SANKSI GRATIFIKASI SEKS GRATIFIKASI SEKS DALAM PANDANGAN HUKUM PIDANA POSITIF

mengancam hukuman jilid cambuk terhadap pelaku zina ghairu muhsan, batasannya sebanyak seratus kali dera. 149 Allah SWT berfirman:                             “Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus dali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk menjalankan agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah pelaksanaan hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan orang-orang yang beriman”. 150 Para ulama selain khawarij bersepakat bahwasanya hukuman bagi pezina bagi status muhshan sudah kawin adalah rajam. 151 Hal ini berdasarkan hadits berikut: َةَﺮْﯾَﺮُھ ﻲِﺑَا ﻦَﻋ ا ٍﺪِﻟﺎَﺧ ﻦﺑُﺪﯾَزَو ُﮫﻨَﻋ ُﮫّﻠﻟا َﻲِﺿَر ِﻨَﮭُﺠﻟ ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﮫّﻠﻟا َﻞُﺳَر ﻰَﺗَا ِباَﺮْﻋَﺎْﻟا َﻦِﻣ ًﻼُﺟَر ﱠنَا ﱢﻲ َكُﺪُﺸْﻧَا ِﷲا َلﻮُﺳَرﺎَﯾ : لﺎَﻘَﻓ ﻢّﻠﺳو َﮫﱠﻠﻟا ِﮫﱠﻠﻟَا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ ﻲِﻟ َﺖْﯿَﻀَﻗ ﺎﱠﻟِإ ﻰﻟَﺎﻌَﺗ ُﮫْﻨِﻣ ُﮫَﻘْﻓَأ َﻮُھَو ُﺮَﺧﺂْﻟَا َلﺎَﻘَﻓ , : ْﻢَﻌَﻧ , ِﺾَﻗﺎَﻓ ْﻞُﻗ :َلﺎَﻘَﻓ ,ﻲِﻟ ْنَذْأَو ِﮫﱠﻠﻟَا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ ﺎَﻨَﻨْﯿَﺑ , ْﺮِﺒْﺧُأ ﻲﱢﻧِإَو ,ِﮫِﺗَأَﺮْﻣِﺎِﺑ ﻰَﻧَﺰَﻓ اَﺬَھ ﻰَﻠَﻋ ﺎًﻔﯿِﺴَﻋ َنﺎَﻛ ﻲِﻨْﺑِا ﱠنإ :َلﺎَﻗ ُت ﱠنَأ ﻰَﻠَﻋ ا ِﻤِﺑ ُﮫْﻨِﻣ ُﺖْﯾَﺪَﺘْﻓﺎَﻓ ,َﻢْﺟﱠﺮﻟَا ﻲِﻨْﺑ ُﺪْﻠَﺟ ْﻲِﻨْﺑا ﻰَﻠَﻋ ﺎَﻤﱠﻧَأ ﻲِﻧوُﺮَﺒْﺧَﺄَﻓ ,ِﻢْﻠِﻌْﻟَا َﻞْھَأ ُﺖَﻟَﺄَﺴَﻓ ,ٍةَﺪﯿِﻟَوَو ٍةﺎَﺷ ِﺔَﺋﺎ ِﻣ ُﺐﯾِﺮْﻐَﺗَو ٍﺔَﺋﺎ ,ٍمﺎَﻋ ﱠنَأَو اَﺬَھ ِةَأَﺮْﻣِا ﻰَﻠَﻋ ِﻢْﺟﱠﺮﻟَا ﺻ ِﮫﱠﻠﻟ ا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻘَﻓ , ﺎَﻤُﻜَﻨْﯿَﺑ ﱠﻦَﯿِﻀْﻗَﺄَﻟ ,ِهِﺪَﯿِﺑ ﻲِﺴْﻔَﻧ يِﺬﱠﻟاَو ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠ ُﻢَﻨَﻐْﻟاَو ُةَﺪﯿِﻟَﻮْﻟَا ,ِﮫﱠﻠﻟَا ِبﺎَﺘِﻜِﺑ ﱡدَرَو ْنِﺈَﻓ ,اَﺬَھ ِةَأَﺮْﻣِا ﻰَﻟِإ ُﺲْﯿَﻧُأ ﺎَﯾ ُﺪْﻏاَو ,ٍمﺎَﻋ ُﺐﯾِﺮْﻐَﺗَو ٍﺔَﺋﺎِﻣ ُﺪْﻠَﺟ َﻚِﻨْﺑِا ﻰَﻠَﻋَو َﻚْﯿَﻠَﻋ ْرﺎَﻓ ْﺖَﻓَﺮَﺘْﻋِا ِﮫْﯿَﻠَﻋ ٌﻖَﻔﱠﺘُﻣ ﺎَﮭْﻤُﺟ Dari Abu Hurairah dan Zaid Ibnu Khalid r.a: sesungguhnya ada seorang lelaki arab Badui menemui Rasulullah SAW. dan berkata: “Wahai Rasulullah, saya tidak memohon kepada engkau selain keputusanmu bagiku berdasarkan kitabullah al-Qur’an.” Periwayat yang lain dan dia lebih mengerti dari pada dia, berkata. “Ya, putuskanlah antara kami berdasarkan kitabullah dan izinkan saya.” Lalu beliau bersabda. “Katakanlah jelaskan dahulu perkaranya.” Dia berkata, “Sesungguhnya anak saya menjadi buruh pada orang ini lalu dia berzina dengan isteri majikan ini, dan sesungguhnya saya telah diberitahu bahwa hukuman atas anak saya ini adalah rajam lalu saya menebusnya dengan seratus ekor kambing dan seorang hamba wanita. Setelah saya menanyakan ulama, lalu mereka