KEDUDUKAN HUKUM GRATIFIKASI SEKS DALAM HUKUM

ini, Rasulullah SAW. bersabda: “Apabila engkau duduk di rumah orang tuamu sampai datang seseorang memberimu sedekah, bila kamu benar-benar jujur”. 137 Pemberian seperti ini tidak dapat diterima, dan bila semuanya diberikan maka harta itu harus dimasukkan ke Bayt al-Mal. Orang beriman yang taat tidak akan memberi dan tidak akan menerima bantuan apa pun selama tugasnya sebagai pegawai. Pada masa Khalifah Abu Bakar, Khalid bin Walid menetapkan jizyah tahunan terhadap penduduk Hirah di Syria. Penduduk Hirah ini sangat terkesan dengan kearifan orang-orang islam dan hubungan serta sikap yang baik mereka sehingga mereka memaksa mengirimkan hadiah kepada Abu Bakar. Ketika sangat sulit bagi Khalid memberitahu mereka agar tidak memberi hadiah yang mereka inginkan itu. Pada akhirnya Khalid menerima hadiah tersebut dan kemudian diperhitungkannya sebagai bagian pajak wajib hingga mengurangi jumlah pembayaran jizyah yang sebenarnya karena telah dibayarkan sebelumnya. Kemudian Khalid mengirimkannya ke Bayt al-mal. Khalifah Umar bin Khatthab juga mengirim pesan-pesan kepada semua gubernurnya sebagai berikut: ﻰﺷاﺮﻟا ﻦﻣ ﺎﮭﻧﺈﻓ ﺎﯾاﺪﮭﻟاو ﻢﻛﺎﯾا “Waspadalah dengan hadiah, sebab hal ini merupakan bagian dari suap”. Pernyataan Khalifah Umar bin Khatthab itu benar bila kita hubungkan dengan pandangan masyarakat sekarang. Risywah dewasa ini agaknya telah merajalela dan dijadikan sebagai kedok hadiah. Khalifah Umar bin Abdul Aziz 137 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, Hal. 505 yang saleh benar-benar menolak pemberian dalam bentuk apa pun. Seseorang berkata kepadanya, bahwa Rasulullah biasa menerima hadiah, lalu dia menjawab: ﺔﯾﻻ ﻮﻠﻟ ﺎﻨﯿﻟا بﺮﻘﺘﯾ ﻦﺤﻧو ﮫﺘﯿﻟ ﻮﻟﻻ ﮫﺗﻮﺒﻨﻟ ﮫﯿﻟا بﺮﻘﺘﯾ نﺎﻛ ﮫﻧﻷ ةﻮﺷر ﺎﻨﻟو ﺔﯾﺪھ ﮫﻟ ﺖﻧﺎﻛ “Baginya itu adalah hadiah, tetapi bagi kami hal itu adalah suap karena umat menghendaki dekat dengan beliau berkat kenabian beliau bukan karena kekuasaan beliau, sementara mereka ingin dekat kepada kami karena kekuasaan kami”. Dengan kata lain, Nabi SAW. pernah menerima hadiah, lalu diberikan kepada orang miskin. Orang-orang yang membawakan hadiah kepada beliau itu tidak mempunyai motif keuntungan diri sendiri. Sementara itu, dalam kasus para penguasa akhir-akhir ini, maksud pemberian itu tidak lebih dari tujuan pemberian yang tidak benar dan zalim. Namun demikian, tidak ada larangan untuk saling memberi dan menerima antara teman dan kerabat. Menurut Hadits Nabi SAW., hadiah itu akan membantu menghilangkan kebencian dan makin bertambah kecintaan dan kasih sayang. Rasulullah SAW, juga bersabda: “Saling memberi hadiah itu akan menambah rasa cintamu”. Pengambilan hadiah oleh pegawai pemerintah karena dalam proses pembebasan kewajiban mereka adalah tidak dibenarkan menurut syari’ah. Nabi mengingatkan “akan datang suatu masa di mana Risywah diangap halal bagi masyarakat melalui hadiah dan pembunuhan melalui teguran”. 