Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips).

(1)

OPTIM (Ipomoea b

D

MASI PROS batatas (L.)

KERIP

DEPARTEM FAK

IN

SES PEMBU Lam) DAN PIK SIMUL

SAFFIE F

MEN ILMU ULTAS TE NSTITUT P

SKRIPSI

UATAN TE N APLIKAS

LASI (SIMU

Oleh : ERA KARL F24062384

2010 U DAN TEK EKNOLOGI

PERTANIA BOGOR

EPUNG UB SINYA DAL ULATED CH

LEEN

KNOLOGI I PERTANI AN BOGOR

I JALAR U LAM PEMB

HIPS)

PANGAN IAN R

UNGU BUATAN


(2)

OPTIMASI PROSES PEMBUATAN TEPUNG UBI JALAR UNGU (Ipomoea batatas (L.) Lam) DAN APLIKASINYA DALAM PEMBUATAN

KERIPIK SIMULASI (SIMULATED CHIPS)

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian

Institut Pertanian Bogor

Oleh :

SAFFIERA KARLEEN F24062384

2010

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR


(3)

Judul Skripsi: Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips)

Nama : Saffiera Karleen NRP : F 24062384

Menyetujui: Pembimbing,

(Ir.Sutrisno Koswara, M.Si.) NIP 19640505.199103.1.003

Mengetahui: Ketua Departemen,

(Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.) NIP 19650814.199002.1.001


(4)

Saffiera Karleen. F24062384. Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips). Di bawah bimbingan Ir. Sutrisno Koswara, M.Si.

RINGKASAN

Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman palawija yang banyak terdapat di Indonesia. Luas lahan ubi jalar di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 174.561 ha dengan produksi mencapai sekitar 1.947.311 ton. Komoditas ubi jalar sangat layak dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan yang berbasis tepung karena memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur tanam yang relatif pendek, produksi yang tinggi. Tekstur ubi jalar yang lunak dengan kadar air tinggi memiliki sifat mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu upaya pengawetan ubi jalar. Selain itu, juga merupakan upaya peningkatan daya guna ubi jalar supaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Salah satunya dengan mengolah tepung ubi jalar menjadi chips ubi jalar. Chips merupakan produk makanan ringan yang paling digemari oleh penduduk Indonesia. Hal ini didukung oleh tekstur yang renyah serta selera konsumen di Indonesia yang cenderung lebih menyukai produk pangan yang digoreng.

Ubi jalar yang akan ditepungkan adalah ubi jalar dengan daging berwarna ungu dengan varietas ayamurasaki. Jenis ubi jalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin merupakan pigmen pembentuk warna ungu dan adanya antosianin membuat tepung ubi jalar dan chips yang dihasilkan memiliki karakteristik warna yang menarik secara alami dan juga memiliki nilai fungsional bagi tubuh.

Penelitian yang dilakukan terdiri dari dua tahap, yaitu penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Penelitian pendahuluan terdiri dari persiapan bahan baku (ubi jalar ungu basah) dan pembuatan tepung ubi jalar ungu serta penentuan metode terbaik dalam pembuatan tepung tersebut. Penelitian utama terdiri dari tahap penentuan formulasi adonan chips terbaik yang ditentukan melalui trial and error, kemudian formulasi lanjutan apabila ditemukan kekurangan pada produk, lalu dilakukakan analisis kimia (proksimat dan total antosianin) dan analisis fisik (warna) pada tepung dan chips ubi jalar ungu terpilih.

Metode yang digunakan dalam pembuatan tepung ubi jalar ungu adalah pengukusan selama 7 dan 10 menit pada suhu 100oC serta pengeringan dengan menggunakan pengering kabinet dan penjemuran dengan sinar matahari. Parameter mutu utama yang digunakan dalam penentuan tepung ubi jalar ungu terbaik adalah kadar total antosianin pada tepung yang dihasilkan.

Tepung ubi jalar ungu terpilih dibuat dengan menggunakan cara pengukusan selama 7 menit pada suhu 100oC dengan ketebalan umbi sebesar 1 ± 0,5 cm dan dikeringkan menggunakan pengering kabinet pada suhu 50 – 55oC selama 6 – 8 jam. Tepung terpilih ini memiliki kandungan antosianin sebesar 3233,7390 mg CyE

/L, kadar air 7,17%bb, kadar abu 1,72%bb, kadar lemak 0,89%bb, kadar protein 3,27%bb, kadar karbohidrat 86,66%bb dan serat kasar 3,60%bb.


(5)

Penambahan air yang paling optimum dalam pembuatan adonan chips ubi jalar ungu yang menggunakan 100% tepung ubi jalar ungu terpilih berkisar antara 30 – 35% dari jumlah tepung yang digunakan. Untuk memperbaiki eating quality dari adonan tersebut maka dilakukan formulasi lanjutan dengan menambahkan beberapa jenis tepung dan pati yang ditambahkan secara tunggal. Sifat tepung dan pati yang dapat berinteraksi dengan air sehingga dapat mengurangi panampakan produk yang terlalu berminyak setelah proses penggorengan. Tepung dan pati yang terpilih berdasarkan parameter pemberian efek yang cukup signifikan untuk masuk ke tahap uji organileptik adalah maizena, tepung beras, dan tapioka dengan perbandingan penambahan sebesar 5 dan 10 persen.

Berdasarkan uji organoleptik penambahan tapioka, tepung beras, dan maizena meningkatkan kerenyahan produk ini dan memperbaiki intensitas warnanya. Selain itu, penambahan maizena sebanyak 10 persen juga memberikan pengaruh nyata pada penampakan minyak dibandingkan dengan control. Formula adonan chips ubi jalar ungu yang terpilih adalah adonan yang menggunakan maizena sebanyak 10 persen.

Chips ubi jalar ungu yang dihasilkan dari formula terpilih memiliki kadar antosianin sebesar 2815,4320 mg CyE/L, kadar air sebesar 3,07%bb, kadar abu 2,18%bb, kadar protein 3,14%bb, kadar lemak 12,42%bb, kadar karbohidrat sebesar 79,20%bb dan kadar serat kasar sebesar 3,10 %bb. Kadar antosianin produk chips ubi jalar ungu mengalami penurunan sebesar 12,94% bila dibandingkan dengan tepung ubi jalar ungu (bahan bakunya).


(6)

m ( 2 P k m m H m s d d C P A b memuaskan (IPB) melalu 2007, penul Pangan seba kuliah mino merupakan s Penu menjalani s Himpunan M menjadi pan sebagai seks dan Dekora departemen Competition 17 – 20 Juli Seba Proses Pem Aplikasinya bimbingan I   1 p M S l S m sehingga pa ui jalur Und lis bergabun agai pendidi ornya. Menja

salah satu pe ulis aktif di studi di In Mahasiswa nitia acara ya

si acara dan asi). Pencap ini adalah n held in IFT

2010. agai tugas ak mbuatan Tep dalam Pem r. Sutrisno K

RIWAYAT

Penul 1988 yang m pasangan Dr Mulyati. Pen SD Mardi Y

anjutan di SLTA Regin menyelesaika ada tahun 20 dangan Selek ng menjadi

ikan mayorn adi bagian d encapaian ter berbagai ke nstitut Perta Teknologi P ang diseleng n LCTIP XV paian terbaik h menjadi T 10 Annual

khir, penulis pung Ubi Ja mbuatan Ke Koswara, M.

T HIDUP P

 

lis dilahirka merupakan rs. Eddy Sa nulis menam Yuana 2 B SLTP Regin na Pacis B an studinya 006 penulis d ksi Masuk IP mahasiswa nya, dan Ma

dari Departe rbaik di dala egiatan dan anian Bogo Pangan (HIM ggarakan ole VI sebagai se k penulis s

1st Winner Meeting, Ch

melakukan alar Ungu ( ripik Simul .Si.

PENULIS

an di Bogor anak kedua antoso (Alm matkan pendi Bogor pada

na Pacis Bo Bogor pada a tersebut d diterima di In PB (USMI).

Departemen anajemen Fu

emen Ilmu d am hidupnya

organisasi k or, diantaran MITEPA) p eh HIMITEP eksi PDD (P selama men r of IFTSA

hicago, Illin

penelitian d (Ipomoea ba

asi (Simulat

r pada tangg a dari dua m.) dan Dra.

idikan sekola tahun 200 ogor tahun tahun 200 dengan pre nstitut Pertan Kemudian p n Ilmu dan ungsional seb dan Teknolo a

kemahasiswa nya menjad pada tahun 2 PA seperti H Publikasi Do nempuh pen A-DSDC In nois, USA pa

dengan judul atatas (L) ted Chips)”

gal 26 Juli bersaudara Grace Sri ah dasar di 0, sekolah 2003, dan 06. Penulis stasi yang nian Bogor pada tahun Teknologi bagai mata ogi Pangan aan selama di anggota 2007-2009, HACCP VI okumentasi ndidikan di nternational ada tanggal “Optimasi Lam.) dan di bawah


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus atas segala bimbingan, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi dari penelitian yang dilakukan di Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dengan judul “Optimasi Proses Pembuatan Tepung Ubi Jalar Ungu (Ipomoea batatas (L) Lam.) dan Aplikasinya dalam Pembuatan Keripik Simulasi (Simulated Chips)”.  Penelitian dan penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian pada Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Penulisan skripsi ini tidak lepas dari bantuan dan dukungan baik moril, materil, maupun spirituil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Mami tercinta atas segala support dan “kuliah”nya serta atas segala doa, kasih sayang, dan kerja kerasnya selama ini. Opa tersayang atas pendidikan yang diberikan di masa pertumbuhan penulis dan atas gen positif yang diwariskan pada penulis. Papi yang telah mendukung baik moril dan materill dari surga sana.

2. Bapak Ir. Sutrisno Koswara, M.Si. selaku dosen pembimbing yang telah sabar dalam membimbing dan mengayomi penulis selama menyelesaikan studinya di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, IPB.

3. Ibu Dr. Dra. Suliantari, M.S. dan Bapak Ir. Darwin Kadarisman, M.Si. atas kesediaannya menjadi dosen penguji pada ujian akhir serta masukan yang diberikan.

4. Seluruh staf pengajar Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan IPB atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis, semoga ilmu yang diberikan menjadi ilmu yang bermanfaat.

5. Prins Carl Santoso (kakak), Otniel Renato Sigit dan David Jessen atas perhatian, dukungan, dorongan, semangat, doa, dan waktu yang diberikan kepada penulis.


(8)

6. Saidatul Husnah sebagai teman satu bimbingan yang telah banyak membantu moril dan materil dari awal hingga akhir masa belajar dan selama penelitian. 7. Saidatul Husnah dan Margaret atas dukungan morillnya ketika final IFT, Agus

dan Stefanus atas dukungan materillnya.

8. Teman-teman terbaik di ITP 43 Dessyana, Dewi P.L., Sandra, Septi, Mario, Dion, Wonojatun, Widhi, Prima atas sharing novelnya, Feriana, Yessica, Selma, Pales serta teman-teman ITP 43 yang tidak dapat disebutkan satu persatu.

9. Teman-teman terbaik di ITP 42 Marcel atas masukan-masukannya dan Ci Irene untuk ceritanya.

10.Teman-teman satu laboratorium Fenny, Yurin, Dewi, Ka Nono, Mbak Aline, Yua P.O, Henni, Margie, Erinna, Steph, Nina atas bantuan dan semangatnya, Sandra, Dewi, Septi, Roni, Angga, Yenni (anak-anak yogurt) atas keceriaan pertikusan yang dibagi.

11.Jessica, Agus Danang, dan Stefanus atas pelajaran “berharga” dalam hidup yang telah diberikan kepada penulis.

12.Laboran yang sudah sangat membantu selama penelitian, Pak Junaedi, Pak Wahid, Abah, Pak Iyas, Pak Sidik, Pak Rojak, Mas Edi, Pak Sobirin, Pak Gatot, Pak Adi, Bu Rubiyah, Bu Antin, Pak Sobirin, Mas Aldi, Mba Darsih dan Bu Supiah.

13.Bu Novi, Bu Kokom, dan pengurus UPT lainnya, terima kasih atas kesabaran dan bantuannya dalam pengurusan surat-surat dan berkas-berkas perkuliahan sehingga semuanya dapat berjalan dengan lancar.

14.Keluarga besar ITP angkatan 42, 43, 44, 45 atas kebersamaannya selama ini. Semoga persahabatan kita tidak akan pernah hilang.

15.Serta semua pihak yang telah membantu penulis selama masa studi di Institut Pertanian Bogor yang tidak bisa disebutkan satu persatu.

Bogor, Agustus 2010


(9)

DAFTAR ISI

halaman

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iii

DAFTAR TABEL... v

DAFTAR GAMBAR... vi

DAFTAR LAMPIRAN... vii

I.PENDAHULUAN... 1

A. LATAR BELAKANG... 1

B. TUJUAN... 2

C. MANFAAT... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA... 4

A. UBI JALAR... 4

1. Botani Ubi Jalar………... 4

2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Ubi Jalar ... 6

3. Pengolahan Ubi Jalar………... 10

4. Tepung Ubi Jalar……….. 11

B. ANTOSIANIN... 14

C. TEKNIK PENGERINGAN... 16

1. Pengeringan dengan Sinar Matahari……… 17

2. Pengering Oven……… 18

D. TEPUNG DAN PATI... 19

E. CHIPS……… 20

1. Pembuatan Adonan……….. 21

2. Pembuatan Lembaran Adonan………. 21

3. Penggorengan………... 22

III. METODOLOGI………... 24

A. BAHAN………... 24

B. ALAT………. 24

C. METODE PENELITIAN... 25


(10)

a. Persiapan bahan baku……….… 25

b. Pembuatan tepung ubi ungu………... 25

2. Penelitian Utama... 27

a. Formulasi awal……….………….…………..…… 27

b. Formulasi lanjutan………..………..………... 27

c. Uji organoleptik……….………...……... 27

d. Analisis formulasi terpilih…………..……..………... 28

D. METODE ANALISIS... 29

1. Analisis Sifat Kimia………... 29

2. Analisis Sifat Fisik………... 33

3. Uji Organoleptik………...……... 34

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN... 35

A. PENELITIAN PENDAHULUAN... 35

1. Persiapan Bahan Baku…... 35

2. Pembuatan Tepung Ubi Ungu………... 37

3. Penentuan Tepung Terbaik……….………. 42

4. Analisis Proksimat Tepung……….. 48

B. PENELITIAN UTAMA... 48

1. Formulasi awal ... 48

2. Formulasi lanjutan……… 55

3. Uji Organoleptik... 57

4. Analisis formulasi terpilih... 62

V. KESIMPULAN DAN SARAN... 67

A. KESIMPULAN... 67

B. SARAN... 68

DAFTAR PUSTAKA... 69


(11)

DAFTAR TABEL

halaman

Tabel 1. Komposisi ubi jalar segar per 100 gram... 7

Tabel 2. Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram... 7

Tabel 3. Karakteristik fisiko-kimia tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia……… 13

Tabel 4. Kandungan gizi tepung ubi jalar, tepung terigu, dan tepung jagung per 100 gram………...……… 13

Tabel 5. Kandungan gizi maizena, tapioka, sagu dan tepung beras... 20

Tabel 6. Pengukuran warna dengan chromameter………..……. 46

Tabel 7. Komposisi kimia tepung ubi jalar ungu terpilih………. 49

Tabel 8. Beberapa perbedaan sifat lembaran adonan dengan jumlah air yang ditambahkan………... 50

Tabel 9. Skor kesukaan terhadap parameter penampakan minyak chips ubi jalar ungu………... 58

Tabel 10. Skor kesukaan terhadap parameter tekstur (kerenyahan) chips ubi jalar ungu………... 59

Tabel 11. Skor kesukaan terhadap parameter warna chips ubi jalar ungu……. 61

Tabel 12. Komposisi kimia chips ubi jalar ungu terpilih………... 63

Tabel 13. Hasil analisis warna pada bahan baku dan produk chips ubi jalar ungu………..……….. 66


(12)

DAFTAR GAMBAR

halaman

Gambar 1. Tanaman ubi jalar dan bunganya... 5

Gambar 2. Ragam umbi ubi jalar... 5

Gambar 3. Antosianidin………..………… 14

Gambar 4. Antosianidin utama dalam pangan... 15

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar...  26

Gambar 6. Diagram alir pembuatan chips ubi ungu... 28

Gambar 7. Ubi ungu var. Ayamurasaki……….. 36

Gambar 8. Umbi yang terkena boleng……… 36

Gambar 9. Persiapan ubi jalar ungu………... 39

Gambar 10. Ubi setelah dikukus ……… 40

Gambar 11. Tepung ubi jalar var. Ayamurasaki yang dimodifikasi dalam proses pembuatannya………...………. 43

Gambar 12. Total Antosianin Tepung Ubi Ungu………... 44

Gambar 13. Proses pembuatan adonan chips ubi ungu……….. 50

Gambar 14. Proses pembentukan lembaran adonan………... 52

Gambar 15. Proses pencetakan lembaran adonan chips………. 52

Gambar 16. Chips ubi ungu setelah digoreng dengan metode pengeringan oven dan penjemuran………... 53

Gambar 17. Chips ubijalar ungu yang telah digoreng dan alat penggorengnya. 54 Gambar 18. Penampakan chips yang telah mengalami modifikasi... 56

Gambar 19. Skor kesukaan panelis terhadap penampakan minyak……...…… 58

Gambar 20. Skor kesukaan panelis terhadap atribut tekstur………... 60


(13)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

Lampiran 1. Perhitungan rendemuen tepung ubi jalar ungu……….. 76 Lampiran 2. Hasil analisis antosianin awal dalam penentuan tepung terbaik 77 Lampiran 3. Analisis warna tepung dengan chromameter………. 78 Lampiran 4. Analisis proksimat dan nilai kalori tepung ubi jalar terpilih…. 78 Lampiran 5. Kuisioner uji organoleptik………. 79 Lampiran 6. Data uji organoleptik penampakan minyak chips ubi jalar ungu. 80 Lampiran 7. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik penampakan

minyak chips ubi jalar ungu……….. 81 Lampiran 8. Data uji organoleptik tekstur chips ubi jalar ungu………. 82 Lampiran 9. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik tekstur

(kerenyahan) chips ubi jalar ungu………. 83 Lampiran 10. Data uji organoleptik warna chips ubi jalar ungu……….. 84 Lampiran 11. Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik warna chips ubi

jalar ungu……… 85

Lampiran 12. Analisis proksimat chips ubi jalar terpilih………..………. 86 Lampiran 13. Hasil analisis antosianin tepung ubi ungu bahan baku………… 87 Lampiran 14. Hasil analisis antosianin chips ubi ungu……….………. 87 Lampiran 15. Analisis warna tepung ubi ungu bahan baku dengan

chromameter……….. 88 Lampiran 16. Analisis warna chips ubi ungu dengan chromameter……… 88


(14)

I.

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Saat ini pangan telah terdiferensiasi menjadi produk pemenuh kebutuhan psikologis, sosial dan lain-lain sehingga menjadikan masalah penyediaan pangan menempati posisi yang penting. Salah satu bentuk inovasi dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan penyediaan pangan adalah dengan melalui pengembangan produk pangan untuk mendukung usaha penganekaragaman pangan, yang sekaligus dapat meningkatkan budidaya dan pemanfaatan hasil pertanian seperti umbi-umbian. Penganekaragaman pangan diharapkan dapat mengurangi ketergantungan masyarakat terhadap bahan pokok tertentu dan memanfaatkan sumber daya lokal secara optimum sebagai bahan pangan.

Ubi jalar (Ipomoea batatas) merupakan salah satu tanaman palawija yang banyak terdapat di Indonesia. Luas lahan ubi jalar di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 174.561 ha dengan produksi mencapai sekitar 1.947.311 ton, yang teralokasi pada Jawa Barat sebesar 389.815 ton (BPS, 2009). Hampir seluruh produksi ubi jalar nasional digunakan sebagai bahan pangan. Komoditas ubi jalar sangat layak dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan yang berbasis tepung karena memiliki kandungan nutrisi yang baik, umur tanam yang relatif pendek, produksi yang tinggi (Widodo, 1989). Selain itu, ubi jalar juga merupakan salah satu komoditas lokal sumber serat pangan (dietary fiber).

Salah satu ubi jalar yang sedang dikembangkan adalah ubi jalar dengan daging umbi berwarna ungu atau ubi ungu. Varietas untuk ubi jalar jenis ini pada umumnya adalah pakhong dan ayamurasaki. Ubi ini memiliki nilai gizi yang tidak kalah dengan ubi jalar jenis lain yang telah lama berada di Indonesia. Ubi jalar ungu juga memilki sifat fungsional lainnya bagi tubuh karena mengandung pigmen antosianin.

Antosianin bermanfaat bagi kesehatan karena berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, dan pencegah gangguan fungsi hati (Suda et al., 2003) Di Jepang, ubi jalar ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami


(15)

untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah, juga dapat menghalangi muncuknya sel kanker, serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yashinaga, 1995).

Tekstur ubi jalar yang lunak dengan kadar air tinggi memiliki sifat mudah rusak oleh pengaruh mekanis. Kerusakan ini memberi kesempatan masuknya mikroba ke dalam umbi dan merusak umbi secara keseluruhan. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung merupakan salah satu upaya pengawetan ubi jalar. Selain itu, juga merupakan upaya peningkatan daya guna ubi jalar supaya dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku industri pangan. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung memberi beberapa keuntungan seperti meningkatkan daya simpan, praktis dalam pengangkutan dan penyimpanan, dan dapat diolah menjadi menjadi beraneka ragam produk makanan.

Makanan ringan (snack) dewasa ini berkembang cukup pesat, baik dari segi jenis produk, rasa, bentuk, citarasa, maupun kemasannya. Saat ini, banyak sekali jenis makanan ringan di pasaran yang memanfaatkan bahan baku yang sudah tersedia di alam. Produk makanan ringan yang paling digemari adalah produk keripik dan chips. Hal ini didukung oleh tekstur yang renyah serta selera konsumen di Indonesia yang cenderung lebih menyukai produk pangan yang digoreng.

Berdasarkan hal-hal diatas, timbul pemikiran untuk melakukan suatu pengembangan produk makanan ringan dengan inovasi berupa penggunaan ubi jalar ungu sebagai bahan baku. Selain untuk memanfaatkan sumber daya yang ada, produk ini diharapkan dapat memberikan warna baru bagi dunia makanan ringan dengan menghasilkan produk chips yang menggunakan pewarna alami disertai berbagai macam tambahan kelebihan seperti adanya kandungan antioksidan dan sumber prebiotik alami.

B. Tujuan

1. Mengembangkan teknologi proses pembuatan tepung ubi jalar ungu yang menghasilkan warna yang tetap ungu, serta dapat diterapkan dalam Usaha Kecil Menengah (UKM).


(16)

2. Memperoleh rasio antara tepung ubi ungu dan air dalam pembuatan chips. 3. Memperbaiki karakteristik produk akhir (chips) dengan menambahkan

beberapa jenis pati dan tepung.

4. Mengetahui total antosianin yang terdapat pada chips ubi jalar ungu

C. Manfaat

Hasil yang akan diperoleh dari penelitian ini diharapkan dapat memperbaiki mutu tepung ubi jalar ungu yang telah ada di pasaran, meningkatkan minat masyarakat terhadap ubi jalar ungu melalui penambahan produk olahannya (chips), serta merangsang produksi tepung ubi jalar ungu dengan standar yang lebih baik. Hal ini penting karena ubi jalar ungu merupakan komoditas yang memiliki nilai gizi tinggi serta memiliki nilai fungsional yang baik bagi tubuh.


(17)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

A. UBI JALAR

Ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Lam.) merupakan tanaman dikotil yang termasuk ke dalam famili Convolvulaceae (Onwueme,1988). Budidaya ubi jalar kemungkinan dimulai sekitar 3000 tahun SM oleh suku Peruvia dan suku Maya di Amerika (O’Brien, 1972). Para ahli botani dan pertanian memperkirakan daerah asal tanaman ubi jalar adalah Selandia Baru, Polinesia, dan Amerika bagian Tengah (Rukmana, 1997). Menurut Onwueme (1988), Colombus memperkenalkan umbi ini dalam perjalanan pulangnya ke Eropa, sementara ubi jalar diperkenalkan ke Afrika dan Asia oleh penjelajah Spanyol dan Portugis.

Ubi jalar merupakan tanaman palawija penting di Indonesia setelah jagung dan ubi kayu. Komoditas ubi jalar sangat layak untuk dipertimbangkan dalam menunjang program diversifikasi pangan berdasarkan kandungan nutrisi, umur yang relatif pendek, produksi tinggi, dan potensi lainnya. Sehingga apabila ditangani secara sungguh-sungguh, ubi jalar akan menjadi sumber devisa yang sangat potensial (Widodo, 1989).

Ubi jalar termasuk salah satu tanaman yang paling tinggi daya penyesuaiannya terhadap kondisi lingkungan yang buruk, seperti angin kencang, musim kering yang panjang serta telah terbukti besar perannya dalam musim paceklik dan bencana alam sebagai makanan alternatif. Tanaman ini dapat ditanam sepanjang tahun dengan daya adaptasi yang luas, asalkan kebutuhan air pada awal pertumbuhannya cukup.

1. Botani Ubi Jalar

Tanaman ubi jalar dapat beradaptasi luas terhadap lingkungan tumbuh dengan daerah penyebarannya terletak pada 30oLU dan 30oLS. Daerah yang paling ideal untuk mengembangkan ubi jalar adalah daerah bersuhu antar 21oC-27oC, mendapat sinar matahari 11-12 jam/hari, kelembaban udara (RH) 50-60% dengan curah hujan 750-1500 mm/tahun.


(18)

Pertumbuhan dan produksi yang optimal untuk pertanian ubi jalar tercapai pada musim kemarau (Rukmana, 1997).

Klasifikasi lengkap taksonomi tanaman ini adalah kingdom Plantae (tumbuh-tumbuhan), divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji), subdivisi Angiospermaae (berbiji tertutup), kelas Dicotyledonae (biji berkeping dua), ordo Convolvulales, famili Convolvulaceae, genus Ipomoea, dan spesies Ipomoea batatas L. Ciri-ciri khusus dari Famili Convolvulaceae ini antara lain mengandung getah, memiliki ikatan pembuluh bicallateral, daun menjari sederhana dan tersusun secara berselang-seling mengelilingi batang. Bunganya khas dengan putik yang istimewa, benangsari berjumlah 5 buah, corela berbentuk terompet, buah berbentuk bulat lonjong, dan bijinya mengandung embrio dengan kotiledon berlipat ganda (Edmond dan Ammerman, 1971). Ukuran bunganya relatif besar, berwarna putih atau putih keunguan pucat dan warna ungu di bagian tengahnya (Prana dan Danimiharja, 1981) seperti terlihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Tanaman ubi jalar dan bunganya

Umbi tanaman ubi jalar adalah akar yang membesar untuk menyimpan cadangan makanan, dengan bentuk antara lonjong sampai agak bulat. Umbi tanaman ubi jalar terbentuk dari penebalan lapisan luar akar yang dekat dengan batang dan berada dalam tanah atau bongkol yang tertinggal dalam tanah (Kay, 1973). Warna kulit umbinya berkisar dari warna putih sampai dengan krem, kuning, jingga, merah muda, merah, sampai ungu gelap. Warna dari daging umbinya sangat tergantung dari jenis dan banyaknya pigmen yang terkandung dalam bahan. Daging


(19)

umbinya berwarna putih, krem, kuning, merah muda kekuning-kuningan, jingga dan ada juga yang berwarna ungu (Steinbauer dan Kushman, 1971). Berbagai jenis ubi jalar dapat dilihat pada Gambar 2.

a. Ubi jalar ungu b. Ubi jalar orange c. Ubi jalar putih Gambar 2. Ragam umbi ubi jalar (Anonima)

Menurut Edmond dan Ammerman (1971), ubi jalar berkembang biak secara sexual dan axesual. Metoda asexual digunakan oleh petani dan para peneliti dalam memproduksi ubi, sedangkan metode sexual digunakan hanya oleh ahli pemuliaan tanaman dalam mengembangkan varietas baru dari biji.

2. Komposisi Kimia dan Nilai Gizi Ubi Jalar

Ubi jalar (Ipomoea batatas (L) Lam.) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penghasil karbohidrat, protein, lemak dan serat yang tinggi diantara jenis umbi-umbian (Widodo, 1989). Selain itu, ubi jalar juga kaya akan vitamin (B1, B2, C dan E), mineral (kalsium, potassium, magnesium dan zink), dietary fiber serta karbohidrat bukan serat (Suda et al., 2003). Nilai gizi ubi jalar dalam 100 gram dapat dilihat pada Tabel 1. Komposisi kimia ubi jalar dipengaruhi oleh varietas, lokasi penanaman, dan musim tanam. Menurut Atmawikarta (2001), pada musim kemarau, varietas yang sama akan menghasilkan kadar tepung yang lebih tinggi daripada musim penghujan.

Ubi jalar mengandung beberapa komponen menguntungkan dan pigmen fungsional. Pigmen dominan pada ubi jalar ungu adalah antosianin yang cukup tinggi, sedangkan untuk ubi jalar kuning adalah flavon dan orange adalah betakaroten (Oki et al., 2002). Komposisi kimia ubi jalar ungu dalam 100 gram dapat dilihat pada Tabel 2. Kandungan antosianin pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai radical scavenging, antimutagenik,


(20)

hepato-protective, anti hipertensi, dan anti hiperglikemik (Suda et al., 2003).

Tabel 1. Komposisi ubi jalar segar per 100 gram Komponen Jumlah

Kadar air (%) 72,84

Pati (%) 24,28

Protein (%) 1,65

Gula pereduksi (%) 0,85

Mineral (%) 0,95

Lemaka (%) 0,7

Asam askorbat (mg/100g) 22,7

K (mg/100g) 204,0

S (mg/100g) 28,0

Ca (mg/100g) 22,0

Mg (mg/100g) 10,0

Na (mg/100g) 13,0

Fe (mg/100g) 0,59

Mn (mg/100g) 0,355

Vitamin A (IU/100g) 20063,0 Energi (kJ/100g) 441,0 Sumber: Kotecha dan Kadam (1998)

a

Direktorat Gizi Depkes RI (1993)

Tabel 2. Komposisi kimia ubi jalar ungu per 100 gram Sifat Kimia dan Fisik Jumlah

Kadar air (%) 67,77

Kadar abu (%) 3,28

Kadar pati (%) 55,27

Gula pereduksi (%) 1,79

Kadar lemak (%) 0,43

Kadar antosianin (mg/100 g) 923,65 Sumber : Widjanarko (2008)

Menurut Onwueme (1988), ubi jalar mengandung hampir semua asam amino esensial dalam jumlah yang cukup dari segi nutrisi. Protein ubi jalar sebanyak 2/3 bagiannya merupakan protein globulin. Namun penelitian Huang (1982) menunjukkan bahwa ubi jalar secara individual


(21)

tidak mampu memenuhi kebutuhan protein untuk manusia pada masa pertumbuhan. Sedangkan pada manusia dewasa, kebutuhan proteinnya dapat dipenuhi dengan konsumsi ubi sekeitar 2,5 kg per hari yang disuplementasi dengan sejumlah kecil ikan dan sayuran.

Karbohidrat yang banyak terdapat di dalam ubi jalar adalah pati, gula, dan serat (Palmer, 1982). Pati merupakan homopolimer glukosa dengan ikatan α-glikosidik dalam wujud ikatan linear ataupun ikatan bercabang. Pati memiliki dua fraksi yang dapat dipisahkan dengan air panas, dimana fraksi terlarut disebut sebagai amilosa dan fraksi tidak terlarut yang disebut sebagai amilopektin. Amilosa memiliki struktur linear dengan ikatan α-(1,4)-D-glukosa, sedangkan amilopektin mempunyai cabang dengan ikatan α-(1,6)-D-glukosa (Winarno, 2002). Molekul amilosa berupa rantai linear yang panjang dan fleksibel yang terdiri dari 500-2000 unit glukosa. Amilopektin mengandung beberapa ratus percabangan linear yang pendek, dengan percabangan sekitar 25 unit glukosa (Schoch, 1970). Kandungan amilopektin yang tinggi dan amilosa yang rendah diduga bertanggung jawab terhadap karakteristik tekstur ubi jalar (Woolfe, 1999).

Rasio amilosa dan amolipektin pada ubi jalar secara umum adalah 1 : 3 atau 1 : 4. Perbandingan kandungan antara amilosa dan amilopektin berperan dalam pembentukan adonan. Semakin besar kandungan amilopektin atau semakin kecil kandungan amilosa pati yang digunakan, maka semakin lekat produk olahannya (Winarno, 1992).

Pati ubi jalar memiliki sifat (viskositas dan karakteristik lain) yang berbeda dari pati kentang dan pati jagung atau pati tapioka. Granula pati ubi jalar berdiameter 2 – 25 µm. Granula pati ubi jalar berbentuk poligonal dengan kandungan amilosa dan amilopektin berturut-turut adalah 20% dan 80% (Swinkels, 1985). Pati ubi jalar memiliki derajat pembengkakan 20 – 27 ml/gram, kelarutan 15 – 35% dan tergelatinisasi pada suhu 75 – 88oC untuk granula berukuran kecil (Moorthy, 2000)

Pati dari varietas ayamurasaki sesuai untuk produk yang memerlukan pati yang berviskositas tinggi pada perlakuan suhu relatif


(22)

rendah serta yang membutuhkan stabilitas gel tinggi (Ginting et al., 2005). Berdasarkan penelitian, Faizah (2004) menyatakan kadar pati varietas ayamurasaki sebesar 89.78% dan kadar amilosa sebesar 34.70%. Pati dari varietas ini memerlukan waktu 29 menit pada suhu 73.5oC untuk dapat bergelatinisasi, dan granulanya pecah pada suhu 88.5oC setelah 39 menit.

Kandungan gula pada ubi jalar yang telah dimasak jumlahnya cenderung meningkat apabila dibandingkan dengan gula pada ubi jalar mentah. Hidrolisis pati menjadi dekstrin selama pemasakan akan mengakibatkan peningkatan maltosa secara signifikan. Akan tetapi gula dalam ubi jalar tetap didominasi oleh sukrosa (Woolfe, 1999). Total gula pada ubi jalar berkisar antara 0.38-5.64% dalam basis basah mentah (Bradbury dan Holloway, 1988).

Komponen lainnya pada ubi jalar yang tidak kalah pentingnya adalah serat. Serat (dietary fiber) merupakan komponen jaringan tanaman yang tahan terhadap proses hidrolisis oleh enzim dari lambung dan usus halus. Dietary fiber umumnya berupa karbohidrat atau polisakarida (Winarno, 2002).

Kecenderungan timbulnya flatulensi setelah mengkonsumsi ubi jalar disebabkan oleh adanya komponen karbohidrat yang tidak dapat dicerna, seperti oligosakarida (Darmadjati, 2003). Oligosakarida yang tidak dapat dicerna di dalam ubi adalah rafinosa dan masih tertinggal pada ubi jalar yang sudah dimasak (Palmer, 1982). Proses fermentasi dari karbohidrat tidak tercerna ini menghasilkan gas H, CH4, dan CO2 yang bersama-sama membentuk gas flatus. Metabolit terakhir inilah yang menyebabkan flatulensi (Johnson dan Southgate, 1994).

Karbohidrat yang dikandung ubi jalar termasuk dalam klasifikasi Low Glycmix Index (LGI, 54) sehingga sangat cocok untuk penderita diabetes, karena tidak secara drastis menaikkan gula darah. Sebagian besar serat ubi jalar merupakan serat larut yang menyerap kelebihan lemak/kolestrol darah, sehingga kadar lemak/kolestrol darah tetap normal (Muchtadi, 2001).


(23)

Ubi merupakan sumber vitamin C yang cukup baik, thiamin juga tersedia dalam jumlah cukup berdasarkan kalori (0,8 mg/100g) atau sekitar dua kali kebutuhan manusia. Kalium atau potassium merupakan mineral terbanyak (200 – 300 mg/100g) dan kandungan zat besinya (0,8 mg/100g) dapat mencukupi kebutuhan manusia yang mengkonsumsi ubi jalar sekitar 2 kg per hari (Huang, 1982).

Selain mengandung zat-zat gizi yang sangat diperlukan oleh tubuh, ubi jalar juga mengandung zat anti gizi yakni tripsin inhibitor, dengan jumlah 0,26 – 43,6 IU/100g ubi jalar segar. Adanya tripsin inhibitor akan menutup gugus aktif enzim tripsin sehingga aktivitas enzim tersebut terhambat dan tidak dapat melakukan fungsinya sebagai pemecah protein. Namun, aktivitas tripsin inhibitor ini dapat dihilangkan dengan pengolahan sederhana yakni proses pemasakan, seperti perebusan dan pengukusan (Santosa et al., 1994).

3. Pengolahan Ubi Jalar

Ubi jalar masih dinilai sebagai komoditas inferior, meskipun komoditas ini sudah lama dikenal dan diusahakan oleh petani. Hal ini dikarenakan kurangnya informasi mengenai bentuk-bentuk pengolahan serta belum berkembangnya industri yang menggunakan ubi jalar sebagai bahan baku utama (Faizah, 2004).

Ubi jalar dapat dimanfaatkan sebagai produk makanan ringan ataupun pencuci mulut dan umumnya dikonsumsi dalam bentuk segarnya yang telah direbus, dipanggang, ataupun dimasak dengan bahan-bahan lainnya. Komoditas ini juga dapat diolah menjadi keripik dengan bentuk potongan ataupun seperti bentuk kentang goreng (Mackay et al., 1989).

Proses pemasakan akan menyebabkan perubahan pada tekstur dan flavor ubi jalar dan juga dapat meningkatkan daya cerna zat gizinya. Proses pemasakan juga dapat mengurangi jumlah toksin pada ubi jalar (toxic terpenoid phytoalexins) dan zat anti nutrisi berupa tripsin inhibitor. Namun, proses pemasakan yang terlalu lama akan menyebabkan hilangnya beberapa zat gizi melalui proses degradasi thermal, oksidasi dan reduksi ketersediaan biologis (Woolfe, 1993).


(24)

Pengeringan oleh sinar matahari pada ubi jalar yang telah diblansir merupakan proses pengolahan tradisional yang dilakukan negara-negara berkembang untuk menghasilkan keripik ubi jalar. Di Indonesia, umbi ubi jalar segar terkadang direndam dalam larutan garam 8-10% selama sekitar satu jam sebelum dipotong menjadi bentuk keripik dan dikeringkan. Perlakuan perendaman tersebut dilaporkan dapat mencegah pertumbuhan mikroba selama proses pengeringan (Winarno, 1982).

Kegunaan ubi jalar pun sangat luas, disamping sebagai bahan dasar pembuatan kembang gula, es krim, jelly dan saus, ubi jalar juga dapat digunakan sebagai bahan baku industri kimia, obat-obatan, tekstil, plastik biodegradabel dan bahan kosmetik (Faizah, 2004).

Pengenalan tentang sifat fungsional dari ubi jalar ungu dan peran dari pigmen antosianin menyebabkan peningkatan pengembangan produk-produk berbasis ubi jalar di Jepang (Suda et al., 2003). Sekarang ini, di Jepang, pasta dan tepung dari ubi jalar ungu digunakan sebagai bahan dalam membuat mie, roti, jam, sweet potato chips, produk konfeksioneri, jus dan minuman beralkohol (Oki et al., 2002).

Menurut Rozi dan Krisdiana (2006), warna ungu dari ubi jalar dapat digunakan sebagai pewarna alami makanan, sehingga menjadikan makanan terbebas dari zat-zat kimia. Selain itu, tampilan makanan yang dihasilkan mampu meningkatkan daya tarik konsumen untuk aneka produk penganan berbahan baku ubi ungu.

4. Tepung Ubi Jalar

Salah satu potensi pengembangan ubi jalar adalah dengan diolah menjadi tepung. Proses pembuatan tepung cukup sederhana dan dapat dilakukan dalam skala rumah tangga, maupun industri kecil.

Pembuatan tepung ubi jalar meliputi pembersihan, pengupasan, pengecilan ukuran, dan pengeringan sampai kadar air tertentu. Menurut Sugiyono (2003), tepung ubi jalar dapat dibuat dengan dua cara yaitu pertama ubi diiris tipis lalu dikeringkan (chips/sawut kering) kemudian ditepungkan dan kedua dengan memarut umbi atau dibuat pasta lalu dikeringkan kemudian ditepungkan.


(25)

Tepung ubi jalar dapat dibuat dengan menggunakan beberapa metode pengeringan. Metode yang sering digunakan antara lain pengeringan menggunakan sinar matahari (Santosa et. al., 1994) dan pengeringan menggunakan alat pengering seperti mesin pengering sawut ubi jalar (Sutisno dan Ananto, 1999), oven serta drum drier (Koswara et. al., 2003).

Pengolahan ubi jalar menjadi tepung memberikan beberapa keuntungan seperti meningkatkan daya simpan, praktis dalam pengangkutan dan penyimpanan serta dapat diolah menjadi beraneka ragam produk makanan (Winarno, 1982). Tepung ubi jalar dapat digunakan untuk produk roti, makanana bayi, permen, saus, makanan sarapan, makanan ringan, biskuit dan lain sebagainya.

