xxiii
B. Urgensi Penyusunan Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan
Pornoaksi
Peraturan perundang-undangan yang ada belum secara tegas mendefinisikan pornografi. Baik di dalam KUHP, dan peraturan perundang-undangan yang
menyebut-nyebut istilah “pornografi” yakni Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, dan Undang-undang No. 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran, definisi
“pornografi” tidak ada. Sedangkan menurut sosiolog Prof. Dr. Leke Sartika Iriany, Dra, M.S.,
menyatakan bahwa negara sudah memiliki aturan yang dapat menanggulangi masalah pornografi dan pornoaksi, yaitu KUHP Pasal 282 dan 533, serta Undang-
undang Pokok Pers No. 401999 Pasal 5 dan 13.
17
Dengan demikian, perangkat hukum yang menangani masalah pornografi sudah ada, sehingga tidak perlu
adanya lagi disusun Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi. Padahal, semua peraturan perundang-undangan tersebut sangat diperlukan
dalam menangani masalah pornografi di media massa dan bentuk-bentuk pornografi lainnya. Pada era globalisasi dan perkembangan teknologi informasi
dan komunikasi yang semakin cepat sekarang ini, apabila tidak ada undang- undang yang secara khusus mendefinisikan “pornografi”, dikuatirkan upaya
penegakan hukum akan terus mengalami banyak kesulitan, seperti yang terjadi selama ini.
18
17
Yeyet Suprianawati, Observasi Menyikapi Pornografi dan Pornoaksi Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2006, h.35-36.
18
Naskah Akademik Rancangan Undang-undang Pornografi, diakses tanggal 15 Januari 2009, Pukul 11.00 Wib.
xxiv Kehadiran Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini
bukan untuk golongan tertentu, tapi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu sudah selayaknya pemerintah turut campur. Apabila rancangan undang-undang ini
disahkan, Undang-undang ini harus mampu mengayomi dan menguntungkan seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sebagai benteng pertahanan moral bangsa
yang tidak ternilai harganya.
19
Rancangan Undang-undang tentang Pornoaksi diharapkan bisa memberikan kontribusi bagi upaya pengintegrasian masalah pelanggaran kesusilaan kedalam
suatu sistem hukum yang terpadu yang menyangkut media massa, media elektronik, dan pariwisata ke dalam pembangunan moral bangsa. Pembuatan
Undang-undang tentang Kependudukan juga memiliki makna sebagai suatu usaha memberikan koridor hukum bagi perkembangan teknologi komunikasi yang saat
ini semakin cepat terjadi. Berdasarkan diskusi dengan berbagai narasumber, maka manfaat undang-undang tentang pornoaksi antara lain:
1. Memberikan kepastian dan jaminan hukum mengenai pelanggaran kesuilaan, karena peraturan perundang-undangan yang ada di Indonesia sampai saat ini
belum memadai. 2. Memberikan akses yang luas kepada masyarakat untuk mendapatkan
perlindungan hukum terdapat hal-hal yang dinilai melanggaraan norma-norma kesopanan dan kesuilaan, sebagai bentuk pengakuan terhadap hak atas
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. 3. Meningkatkan mutu perencanaan dan kebijakan kependidikan yang
komprehensif yang mencakup segenap matra yang mungkin melalui
19
Ibid,
xxv pengaturan terhadap sosialisasi nilai-nilai kepatutan, relativitas budaya dalam
masyaarakat majemuk, dengan perspektif 1 pembangunan berkelanjutan sustainable development, dalam arti pengakuan atas nilai budaya masyarakat;
2 perspektif gender gender perspective, terutama penghormatan atas harkat dan martabat wanita; dan 3 hak asasi manusia human right.
4. Memberikan pedoman bagi penegak hukum dan instansi lain yang berwenang terhadap penanganan masalah pornografi dan pornoaksi, baik dipusat ataupun
didaerah sesuai dengan kewenangannya, sebagai bentuk pemenuhan hak asasi manusia.
20
C. Pasal-pasal yang bermasalah dalam Rancangan Undang-undang Anti