138 Dalam kisah tersebut Allah melaknatnya dan hukumnya haram, apa lagi dalam hal menerima suap dalam bentuk pelayanan seksual, tentunya Islam secara tegas melarangnya, karena hal ini termasuk ke dalam perbuatan zina, karena setiap 138 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, Hal. 505-506 hubungan kelamin di luar nikah termasuk perbuatan zina dan diancam dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin atau belum kawin, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak. 139 Hal ini didasarkan pada ayat al-qur’an sebagai berikut:           “dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. dan suatu jalan yang buruk.” QS. Al-Isra’: 32                         dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah membunuhnya kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat pembalasan dosanya. QS. Al-Furqan: 68 140 Menurut M. Abduh Malik Dosen Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta gratifikasi seks dalam hukum Islam termasuk ke dalam jarimah zina. 141 karena dalam istilah syara’, zina ialah persetubuhan yang dilakukan seorang laki-laki dengan seorang perempuan melalui vagina di luar nikah dan bukan nikah syubhat. 142 Jadi, dalam hukum pidana Islam kedudukan hukum gratifikasi seks sangatlah dilaknat Allah, perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah risywah dengan cara jarimah zina. yang kategorinya termasuk perbuatan dosa besar. 139 Ahmad Wardi Muslich, Hukum Pidana Islam, Hal. 3 140 M. Nurul Irfan dan Masyrofah, Fiqh Jinayah, Hal. 18-19 141 Hasil diskusi mata kuliah Muqaranah Madzahib Fiqh Fil Jinayah pada selasa, 26 November 2013 142 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP Jakarta: Bulan Bintang, 2003, Hal. 25

C. SANKSI GRATIFIKASI SEKS

Apabila kita berpikir bahwa dengan UU No. 202001 menyebabkan dicabutnya pasal 209, 418, 419 dan lain-lain dan oleh karenanya tidak perlu menghubungkan antara pasal 5 dengan pasal 11 maupun pasal 12 huruf a dan b, berarti apabila orang yang menyuap dengan menyodorkan wanita tadi dipidana berdasarkan pasal 5 karena menyuap dengan memberikan sesuatu, tidak harus sekaligus, pegawai yang menerima sodoran wanita juga dipidana berdasarkan pasal 11 atau 12 huruf a, b, karena memang pasal-pasal ini terpisah. Lebih-lebih lagi sudah disediakan pasal secara khusus bagi pegawai negeri yang menerima sodoran wanita cantik yaitu dapat dipidana menurut pasal 5 ayat 2 UU No. 202001. Kalau menganut pendapat luas, maka orang yang menerima sodoran wanita cantik tadi telah melanggar pasal 11 atau 12 huruf a atau b bergantung pada unsur-unsur lain yang terpenuhi, sekaligus melanggar pasal 5 ayat 2. Jadi, di sini terjadi kebersamaan peraturan eendaadse samenloop, di mana sistem pemidanaan yang berdasarkan pasal 63 KUHP hanya dijatuhkan satu pidana saja. 143 Apabila pendapat pendapat sempit yang dikemukakan di atas benar, maka dapatlah diterima bahwa pegawai negeri yang menerima sodoran wanita cantik tadi tidak dipidana berdasarkan pasal 11 atau 12 huruf a atau b, tetapi orang itu dipidana berdasarkan pasal 5 ayat 2. Pendapat yang luas atau yang sempit 143 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hal.172 akan menjadi yurisprudensi yang masih menunggu perkembangan praktik hukum tentang bagaimana sikap Mahkamah Agung. 144 Ferdi Diansyah mengatakan bahwa pegawai negeri yang menerima gratifikasi seks ini bisa dijerat pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a dan b, atau pasal 12B UU No. 311999 Jo. UU No. 202001 sepanjang memenuhi unsur-unsur tersebut. Sedangkan untuk si pemberi bisa dijerat dengan pasal 5 ayat 1. 