Analisis framing pemberitaan kasus gayus tambunan di Republika dan Media Indonesia periode November 2010

(1)

ANALISIS FRAMING PEMBERITAAN KASUS GAYUS TAMBUNAN DI REPUBLIKA DAN MEDIA INDONESIA EDISI NOVEMBER 2010

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Ririn Restu Utami NIM 107051102476

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H / 2011 M


(2)

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

ANALISIS FRAMING KASUS GAYUS TAMBUNAN DI REPUBLIKA DAN MEDIA INDONESIA EDISI NOVEMBER 2010

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Komunikasi Islam (S.Kom.I)

Oleh:

Ririn Restu Utami NIM 107051102476

Di Bawah Bimbingan

M. Hudri, M.Ag NIP 19720606 199803 1 003

KONSENTRASI JURNALISTIK

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA 1432 H / 2011 M


(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar sarjana 1 (SI) Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini, saya telah cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini merupakan hasil plagiat atau

hasil jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Jakarta, Juni 2011

Ririn Restu Utami


(4)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi berjudul Analisis Framing Pemberitaan Kasus Gayus Tambunan di Republika dan Media Indonesia Edisi November 2010 telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada 7 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I) Program Studi Konsenterasi Jurnalistik.

Jakarta, 7 Juni 2011 Sidang Munaqasah

Ketua , Sekretaris ,

Drs. H. Mahmud Djalal, MA Ade Rina Farida, M. Si NIP.195220422 198103 1 002 NIP. 19770513 200701 2 018

Penguji I, Penguji II,

Wahidin Saputra, MA Dr. Suhaimi, M.Si NIP.19700903 199603 1001 NIP.1970906 199304 1 002

Pembimbing

M. Hudri, M.Ag NIP.19720606 199803 1 003


(5)

ABSTRAK Ririn Restu Utami

Analisis Framing Kasus Gayus Tambunan Pada Republika dan Media Indonesia Edisi November 2010

Gayus Tambunan menjadi tersangka lagi terkait penyuapan terhadap sembilan petugas jaga Rumah Tahanan Brimob, Kelapa Dua, Depok, yang telah meloloskannya keluar dari rutan dan pergi ke Bali. Keberadaan Gayus di Bali memunculkan dugaan ia bertemu dengan Abu Rizal Bakrie. Isu terkait kasus Gayus menjadi perhatian berbagai media massa, tidak terkecuali Republika dan Media Indonesia. Republika dan Media Indonesia tentunya membingkai kasus Gayus ini dengan cara yang berbeda.

Kemudian muncul pertanyaan, bagaimana Republika dan Media Indonesia membingkai kasus Gayus Tambunan ini dalam beritanya?

Realitas-realitas berkenaan dengan kasus Gayus tersebut dapat diketahui masyarakat karena pemberitaan media massa. Berita terkait kasus Gayus Tambunan di Republika dan Media Indonesia yang sampai ke masyarakat merupakan hasil konstruksi kedua media tersebut. Republika memiliki kedekatan dengan Abu Rizal Bakrie terkait dengan ICMI dan Erick Tohir, hal tersebut menyebabkan Republika tidak menonjolkan berita terkait keterlibatan Abu Rizal Bakrie. Media Indonesia dimiliki oleh Surya Paloh yang dikenal sebagai lawan politik Abu Rizal Bakrie menggiring masyarakat pada kemungkinan adanya keterlibatan Abu Rizal Bakrie dengan kasus Gayus.

Fokus dalam penelitian ini adalah berita terkait kasus Gayus di Republika dan Media Indonesia edisi November 2010. Penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivis untuk menganalisa berita Republika dan Media Indonesia dengan menggunkan perangkat model Robert N. Entman, yang menggunakan empat struktur analisis yaitu Define Problem (Pendefinisian masalah), Diagnose Cause (memperkirakan masalah atau sumber masalah), Make Moral Judgement (membuat keputusan moral), Treatment Recommendation (menekankan penyelesaian).

Republika cenderung melihat kasus Gayus sebagai masalah hukum. Republika menilai kasus Gayus menunjukkan citra penegak hukum yang buruk, Republika merekomendasikan reformasi di lembaga penegak hukum dalam mengatasi kasus Gayus. Republika menonjolkan penyangkalan Abu Rizal Bakrie yang menyatakan isu pertemuannya dengan Gayus di Bali hanya intrik politik. Media Indonesia melihat kasus gayus tidak hanya terkait masalah hukum saja, tetapi sudah masuk ke ranah politik. Media Indonesia menilai ada upaya politisasi dalam kasus Gayus. Media Indonesia menonjolkan Isu pertemuan Gayus dengan Bakrie yang kontan menyandera Partai Golkar. Keberadaan satgas dinilai sebagai alat politik penguasa. Media Indonesia meminta presiden untuk mengintervensi guna memperbaiki citra instansi penegak hukum yang berada di bawah wewenang presiden.


(6)

KATA PENGANTAR

“Bukankah Kami Telah Melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu bebanmu yang memberatkan punggungmu? Dan

Kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah

dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain. Dan hanya kepada Tuhanmulah hendaknya kamu berharap.” (Q.S. 94:1-8)

Segala puji bagi Allah S.W.T., Sang Khalik, yang telah memberikan saya pengalaman hidup yang begitu berharga dan karena secuil ilmu-Nya lah saya dapat menyelesaikan skripsi ini. Dalam mengerjakan skripsi ini, terkadang saya menemukan kesulitan, namun saya selalu yakin bahwa Allah S.W.T. selalu bersama saya dan hanya kepada-Nya lah saya berharap demi kelancaran skripsi ini. Shalawat selalu tercurah kepada Rasulullah “Al-Amin”, yang telah mengajarkan kejujuran, keikhlasan, semangat dan kesalehan sosial kepada saya untuk terus berjuang menjalani hidup dan senantiasa selalu bersyukur.

Dalam kesempatan ini penulis ingin menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Komunikasi, Bapak Dr. H. Arief Subhan, M.A, Pembantu Dekan I Bidang Akademik, Bapak Drs. Wahidin Saputra, M.A, Pembantu Dekan II Bidang Administrasi Umum, Bapak Drs. Mahmud Jalal, M.A, serta Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan, Bapak Drs Study Rizal, L.K, MA.


(7)

2. Ketua Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Rubiyanah, M.A beserta Sekretaris Konsentrasi Jurnalistik, Ibu Ade Rina Farida, M.Si yang telah membantu dan mengarahkan saya dalam pengerjaan skripsi ini.

3. Dosen pembimbing skripsi, Bapak M.Hudri, M.Ag, yang telah menyediakan waktunya untuk membimbing saya sehingga saya dapat menjalani proses pembuatan skripsi ini dengan baik dan lancar.

4. Seluruh dosen dan staf akademik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi atas ilmu yang telah diberikan kepada saya.

5. Segenap staf Perpustakaan Utama UIN Jakarta dan Perpustakaan Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi.

6. Harian Umum Republika dan Media Indonesia, khusunya kepada Bapak Irwan Ariefiyanto dan Bapak Gaudensius Suhardi, yang di sela kesibukannya menyempatkan diri untuk menjadi narasumber dalam penelitian ini.

7. Kedua orangtua tercinta, Bapakku Tafrizi dan Emakku Rosmaini atas lautan sayang, doa dan maaf yang telah dan akan selalu diberikan kepadaku selama ini.

8. Saudaraku, Kak Opal, Kak Ica, Kak Bima dan Ulfa atas kasih sayang dan dukungan tiada henti, kalian adalah spirit saya.

9. Nurman Maulana, yang telah mendukung, mendampingi, menyemangati tanpa kenal waktu dan selalu menjadi inspirasi saya, semoga kita terus semangat bersama untuk kebaikan.

10.Keluarga besar Om Bambang dan Tante Kristina atas kontribusi yang sangat berharga dan telah menjadi keluarga kedua buat saya.


(8)

11.Teman-teman Jurnalistik angkatan 2007 yang harus saya sebutkan satu persatu, Zahro, Ika, Cahya, Dita, Zabrina, Mawa, Zahra, Yanti, Silvi, Nana, Nunu, Nia, Lola, Sintya, Rezza, Ipunk, Era, Ajat, Helmi, Dodo, Alan, Anay, Taufik, Fajar, Wahyu, Miral, Ibenk, Kiki, Iman, Murni, Nadia, Zenal, Jhon. Terimakasih atas tawa canda, semangat, dan persahabatan. Bersama kalian saya selalu merasa jadi semester 1.

12.Pengurus BEM Konsentrasi Jurnalistik dan seluruh keluarga Jurnalistik UIN Jakarta.

13.Bang Acong, Ka Diah, Ka Yayuk, Joenk, Ibu Marsilia, Bapak dan Ibu Polsek Ciputat, terimakasih atas supportnya.

14.Semua pihak dan teman-teman yang telah mendukung, mendoakan, dan membantu saya dan tidak bisa saya sebutkan satu per satu.

Penulis menyadari skripsi ini masih belum mencapai kesempurnaan, namun penulis telah berusaha semaksimal mungkin dengan baik. Dengan segala kerendahan hati penulis mmengaharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca.

Penulis


(9)

DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah ... 9

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian. ... 9

D. Tinjauan Pustaka ... 10

E. Metodologi Penelitian ... 10

F. Sistematika Penulisan ... 14

BAB II KERANGKA TEORI A.Media Massa ... 15

1. Definisi dan Karakteristik Media Massa ... 15

2. Efek Media Massa ... 16

3. Funggsi Media Massa ... 17

B. Berita ... 19

1. Definisi Berita ... 19

2. Nilai Berita ... 22

3. Kategori Berita ... 23

4. Proses Penulisan Berita ... 25

5. Gatekeeper ... 27

C.Konstruksi Sosial ... 31

1. Konstruksi Sosial : Pemikiran Berger dan Luckman ... 31

2. Konstruksi Sosial Media Massa ... 34

D.Analisis Framing ... 41

E. Analisis Framing Model Robert N. Entman ... 49

BAB III GAMBARAN UMUM A.Profil Republika ... 52

1.Sejarah Singkat Republika ... 52

2.Visi dan Misi Republika, ... 55

3.Struktur Organisasi Republika... 58

B. Profil Media Indonesia ... 60

1.Sejarah Singkat Media Indonesia ... 60

2.Visi dan Misi Media Indonesia ... 63


(10)