memberitahukan saya bahwa hukuman atas anak saya, dera seratus kali dan hukuman buangan setahun; dan sesungguhnya hukuman atas isteri majikannya itu adalah rajam.” Lalu Rasulullah SAW. bersabda, “Demi Allah 149 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid IV, Bogor: PT Kharisma Ilmu, Hal. 151 150 Tim Tsalisah, Ensiklopedia Hukum Islam jilid III, Hal. 42 151 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul Hayyie al- Kattani dkk, Jakarta: Gema Insani, 2011, Hal. 317 yang jiwaku ditangan Nya, sungguh saya akan memutuskan perkara antara kamu berdasarkan kitabullah; hamba sahaya dan kambing itu ambil kembali. Dan hukuman atas anakmu, dera seratus kali dan pembuangan pengasingan setahun. Pergilah engkau wahai Unais kepada isteri lelaki in. Jika dia mengakui perbuatannya maka rajamlah ia.” Muttafaq ‘alaih, dan susunan matan hadits ini menurut riwayat muslim. 152 ,ﻲﱢﻨَﻋ اوُﺬُﺧ ,ﻲﱢﻨَﻋ اوُﺬُﺧ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ِﮫﱠﻠﻟَا ُلﻮُﺳَر َلﺎَﻗ :َلﺎَﻗ ﮫﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ِﺖِﻣﺎﱠﺼﻟَا ِﻦْﺑ َةَدﺎَﺒُﻋ ْﻦَﻋ ْﺪَﻘَﻓ ﱠﻠﻟَا َﻞَﻌَﺟ ْﻠَﺟ ِﺮْﻜِﺒْﻟﺎِﺑ ُﺮْﻜِﺒْﻟَا ,ًﻼﯿِﺒَﺳ ﱠﻦُﮭَﻟ ُﮫ َﺪُة ٌﻢِﻠْﺴُﻣ ُهاَوَر ُﻢْﺟﱠﺮﻟاَو ,ٍﺔَﺋﺎِﻣ ُﺪْﻠَﺟ ِﺐﱢﯿﱠﺜﻟﺎِﺑ ُﺐﱢﯿﱠﺜﻟاَو ,ٍﺔَﻨَﺳ ُﻲْﻔَﻧَو ,ٍﺔَﺋﺎِﻣ Dari Ubbadah Bin Shamit r.a. bahwa Rasulullah SAW. bersabda: Ambillah hukum dariku. Ambillah hukum dariku. Allah telah menetapkan bagi mereka wanita yang berzina itu jalan keluar hukumannya. Jejaka berzina dengan gadis hukumannya seratus kali cambukan dan diasingkan setahun. Lelaki yang sudah menikah dengan wanita yang sudah menikah yang berzina hukumannya seratus kali cambukan dan dirajam. Riwayat Muslim. 153 Muhammad Abduh Malik mengatakan bahwa pembuktian dalam jarimah zina terdapat empat macam, yaitu, Pengakuan diri dari pelaku zina, penglihatan mata dari para saksi dibutuhkan empat saksi laki-laki yang dikuatkan oleh sumpah, bukti kehamilan dikuatkan dengan bukti forensik dari dokter ahli dan bukti telah terjadinya senggama dikuatkan dengan bukti forensik dari empat dokter ahli yang dikuatkan dengan sumpah. 154 Sedangkan si pemberi yang menyodorkan wanita terkena jarimah takzir, yang hukumannya ditetapkan berdasarkan keputusan hakim. Jadi, dalam kasus grartifikasi seks ini Islam telah melarang secara tegas karena dampak dari perbuatan tersebut merusak moral bangsa dan juga merugikan negara. 152 Ash Shan’ani, Subulussalam IV, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, Surabaya: Al-Ikhlas, 1996, Hal. 14-16 153 Ash Shan’ani, Subulussalam IV, diterjemahkan oleh Abu Bakar Muhammad, Hal. 19- 20 154 Muhammad Abduh Malik, Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP, Hal. 273-274