145 Begitupun sanksi bagi objek hukum suap wanita pelayan seks bisa dijerat pasal 15, karena Ketentuan yang terdapat dalam pasal 15 tersebut sebenarnya terdiri dari tiga perbuatan, yaitu, percobaan, pembantuan dan permufakatan jahat melakukan tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam pasal 2, pasal 3 pasal 5 sampai dengan pasal 14. Ketentuan pasal 15 tersebut adalah sama dengan ketentuan yang terdapat dalam pasal 1 ayat 2 UU No. 3 Tahun 1971. Dalam penjelasan tersebut, disebutkan bahwa “Karena tindak pidana korupsi sangat merugikan keuanganperekonomian negara, maka percobaan untuk melakukan tindak pidana tersebut dijadikan delik tersendiri dan diancam dengan hukuman sama dengan ancaman bagi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Demikian pula mengingat sifat dari tindak pidana korupsi itu, maka permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana korupsi meskipun masih merupakan tindakan persiapan sudah dapat dipidana penuh sebagai suatu tindak pidana tersendiri”. Pasal 15 ini merupakan aturan khusus, karena ancaman pidana pada percobaan dan pembantuan pada umumnya dikurangi 13 satu pertiga dari 144 Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, hal.172 145 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 25 april 2014 ancaman pidananya. 146 Maka dari itu objek hukum suap wanita pelayan seks kedudukannya sebagai orang yang membantu melakukan tindak pidana korupsi, dan ia bisa diancam dengan hukuman yang sama dengan ancaman bagi pelaku pemberi tindak pidana itu sendiri yang telah selesai dilakukan. Artinya si pelayan seks bisa dijerat dengan pasal 5 ayat 1 UU Tindak Pidana Korupsi. Dalam pandangan masyarakat tentunya menganggap pembuktian dalam kasus gratifikasi seks ini sangatlah sulit. Untuk itu penulis akan mendeskripsikan jawaban atas pertanyaan tersebut dalam contoh kasus gratifikasi seks: Seorang pengusaha pada tanggal 2 mei 2010 memberikan sesuatu yaitu menyodorkan wanita cantik kepada Bupati yang ditujukan supaya perusahaan pengusaha tersebut mendapatkan SK surat keputusan dari Bupati. Untuk melancarkan rencananya si pengusaha menyuruh wanita cantik itu merayu menginap di suatu hotel berbintang bersama si bupati. Setelah wanita cantik itu meniduri bupati maka si pengusaha memberikan uang 10 juta kepada wanita cantik tersebut. Pada tanggal 1 juni 2010 si bupati memberikan SK kepada perusahaan si pengusaha tersebut. Untuk menunjukkan alat bukti dalam suatu kasus minimal harus mempunyai dua alat bukti. Alat bukti dalam pasal 184 KUHAP Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. 146 R. Wiyono, Pembahsan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Hal. 134-135 Dalam contoh kasus tersebut terdapat alat bukti berupa barang bukti yakni selembar kwitansi penginapan atau penyewaan hotel, sejumlah uang 10 juta, surat keputusan SK dan keterangan saksi dari wanita cantik tersebut bila ia mengakui perbuatannya. 147 Jadi untuk membuktikan gratifikasi seks ini tidaklah sulit, pembuktiannya sama seperti kasus pidana lainnya. Dalam media sosial menganggap bahwa kasus gratifikasi seks ini sudah banyak dalam jajaran para pejabat dan belum ada undang-undang yang secara tegas mengaturnya. Padahal KPK mengakui sejauh ini kasus gratifikasi seks belum pernah ada laporan yang secara konkret. Dan sekalipun kasus gratifikasi seks ini terjadi pelakunya bisa dikenai ancaman pidana. Dalam hal ini Islam pun secara tegas melarang tindakan gratifikasi seks, sebab menerima gratifikasi barang seperti uang pada umumnya dilaknat oleh Allah, 148 apalagi objek hukum yang digunakan berupa pelayanan seksual, tentu saja perbuatan ini termasuk ke dalam jarimah zina. Ancaman hukuman bagi pelaku gratifikasi seks itu