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

A.Analisis Framing Kasus Gayus Tambunan di Republika ... 69

1. Berita dan Artikel terkait kasus Gayus Tambunan ... 69

2. Paparan Singkat Objek Penelitian... 71

3. Analisis Framing Entman Kasus Gayus Tambunan ... 75

3.1.Republika Tanggal 12 November 2010 ... 75

3.2.Republika Tanggal 15 November 2010 ... 81

3.3.Republika Tanggal 20 November 2010 ... 84

3.4.Republika Tanggal 24 November 2010 ... 89

B. Analisis Framing Kasus Gayus Tambunan di Media Indonesia 93 1.Berita dan Artikel terkait kasus Gayus Tambunan ... 93

2.Paparan Singkat Objek Penelitian ... 96

3.Analisis Framing Entman Kasus Gayus Tambunan ... 99

3.1. Media Indonesia Tanggal 12 November 2010 ... 99

3.2. Media Indonesia Tanggal 15 November 2010 ... 105

3.3. Media Indonesia Tanggal 20 November 2010 ... 109

3.4. Media Indonesia Tanggal 24 November 2010 ... 112

C. Perbandingan Framing Republika dan Media Indonesia ... 116

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ... 125

B. Saran ... 127

DAFTAR PUSTAKA ... 128 LAMPIRAN-LAMPIRAN


(11)

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Definisi Framing Menurut Para Ahli ... 41

Tabel 2.2 Framing Model Robert N. Entman ... 50

Tabel 3.1 Struktur Organisasi Republika ... 58

Tabel 3.2 Struktur Organisasi Media Indonesia ... 65

Tabel 4.1 Berita dan Artikel Terkait Kasus Gayus Tambunan di Republika .... 69

Tabel 4.2 Objek Penelitian Republika ... 72

Tabel 4.3 Paparan Singkat Berita dan Narasumber Berita ... 73

Tabel 4.4 Perangkat Entman Republika Tanggal 12 November 2010 ... 76

Tabel 4.5 Perangkat Entman Republika Tanggal 15 November 2010 ... 82

Tabel 4.6 Perangkat Entman Republika Tanggal 20 November 2010 ... 85

Tabel 4.7 Perangkat Entman Republika Tanggal 24 November 2010 ... 90

Tabel 4.8 Berita dan Artikel Terkait Kasus Gayus Tambunan di Media Indonesia………. ... 94

Tabel 4.9 Objek Penelitian Media Indonesia ... 97

Tabel 4.10 Paparan Singkat Berita dan Narasumber Berita ... 98

Tabel 4.11 Perangkat Entman Media Indonesia Tanggal 12 November 2010. . 100

Tabel 4.12 Perangkat Entman Media Indonesia Tanggal 15 November 2010 .. 106

Tabel 4.13 Perangkat Entman Media Indonesia Tanggal 20 November 2010 .. 110


(12)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Popularitas Gayus Holomoan Tambunan sudah tidak terbantahkan lagi di masyarakat. Laki-laki yang lahir di Jakarta 19 Mei 1979 ini telah menghebohkan masyarakat karena kasus mafia pajak yang menjeratnya. Gayus adalah PNS golongan III di bagian Penelaan Keberatan Wajib Pajak Direktorat Jenderal Pajak Republik Indonesia. Mencuatnya kasus Gayus Tambunan akibat dari pernyataan Komisaris Jenderal Polisi Susno Duaji, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskim) Polri mengenai adanya praktek mafia hukum di lembaga kepolisian.

"Ada pegawai pajak, inspektur, dia bersama kelompoknya yang beranggotakan empat sampai enam orang mengawasi kewajiban pembayaran pajak di empat sampai enam perusahaan. Di rekening dia, berdasar hasil penelusuran sebuah instansi, masuk aliran dana mencurigakan senilai lebih kurang Rp 25 miliar," kisah Susno mengawali, saat ditemui Persda Network di kediamannya di Jakarta, Sabtu (12/3/2010).”1

Sebelum munculnya pernyataan Susno tersebut, Kasus Gayus berawal dari laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) pada Maret 2009. Dalam laporan itu disebutkan adanya dana mencurigakan dalam beberapa rekening Gayus senilai Rp. 25 Miliar. Hal tersebut menimbulkan kecurigaan

1Kompas.com, “ Ungkap Makelar Kasus di Polri, Susno Tunjuk Tiga Nama Jenderal,” berita diakses pada 13 Mei 2011 pukul 11.40 WIB dari

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/14/00191956/Ungkap.Makelar.Kasus.di.Polri.Susno.Tunju k.Tiga.Nama.Jenderal.


(13)

bagaimana bisa seorang Gayus yang hanya pegawai golongan III di Ditjen Pajak memiliki rekening dengan uang sebanyak itu. Padahal gaji PNS golongan IIIA dengan masa jabatan 0 sampai 10 tahun hanya berkisar antara Rp 1.655.800 sampai Rp 1.869.300 per bulan. Namun angka ini belum memperhitungkan tunjangan menyusul adanya remunerasi di Ditjen pajak. Dari laporan tersebut akhirnya dialakukan penyelidikan terhadap rekening Gayus. Dalam penyelidikan, uang yang berhasil dibuktikan terkait tindak pidana oleh penyidik Polri hanya sebesar Rp 395 juta yang berasal dari dua transaksi, yaitu dari PT Megah Jaya Citra Garmindo dan Roberto Santonius yang merupakan konsultan pajak. Sementara sisanya yang besarnya sekitar Rp 24,6 Miliar, menurut para penyidik Polri diakui oleh seorang pengusaha garmen asal Batam bernama Andi Kosasih. Andi menitipkan uang itu untuk membeli tanah. Namun menurut Susno uang tersebut masuk ke kantong aparat kepolisian. Pihak Polri yang disebut-sebut sebagai mafia hukum adalah Brigjen Edmon Ilyas dan Brigjen Pol Raja Erizman. Edmond Ilyas dan Raja Erizman pernah menjabat sebagai Direktur II Ekonomi Khusus Bareskim dan menangani kasus penggelapan pajak dimana Gayus sebagai tersangkanya. Dalam kasus tersebut Edmon Ilyas dan Raja Erizman diduga terlibat dalam pembukaan rekening Gayus senilai 28 miliyar. Namun, saat disidangkan pada tanggal 12 Maret 2010 di Pengadilan Negeri Tangerang Gayus divonis bebas.

Tentunya pernyataan Susno yang kini juga mendekam di tahanan membuat pihak internal Polri memanas. Merespon pernyataan Susno tersebut, Mabes Polri membantah adanya praktek mafia hukum di lembaga penegak hukum tersebut. Kasus


(14)

Gayus Tambunan tidak hanya menimbulkan dugaan mafia hukum di instansi kepolisian, tetapi juga menyeret nama para pengusaha salah satunya adalah Abu Rizal Bakrie. Bakrie dengan tiga perusahaan besarnya yakni PT Kaltim Prima Coal, PT Arutmin, dan PT Bumi Resources diduga kuat menggunakan “jasa” Gayus untuk mengatasi masalah pajak. Terungkapnya keterlibatan Bakrie dalam kasus Gayus tersebut berdasarkan pengakuan Gayus di persidangan kasus mafia hukum dengan terdakwa Andi Kosasih di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa 28 September 2010.

“Gayus mengakui ketika dalam persidangan itu, Jaksa Penuntut Umum Muhammad Rum menanyakan kepada Gayus soal sumber duit di rekeningnya sebesar Rp 28 miliar. Gayus pun menuturkan, kalau duit itu diperolehnya dari tiga perusahaan. “Dari KPC sekitar awal 2008, saya diberi US$ 500 ribu. Pekerjaan kedua membuat surat bantahan dan banding PT BR. Satu lagi membuat sunset policy SPT KPC dan Arutmin,” kata Gayus.

Gayus mengungkapkan, dari pekerjaan kedua, ia mendapat US$ 500 juta. Sedangkan dari pekerjaan ketiga, US$ 2 juta yang ia terima. “Kira-kira Rp 30 miliar,” kata dia saat ditanya Rum mengenai total yang diterimanya dari Bakrie Group.”2

Uang yang diperoleh Gayus dari perusahaan Bakrie didapatnya karena telah mensukseskan penerbitan surat ketetapan pajak 2001-2005 PT KPC dan membantu mengurus surat pemberitahuan pajak pembetulan untuk pengurusan Sun Set Policy PT KPC dan PT Arutmin. Adnan Buyung Nasution sebagai pengacara Gayus, meminta pengadilan untuk meminta kesaksian dari ketiga perusahaan tersebut untuk mengetahui darimana saja rekening Gayus tersebut bersumber.

2

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/28/brk,20100928-281140,id.html diakses pada 15 Mei 2011 pukul 01.11 WIB


(15)

Kasus Gayus semakin mencuat dengan beredarnya foto laki-laki yang mirip Gayus sedang menonton pertandingan tenis Bank Commonwealth di Nusa Dua, Bali, sampai tiga hari berturut-turut: tanggal 4- 6 November 2010. Foto tersebut merupakan hasil bidikan kamera wartawan Kompas Agus Susanto. Foto tersebut akhirnya dipastikan keasliannya berdasarkan penyelidikan oleh kepolisian. Media mensinyalir bahwa kegiatan Gayus di pertandingan tenis tersebut tidak serta merta karena keinginannya untuk menonton pertandingan tenis, olahraga yang menurut pengakuannya tidak disukainya. Media mencurigai bahwa kehadirannya di sana adalah untuk bertemu dengan seseorang. Seseorang yang dicurigai tersebut adalah Abu Rizal Bakrie. Kecurigaan tersebut dilandaskan karena dalam pertandingan tersebut, tepatnya di tanggal 6 November 2010 hadir juga Abu Rizal Bakrie. Namun dugaan pertemuan tersebut dibantah oleh Ical, sapaan akrab Abu Rizal Bakrie dan menganggap itu hanya intrik politik. "Saya melihat ada serangan ke tiga arah di mana Gayus hanya dipakai. Pertama, serangan ke arah Presiden SBY. Kedua, serangan ke polisi. Ketiga, serangan kepada saya dan Golkar," kata Ical. 3

Terungkapnya foto tersebut memunculkan kasus baru yakni bagaimana bisa Gayus yang seharusnya berada di Rumah Tahanan Markas Komando Brimob, Kelapa Dua, berada di Bali. Hal tersebut akhirnya mengungkapkan adanya penyuapan yang dilakukan oleh Gayus kepada Kepala Rutan Mako Brimob, Komisaris Iwan Siswanto dan delapan polisi petugas jaga untuk meloloskannya keluar penjara. Kasus Gayus, baik kasus mafia pajak ataupun kasus keluarnya ia dari rutan mencoreng instansi

3

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/11/22/brk,20101122-293617,id.html diakses pada 15 Mei 2011 pukul 01.58 WIB


(16)

penegak hukum di Indonesia. Walau sudah banyak fakta yang terungkap, namun kasus ini masih belum menunjukkan kejelasannya. Banyak pihak yang menduga kasus ini telah dipolitisasi. Sebagaian besar masyarakat memandang ini sebagai suatu keironisan, di satu sisi secara persuasif rakyat diimbau untuk taat membayar pajak, tapi di sisi lain justru aparat pajak sendiri yang menyelewengkan pajak, masyarakat menduga masih banyak “gayus-gayus” lain di negara ini.

