ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Meskipun gelombang pro kontra mengenai Rancangan Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi RUU APP belum juga reda, hanya namanya saja
berubah menjadi RUU Pornografi. Pembahasan demi pembahasan RUU APP juga sudah lama terkatung-katung dan menjadi obrolan hangat sejak tahun 1997 di
DPR dan masyarakat, walaupun akhirnya disahkan menjadi Undang-undang Pornografi.
Persoalan Rancangan Undang-undang Pornografi yang telah menjadi Undang-undang Pornografi ini ditanggapi beragam oleh masyarakat, seniman,
LSM Perempuan, dan tokoh publik. Ada yang setuju, namun tidak sedikit juga yang menolak dengan adanya Undang-undang Pornografi. Sejauhmana Undang-
undang Pornografi dipertentangkan atau dikontroversikan oleh kalangan-kalangan yang mempunyai kepentingan sendiri atau kepentingan bersama.
Secara realitas yang terjadi pertentangan masalah terbentuknya Undang- undang Pornografi terus terjadi terutama di Bali dan Papua. Masyarakat di kedua
daerah ini menyatakan penolakannya secara tegas kepada pemerintah. Aksi-aksi unjuk rasa, baik yang pro maupun yang kontra, terus terjadi dengan mengerahkan
ratusan massa. Begitu juga diskusi-diskusi dan talk show, di ruang tertutup maupun di media massa.
1
Dalam sebuah proses penggodokan draft Rancangan Undang-undang, pemandangan seperti ini sudah biasa, namun
1
Dedeh Fardiah di majalah Forum Keadilan No. 35 31 Desember – 6 Januari 2008, diakses tanggal 10 Januari 2009, Pukul 20.00 Wib.
iii Pro kontra yang mewarnai pembahasan Rancangan Undang-undang
Pornografi ini bukan pro kontra biasa. Hal ini disebabkan Rancangan Undang- undang tersebut menyangkut persoalan yang cukup rumit, yaitu pengaturan sikap,
perilaku, cara berpakaian, dan ekspresi seseorang. Di satu sisi mereka menginginkan Undang-undang ini tidak memiliki multitafsir dan menghilangkan
budaya dan adat istiadat dalam pengertian porno yang dibuat menjadi Undang- undang Pornografi.
Para pendukung
Rancangan Undang-undang
Pornografi melihat
industrialisasi seks, seperti majalah, komik, tabloid, dan film adalah mode penyebarannya sehingga segala bentuk pendanaan dan industrialisasi seks
pornografi harus dihalangi. Pro dan kontra terhadap Rancangan Undang-undang Pornografi adalah fakta dari kontestasi identitas. Kontestasi identitas ini proses
transformasi bangsa menghadapi transformasi globalisasi.
2
Realitas yang ada pada dunia pers di Indonesia, harian Media Indonesia dan Republika
adalah dua media cetak yang memiliki peningkatan penjualan koran terbesar di Indonesia. Dan juga memiliki minat baca yang tinggi dari semua
kalangan pembaca muda, dewasa, dan berpendidikan. Karena itu membutuhkan proses yang lama, harian Media Indonesia dan Republika telah menjadi surat
kabar yang banyak peminatnya dan telah menjadi koran harian nasional. Sehingga bukan tidak mungkin kedua harian ini mampu mempengaruhi
daya pikir pembacanya terhadap berita yang ada. Dalam skripsi ini, penulis berupaya menyoroti bagaimana kedua harian tersebut dalam mengemas suatu
berita tentang pro kontra Undang-undang Pornografi.
“ Pornografi dan Kontestasi Identitas”, Republika, 24 September 2008.
iv Harian Republika bersifat membangun dan mendukung nilai-nilai Islam dari
pemberitaan yang berhubungan dengan moral bangsa. Hal ini juga yang menjadi bertolak belakang, Media Indonesia yang sekuler cenderung menolak atau tidak
setuju dengan hal-hal yang berhubungan dengan pemberitaan agama Islam, berbeda dengan harian Republika sejak berdirinya telah mengikrarkan diri sebagai
media dengan azas-azas Islami dan menjadi pengendali informasi umat Islam. Dalam kehidupan media massa, kemunculan pornografi memberikan warna
unik. Ia bisa menjadi pendokrak dalam meraih keuntungan materi, sekaligus bisa menjadi penyebab kematian media massa. Kehadiran pornografi dalam media
massa, lebih jauh lagi menimbulkan pertanyaan apakah merusak moral masyarakat atau sebaliknya.
