Pasal-pasal yang bermasalah dalam Rancangan Undang-undang Anti Media Massa

xxv pengaturan terhadap sosialisasi nilai-nilai kepatutan, relativitas budaya dalam masyaarakat majemuk, dengan perspektif 1 pembangunan berkelanjutan sustainable development, dalam arti pengakuan atas nilai budaya masyarakat; 2 perspektif gender gender perspective, terutama penghormatan atas harkat dan martabat wanita; dan 3 hak asasi manusia human right. 4. Memberikan pedoman bagi penegak hukum dan instansi lain yang berwenang terhadap penanganan masalah pornografi dan pornoaksi, baik dipusat ataupun didaerah sesuai dengan kewenangannya, sebagai bentuk pemenuhan hak asasi manusia. 20

C. Pasal-pasal yang bermasalah dalam Rancangan Undang-undang Anti

Pornografi dan Pornoaksi Sejak tahun 1999, Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi telah diajukan ke DPR untuk dibahas. Tetapi hingga sekarang Rancangan Undang-undang itu tidak kunjung selesai disahkan. Karena terlalu lamanya pembahasan, sehingga saat ada permasalahan pornografi yang berkembang di masyarakat, Undang-undang itu pun tidak bisa menjerat karena belum disahkan. 21 Pasal-pasal atau masalah yang krusial dalam Rancangan Undang-undang Anti Pornoaksi dan Pornografi adalah pada Pasal 1 tentang definisi masih diatur tentang pornoaksi, yaitu dengan masih adanya frase gerak tubuh dan pertunjukkan 20 Ibid, 21 Donie Kadewa Mohamad, “Pornomedia Versus RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi,” Monthly Magazine SWAKA Mencerahkan Mencerdaskan Edisi 4 Maret 2006, h.10. xxvi di muka umum. 22 Pasal 8 Rancangan Undang-undang Pornografi juga dinilai tidak berempati terhadap perempuan sebagai korban industri seksual. Pasal itu menyebutkan bahwa setiap orang di larang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung pornografi. 23 Pasal 14 seolah-olah mengizinkan penggunaan materi seksualitas untuk kepentingan seni budaya, adat istiadat, dan ritual tradisional sehingga perlu diubah menjadi “Penggunaan bahan-bahan yang berkenaan dengan materi seksualitas boleh dilakukan terbatas untuk kepentingan dan yang berkaitan dengan pendidikan, seni dan budaya, adat istiadat, dan upacara ritual tradisional.” 24 Dan Pasal 21, 22, dan pasal 23 dapat berdampak munjulnya tindakan anarki. 25 Inilah yang membuat kontrakdiktif pasal-pasal dari yang pro dan kontra terhadap Undang-undang Pornografi.

D. Media Massa

Media adalah alat atau untuk digunakan sebagai penyampaian suatu pesan dari komunikator kepada khalayak. Dalam menyampaikan sebuah informasi, atau berita yang ada tentunya sangat perlu mengetahui media apa yang akan digunakan. Kendatipun begitu, media yang menjadi alat atau sarana dalam menyampaikan suatu informasi yang tepat adalah media massa. 22 Kompas, 29 Oktober 2008. 23 Kompas, 24 September 2008. 24 Republika, 17 Oktober 2008. 25 Kompas, 29 Oktober 2008. xxvii Penggunaan media berkaitan dengan sasaran dari pesan, apakah pesan itu ditunjukkan pada personal, kelompok, atau massa. Massa adalah sejumlah pasar dalam batasan-batasan jangkauan komunikasi yang berkaitan dengan geografis tertentu. 26 Syarat-syarat yang membuat suatu media dimasukkan dalam kelompok media massa : 1. Menjangkau lebih banyak komunikan. 2. Menyajikan informasi sesuai dengan kemajemukan khalayak. 3. Pada umumnya menggunakan model komunikasi satu arah. 4. Informasi yang disampaikan dibatasi oleh ruang dan waktu. 5. Pada umumnya, respons dari komunikan terjadi secara lambat. 27 Media massa terbagi ke dalam media elektronik, media cetak, dan media online. Media elektronik mewakili radio, televisi maupun film. Media cetak, koran, majalah, tabloid, dan lain-lain. Artinya, suatu pesan melalui media massa tersebut dapat diterima oleh komunikan, baik sebagai pembaca, audiensi maupun pemirsanya yang jumlahnya relatif banyak. 28 Media massa dapat dimaksudkan sebagai proses penyampaian berita melalui sarana teknis untuk kepentingan umum dan kelompok besar yang tidak dikenal, dimana penerima dapat menjawab secara langsung pada berita dan dapat 26 John E. Kennedy, R. Dermawan, Marketing Communication: Taktik Strategi Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer, 2006, h.46. Ibid , h.47. 28 Ruslan, Rosady, Manajemen Public Relations dan Media Komunikasi Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998, h.202-203. xxviii mengakses segala informasi-informasi yang ada. Media massa hanyalah alat untuk menyampaikan berita yang dapat bernilai atau tidak sebagai seni komunikasi. 29 Kata massa dalam pengertian media massa tidaklah sama artinya menurut ilmu jiwa sosial psikologi sosial. Kata massa dalam pengertian media massa memiliki syarat harus terdiri dari banyak orang, waktu berlainan, pada tempat yang menyebar, meskipun ada peristiwa tapi tidak mengakibatkan kesadaran individu menurun. 30 Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada diruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang sarat dengan berbagai kepentingan, konflik, dan fakta yang kompleks dan beragam. Sebagaimana diungkapkan oleh Eriyanto, “Media mempunyai peran besar dalam mendefinisikan realitas media bukanlah saluran yang bebas, ia juga subjek yang mengkonstruksi realitas, lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakkannya”. 31 Media massa adalah merupakan dasar dari media diskusi publik yang mengambarkan suatu masalah yang melibatkan tiga pihak yaitu wartawan, sumber berita, dan khalayak. Pendekatan analisis framing memandang wacana berita sebagai semacam arena perang simbolik antara pihak-pihak yang berkepentingan dengan pokok persoalan wacana. Media massa dilihat sebagai forum bertemunya pihak-pihak dengan kepentingan, latarbelakang, dan sudut pandang yang berbeda- beda. 29 Tondowidjojo, Media Massa dan Pendidikan Yogjakarta: Kanisius, 1985, h.11. 30 Hoet Soehoet, Media Komunikasi Jakarta: Yayasan Kampus Tercinta IISIP, 2003, h.52. 31 Eriyanto, Politik Pemberitaan Pantau Edisi 09 2000, h.83. xxix Banyak orang membaca karena merasa bahwa hal itu berterima secara sosial, dan sebagian orang merasa bahwa surat kabar merupakan hal yang tak tergantikan dalam mencari informasi mengenai berbagai persoalan yang ada di dunia. Namun demikian, banyak juga yang mencari pelarian, relaksasi, hiburan, dan prestise sosial. Sebagian yang lain mencari bantuan untuk kehidupan sehari- hari mereka dengan membaca materi berkenaan dengan mode, resep makanan, ramalan cuaca, maupun informasi bermanfaat lainnya. 32 Berita dalam pandangan adalah suatu konstruksi sosial, bukan merupakan peristiwa atau fakta dalam arti yang riil. Kenyataan bukan dioper begitu saja sebagai berita. Ini merupakan sebuah produk interaksi antara wartawan dengan berita fakta. Dalam proses internalisasi, kenyataan itulah yang dialami oleh wartawan. Kenyataan itu oleh wartawan dan diserap dalam kesadaran wartawan. Louis Althusser sebagaimana yang dikutip Alex Sobur, menulis bahwa media dalam hubungannya yang dekat dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuan sebagai sarana legitimasi. 33 Bahwa sangatlah penting dalam peran suatu media massa terhadap pemirsa. Sehingga pemirsa juga mengenal lebih dekat sudut pandang dan latar belakang suatu berita, sehingga berita yang ada dapat memberitakan suatu permasalahan yang sedang berlangsung, baik itu beritanya sedang booming ataupun sebaliknya. Karenanya, semua info yang ada itu menjadi sebuah harapan bagi pemirsa untuk mendapatkan suatu informasi yang penting terhadap berita yang disajikan. Tidak 32 Werner J. Severin James W. Tankard, Jr, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, Terapan di dalam media massa Jakarta: Kencana Prenada Group, 2007, h.354. 33 Alex Sobur, Op.Cit., hal.30. xxx cukup rasanya informasi kalau kita masih kurang dalam mengakses informasi- informasi yang ada. Media adalah sebagai agen kontrol sosial. Media juga mempunyai suatu kekuatan sebagai sumber berita. Sangatlah mustahil dari segala keuntungan itu tidak didapatkan disamping itu pula, peroleh-peroleh tambahan juga didapat dari iklan-iklan demi memperoleh keuntungan. Media sangat bergantung pada kekuatan, pusat ekonomi, dan politik sebagai berita. Segala usaha yang mereka lakukan dapat dipegang dalam arti ada yang bisa mengendalikannya untuk kepentingan medianya atau kepentingan elit. Sehingga kemasan-kemasan atau tampilan-tampilan itu dapat mengikuti isi hatinya pemegang saham atau ownernya. ”Pornografi dalam Media Massa” menurut Tjipta Lesmana, mengajukan kajian tentang pornografi dalam film, majalah, dan kalender. Lesmana berpendapat bahwa komunikasi dalam batas-batas tertentu merupakan seni atau keterampilan manusia menyampaikan pikiran dan emosinya kepada orang lain. 34 Pada satu sisi, kasus-kasus pornografi kerap kali meresahkan masyarakat. Dan ini menjadi permasalahan yang ada di negeri sendiri. Pornografi umumnya tidak berkaitan yang berhubungan dengan perempuan baik itu yang menyangkut dengan seks, gender, dan seksualitasnya. Isu-isu yang ada selalu dikaitkan dengan isu-isu yang negatif. Pembaca berharap, wartawan dapat menjelaskan ilmu pengetahuan kepada mereka yang bukan ilmuan dan juga memberikan pengertian berita yang dapat 34 Syarifah, Kebertubuhan dalam Pornografi Jakarta: Yayasan Kota Kita, 2006, h.11- 13. xxxi dimaksud dan dicerna oleh semua khalayak. 35 Sehingga masalah pro kontra tidak membuat masyarakat menjadi bingung dengan adanya Undang-undang Pornografi. Dalam hal ini dapat menumbuhkan perdebatan tentang adegan seks yang disungguhkan, baik media cetak maupun elektronik. Jadi persoalannya adalah ketika kemampuan media massa itu digunakan untuk mengkonstruksi erotisme, maka sudah dapat dibayangkan bahwa kekuatan konstruksi sosial media massa akan mampu membangun sebuah kesadaran palsu khalayak bahwa erotisme adalah sebuah kebenaran. Jadi, kekuatan kosntruksi media massa mampu telah melimpuhkan daya kritis khalayak. 36 Peran media massa dalam memuat isu pembahasan Rancangan Undang- undang Anti Pornografi dan Pornoaksi ini dalam sebuah berita dan informasi sangat signifikan, karena media masalah yang dengan cepat memberikan informasi dan berita atas sebuah peristiwa. Tapi terkadang berita dan informasi yang disampaikan tersebut oleh media massa dibuat melalui proses pembingkaian, dikonstruksi, dan direncanakan dengan tujuan tertentu sehingga sistem kerjanya media dapat diibaratkan hampir sama dengan sebuah pabrik. Jika memang seperti itu maka media massa diharapkan dapat menghasilkan sebuah produk yang bagus dan dapat bersaing, artinya berita atau informasi yang diberikan kepada masyarakat jangan sampai merugikan masyarakat atau memihak suatu kelompok tertentu dari kepentingannya. 35 Haris Sumadiria, Bahasa Jurnalistik Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006, h.3. 36 Burhan Burgin, Pornomedia : Sosiologi Media, Konstruksi Sosial Teknologi Telematika, Perayaan Seks di Media Massa Jakarta: Prenada Media, 2005, h.152-153. xxxii Dengan dilatarbelangi oleh pandangan-pandangan pro dan kontra terhadap berita serta gambar erotis di media massa, Bungin mencoba melihat secara empiris apa dampak erotika di media massa dan peer group pada sikap seks remaja di daerah perkotaan. Setelah melihat secara lebih jeli batas-batas seni dan unsur yang mengarah ke pornografi, pelarangan atau regulasi oleh negara dalam materi ini akan lebih memperhatikan pertimbangan yang lebih jernih. 37 Permasalahan seni memang sudah ada dari dulu. Tetapi, yang menjadi permasalahan mengenai seksualitas yang kerap kali digambarkan yang dapat mengusik rasa susila masyarakat. Di dalam media elektronik seperti televisi wanita sebagai subyek dalam penampilan yang dibawakan. Sehingga, iklan tersebut kerap kali menjadi daya tarik pembeli agar iklan tersebut laku dipasaran. Misalnya dalam iklan sabun, rokok, dan sebagainya. Perdebatan sengit dari wacana-wacana yanng ada mengenai pro dan anti pornografi selama ini, pada kenyataannya, tidak benar-benar mengangkat masalah perempuan dalam isu pornografi di Indonesia. Malahan dalam wacana-wacana ini sama-sama mengobjektivitasi perempuan. 38 Pendekatan ini menujukkan apa yang disebut dengan framing. Bagaimana media mengembangkan konstruksi tertentu atas realitas dan isu yang ditimbulkan. Peristiwa yang sama dapat dikonstruksi secara berbeda dengan menggunakan frame yang berbeda. Hal ini terjadi ketika peristiwa dilihat dengan cara yang berbeda oleh media. Haryatmoko, Etika Komunikasi Yogjakarta: Kanisius, 2007, h.102. 38 Syarifah, Op.Cit., h.17-18. xxxiii

E. Framing dalam Robert N. Entman