Kemudian muncul juga pertanyaan, apakah mungkin dalam kasus praktek mafia hukum yang melibatkan uang miliyaran rupiah ini dilakukan oleh Gayus seorang diri, tentunya ada sistem penyimpangan yang terstruktur yang melibatkan pihak-pihak lain. Anggota Komisi Hukum DPR, Didi Irawadi Syamsuddini mengatakan penghilangan barang bukti itu sangat mungkin terjadi. “Di balik kasus Gayus diduga ada kekuatan besar mafia pajak,” kata dia.4

Realitas-realitas berkenaan dengan kasus Gayus tersebut dapat diketahui masyarakat karena pemberitaan media massa. Tentunya kegiatan jurnalistik yang menjadi bagian cara kerja media massa tidak dapat dipisahkan dari proses mengolah fakta menjadi informasi. Media massa menginformasikan realitas yang berlangsung di suatu tempat, namun realitas tersebut sesungguhnya sudah dibentuk, dibingkai dan dipoles sedemikian rupa oleh media tersebut. Media melakukan tindakan konstruktif berdasarkan ideologi yang menjadi landasan media tersebut. Pada akhirnya realitas sosial tersebut dianggap sebagai “fakta”, terlepas benar atau tidaknya isi pemberitaan

4

http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/14/headline/krn.20101114.218023.i d.html diakses pada 15 Mei 2011 01.13 WIB


(17)

tersebut. Sebuah keniscayaan, hampir semua media akan menyeleksi, menonjolkan isu yang ada dan menyembunyikan atau mengabaikan isu lain, menonjolkan aspek tertentu yang terdapat isu tertentu dan aspek lainnya disembunyikan bahkan dibuang. Cara pandang atau perspektif itulah pada akhirnya menentukan fakta yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa kemana berita tersebut.5

Proses konstruksi realitas tersebut didasarkan pada adanya kepentingan yang dimiliki oleh masing-masing media tersebut. Tentunya sebuah kebijakan tidak serta merta sinergi dengan realitas sosial yang ada, bahkan terkadang bertolak belakang sama sekali. Nilai-nilai yang terdapat pada sebuah pemberitaan merepresentasikan karakter media itu sendiri, kepentingan pemilik medianya, sasaran atau target pasar, yang kemudian membentuk sebuah kebijakan media. Adanya kepentingan itulah memunculkan anggapan bahwa fakta yang disampaikan dalam sebuah berita bukanlah fakta yang objektif, melainkan fakta yang sudah dikonstruksi. Kaum konstruksionis memandang bahwa berita yang kita baca pada dasarnya adalah hasil dari konstruksi kerja jurnalistik, bukan kaidah baku jurnalistik. Semua proses kontruksi (mulai dari memilih fakta, sumber, pemakaian kata, gambar, sampai penyuntingan) memberi andil bagaimana realitas tersebut hadir dihadapan khalayak. 6 Sebuah teks, kata Aart van Zoest, tak pernah lepas dari ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi. Menurut Eriyanto,

5

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LkiS, 2002 ), h.68.

6


(18)

teks, percakapan, dan lainnya adalah bentuk dari praktek ideologi atau pencerminan ideologi tertentu.7

Kasus Gayus Tambunan menjadi perhatian menarik bagi media massa untuk membahasnya, tidak terkecuali bagi Media Indonesia dan Republika. Kasus ini menjadi perhatian karena kasus tersebut merupakan isu besar dan menyangkut hajat hidup orang banyak, merugikan negara, berpola pada suatu konspirasi yang sistemik yang melibatkan banyak pihak, baik aparatur pemerintahan maupun swasta, baik secara institusi maupun perorangan. Landasan penulis memilih Media Indonesia dan Republika sebagai objek penelitian ini adalah karena kedua media tersebut adalah koran nasional yang mapan dalam segi ekonominya, dan memiliki jumlah pembaca yang banyak yang menyebar hampir merata ke seluruh bagian di Indonesia. Selain itu penulis juga melihat aspek kepemilikan dari kedua media tersebut, mengingat subjek penelitian penulis adalah berita mengenai kasus Gayus Tambunan dimana muncul dugaan adanya keterlibatan Abu Rizal Bakrie di dalamnya. Media Indonesia dimiliki oleh Surya Paloh, yang sebagian besar publik menyatakan bahwa beliau merupakan “saingan politik” Abu Rizal Bakrie. Sedangkan Republika sendiri menurut asumsi penulis memiliki kedekatan dengan Abu Rizal Bakrie karena pendiri Republika yakni Erick Tohir, pernah menjadi komisaris TV 1 yang pemiliknya adalah grup Bakrie dan adanya keterkaitan antara Republika, Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), dan Abu Rizal Bakrie.

7

Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006), h. 61.


(19)

Penulis menganalisa pemberitaan mengenai kasus Gayus di Media Indonesia dan Republika dengan menggunakan analisis framing. Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita.8 Gagasan mengenai framing, pertama kali dilontarkan oleh Beterson tahun 1955.9 Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasi realitas.

Model Framing yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah model framing Robert N. Entman. Entman mendefinisikan framing sebagai seleksi dari berbagai aspek realitas yang diterima dan membuat peristiwa itu lebih menonjol dalam suatu teks komunikasi, dalam khalayak hal itu berarti menyajikan secara khusus definisi masalah, interpretasi sebab akibat, evaluasi moral dan tawaran penyelesaian sebagaimana masalah itu digambarkan.10

Berdasarkan pemaparan di atas penulis mengangkat judul penelitian ini “Analisis Framing Pemberitaan Kasus Gayus Tambunan Pada Republika dan Media Indonesia Edisi November 2010”

8

Ibid, h.162. 9

Ibid, h.161. 10


(20)

B. Batasan dan Rumusan Masalah 1. Batasan Masalah

Merujuk pada latar belakang yang telah dipaparkan sebelumnya, maka penulis membatasi penelitian ini pada tajuk berita yang mengangkat kasus Gayus Tambunan di Harian Republika dan Media Indonesia edisi November 2010.

2. Rumusan Masalah

Untuk menghindari meluasnya pembahasan, penulis merumuskan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana surat kabar Republika dan Media Indonesia membingkai pemberitaan kasus Gayus Tambunan pada edisi November 2010.

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui cara Republika dan Media Indonesia membingkai pemberitaan mengenai kasus Gayus Tambunan.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dengan adanya peneilitian ini adalah: a. Manfaat Akademis

Memberi sumbangsih ilmiah dalam studi framing mengenai berita di media cetak mengenai suatu kasus, yang dalam penelitian ini adalah berita tentang kasus praktek mafia pajak oleh Gayus Tambunan di Media Indonesia dan Republika. Selain itu semoga penelitian ini dapat mempermudah dan membantu peneliti lain yang nantinya bisa digunakan sebagai pedoman dalam melakukan sebuah penelitian khususnya bagi mahasiswa.


(21)

b. Manfaat Praktis

Memecahkan persoalan dalam mengetahui bagaimana posisi masing-masing media massa dalam menggambarkan suatu kasus, sehingga dapat diketahui adakah hubungan antara masing-masing media massa dengan kasus tersebut.

D. Tinjauan Pustaka

Skripsi yang menjadi acuan penulis untuk memfokuskan penelitian ini adalah skripsi berjudul “ Pro Kontra Undang-Undang Pornografi di Media Cetak (Analisis Framing Terhadap Pemberitaan Media Indonesia dan Republika)karya Alfan Bachtiar, mahasiswa Konsentrasi Jurnalistik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Penulis memilih skripsi tersebut untuk dijadikan sebagai acuan karena perangkat penelitian yang digunakan sama dengan penelitian yang penulis lakukan, dan kesamaan meneliti dua media massa. tentunya terdapat perbedaan antara skripsi tersebut dengan skripsi penulis, yakni mengenai kasus yang diangkat, media massa yang menjadi objek penelitian, konsep yang digunakan, dan hasil temuan dan analisa data.

E. Metodologi Penelitian 1. Metode Penelitian

Metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah metode penelitian kualitatif deskriptif dengan metode analisis framing Robert N. Entman. Peneliti menganalisis pemberitaan mengenai kasus Gayus Tambunan pada Republika dan Media Indonesia edisi November 2010, dan menyimpulkan hasil temuan dari analisis tersebut. Hasil dari penelitian ini bersifat deskriptif, yaitu memberikan gambaran


(22)

tentang bagimana Media Indonesia dan Republika mengkonstruksi kasus Gayus Tambunan dalam pemberitaannya dan ideologi yang tercermin dari berita tersebut.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Untuk melakukan penelitian yang akurat serta mendapatkan data yang valid maka subjek penelitian adalah Republika dan Media Indonesia. Objek yang dimaksud adalah 4 berita mengenai kasus pada edisi November 2010. Penulis memilih 4 berita tersebut karena penulis menganggap 4 berita tersebut sudah mewakili gambaran konstruksi Republika dan Media Indonesia terhadap kasus Gayus Tambunan di edisi November 2011.

3. Sumber Data

Data yang diambil untuk dijadikan suatu sumber dalam penelitian ini adalah : a. Primer

Data primer bersumber dari pemberitaan pada Republika dan Media Indonesia.

b. Sekunder

Data sekunder adalah data-data pendukung lainnya yang diperoleh tidak secara langsung. Data sekunder bisa berupa dokumen, arsip, maupun laporan-laporan tertentu yang didapat oleh peneliti dari berbagai sumber.

4. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di dua media. Pertama Republika yang beralamat di Jl. Buncit raya No. 37, Jakarta 12510 pada tanggal 5 Mei 2011, dan yang kedua Media Indonesia yang beralamat di Jl. Pilar Raya Kav. A-D, Kedoya Selatan, Kebon Jeruk, Jakarta Barat – 11520 pada tanggal 31 Januari 2011.


(23)

5. Teknik Pengumpulan Data

Penulis melakukan pengumpulan data dengan melakukan tahapan-tahapan sebagai berikut:

a. Dokumentasi

Penulis mengkliping data tertulis yang terdapat pada surat kabar Media Indonesia dan Replubika yang memuat berita mengenai kasus Gayus Tambunan. Sebagai data pendukung, penulis juga akan mencari data tentang subyek penelitian ini, yaitu Harian Media Indonesia dan Republika.

b. Wawancara

Penulis juga melakukan wawancara dengan pihak redaksi tentang kebijakan redaksional Media Indonesia dan Republika dalam mengenmas pemberitaan mengenai kasus Gayus Tambunan.

c. Studi Kepustakaan (Library Research)

Penulis mengumpulkan dan mempelajari data melalui literatur dan sumber bacaan, seperti buku-buku yang relevan dengan masalah yang dibahas dan mendukung penelitian.

6. Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif dimulai dari analisis berbagai data yang berhasil dikumpulkan peneliti di lapangan baik melalui observasi, wawancara mendalam, maupun dokumen-dokumen. Kemudian data tersebut diklarifikasikan ke dalam kategori-kategori tertentu yang mempertimbangkan kesahihan dan memperhatikan kompetensi subjek penelitian, tingkat autentitasnya dan melakukan triangulasi


(24)

berbagai sumber data.11 Penelitian mengenai pemberitaan kasus Gayus Tambunan pada surat kabar Media Indonesia dan Replubika memusatkan pada penelitian kualitataif yang menggunakan teknik analisis framing dengan pendekatan model Robert N. Entman. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana kedua media tersebut mengemas beritanya mengenai kasus Gayus tambunan. Hasil dari pengumpulan data baik melalui studi dokumenter, wawancara, maupun studi keepustakaan diolah dengan mengacu pada model Robert N.Entman. untuk mempermudah pengolahan data, terlebih dahulu penulis menguraikan unit analisis (berita per-edisi) yang ditabulasikan ke dalam tabel, kemudian penulis menguraikan isi atau inti berita-per berita yang juga ditabulasikan ke dalam sebuah tabel. Akhirnya, unit analisis dari masing-masing subjek penelitian ditabulasikan ke dalam sebuah tabel yang memuat kecenderungan framingnya, yang pada model Robert N. Entman dilakukan empat aspek, yakni : pertama, identifikasi masalah (problem

Identification), kedua, identifikasi penyebab masalah (causal interpretation), ketiga,

evaluasi moral (moral evaluation), keempat, saran penanggulangan masalah

(treatment recommendation).

7. Pedoman Penulisan

Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2007.

11

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta : Kencana Prenada Media Group : 2006), h. 192-193.


(25)

F. Sistematika Penulisan

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan dipaparkan mengenai latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka, dan sistematika penulisan.

BAB II KERANGKA TEORI

Bab ini akan menguraikan kajian teoritis mengenai teori ideologi media, yang menjelaskan adanya ideologi yang melandasi kebijakan media massa. Kemudian menjelaskan tentang konsep media massa, berita, gatekeepers, teori konstruksi sosial, analisis framing, dan analisis framing model Robert N. Entman.

BAB III GAMBARAN UMUM

Bab ini memaparkan mengenai sejarah singkat, visi dan misi surat kabar tersebut, struktur redaksi dari Republika dan Media Indonesia.

BAB IV TEMUAN DAN ANALISA DATA

Bab ini berisikan tentang temuan dan analisa mengenai framing Republika dan Media Indonesia mengenai kasus Gayus Tambunan edisi November 2010.

BAB V PENUTUP


(26)

BAB II

KERANGKA TEORI

A. Media massa

1. Definisi dan Karakteristik Media Massa

Istilah “media massa” merujuk pada alat atau cara terorganisasi untuk berkomunikasi secara terbuka dan dalam jarak jauh kepada banyak orang (khlayak) dalam jarak waktu yang ringkas. Media massa bukan sekedar alat semata-mata, melainkan juga institusionalisasi dalam masyarakat sehingga terjadi proses pengaturan terhadap alat itu oleh warga masyarakat melalui kekuasaan yang ada maupun kesepakatan-kesepakatan lain. 12

Media massa (Mass Media) adalah saluran-saluran atau cara pengiriman bagi pesan-pesan massa. Media massa dapat berupa surat kabar, video, CD-Rom, komputer, TV, radio, dan sebagainya. 13 Menurut Kurt Lang dan Gladys Engel Lang, media massa memaksakan perhatian pada isu-isu tertentu. Media massa membangun citra publik tentang figur-figur politik. Media massa secara konstan menghadirkan objek-objek yang menunjukkan apa yang hendaknya dipertimbangkan, diketahui, dan dirasakan individu-individu dalam masyarakat.14

12

Nurani Soyomukti, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jogjakarta : AR-Ruzz Media, 2010), h.198.

13

Lynn H Turner, Pengantar Teori Komunikasi dan Aplikasi (Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, 2008), h.41.

14

Warner J. Severin dan James Tankard, Teori Komunikasi: Sejarah, Metode, dan Terapan Dalam Media Massa (Jakarta : Prenada Media Group, 2007), h. 264.


(27)

Menurut Cangara karakteristik dari media massa adalah:15

1. Bersifat melembaga, artinya pihak yang mengelola media terdiri dari banyak orang yakni mulai dari proses pengumpulan, pengelolaan, sampai pada penyajian informasi.

2. Bersifat satu arah, artinya komunikasi yang dilakukan kurang memungkinkan terjadinya dialog antara pengirim dengan penerima.

3. Meluas dan serempak, artinya dapat mengatasi rintangan waktu dan jarak karena ia memiliki kecepatan. Bergerak secara luas dan simultan dimana informasi yang disampaikan diterima oleh banyak orang di saat yang sama.

4. Memakai peralatan teknis atau mekanis seperti radio, televisi, surat kabar, dan semacamnya.

5. Bersifat terbuka, artinya dapat diterima oleh siapa saja dan dimana saja tanpa mengenal usia, jenis kelamin, dan suku bangsa.

2. Efek Media Massa

Menurut M Chaffee, media massa mempunyai efek yang berkaitan dengan perubahan sikap, perasaan, dan prilaku komunikannya. Dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan bahwa media massa mempunyai efek kognitif, efek afektif, dan efek konatif/behavioral. Penjelasannya adalah sebagai berikut : 16

15

Hafied Cangara, Pengantar Ilmu Komunikasi (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008), h.126.

16

Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala Erdinaya, Komunikasi Massa : Suatu Pengantar


(28)

1. Efek Kognitif

Adalah akibat yang timbul pada diri komunikan yang sifatnya informatif bagi dirinya. Dalam efek kognitif ini akan dibahas tentang bagaimana media massa dapat membantu khalayak dalam mempelajari informasi yang bermanfaat dan mengembangkan keterampilan kognitifnya.

2. Efek Afektif

Tujuan dari media massa bukan sekedar memberitahu khalayak tentang sesuatu tetapi lebih dari itu, khalayak diharapkan dapat turut merasakan perasaan iba, terharu, sedih, gembira, dan sebagainya

3. Efek Konatif/behavioral

Merupakan akibat yang timbul pada diri khalayak dalam bentuk prilaku, tindakan, atau kegiatan.

3. Fungsi Media Massa

Ada beberapa pendapat ahli yang mengemukakan fungsi dari media massa. Menurut Jay Black dan Federick C. Whitney (1988) fungsi dari media massa antara lain; 17

1. to inform (menginformasikan)

2. to entertaint (memberi hiburan),

3. to persuade (membujuk), dan

4. transmission of the culture (transmisi budaya).

17


(29)

Dennis McQuail menambahkan fungsi media massa bagi individu dalam bukunya Teori Komunikasi Massa 18

1. Informasi

a. Mencari berita tentang peristiwa dan kondisi yang berkaitan dengan lingkungan terdekat, masyarakat dan dunia.

b. Mencari bimbingan menyangkut berbagai masalah praktis, pendapat dan hal-hal yang berkaitan dengan penentuan pilihan.

c. Memuaskan rasa ingin tahu dan minat umum. d. Belajar, pendidikan diri sendiri.

e. Memperoleh rasa damai melalui penambahan pengetahuan. 2. Identitas Pribadi

a. Menemukan penunjang nilai-nilai pribadi. b. Menemukan model perilaku.

c. Mengidentifikasikan diri dengan nilai-nilai lain (dalam media). d. Meningkatkan pemahaman tentang diri sendiri.

3. Integrasi dan Interaksi Sosial

a. Memperoleh pengetahuan tentang keadaan orang lain; empati sosial. b. Mengidentifikasikan diri dengan orang lain dengan meningkatkan rasa

memiliki.

c. Menemukan bahan percakapan dan interaksi sosial. d. Memperoleh teman selain dari manusia.

18


(30)

e. Membantu menjalankan peran sosial.

f. Memungkinkan seseorang untuk dapat menghubungi sanak keluarga, teman dan masyarakat.

4. Hiburan

a. Melepaskan diri atau terpisah dari permasalahan. b. Bersantai.

c. Memperoleh kenikmatan jiwa, estetis. d. Mengisi waktu.

e. Penyaluran emosi.

f. Membangkitkan gairah seksual. B. Berita

1. Definisi berita

Secara etimologis dalam Bahasa Inggris, berita (news) berasal dan kata new (baru). Jadi berita adalah peristiwa-peristiwa atau hal yang baru. Sedangkan dikalangan wartawan ada yang mengartikan news sebagai singkatan dari : north (utara), east (timur), west (barat), dan south (selatan). Mereka mengartikan berita sebagai laporan dari keempat penjuru angin tersebut, laporan dari mana-mana, dari berbagai tempat di dunia 19. Prof. Mitchel V. Charnley dalam bukunya “Reporting” mendefinisikan berita sebagai berikut :

News is the timely reports of facts or opinion of either interest or

importance, or both, to a considerable number of people” (Berita adalah

19

Onong Uchjana Effendy, Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003), h. 130.


(31)

laporan tercepat mengenai fakta atau opini yang mengandung hal yang menarik minat atau penting, atau kedua-duanya, bagi sejumlah besar penduduk.”20

Dr. Willard G. Bleyer mendefinisikan berita sebagai segala sesuatu yang hangat dan menarik perhatian sejumlah pembaca, dan berita yang terbaik adalah berita yang paling menarik perhatian bagi jumlah pembaca yang paling besar (Wonohito, 1960:2). 21 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal, yaitu peristiwa dan jalan cerita. Jalan cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.22

Berita adalah hasil akhir dari proses kompleks dengan menyortir (memilah-milih) dan menentukan peristiwa dan tema dalam satu kategori tertentu.23 Ada fator-faktor yang menentukan bagaimana berita tersebut diproduksi. Faktor-fator-faktor tersebut adalah:24

1. Rutinitas Organisasi,

Setiap hari institusi media secara teratur memproduksi berita, dan proses seleksi itu adalah bagian dari ritme dan keteraturan kerja yang dijalankan setiap hari.

20

Ibid,h.131. 21

Kustadi Suhandang, Pengantar Jurnalistik : Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik

(Bandung : Penerbit Nuansa, 2004), h. 103. 22

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru (Jakarta : Penerbit Kalam Indonesia, 2005) h. 55 23

Eriyanto, Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media (Yogyakarta: LkiS, 2002 ),h.102

24


(32)

2. Nilai Berita

Nilai berita bukan hanya menentukan peristiwa apa yang akan diberitakan, tetapi juga bagaimana berita dikemas. Peristiwa tidak lantas dapat disebut sebagai berita tetapi ia harus dinilai terlebih dahulu apakah peristiwa tersebut memenuhi criteria nilai berita.