Semua ketentuan mengenai pornografi dan pornoaksi itu pada saat ini dirasa sangat tidak memadai untuk membendung arus pornografi yang melanda
masyarakat Indonesia melalui media massa, baik media cetak surat kabar, majalah, dan tabloid ,maupun media elektronik televisi dalam dan luar negeri,
DVD, VCD, dan internet. Ini sebabnya dirasa perlu adanya Undang-undang khusus yang mengatur masalah ini.
3
Pemberitaan tentang Undang-undang Pornografi di Indonesia menjadi sebuah kontroversi yang tidak kunjung selesai karena terdapat perbedaan sudut
pandang antara komunitas satu dengan komunitas lainnya. Hal ini menurut sebagian kaum Muslim Indonesia perlu adanya Undang-undang Pornografi agar
moral bangsa tidak rusak akibat tontonan negatif yang tidak bernilai dan membawa dampak negatif kepada semua kalangan terutama kalangan anak-anak.
3
Sudirman Tebba, Hukum dan Media Massa Nasional Jakarta: Pustaka irVan, 2007, h.54.
v Jauh sebelum datangnya hal-hal yang dinamakan pornografi dan pornoaksi
dalam Islam sudah ada aturan yang melarang pelanggaran terhadap “kesusilaan”, seperti yang jelaskan dalam firman Allah SWT:
+ ,
- .
Artinya: ”Dan janganlah kamu mendekati zina; zina itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk”
Q.S. Al-Isra: 32 Dan firman Allah SWT:
12 34 35 7893:
;=? A =35
B3C DEF
G ;=?
H I
B7JK 2 MNO3PFQA
B7J R SA T
U 5
J 7 JV35
W X=Y
, B3C
782AZ[ \ ]
B_` aK
MNO3PFQA B7J R SA
T U
bc J3R
2 Q3
G
bc Jd
G
3 bc
J3e 2
G
bc Jd
VF G
G
3 VF
G bc
J3e 2
G
B J3 f
;
G WgK
bc J3 f
;
G WgK
B J3 f
; G
G B
Jd Dh
i
G 5
=4 j]9 5 B7J8A G
G
MNk32 QlR
XF m
no pG 3
Fq4r ;35
st
G 01 H3uv
MNO3 w x
J=? A \ ]
3yf qF
3
Dh3zV W
X=Y { B
J 9KFq o
;y]92,3 5
Wk3H AI 35
B J3R SA T \
| 2
]n }
2a3• C €A G
M• 35 78
j‚92 M• 7
9 H2 .
ƒ0 12
34 35 7893: ;=? A
=35 B3C
DEF G
vi
;=? H
I B7JK 2
MNO3PFQA B7J R SA
T U
5 J 7
JV35 W
X=Y ,
B3C 782AZ[
\ ]
B_` aK MNO3PFQA
B7J R SA T
U bc
J3R 2
Q3
G bc
Jd
G 3
bc J3e
2
G bc
Jd VF
G
G 3
VF G
bc J3e
2
G B
J3 f ;
G
WgK bc
J3 f ;
G
WgK B
J3 f ; G
G
B Jd
Dh i
G
5 =4 j]9 5
B7J8A G
G MNk32
QlR XF
m no pG
3 Fq4r
;35 st
G
01 H3uv MNO3 w
x J=? A
\ ]
3yf qF
3 Dh3zV
W X=Y {
B J
9KFq o ;y]92,3
5 Wk3H AI
35 B J3R SA T
\ |
2 ]n
} 2a3• C
€A G M• 35 78
j‚92
M• 7 9 H2
. ƒ0
Artinya: ”Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan jaganlah
menampakkan perhiasannya auratnya, kecuali yang biasa terlihat. Dan hendaklah mereka menutupi kain ke rudung ke dadanya, dan janganlah
menampakkan perhiasannya auratnya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putra-putra mereka, atau putra-putra
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putra-putra saudara laki-laki mereka, atau putra-putra sudara perempuan mereka, para perempuan
sesama Islam mereka, atau hamba sahaya yang mereka miliki, atau para pelayan laki-laki tua yang tidak mempunyai keinginan terhadap perempuan,
atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat perempuan. Dan janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui perhiasan yang mereka
sembunyikan. Dan bertobatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung”
Q.S. An-Nur: 31 Mengatur tentang cara bergaul, memelihara kehormatan dan batas aurat,
serta yang mengatur tentang aurat kaum perempuan mu’minah. Seperti yang dijelaskan firman Allah SWT:
vii
_MP o A „gsn…
12 QKf
T†‡ Q3
3 Dh i
Wk335 78 MNk3 =PA
B_FX]9 35
B J
-ˆ -]9K
\ Q3
f ‰ a G
G ;
2A W O ‰ A
j M•
‚ Vq ?H
m Š8a3 ‹q
.
