15. Pasal 21 perbuatannya a mencegah, b merintangi, atau c menggagalkan.
16. Pasal 22 perbuatannya a tidak memberikan keterangan atau b memberikan keterangan.
17. Pasal 220 KUHP perbuatannya a memberitahukan atau b mengadukan.
18. Pasal 231 KUHP: ayat 1 perbuatannya menarik suatu barang;
ayat 2 perbuatannya a menghancurkan, b merusak, atau c membikin tidak dapat dipakai;
ayat 3 perbuatannya melakukan kejahatan.
19. Pasal 421 KUHP perbuatannya a memaksa untuk melakukan, b memaksa untuk tidak melakukan, atau c memaksa untuk
membiarkan. 20. Pasal 422 KUHP perbuatannya menggunakan sarana dengan
paksaan. 21. Pasal 429 KUHP:
ayat 1 perbuatannya memaksa masuk; ayat 2 perbuatannya a memeriksa atau b merampas.
43
22. Pasal 430 KUHP:
43
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 27-28
ayat 1 perbuatannya merampas; ayat 2 perbuatannya menyuruh memberikan keterangan.
2 Tindak Pidana Korupsi Pasif Tindak pidana korupsi pasif ialah tindak pidana yang unsur
tingkah lakunya dirumuskan secara pasif. Sebagaimana diketahui bahwa tindak pidana pasif itu adalah tindak pidana yang melarang
untuk tidak berbuat aktif. Tindak pidana pasif korupsi terdapat dalam pasal-pasal berikut:
1. Pasal 7 ayat 1 sub b, d, dan ayat 2 yang membiarkakn perbuatan curang.
2. Pasal 10 sub b perbuatannya membiarkan orang lain menghilangkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
hingga tidak dapat dipakai. 3. Pasal 23 jo 231 KUHP perbuatan pasifnya membiarkan dilakukan
salah satu kejahatan itu. 4. Pasal 24 perbuatanya tidak memenuhi ketentuan.
44
E. Atas Dasar Dapat tidaknya Merugikan Keuangan atau Perekonomian
Negara
Atas dasar seperti ini tindak pidana korupsi dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu a tindak pidana korupsi yang dapat merugikan keuangan atau
44
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 28-29
perekonomian negara dan b tindak pidana korupsi yang tidak mensyaratkan dapat menimbulkan kerugian keuangan atau perekonomian negara. Haruslah
dipahami bahwa tindak pidana korupsi yang dapat membawa kerugian negara pada sub a tersebut bukanlah tindak pidana materiil, melainkan tindak pidana
formil. Terjadinya tindak pidana korupsi secara sempurna tidak perlu menunggu timbulnya kerugian negara. Asalkan dapat ditafsirkan menurut akal sehat bahwa
suatu perbuatan dapat menimbulkan kerugian negara, maka perbuatan tersebut sudah dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi.
45
3. KLASIFIKASI TINDAK PIDANA KORUPSI
1. Klasifikasi Tindak Pidana Korupsi dalam Hukum Pidana Positif
Dalam hukum pidana positif, klasifikasi tindak pidana korupsi adalah rumusan tindak pidana korupsi yang berdiri sendiri dan dimuat dalam pasal-pasal
UU No. 311999 yang diubah dengan UU No. 202001. Berikut klasifikasi tindak pidana korupsi dalam Hukum Pidana Positif:
A. Tindak Pidana Korupsi yang Merugikan Keuangan Negara Pasal 2
pasal 3
Unsur-unsur delik pada pasal 2 adalah sebagai berikut: a. Perbuatannya: memperkaya diri sendiri, orang lain atau suatu korporasi
b. Dengan cara melawan hukum
45
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 30
c. Yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
46
Unsur-unsur delik pada pasal 3 adalah sebagai berikut:
1 Unsur Objektif
a. Perbuatannya: menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana b. Yang ada padanya: karena jabatan atau kedudukan
c. Yang dapat merugikan: keuangan negara atau perekonomian negara
2 Unsur Subjektif
d. Dengan tujuan: Menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
47
Dalam substansi pasal 2 dan pasal 3 tersebut yang dimaksud kekayaan atau perekonomian Negara ialah kekayaan berada dalam penguasaan pengurusan
pertanggungjawaban pejabat Negara, baik di tingkat pusat maupun daerah dan berada dalam penguasaan, pengurusan dan pertanggungjawaban BUMN dan
BUMD, yayasan, badan hukum, dan perusahaan yang menyertakan modal Negara, atau perusahaan yang menyertakan modal pihak ketiga berdasarkan perjanjian
dengan Negara.
48
B. Tindak Pidana Penyuapan Pasal 5, 6, 11, 12 Huruf a, b, c dan d dan
Pasal 13
46
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 34-35
47
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 48-49
48
Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta: UII Press, 2013, Hal. 103-104
Secara konseptual suap di artikan sebagai pemberian hadiah atau janji pada seorang penyelenggara negara atau pegawai negeri yang berhubungan
dengan jabatannya. Secara normatif tindak pidana suap diatur dalam ketentuan pasal 5, 6, 11, 12 huruf a, b, c dan d serta pasal 13 berikut penjelasnnya:
49
1. Suap pada Pegawai Negeri Pasal 5
Tindak pidana yang dirumuskan dalam pasal 5 tersebut dalam praktik diberi kualifikasi dengan “suap aktif” aktive omkooping. Rumusan ini diadopsi
dari pasal 209 KUHP, oleh karena ini diadopsi dari KUHP maka pasal 209 telah dinyatakan tidak berlaku. Rumusan pasal 5 ini telah jelas perbedaannya dengan
pasal 209 KUHP. Menurut Adami Chazawi, dalam pasal 209 KUHP unsur maksud dari perbuatan memberi atau menjanjikan sesuatu ditujukan untuk
menggerakkan yakni mempengaruhi batin orang lain pegawai negeri tidak dimuat, akan tetapi dalam pasal 5 UU No. 202001 maksud bukan lagi ditujukan
untuk menggerakkan pegawai negeri, tetapi ditujukan agar pegawai negeri berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban
jabatannya.
50
1. Unsur delik pasal 5 ayat 1 huruf a adalah sebagai berikut:
Unsur objektif
a. Perbuatannya: memberi atau menjanjikan sesuatu
49
Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Hal. 125
50
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 57-58
b. Objeknya:sesuatu c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara
Unsur Subjektif
d. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan
dengan kewajibannya. 2. Unsur delik pasal 5 ayat 1 huruf b adalah sebagai berikut:
a. Perbuatannya: memberi sesuatu b. Objeknya: sesuatu
c. Kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara d. dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut
berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya.
3. Unsur delik pasal 5 ayat 2 adalah sebagai berikut: a. Si pembuatnya: pegawai negeri atau penyelenggara negara
b. Perbuatannya: menerima pemberian atau menerima janji c. Objeknya: sesuatu yang diberikan atau sesuatu yang dijanjikan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a dan b.
51
51
Adami Chazawi, Hukum Pidana Materil dan Formil Korupsi di Indonesia, Hal. 58-75