3. Kategori Berita

Kategori dipakai untuk membedakan jenis isi berita dan subjek peristiwa yang menjadi berita

4. Ideologi Profesional/Objektivitas

Objektivitas dalam produksi berita digambarkan sebagai tidak mencampuradukkan antara fakta dengan opini. Objektivitas merupakan standar professional yang berhubungan dengan jaminan bahwa apa yang disajikan adalah suatu kebenaran. Menurut Michael Bugeja Objectivity is

seeing the world as it is, not how you wish it were. (objektivitas adalah

melihat dunia seperti apa adanya, bukan bagaimana yang anda harapkan semestinya).25

25

Luwi Ishwara, Catatan-catatan Jurnalisme Dasar (Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 44.


(33)

2. Nilai Berita:

Nilai berita menjadi suatu ukuran berita atau yang bisa diterapkan yang dapat menentukan berita itu layak untuk diterbitkan atau tidak . Nilai Berita tersebut antara lain: 26

a. Immediacy, atau kerap diistilahkan dengan timelines, artinya terkait

dengan kesegaran peristiwa yang dilaporkan. Sebuah berita sering dinyatakan sebagai laporan dari apa yang baru saja terjadi.

b. Proximity, ialah keterdekatan peristiwa dengan pembaca atau pemirsa

dalam keseharian hidup mereka. Orang-orang akan tertarik dengan berita yang menyangkut kehidupan mereka.

c. Consequence, berita yang mengubah kehidupan pembaca adalah berita

yang mengandung nilai konsekuensi.

d. Conflict, peristiiwa perang, demonstrasi, atau criminal merupakan contoh

elemen konflik di dalam pemberitaan.

e. Oddity, peristiwa yang tidak biasa terjadi ialah sesuatu yang akan

diperhatikan segera oleh masyarakat.

f. Sex, Seks kerap menjadi elemen utama dari sebuah pemberitaan, tapi sering pula seks menjadi elemen tambahan bagi pemeberitaan tertentu, seperti pada berita sports, selebritis, dan kriminal.

26

Septiawan Santana K, Jurnalisme Kontemporer ( Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 18-20.


(34)

g. Emotion, Elemen emotion ini kadang dinamakan elemen human interest. Elemen ini menyangkut kisah-kisah yang mengandung kesedihan, kemarahan, simpati, ambisi, cinta, kebencian, kebahagiaan, atau humor.

h. Prominence, elemen ini adalah unsur yang menjadi dasar istilah “names

make news”, nama membuat berita. Unsur keterkenalan selalu menjadi incaran pembuat berita.

i. Suspense, elemen ini menunjukkan sesuatu yang ditunggu-tunggu,

terhadap sebuah peristiwa oleh masyarakat. Kisah berita yang menyampaikan fakta tetap merupakan hal yang penting. Kejelasan fakta dituntut masyarakat.

j. Progress, elemen ini merupakan elemen “perkembangan” peristiwa yang

ditunggu masyarakat. 3. Kategori Berita

Selain nilai berita, hal prinsip lain dalam proses produksi berita adalah apa yang disebut kategori berita. Secara umum, seperti dicatat Gaye Tuchman dalam Eriyanto, wartawan memakai lima ketagori berita : hard news, soft news, spot news,

developing news, dan continuing news. Kategori tersebut dipakai untuk membedakan

jenis isi berita dan subjek peristiwa yang menjadi berita. Kelima kategori tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:27

1. Hard news. Berita mengenai peristiwa yang terjadi saat itu. Kategori

berita ini sangat dibatasi oleh waktu dan aktualitas. Semakin cepat diberitakan semakin baik. Bahkan ukuran keberhasilan dari kategori berita

27


(35)

ini adalah dari susut kecepatannya diberitakan. Peristiwa yang masuk dalam kategori hard news ini bisa peristiwa yang direncanakan, bisa juga peristiwa yang tidak direncanakan.

2. Soft news. Ketegori berita ini berhubungan dengan kisah manusiawi

(human interest). Jika dalam hard news, peristiwa yang diberitakan adalah peristiwa yang terjadi saat itu dan dibatasi oleh waktu, maka soft news tidak. la bisa diberitakan kapan saja karena yang menjadi ukurannya adalah apakah informasi yang disajikan kepada khalayak tersebut menyentuh emosi dan perasaan khalayak.

3. Spot news. Spot news adalah subklasifikasi dari berita yang berkategori

hard news. Dalam spot news, peristiwa yang akan diliput tidak bisa

direncanakan. Peristiwa kebakaran, pembunuhan, kecelakaan, gempa bumi adalah jenis-jenis peristiwa yang tidak bisa diprediksikan.

4. Developing news. Developing news adalah subklasifikasi dari hard news.

Baik spot news maupun developing news umumnya berhubungan dengan peristiwa yang tidak terduga. Tetapi dalam developing news dimasukan elemen lain, peristiwa yang diberitakan adalah bagian dari rangkaian berita yang akan diteruskan keesokan atau dalam berita selanjutnya.

5. Continuing news. Continuing news adalah subklasifikasi lain dari hard

news. Dalam continuing news peristiwa-peristiwa bisa diprediksikan dan


(36)

4. Proses Penulisan Berita

Selain dibentuk dalam berbagai jenis, berita pun disajikan dengan konstruksi tertentu. Adapun unsur-unsur yang menjadi konstruksi berita adalah : 28

1. Headline ( judul berita )

Headline dibuat dalam satu atau dua kalimat pendek, tapi cukup

memberitahukan persoalan pokok peristiwa yang diberitakannya.

2. Lead ( teras berita)

Lead merupakan laporan singkat yang bersifat klimaks dari peristiwa yang dilaporkannya.

3. Body ( kelengkapan atau penjelas berita)

Body adalah keterangan secara rinci dan dapat melengkapi serta memperjelas fakta atau data yang disuguhkan dalam lead tadi.

Setiap wartawan menulis berita dengan gaya yang berbeda-beda. Namun pada umumnya wartawan menguunakan gaya piramida terbalik.

28


(37)

Gambar 1

Piramida Terbalik

Sumber : internet 29

Gambar di atas menunjukkan bahwa setiap berita selalu diawali dengan ringkasan atau klimaks dalam alinea pembukanya, kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam alinea berikutnya dengan memberikan rincian cerita secara kronologis atau dalam urutan yang semakin menurun daya tariknya. Alinea berikutnya yang memuat rincian dinamakan „tubuh berita‟(body). Sedangkan alinea pertama yang memuat ringkasan disebut „teras berita‟ (lead).

Ada alasan khusus mengapa pola berita berbentuk piramida terbalik. Pertama hal itu relevan dengan naluri manusia dalam menyampaikan berita, yaitu agar berita dengan cepat dapat ditangkap. Kedua, memuaskan rasa penasaran pembaca dengan segera. Ketiga, memudahkan redaktur membuat judul berita. Keempat,

29

http://programatujuh.files.wordpress.com/2010/07/piramida-terbalik.jpg diakses pada 12 Mei 2011 pukul 23.10 WIB


(38)

memungkinkan bagian tata letak memotong uraian berita dan menyesuaikannya dengan kolom yang ada. 30

Selain itu, gaya piramida terbalik diperlukan agar khalayak yang biasa sibuk tetap bisa mengetahui peristiwa yang terjadi. Gaya piramida terbalik juga untuk memudahkan para redaktur, produser, atau penyunting untuk memotong bagian berita yang kurang penting yang terletak pada bagian bawah. Ini terutama berlaku bagi media cetak, seperti majalah dan surat kabar.31

Dalam piramida terbalik harus memiliki kelengkapan informasi yang mencakup unsur-unsur pemberitaan 5W+1H (what, who, when, where, why dan how). Apa yang terjadi, Siapa yang terlibat, Kapan peristiwa itu terjadi, Di mana fakta itu berlangsung, Mengapa peristiwa itu bisa terjadi dan Bagaimana proses terjadinya. Unsur-unsur tersebut membuat kisah berita menjadi jelas, terang, dan langsung dipahami masyarakat.32

C. Gatekeeper

Media massa itu tidak berdiri sendiri. Di dalamnya ada beberapa individu yang bertugas melakukan pengolahan informasi sebelum informasi itu sampai kepada khalayaknya. Mereka yang bertugas itu sering disebut sebagai gatekeeper. Jadi, informasi yang diterima audien dalam komunikasi massa sebenarnya sudah diolah oleh gatekeeper dan disesuaikan dengan misi, visi, media yang bersangkutan,

30

Harahap. Krisna, Rambu-Rambu di Sekitar Profesi Wartawan (Jakarta: Grafitri Budi Utama, 1996), h. 19

31

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, h. 57. 32


(39)

khalayak sasaran dan orientasi bisnis atau ideal yang menyertainya. Bahkan, sering pula disesuaikan dengan kepentingan penanaman modal atau aparat pemerintah yang tidak jarang ikut campur tangan dalam sebuah penerbitan.33 Breed dalam Severin mengatakan:

“Pola budaya di ruang berita menciptakan hasil yang tidak mencukupi untuk kebutuhan demokratis yang lebih luas. Setiap perubahan penting kearah “pers yang lebih bebas dan bertanggungjawab” harus berasal dari berbagai tekanan di pihak penerbit, yang memegang peran pengoordinasi dan pembuat kebijakan.”34

Berita bukanlah apa yang disepakati oleh seluruh wartawan, melainkan apa yang disiarkan oleh pemegang fungsi utama dalam pers, yakni “penjaga gawang” seperti reporter yang berpengaruh, editor berita dan editor kawat, atau berita adalah apa yang dikira oleh wartawan menarik khalayak yang dibayangkan mereka.35

Istilah gatekeeper pertama kali diperkenalkan oleh Kurt Lewin dalam bukunya “Human Relations” (1974). Istilah ini kemudian dikembangkan tidak hanya menunjuk orang atau organisasi yang member izin suatu kegiatan, tetapi mempengaruhi keluar masuknya “sesuatu”. Di dalam komunikasi massa dengan salah satu elemennya adalah informasi, mereka yang bertugas untuk memengaruhi informasi itu (dalam media massa) bisa disebut gatekeeper. Bisa dikatakan

gatekeeper yang member izin tersebarnya sebuah berita. John R. Bittner (1996)

33

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, h.7 34

Warner J. Severin dan James Tankard, Teori Komunikasi. h 405. 35

Dan Nimmo , Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan Media, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993), hal. 216.


(40)

mengistilahkan gatekeepersebagai “individu-individu atau kelompok yang memantau arus informasi dalam saluran komunikasi (massa)” 36

Gambar 2.2

Gatekeeper

Sumber : internet 37

Dari gambar di atas menjelaskan pesan-pesan (N1, N2,N 3,N 4) dari sumber informasi (N) diterima oleh gatekeeper. Dari gambar tersebut menunjukkan adanya pemilahan (seleksi) informasi. Dari hasil seleksi tersebut Informasi N1 dan N4 dibuang dan terpilihlah informasi yang akan disampaikan ke audience yakni informasi N21 dan N31. Namun informasi N2 dan N3 diseleksi berdasarkan frame masing-masing media yang ditentukan oleh gatekeeper.

Jelas berarti gatekeeper ini berfungsi sebagai orang yang ikut menambah atau mengurangi, menyederhanakan, mengemas agar semau informasi yang disebarkan lebih mudah dipahami. Gatekeeper juga berfungsi untuk menginterpretasikan pesan,

36

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, h. 118-119 37

https://courses.ischool.berkeley.edu/i296a-3/f07/wiki/gatekeeping.html diakses pada 12 Mei 2011 pukul 23.04 WIB


(41)

menganalisis, menambah atau mengurangi pesan-pesannya. Intinya gatekeeper adalah pihak yang ikut menentukan pengemasan sebuah pesan dari media massa. Bahkan bisa dikatakan, gatekeeper sangat menetukan berkualitas tidaknya informasi yang akan disebarkan. Oleh karena itu, gatekeeper menjadi keniscayaan keberadaannya dalam media massa dan menjadi salah satu cirinya. 38 Jadi penting untuk diingat bahwa gatekeeper adalah bagian dari institusi media massa, dan hasil kerjanya memiliki efek yang positif pada kualitas pesan dan berita yang disampaikan kepada publik (Hiebert, Ungurait, dan Bohn, 1975:109).39

Dengan demikian, paling tidak gatekeeper mempunyai fungsi sebagai berikut: (1) menyiarkan informasi; (2) membatasi informasi dengan mengeditnya sebelum disebarkan; (3) memperluas kuantitas informasi dengan menambahkan fakta dan pandangan lain; dan (4) untuk menginterpretasikan informasi (John R.Bittner, 1996).40

Di dalam newsroom, berita diseleksi dan pada akhirnya terkumpul sejumlah berita yang akan memenuhi kolom surat kabar. Berbagai berita datang melalui berbagai cara dan dalam wujud yang beragam pula. Isi berita tersebut mungkin saja diperoleh dengan cara dicari, dipesan sebelumnya, atau penemuannya direncanakan secara sistematis. Kadang-kadang berita itu harus “diolah” atau dibentuk oleh redaksi. Pembentukan berita semacam itu tidak dilakukan secara acak dan bersifat subjektif. Pembuatannya disesuaikan dengan pola interpretasi dan relevansinya dengan

38

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, h.32 39

Elvinaro Ardianto dan Lukiati Komala. Komunikasi Massa, h. 39 40


(42)

berbagai institusi birokratis yang menjadi sumber berita atau yang menangani peristiwa tersebut. Menurut Fishman (1982) “apa yang diketahui atau dapat diketahui oleh media tergantung pada kemampuan mengumpulkan informasi dan sumber-sumber informasi” dari agen-agen pencari berita media tersebut.41

Gatekeeper mengambil keputusan tentang apa yang harus lebih ditonjolkan.

Gatekeeper punya tanggungjawab besar karena membentuk pesan yang sampai

kekita.42 Tidak ada bahan objektif yang didapatkan oleh reporter. Semua yang ditulis reporter dipengaruhi oleh orientasi, misi, visi, dan kebijakan media yang bersangkutan, emosi reporter. Dengan kata lain, “warna” setiap media ditentukan oleh kecenderungan personal, konteks sosial, dan budaya yang melingkupi gatekeeper. Bentuk dari pelaksanaan gatekeeper adalah kebijakan redaksional. 43

Jadi dari pemaparan di atas dapat disimpulkan, pertama, penapisan informasi bersifat subjektif dan personal. Kedua, penapisan informasi membatasi apa yang ingin diketahui pembaca. Ketiga, penapisan informasi menjadi aktivitas yang tidak bisa dihindari oleh media (Hiebert, Ungurait, dan Bohn, 1985).44

D. Konstruksi Sosial

1. Konstruksi Sosial : Pemikiran Berger dan Luckmann

Analisis framing termasuk ke dalam paradigma kontruksi sosial. Membahas teori konstruksi sosial (social construction) tentu tidak bisa terlepaskan dari buah

41

McQuail, Teori Komunikasi Massa, h.163. 42

John Vivian, Teori Komunikasi Massa (Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008), h.459.

43

Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, h. 122 44


(43)

pemikiran yang telah dikemukakan oleh Peter L Berger dan Thomas Luckmann. Peter L Berger merupakan sosiolog dari New School for Social Reserach, New York, sementara Thomas Luckman adalah sosiolog dari University of Frankfurt. Pemikiran Berger dan Luckmann ini, mereka tulis dalam bukunya yang berjudul “The Social Construction of Reality: A Treatise in the Sociology of Knowledge”. Kajian pokok Berger dan Luckman adalah manusia dan masyarakat. Kajian ini menjelaskan tentang pemikiran manusia mengenai proses sosial. Berger menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksi manusia, di mana individu menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif.45 Manusia adalah makhluk yang memiliki kesadaran yang terlampau bebas dalam memberi pemaknaan kepada kenyataan yang dihadapinya. Manusia secara aktif dan kreatif mengembangkan dirinya melalui respon-respon terhadap stimulus dalam dunia kognitifnya. Manusia memaknai dirinya dan objek di sekelilingnya berdasarkan sifat-sifat atau sensasi yang dialaminya saat berhubungan dengan objek tersebut. Pemaknaan tersebut timbul dari tindakan yang terpola dan berulang-ulang yang kemudian mengalami objektifasi dalam kesadaran mereka yang mempersepsikannya.

Lebih jelasnya, Berger mengungkapkan proses sosial dalam kehidupan manusia berlangsung melalui tiga proses. Pertama, eksternalisasi (penyesuaian diri) dengan dunia sosiokultural sebagai produk manusia.46 Manusia tidak dapat kita

45

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa : Kekuatan Pengaruh Media massa, Iklan televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L Berger &Thomas Luckman (Jakarta : Kencana Prenada Media Group : 2008), h. 13.

46


(44)

mengerti sebagai ketertutupan yang lepas dari dunia luarnya.47 Dalam proses eksternalisasi, manusia melakukan tindakan yang berulang-ulang secara konsisten karena tindakan tersebut dirasa tepat menyelesaikan persoalan yang dihadapinya.

Kedua, objektivikasi, yaitu interaksi sosial yang terjadi dalam dunia

intersubjektif yang dilembagakan atau mengalami prioses institusionalisasi.48 Tindakan yang dilakukan secara berulang-ulang dan konsisten itulah pada akhirnya menimbulkan kesadaran logis yang merumuskan bahwa fakta tersebut terjadi karena kaidah yang mengaturnya. Realitas objektif yang dihasilkan bisa jadi akan menghadapi si penghasil itu sendiri sebagai suatu aktivitas yang berada diluar dan berlainan dari manusia yang menghasilkannya.49 Dalam tahap objektivikasi ini, yang terpenting adalah melakukan signifikansi, memberikan tanda bahasa dalam simbolisasi terhadap benda yang disignifikansi, melakukan tipifikasi terhadap kegiatan seseorang yang kemudian menjadi objektivikasi linguistik yaitu pemberian tanda verbal maupun simbolisasi yang kompleks.50

Ketiga, internalisasi, yaitu proses dimana individu mengidentifikasikan

dirinya dengan lembaga-lembaga sosial atau organisasi sosial tempat individu menjadi anggotanya.51 Internalisasi dalam arti umum merupakan dasar bagi pemahaman mengenai „sesama saya‟, yaitu pemahaman individu dan orang lain; dan bagi pemahaman mengenai dunia sebagai sesuatau yang maknawi dari kenyataan

47

Eriyanto, Analisis Framing, h.14. 48

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa , h.15 49

Eriyanto, Analisis Framing (Yogyakarta: LkiS, 2002 ), h.14. 50

Burhan Bungin, Konstruksi Sosial Media Massa, h. 18. 51


(45)

sosial.52 Proses ini lebih merupakan penyerapan kembali dunia objektif ke dalam kesadaran sedemikian rupa sehingga subjektif individu dipengaruhi oleh stuktur dunia sosial. Berbagai macam unsur dari dunia yang telah terobjektifkan tersebut akan ditangkap sebagai gejala realitas di luar kesadarannya, sekaligus sebagai gejala internal bagi kesadaran. Melalui proses internalisasi, manusia menjadi hasil dari masyarakat.53 Internalisasi memiliki fungsi mentransmisikan institusi sebagai realitas yang berdiri sendiri terutama kepada anggota masyarakat baru agar institusi tersebut tetap dipertahankan dari waktu ke waktu agar status objektifitas sebuah institusi dalam kesadaran mereka tetap kukuh.54

Dengan demikian menurut Berger dan Luckman realitas itu tidak dibentuk secara alamiah tetapi sebagai sesuatu yang dibentuk dan dikonstruksi. Dalam konteks media massa, memungkinkan realitas memiliki makna ganda. Setiap orang memiliki konstruksi yang berbeda terhadap suatu realitas.

2. Konstruksi Sosial Media Massa

Konstruksi sosial media massa diambil dari pendekatan teori konstruksi sosial atas realitas Peter L Berger dan Luckmann dengan melihat fenomena media massa dalam proses eksternalisasi, objektivasi dan internalisasi. Menurut perspektif ini tahapan-tahapan dalam proses konstruksi sosial media massa itu terjadi melalui: tahap

52

Ibid, h.19. 53

Eriyanto, Analisis Framing, h.15. 54

Geger Riyanto, Peter L Berger : Perspektif Metateori (Jakarta : Pustaka LP3ES, 2009), h.111.


(46)

menyiapkan materi konstruksi; tahap sebaran kostruksi; tahap pembentukan kosntruksi; dan tahap konfirmasi. 55 Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Tahap menyiapkan materi konstruksi : Ada tiga hal penting dalam tahapan ini yakni: keberpihakan media massa kepada kapitalisme, keberpihakan semu kepada masyarakat, keberpihakan kepada kepentingan umum.

2. Tahap sebaran konstruksi : sebaran konstruksi media massa dilakukan melalui strategi media massa. prinsip dasar dari sebaran konstruksi sosial media massa adalah semua informasi harus sampai pada khalayak secara tepat berdasarkan agenda media. Apa yang dipandang penting oleh media, menjadi penting pula bagi pemirsa atau pembaca.

3. Tahap pembentukan konstruksi realitas. Pembentukan konstruksi berlangsung melalui: (1) konstruksi realitas pembenaran; (2) kedua kesediaan dikonstruksi oleh media massa ; (3) sebagai pilihan konsumtif. 4. Tahap Konfirmasi. Konfirmasi adalah tahapan ketika media massa

maupun penonton memberi argumentasi dan akuntabilitas terhadap pilihannya untuk terlibat dalam pembetukan konstruksi.56

55

Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat,( Jakarta : Kencana, 2007), hlm. 205-212

56


(47)

Gambar 2.3

Proses Konstruksi Sosial Media Massa57

Ada dua karakteristik penting dari pendekatan konstruksionis. Pertama, pendekatan konstruksionis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Makna bukanlah sesuatu yang absolut, konsep statis yang ditemukan dalam suatu pesan. Makna adalah suatu proses aktif yang ditafsirkan seseorang dalam suatu pesan. Kedua, pendekatan konstruksionis memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Pendekatan konstruktisionis memeriksa bagaimana pembentukan pesan dari sisi komunikator, dan dalam sisi penerima ia memeriksa bagaimana konstruksi makna individu ketika menerima pesan. Pesan dipandang bukan sebagai mirror of reality yang menampilkan fakta apa adanya. Dalam menyampaikan pesan, seseorang

57

Ibid, hlm. 204 Objektivasi

Internalisasi

P r o s e s S o s i a l S i m u l t a n

M E D I A Eksternalisasi

Source Message Channel Receiver Effect - Objektif

- Subjetif - Inter Subjektif

Realitas Terkonstruksi: - Lebih Cepat

- Lebih Luas - Sebaran Merata

- Membentuk Opini Massa - Massa Cenderung

Terkonstruksi

- Opini Massa Cenderung Apriori


(48)

menyampaikan citra tertentu atau merangkai ucapan tertentu dalam memberikan gambaran tentang realitas. Seorang komunikator dengan realitas yang ada akan menampilkan fakta tertentu kepada komunikan, memberikan pemaknaan tersendiri terhadap suatu peristiwa dalam konteks pengalaman, pengetahuannya sendiri.58

Pada konteks media cetak ada tiga tindakan dalam mengkonstruksi realitas, yang hasil akhirnya berpengaruh terhadap pembentukan citra suatu realitas. Pertama adalah pemilihan kata atau simbol. Sekalipun media cetak hanya melaporkan, tetapi jika pemilihan kata istilah atau simbol yang secara konvensional memiliki arti tertentu di tengah masyarakat, tentu akan mengusik perhatian masyarakat tersebut.

Kedua adalah pembingkaian suatu peristiwa. Pada media cetak selalu terdapat

tuntutan teknis, seperti keterbatasan kolom dan halaman atas nama kaidah jurnalistik, berita selalu disederhanakan melalui mekanisme pembingkaian atau framing. Ketiga adalah penyediaan ruang. Semakin besar ruang yang diberikan maka akan semakin besar pula perhatian yang akan diberikan oleh khalayak. 59

Dalam konstruksi realitas, bahasa merupakan unsur terpenting. Bahasa merupakan pokok untuk menceritakan realitas. Bahasa adalah alat konseptualisasi dan alat narasi.60 Isi media massa sesungguhnya adalah bahasa, baik verbal (lisan dan tulisan), maupun non verbal (gambar, foto, gerak-gerik, angka, tabel, dan lain-lain). Benjamin Lee Whorf (1952) dalam Severin mengatakan:

58

Eriyanto, Analisis Framing, h.40-41. 59

Agus Sudibyo, Politik Media, h.2-4 60

Ibnu Hamad, Konstruksi realitas Politik di Media Massa sebuah Study Critical Discourse Analysis ( Jakarta: Granit, 2004), h. 12.


(49)

“…setiap bahasa adalah …berbeda dari yang lain..(budaya menentukan) bentuk-bentuk dengan kategori yang dengannya seseorang..berkomunikasi ..menganalisis sifat, mengetahui atau mengabaikan jenis-jenis hubungan dan fenomena, mengaitkan penalarannya, dan membangun rumah kesadarannya. Setiap bahasa melakukan penamaan artificial terhadap realita dengan cara berbeda (hlm.173).”61

Menurut pandangan konstruktivisme, dalam media massa bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk menggambarkan realitas objektif semata dan dipisahkan dari subjek sebagai penyampai pesan. Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan komunikasi serta hubungan-hubungan sosialnya. Subjek memiliki kemampuan melakukan kontrol terhadap maksud-maksud tertentu dalam setiap wacana. Komunikasi dipakai, diatur, dan dihidupkan oleh pernyataan-pernyataan yang bertujuan. Setiap pernyataan pada dasarnya adalah tindakan penciptaan makna.62

Terdapat berbagai cara media massa mempengaruhi bahasa dan makna ini: mengembangkan kata-kata baru beserta makna assosiatifnya; memperluas makna dari istilah-istilah yang ada; mengganti makna lama sebuah istilah dengan makna baru; memantapkan konvensi makna yang telah ada dalam suatu sistem bahasa.63

Konstruksi sosial menurut, Berger dan Luckman tidak berlangsung dalam ruang hampa, namun sarat dengan kepentingan-kepentingan.64 Proses konstruksi yang berlangsung di media massa dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal yang mempengaruhi salah satunya adalah kebijakan redaksional. Setiap

61

Warner J. Severin dan James Tankard, Teori Komunikasi Sejarah, h.111. 62

Elvinaro Ardianto, Filsafat Ilmu Komunikasi h.151. 63

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik, hal. 12. 64


(50)

media massa memiliki kebijakan redaksionalnya masing-masing. Kebijakan redaksional merupakan dasar pertimbangan suatu lembaga media massa untuk menyiarkan atau tidaknya suatu berita 65. Warren Breed dalam artikel “social control in the newsroom” mengamati bahwa penerbit surat kabar, sebagai pemilik atau representasi pemilik, memiliki hak untuk menetapkan dan memberlakukan kebijakan surta kabar. Yang dimaksud Breed sebagai kebijakan adalah orientasi yang diperlihatkan oleh surat kabar dalam editorialnya, kolom beritanya, dan berita utamanya berkenaan dengan kejadian atau permasalahan tertentu. Pandangan (surat kabar) tak akan menimbulkan pembohongan, melainkan “penghilangan, pemilihan diferensial, dan penempatan preferensial, seperti „menampilkan di halaman depan‟ berita yang pro-kebijakan, „mengubur‟ berita yang anti-kebijakan, dan sebagainya.66 Sedangkan faktor eksternalnya meliputi tekanan pembaca, sistem politik yang berlaku serta kekuatan-kekuatan lainnya. faktor-faktor inilah yang memungkinkan media massa tidak lagi menjadi media yang objektif. Informasi yang disampaikan bukan lagi refleksi dari sebuah realitas, melainkan fakta-fakta yang dikonstruksi. Akibatnya setiap media massa memberitakan sebuah peristiwa sama secara berbeda karena masing-masing media memiliki pemahaman dan pemaknaan sendiri.

Dapat disimpulkan, menurut pandang kaum konstruksionis:

1. Fakta/peristiwa adalah hasil konstruksi. Bagi kaum konstruksionis, realitas itu hadir, karena dihadirkan oleh konsep subjektif wartawan. Realitas bisa

65

Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, h. 150. 66


(51)

berbeda-beda, tergantung pada bagaimana konsepsi ketika realitas itu dipahami oleh wartawan yang mempunyai pandangan yang berbeda.

2. Media adalah agen konstruksi. Disini media dipandang sebagai agen konstruksi sosial yang mendefiniskan realitas lengkap dengan pandangan, bias, dan pemihakannya..

3. Berita bukan refleksi dari realitas. Ia bukan menggambarkan realitas, tetapi merupakan potret dari arena pertarungan antara berbagai pihak yang berita dengan peristiwa.

4. Wartawan bukan pelapor. Ia agen konstruksi realitas dimana pekerjaannya bukan sebatas melaporkan sebuah fakta, tapi juga turut mengkonstruksi fakta yang didapatkannya untuk kemudian dijadikan berita.

5. Nilai, Etika, pilihan moral, dan keberpihakan wartawan adalah bagian yang integral dalam penelitian. Kaum konstruksionis memandang bahwa peneliti bukanlah subjek yang bebas nilai, karena itulah etika dan moral serta keberpihakan peneliti menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari proses penelitian.

6. Khalayak mempunyai penafsiran tersendiri atas berita. Kaum konstruksionis memandang bahwa khalayak bukanlah subjek yang pasif, melainkan subjek yang aktif dalam menafsirkan apa yang dibaca, ditonton ataupun didengar.


(52)

E. Analisis Framing

Orang yang pertama kali melontarkan gagasan mengenai framing adalah Beterson pada tahun 1955.67 Mulanya, frame dimaknai sebagai struktur konseptual atau perangkat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori standar untuk mengapresiasikan realitas. Berikut beberapa definisi mengenai framing yang dikemukakan para ahli:68

Tabel 2.1

Definisi Framing Menurut Para Ahli

TOKOH DEFINISI

Robert N. Entman Proses seleksi dari berbagai aspek realitas sehingga bagian tertentu dari peristiwa itu lebih menonjol dibandingkan aspek lain. Ia juga menyertakan penempatan informasi-informasi dalam konteks yang khas sehingga sisi tertentu mendapatkan alokasi lebih besar daripada sisi yang lain.

William A. Gamson Cara bercerita atau gugusan ide-ide yang terorganisir sedemikian rupa dan menghadirkan konstruksi makna peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan objek suatu wacana. Cara bercerita itu terbentuk dalam sebuah kemasan (package). Kemasan itu

67

Alex Sobur, Analisis Teks Media , h. 161.

68


(53)

semacam skema atau struktur pemahaman yang digunakan individu untuk mengkonstruksi makna pesan-pesan yang ia sampaikan, serta untuk menafsirkan makna pesan-pesan yang ia terima.

Todd Gitlin Strategi bagaimana realitas/dunia dibentuk dan

disederhanakan sedemikian rupa untuk ditampilkan kepada khalayak pembaca. Peristiwa-peristiwa ditampilkan dalam pemberitaan agar tampak

menonjol dan menarik perhatian khalayak

pembaca.itu dilakukan dengan seleksi, pengulangan, penekanan, dan presentasi aspek tertentu dari realitas. David E. Snow and

Robert Benfort

Pemberian makna untuk menafsirkan peristiwa dan kondisi yang relevan. Frame mengorganisasikan sistem kepercayaan dan diwujudkan dalam kata kunci tertentu, anak kalimat, citra tertentu, sumber informasi, dan kalimat tertentu.

Amy Binder Skema interpretasi yang digunakan oleh individu

untuk menempatkan, menafsirkan, mengidentifikasi, dan melabeli peristiwa secara langsung atau tidak langsung. Frame mengorganisir peristiwa yang kompleks ke dalam bentuk dan pola yang mudah dipahami dan membantu individu untuk mengerti makna peristiwa.


(54)

Zhongdang Pan and Gerald M. Kosicki

Strategi konstruksi dan memproses berita. Perangkat kognisi yang digunakan dalam mengkode informasi, menafsirkan peristiwa, dan dihubungkan dengan rutinitas dan konvensi pembentukan berita.

Dari definisi-definisi tersebut, definisi framing mengacu pada suatu cara untuk menyajikan realitas, dimana realitas yang ada dikemas sedemikian rupa dengan menggunakan symbol-simbol yang terpilih, diseleksi, diitekankan, dan ditonjolkan sehingga peristiwa tertentu dapat lebih mudah dipahami berdasarkan perspektif tertentu yang dimaksudkan dalam proses framing tersebut. Jadi, realitas yang disampaikan bukanlah realitas yang utuh.

Analisis Framing menanyakan mengapa peristiwa X diberitakan? Mengapa peristiwa lain tidak diberitakan? Mengapa suatu tempat dan pihak yang terlibat berbeda meskipun peristiwanya sama? Mengapa realitas didefinisikan dengan cara tertentu? Mengapa sisi atau angle tertentu ditonjolkan sedangkan yang lain tidak? Mengapa menampilkan sumber berita X dan mengapa bukan sumber berita yang lain yang diwawancarai?69 Pertanyaan-pertanyaan tersebut mendasari bagaimana media massa membentuk dan mengkonstruksi realitas, yang membuat khalayak lebih mudah mengingat aspek-aspek tertentu yang ditekankan dan ditonjolkan oleh media massa

69

Rachmat Kriyantono, Teknik Praktis Riset Komunikasi (Jakarta : Kencana Prenada Media Group : 2006), h. 252.


(55)

Agus Sudibyo (2001) mengatakan bahwa media massa dilihat sebagai media diskusi antara pihak-pihak dengan ideologi dan kepentingan yang berbeda-beda. Mereka berusaha untuk menonjolkan kerangka pemikiran, perspektif, konsep, dan klaim interpretatif masing-masing dalam rangka memaknai objek wacana. Keterlibatan mereka dalam suatu diskusi sangat dipengaruhi oleh status, wawasan, dan pengalaman sosial masing-masing70.

Proses framing juga terkadang dibenturkan dengan alasan-alasan teknis seperti keterbatasan-keterbatasan kolom dan halaman (pada media cetak) dan waktu (pada media elektronik) jarang ada media yang membuat berita secara utuh mulai dari menit pertama kejadian hingga menit akhir. Atas nama kaidah jurnalistik, peristiwa yang panjang, lebar, dan rumit, dicoba “disederhanakan”cmelalui mekanisme pembingkaian (framing) fakta-fakta dalam bentuk berita sehingga layak terbit atau layak tayang.71

Aspek-aspek yang dipilih dalam pendekatan analisis framing adalah: pertama, memilih fakta atau realitas ; kedua, menuliskan fakta atau realitas.72 Penjelasannya adalah sebagai berikut:

1. Memilih fakta atau realitas

Fakta dipilih berdasarkan asumsi dari wartawan. Dalam hal ini wartawan memilih realitas mana yang akan diberitakan mana yang akan dibuang.

70

Agus Sudibyo, Politik Media, h.63. 71

Ibnu Hamad, Konstruksi Realitas Politik, h.21. 72


(56)

Setelah itu wartawan memilih angle dan fakta tertentu untuk menekankan aspek tertentu. Dengan begitu masing-masing media akan berbeda dalam menonjolkan aspek tertentu dalam pemberitaan tersebut.

2. Menuliskan fakta atau realitas

Tahap penulisan fakta ini berhubungan dengan penonjolan realitas. Fakta yang sudah dipilih tersebut ditekankan dengan pemakaian perangkat tertentu: kata, kalimat, preposisi, gambar, dan foto yang mendukung fakta tersebut. penempatan yang mencolok (menempatkan di headline depan, atau bagian belakang), pengulangan, pemakaian grafis untuk mendukung dan memperkuat penonjolan, pemakaian label tertentu ketika menggambarkan orang atau peristiwa yang diberitakan, asosiasi terhadap symbol budaya, generalisasi, simplifikasi. Aspek realitas tertentu yang ingin ditonjolkan tentunya akan mendapatkan alokasi dan perhatian yang lebih besar dibandingkan dengan aspek lain.

Peristiwa yang sama dapat disajikan secara berbeda apabila wartawan memiliki frame yang berbeda ketika melihat peristiwa tersebut dan merefleksikan pandangnnya dalam berita. Setiap wartawan memiliki gagasan, pengetahuan dan perspektif yang berebeda dalam melihat suatu peristiwa tertentu. Perbedaan inilah yang menentukan bagaimana suatu peristiwa itu dikonstruksi dalam bingkai yang ditentukan. Konsep yang dapat digunakan untuk menjawab bagaimana seseorang


(1)

bersikukuh menyerahkan kasus Gayus kepada kepolisian, Republika hanya menonjolkan fakta yang ada terkait keinginan SBY agar kepolisian yang menyelesaikan kasus Gayus. Republika tidak menyorot adanya desakan yang meminta SBY membawanya ke KPK. Republika membantah adanya kedekatan dengan Abu Rizal Bakrie sehingga apa yang diberitakannya bukanlah untuk menutup-nutupi Abu Rizal Bakrie. Republika menyatakan bahwa mereka hanya memberitakan fakta saja, bukan dugaan-dugaan.

Berbeda dengan Republika, Media Indonesia terlihat mengkonstruk pembaca dengan dugaan-dugaan yang dikembangkan dalam beritanya. Media Indonesia menuntut pembaca untuk berpikir kritis terhadap kasus Gayus. Media Indonesia melihat Gayus berhubungan dengan orang-orang besar. Dalam pemeberitaannya Media Indonesia terlihat menggiring pembaca pada kemungkinan adanya keterlibatan Abu Rizal Bakrie.selain itu Media Indonesia menilai pemerintah tidak bertindak tegas menyelesaikan kasus ini. Media Indonesia menilai pemerintah di bawah presiden SBY telah mempolitisasi kasus ini dengan keberadaan satgas. Pemerintah bagi Media Indonesia seharusnya mengintervensi kasus ini karena kasus ini telah mencoreng penegak hukum, bukannya menyerahkan sepenuhnya kasus ini kepada kepolisian, presiden SBY harusnya turun langsung mengingat kepolisian merupakan instansi di bawah pemerintah dan bertanggungjawab langsung kepada pemerintah. Intervensi justru menjadi suatu kewajiban.


(2)

B. Saran

1. Republika dan Media Indonesia sebagai media besar yang menjadi acuan masayarakat Indonesia dalam mendapatkan informasi seharusnya menyajikan informasi yang berkualitas, dan menjaga kredibilitasnya sebagai media besar.

2. Republika dan Media Indonesia hendaknya memberikan informasi yang benar, objektif, tidak menimbulkan polemik dengan melepaskan keberpihakan pada sesuatu di luar fakta.

3. Ada kalanya dalam mengembangkan sesuatu yang belum terbukti kebenarannya, Republika dan Media Indonesia mengacu pada kaidah jurnalistik sehingga tidak menggiring pembaca pada perdebatan dan konflik.

4. Republika dan Media Indonesia hendaknya menjalankan perannya sebagai kontrol sosial terhadap kebijakan pemerintah dan memberikan solusi positif kepada pemerintah dalam menyelesaikan kasus yang terjadi di Indonesia.

5. Republika dan Media Indonesia hendaknya terus berkomitmen mengungkap kasus dengan tuntas dan jujur agar kasus Gayus ini tidak menguap begitu saja seperti kasus-kasus lainnya.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto, Elvinaro, Lukiati Komala Erdinaya. Komunikasi Massa : Suatu Pengantar. Bandung : Simbiosa Rekatama Media, 2007.

Bungin, Burhan. Konstruki Sosial Media Massa: Kekuatan Pengaruh Media Massa, Iklan Televisi, dan Keputusan Konsumen Serta Kritik Terhadap Peter L. Berger & Thomas Luckmann. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2007.

Cangara, Hafied. Pengantar Ilmu Komunikasi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2008.

Effendy, Onong Uchjana. Ilmu, Teori, dan Filsafat Komunikasi. Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2003.

Eriyanto. Analisis Framing: Konstruksi, Ideologi, dan Politik Media. LkiS : Yogyakarta, 2002.

Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik di Media Massa sebuah Study Critical Discourse Analysis. Jakarta: Granit, 2004.

Harahap. Krisna. Rambu-rambu di sekitar Profesi Wartawan. Jakarta : Grafitri Budi Utami, 1996.


(4)

Hernowo, ed. Lautan Hikmah: Kumpulan Renungan Keagamaan di Harian Republika. Bandung: Mizan, 1994.

Ishwara, Luwi. Catatan-catatan Jurnalisme Dasar . Jakarta : Penerbit Buku Kompas, 2007.

Kriyantono, Rachmat. Teknik Praktis Riset Komunikasi. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008.

McQuail, Dennis. Teori Komunikasi Massa, Suatu Pengantar.

Nimmo, Dan. Komunikasi Politik, Komunikator, Pesan Media, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 1993.

Nurudin. Pengantar Komunikasi Massa. Jakarta : PT raja Grafindo Persada, 2007.

Riyanto, Geger. Peter L Berger : Perspektif Metateori. Jakarta : Pustaka LP3ES, 2009.

Santana, Septiawan. Jurnalisme Kontemporer. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2005.

Severin, Warner J, James Tankard. Teori Komunikasi. Jakarta : Prenada Media Group, 2007.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media : Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik dan Analisis Framing. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2009.


(5)

Sudibyo, Agus. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKIS, 2001.

Suhandang, Kustadi. Pengantar Jurnalistik : Seputar Organisasi, Produk, dan Kode Etik. Bandung : Penerbit Nuansa, 2004.

Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Jakarta : Penerbit Kalam Indonesia, 2005.

Turner, Lynn H. Pengantar Teori Komunikasi dan Aplikasi. Jakarta : Penerbit Salemba Humanika, 2008.

Vivian, John. Teori Komunikasi Massa. Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2008.

Internet :

http://kesehatan.kompas.com/read/2010/03/14/00191956/Ungkap.Makelar.Kasus.di.P olri.Susno.Tunjuk.Tiga.Nama Jenderal.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/09/28/brk,20100928-281140,id.html.

http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/11/22/brk,20101122-293617,id.html http://www.korantempo.com/korantempo/koran/2010/11/14/headline/krn.20101114.2 18023.id.html

http://programatujuh.files.wordpress.com/2010/07/piramida-terbalik.jpg . https://courses.ischool.berkeley.edu/i296a-3/f07/wiki/gatekeeping.html.

http://www.mediaindonesia.com/read/2009/02/23/23986/11/11/Profile_Perusahaan

lain-lain :

Company Profile Republika Company Profile Media Indonesia

Hasil Wawancara dengan Redaktur Pelaksana II Republika, Irwan Ariefiyanto pada 5 Mei 2010

Hasil Wawancara dengan Kadiv Content Enrichment Media Indonesia, Gaudensius Suhardi pada 31 Januari 2011


(6)

Hasil Wawancara dengan Khairunnisa Tafrizi pada 8 Juni 2011 Hasil Wawancara dengan Ahmad Mugalih pada 9 Juni 2011