Artinya: ”Wahai Nabi Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, ”Hendaklah mereka menutup jilbabnya ke seluruh
tubuh mereka”. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha
Penyayang”
Q.S. Al-Ahzab: 59 Melihat framing dalam Entman memiliki dua dimensi besar: seleksi isu dan
penekanan atau penonjolan aspek-aspek realitas. Kedua faktor ini dapat lebih mempertajam framing berita melalui proses seleksi isu yang layak ditampilkan
dan penekanan isi beritanya. Perspektif wartawanlah yang akan menentukan fakta yang dipilihnya dan ditonjolkannya.
4
Di mana cara pengambilan wartawan dalam mengambil suatu berita sehingga berita itu dapat ditonjolkan terhadap isu Pro Kontra Undang-undang
Pornografi. Ideologi dalam membuat suatu proses pembuatan berita sangat dibutuhkan. Sehingga isu yang ditonjolkan, oleh kedua media dapat terlihat
terutama mengenai tanggapan terhadap masalah Undang-undang Pornografi terbentuk.
Pembuatan Rancangan Undang-undang Pornografi diharapkan bisa memberikan kontribusi positif agar negara kita dapat mengembangkan etika
kehidupan berbangsa dan bernegara tentang Etika Kehidupan Berbangsa, yang menegaskan bahwa perlu dibangun sebagai suatu terobosan yang baru
menampilkan sikap saling peduli, saling memahami, saling menghargai di antara
4
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing
Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006, h.163.
viii sesama, dan dikembangkan budaya malu untuk berbuat kesalahan dan semua yang
bertentangan dengan moral agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa. Selain itu, pembuatan Rancangan Undang-Undang ini juga diharapkan dapat
melengkapi materi Rancangan Undang-Undang Pornografi yang saat ini sudah selesai pembahasannya dalam Rapat Panitia Kerja Badan Legislatif DPR-RI. Ini
dapat dijalankan sesuai dengan peraturan yang perlu dibuat yaitu Undang-undang Pornografi.
Berbagai macam media cetak yang ada, baik lokal maupun nasional dalam memberitakan berbagai macam berita tentang pengesahan Undang-undang
Pornografi dari sudut pandangan media terhadap Undang-undang Pornografi. Itulah yang menjadi menarik dalam membahas kedua media nasional yaitu harian
Media Indonesia dan Republika menanggapi persoalan Undang-undang Pornogafi
yang sampai sekarang itu menuai pro kontra diberbagai kalangan terutama seniman dan LSM Perempuan.
Analisis ini memberikan pengetahuan tentang bagaimana media cetak konstruksi berita seputar Pro Kontra Undang-undang Pornografi di Media Cetak
yang dikemas oleh harian Media Indonesia dan Republika. Isu-isu yang ada pada kedua media cetak begitu menarik dalam pemberitaan
terhadap Pro Kontra Undang-undang Pornografi yang tidak sejalan dengan masyarakat, LSM, dan seniman. Apalagi isu itu terus berkembang sebagai
pemberitaan yang dikemas semenarik mungkin oleh wartawan yang menulis berita. Karena itulah Undang-undang Pornografi ini perlu dan butuh keseriusan
untuk membentengi moral bangsa di Indosesia.
ix Di sini timbul lebih kritis dalam bingkai atau framenya, dan menimbulkan
pertanyaan bagaimana surat kabar Media Indonesia dan Republika membingkai pemberitaan tentang Pro Kontra Pengesahan Undang-undang Pornografi di Media
Cetak? Dengan melihat latar belakang masalah tersebut maka penulis tertarik
menulis sebuah skripsi yang berjudul : “Pro Kontra Undang-undang Pornografi di Media Cetak Analisis Framing terhadap Pemberitaan Media Indonesia dan
Republika ”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah