemberian tersebut ditujukan untuk memuliakannya maka pemberian tersebut dinamakan hadiah. 114 Memberi dan menerima hadiah itu diperbolehkan, tetapi hadiah yang sebaiknya ditolak ialah “hadiah-hadiah yang diberikan sebagai sogokan risywah 110 Doni Muhardiansyah, dkk, Buku Saku Memahami Gratifikasi, Hal. 12 111 Lihat Subulussalam, Shan’ani, 1216. 112 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum, 2008, Hal. 406 113 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat, Hal. 207 114 Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin.S, Fiqh Mazhab Syafi’i, cet. ke-1, Buku: II Bandung: Pustaka Setia, 2000, hlm. 159.