BAB V PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dalam bab penutup ini penulis menyimpulkan bahwa substansi yang sangat penting dalam penelitian tindak pidana korupsi gratifikasi seks ialah sebagai berikut: 1 Gratifikasi seks ialah hadiah jasa pelayanan seksual yang diterima oleh pegawai negeri atau penyelenggara negara yang bertentangan dengan kewajibannya atau berhubungan dengan jabatannya. Gratifikasi seks ini termasuk ke dalam tindak pidana korupsi, karena merujuk pada pengertian “sesuatu” yang ada dalam undang-undang yang artinya segala sesuatu benda yang berwujud atau tidak berwujud, benda yang mempunyai nilai, harga, kegunaan yang menyenangkan. Misalnya suatu jasa, suatu pekerjaan, suatu kemudahan, suatu fasilitas yang dimasukkan dalam pengertian gratifikasi pasal 12B, termasuk gratifikasi seksual. 2 Dalam hukum pidana Islam istilah gratifikasi bisa dikategorikan ke dalam risywah, tetapi untuk persoalan gratifikasi seks Islam pun secara tegas melarangnya karena hal demikian merupakan jarimah risywah dengan cara jarimah zina. perbuatan ini sangat jelas bahwa Allah melaknat orang yang memberi dan menerima suap. Apalagi objek pemberiannya berupa jasa pelayanan seksual, tentu saja perbuatan tersebut termasuk dosa besar dan diancam dengan hukuman takzir berupa penjara, pengasingan, cambuk, atau bisa terancam hukuman mati. dan juga terancam hukuman hudud berupa cambuk atau rajam hukuman mati. 3 Ancaman hukuman gratifikasi seks dalam hukum pidana positif bisa dijerat pasal 5 ayat 1 bagi si pemberi, pasal 5 ayat 2, pasal 12 huruf a dan b, atau pasal 12B bagi si penerima dan pasal 15 bagi objek wanita pelayan seks UU No. 311999 Jo. UU No. 202001 sepanjang memenuhi unsur-unsur tersebut. 4 Dalam perbandingan hukum pidana positif dan hukum pidana Islam ini tentu keduanya mempunyai perbedaan dari segi pengertian, jenis ataupun sanksinya. Tetapi pada dasarnya kedua hukum tersebut sama-sama melarang keras perbuatan gratifikasi seks, karena dampaknya bisa merusak moral bangsa dan juga merugikan keuangan atau perekonomian negara. B. SARAN Perbuatan gratifikasi seks sangatlah merusak moral bangsa dan negara, dengan demikian kita sebagai umat yang memegang teguh ajaran agama haruslah menjaga akhlak dari perbuatan tersebut. Khususnya bagi aparatur negara tentunya pemegang roda pemerintahan harus benar-benar hati-hati dan serius dalam hal menjalani kewajibannya. Apalagi para penegak hukum, sudah menjadi kewajiban untuk menciptakan keadilan sosial bagi seluruh bangsa Indonesia. Akhir-akhir ini masyarakat menganggap gratifikasi seks ini sudah lumrah. Maka dari itu para penegak hukum harus bergerak cepat tanpa pandang bulu mengatasi permasalahan korupsi khususnya isu-isu merebahnya gratifikasi seks, tentunya para penegak hukum harus mengklarifikasi dan mempublikasikan dalam berbagai media bahwa gratifikasi seks itu termasuk dalam tindak pidana korupsi. Bagi masyarakat tentunya harus menanamkan image sejak dini bahwa korupsi merupakan kejahatan luar biasa, juga mendukung dan mengawasi kinerja aparatur pemerintah dengan mengontrolnya supaya terjadi keseimbangan antara pemerintah dan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an dan Terjemahnya. Abduh Malik, Muhammad. 2003. Perilaku Zina Pandangan Hukum Islam dan KUHP. Jakarta: Bulan Bintang. Adji, Indrianto Seno. 2009. Korupsi dan Penegakan Hukum. Jakarta: Diadit Media. Cet. Pertama. Alatas, Syed Hussain. 1987. Korupsi, Sifat, Sebab dan Fungsi. Jakarta: LP3ES. Anggota IKAPI. 2001. Terjemahan Nailul Authar jilid 6. Surabaya: PT Bina Ilmu Offset, Cet. Keempat. Anwar, Syamsul dkk. 2006. Fikih Anti Korupsi Perspektif Ulama Muhammadiyah.Jakarta: Pusat Studi Agama dan Peradaban. Ar-Rifa’i, Muhammad Nasib. 1999. Kemudahan dari Allah, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir jilid I. Jakarta: Gema Insani Press. Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi. 2001. Hukum-hukum Fiqh Islam tinjauan antar mazhab. Semarang: PT pustaka rizki putra. Asmawi. 2010. Teori Maslahat dan Perundang-Undangan Pidana Khusus di Indonesia. Tanpa tempat: Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI. --------. 2011. Terjemahan Fiqh Islam Wa Adillatuhu. Jakarta: Gema Insani. Az-Zuhaili, Wahbah. 2011. Fiqh Islam Wa Adillatuhu Jilid 7, Penerjemah Abdul Hayyie al-Kattani dkk. Jakarta: Gema Insani. Chazawi, Adami. 2005. Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia. Jakarta: Bayumedia Publishing. Cet. Pertama. Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi keempat. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Umum. Djaja, Ermnasyah. 2009. Korupsi Bersama KPK. Jakarta: Sinar Grafika. Cet. Kedua. Doi, A. Rahman I. 2002. Penjelasan Lengkap Hukum-hukum Allah, Syariah. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada. Effendy, Marwan. 2013. Korupsi dan Strategi Nasional, pencegahan serta pemberantasannya. Jakarta: Referensi. Harahap, Krisna. 2006. Pemberantasan Korupsi jalan tiada ujung. Bandung: PT Grafitri. Irfan, M. Nurul dan Masyrofah. 2013. Fiqh Jinayah. Jakarta: Amzah. Irfan, M.Nurul. 2012. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam edisi kedua. Jakarta: Amzah. Cet. Pertama.