terkena jarimah zina, baik itu si penerima ataupun objek wanita pelayan seksual terancam Hukuman berupa jilid cambuk atau dera, tagrib diasingkan, atau rajam. Hukuman dera dan pengasingan ditetapkan bagi pelaku zina ghairu muhsan belum pernah menikah, sedangkan rajam ditetapkan bagi pelaku zina muhsan pelaku yang sudah melakukan hubungan seksual melalui pernikahan yang sah. Hukum Islam 147 Hasil Wawancara dengan Ferdi Diansyah Staf Direktorat Gratifikasi Komisi Pemberantasan Korupsi pada tanggal 25 april 2014 148 A. Rahman I. Doi, Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah, Hal. 505 mengancam hukuman jilid cambuk terhadap pelaku zina ghairu muhsan, batasannya sebanyak seratus kali dera. 149 Allah SWT berfirman:                             “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. 150 Para ulama selain khawarij bersepakat bahwasanya hukuman bagi pezina bagi status muhshan sudah kawin adalah rajam. 151 Hal ini berdasarkan hadits berikut: َةَﺮْﯾَﺮُھ ﻲِﺑَا ﻦَﻋ ا ٍﺪِﻟﺎَﺧ ﻦﺑُﺪﯾَزَو ُﮫﻨَﻋ ُﮫّﻠﻟا َﻲِﺿَر ِﻨَﮭُﺠﻟ ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﮫّﻠﻟا َﻞُﺳَر ﻰَﺗَا ِباَﺮْﻋَﺎْﻟا َﻦِﻣ ًﻼُﺟَر ﱠنَا ﱢﻲ َكُﺪُﺸْﻧَا ِﷲا َلﻮُﺳَرﺎَﯾ : لﺎَﻘَﻓ ﻢّﻠﺳو َﮫﱠﻠﻟا ِﮫﱠﻠﻟَا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ ﻲِﻟ َﺖْﯿَﻀَﻗ ﺎﱠﻟِإ ﻰﻟَﺎﻌَﺗ ُﮫْﻨِﻣ ُﮫَﻘْﻓَأ َﻮُھَو ُﺮَﺧﺂْﻟَا َلﺎَﻘَﻓ , : ْﻢَﻌَﻧ , ِﺾَﻗﺎَﻓ ْﻞُﻗ :َلﺎَﻘَﻓ ,ﻲِﻟ ْنَذْأَو ِﮫﱠﻠﻟَا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ ﺎَﻨَﻨْﯿَﺑ , ْﺮِﺒْﺧُأ ﻲﱢﻧِإَو ,ِﮫِﺗَأَﺮْﻣِﺎِﺑ ﻰَﻧَﺰَﻓ اَﺬَھ ﻰَﻠَﻋ ﺎًﻔﯿِﺴَﻋ َنﺎَﻛ ﻲِﻨْﺑِا ﱠنإ :َلﺎَﻗ ُت ﱠنَأ ﻰَﻠَﻋ ا ِﻤِﺑ ُﮫْﻨِﻣ ُﺖْﯾَﺪَﺘْﻓﺎَﻓ ,َﻢْﺟﱠﺮﻟَا ﻲِﻨْﺑ ُﺪْﻠَﺟ ْﻲِﻨْﺑا ﻰَﻠَﻋ ﺎَﻤﱠﻧَأ ﻲِﻧوُﺮَﺒْﺧَﺄَﻓ ,ِﻢْﻠِﻌْﻟَا َﻞْھَأ ُﺖَﻟَﺄَﺴَﻓ ,ٍةَﺪﯿِﻟَوَو ٍةﺎَﺷ ِﺔَﺋﺎ ِﻣ ُﺐﯾِﺮْﻐَﺗَو ٍﺔَﺋﺎ ,ٍمﺎَﻋ ﱠنَأَو اَﺬَھ ِةَأَﺮْﻣِا ﻰَﻠَﻋ ِﻢْﺟﱠﺮﻟَا ﺻ ِﮫﱠﻠﻟ ا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻘَﻓ , ﺎَﻤُﻜَﻨْﯿَﺑ ﱠﻦَﯿِﻀْﻗَﺄَﻟ ,ِهِﺪَﯿِﺑ ﻲِﺴْﻔَﻧ يِﺬﱠﻟاَو ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠ ُﻢَﻨَﻐْﻟاَو ُةَﺪﯿِﻟَﻮْﻟَا ,ِﮫﱠﻠﻟَا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ ﱡدَرَو ْنِﺈَﻓ ,اَﺬَھ ِةَأَﺮْﻣِا ﻰَﻟِإ ُﺲْﯿَﻧُأ ﺎَﯾ ُﺪْﻏاَو ,ٍمﺎَﻋ ُﺐﯾِﺮْﻐَﺗَو ٍﺔَﺋﺎِﻣ ُﺪْﻠَﺟ َﻚِﻨْﺑِا ﻰَﻠَﻋَو َﻚْﯿَﻠَﻋ ْرﺎَﻓ ْﺖَﻓَﺮَﺘْﻋِا ِﮫْﯿَﻠَﻋ ٌﻖَﻔﱠﺘُﻣ ﺎَﮭْﻤُﺟ Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibnu Khalid r.a: sesungguhnya ada seorang lelaki arab Badui menemui Rasulullah SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya tidak memohon kepada engkau selain keputusanmu bagiku berdasarkan kitabullah al-Qur’an.” Periwayat yang lain dan dia lebih mengerti dari pada dia, berkata. “Ya, putuskanlah antara kami berdasarkan kitabullah dan izinkan saya.” Lalu beliau bersabda. “Katakanlah jelaskan dahulu perkaranya.” Dia berkata, “Sesungguhnya anak saya menjadi buruh pada orang ini lalu dia berzina dengan isteri majikan ini, dan sesungguhnya saya telah diberitahu bahwa hukuman atas anak saya ini adalah rajam lalu saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya menanyakan ulama, lalu mereka memberitahukan saya bahwa hukuman atas anak saya, dera seratus kali dan hukuman buangan setahun; dan sesungguhnya hukuman atas isteri majikannya itu adalah rajam.” Lalu Rasulullah SAW. bersabda, “Demi Allah 149 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid IV, Bogor: PT Kharisma Ilmu, Hal. 151 150 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid III, Hal. 42 151 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011, Hal. 317