Keunikan tepung ubi jalar adalah warna produk yang beraneka ragam, mengikuti warna daging umbi bahan bakunya. Proses yang tepat dapat menghasilkan tepung dengan warna sesuai warna umbi bahan. Sebaliknya, proses yang kurang tepat akan menurunkan mutu tepung, dimana tepung yang dihasilkan akan berwarna kusam, gelap, atau kecokelatan. Untuk menghindari hal tersebut, Widowati (2009) menyarankan untuk merendam hasil irisan atau hasil penyawutan selama kurang lebih satu jam. Hal ini dilakukan untuk mencegah adanya kontak antara bahan dengan udara, yang dapat menyebabkan terjadinya reaksi pencoklatan. Di Indonesia, beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui karakteristik fisikokimia tepung per 100 gram dari berbagai jenis ataupun varietas ubi jalar (Tabel 3).

Tepung ubi jalar juga memiliki beberapa kelebihan yaitu sebagai sumber karbohidrat, serat pangan, betakaroten (Kadarisman dan Sulaeman, 1993), dan antosianin untuk ubi ungu. Selain itu, tepung ubi jalar memiliki kandungan gula yang cukup tinggi sehingga dalam pembuatan produk olahan berbahan baku tepung ubi jalar, dapat mengurangi penggunaan gula sebanyak 20% (Nuraini, 2004). Kandungan gizi tepung ubi jalar dibandingkan dengan tepung gandum dan tepung jagung dapat dilihat pada Tabel 4.


(26)

Tabel 3. Karakteristik fisiko-kimia tepung ubi jalar yang dihasilkan di Indonesia

Komponen Mutu Kimia

Tepung Ubi Jalar Rata-rata Putiha Putihb Kuninga Ungua

Air (% b/b) 10,99 7,00 6,77 7,00 7,94

Abu (%) 3,14 2,58 4,71 5,31 3,94

Lemak (%) 1,02 0,53 0,91 0,81 0,82

Protein (%) 4,46 2,11 4,42 2,79 3,44

Serat Kasar (%) 4,44 3,00 5,54 4,72 4,42

Karbohidrat (%) 84,83 81,74 83,19 83,81 83,39 Sumber:

(a) Susilawati dan Medikasari (2008)

(b) Antarlina dan Utomo (1997) dalam Widjanarko (2008)

Tabel 4. Kandungan gizi tepung ubi jalar, tepung terigu, dan tepung jagung per 100 gram

Kandungan Gizi Tepung Ubi Jalar

Tepung Terigu

Tepung Jagung

Air (%) 7,00 7,00 -

Protein (%) 5,12 13,13 16,04

Lemak (%) 0,58 1,29 4,28

Abu (%) 3,22 0,54 1,32

Karbohidrat (%) 85,26 85,04 74,27

Serat(%) 1,95 0,62 -

Kalori (kal/100g) 366,89 375,79 -

Sumber: Antarlina (1998)

Tepung ubi jalar mentah memberikan after taste pahit pada produk akhir sehingga dapat mengganggu cita rasa produk. Rasa pahit biasanya disebabkan oleh beberapa senyawa fenolik atau alkaloid (Woolfe, 1999).

Pembuatan tepung ubi jalar pada penelitian kali ini menggunakan pengeringan dengan metode matahari (penjemuran) dan dengan menggunakan alat pengering seperti cabinet drier (pengering kabinet). Pengeringan dengan alat pengering buatan akan memperoleh hasil seperti yang diharapkan asalkan kondisi pengering dapat terkontrol dengan baik. Umumnya pengeringan dengan menggunakan alat pengering dapat lebih mempertahankan warna bahan yang dikeringkan.


(27)

B. ANTOSIANIN

Antosianin merupakan salah satu senyawa polifenol yang memegang peranan penting dalam grup pigmen setelah klorofil. Antosianin berasal dari bahasa Yunani, anthos yang berarti bunga dan kyonos yang berarti biru gelap. Antosianin banyak terdapat pada buah-buahan, sayuran, dan bunga (Jackman dan Smith, 1996).

Menurut Markakis (1982), molekul antosianin tersusun atas sebuah aglikon (antosianidin) yang teresterifikasi dengan satu atau lebih gula. Semua antosianin merupakan turunan dari kation flavilium (3,5,7,4’-tetrahidroksiflavilium) yang merupakan struktur dasar dari antosianidin, dapat dilihat pada Gambar 3 (Timberlake dan Bridle, 1997). R1 dan R2 biasanya ditempati oleh kombinasi antara H, OH dan OCH3; dimana kombinasi tersebut akan membentuk jenis-jenis antosianidin yang ada di alam.

Gambar 3. Antosianidin (Hutchings, 1999)

Menurut Jackman dan Smith (1996), ada 18 jenis antosianidin yang telah ditemukan, namun hanya enam yang memegang peranan penting dalam bahan pangan dan sering ditemukan yaitu pelargonidin, sianidin, delpinidin, peonidin, petunidin dan malvidin. Struktur keenam jenis antosianidin tersebut dapat dilihat pada Gambar 4. Struktur antosianin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi stabilitas warna antosianin. Jumlah gugus hidroksi atau metoksi pada struktur antisoanidin akan mempengaruhi warna antosianin. Jumlah gugus metoksi yang dominan akan menyebabkan warna cenderung merah dan stabil, sedangkan jumlah gugus hidroksi yang dominan akan menyebabkan warna cenderung biru dan relatif tidak stabil (Jackman dan Smith, 1996).


(28)

Gambar 4. Antosianidin utama dalam pangan (Eskin, 1979)

Warna dan kestabilan antosianin dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain struktur, konsentrasi, suhu, pH, cahaya, keberadaan dari senyawa kopigmen, ion logam, enzim, oksigen, asam askorbat, produk hasil degradasi, protein dan sulfur dioksida (Seda, 2006). Perubahan pH dapat menyebabkan struktur dari antosianin merubah warna serta kestabilannya. Antosianin akan berwarna merah pada pH asam (pH < 3). Warna kemudian akan menjadi ungu atau biru pada pH sekitar netral mendekati basa, dan kemungkinan akan kehilangan warna apabila pHnya terus naik. Kestabilan antosianin akan menurun seiring meningkatnya suhu. Selain itu, senyawa antosianin tidak stabil apabila terkena sinar baik UV, visible, maupun sumber radiasi yang lain (Jackman dan Smith, 1996).

Ubi jalar ungu mengandung antosianin dalam jumlah yang tinggi. Pigmen antosianin pada ubi jalar ungu ada dalam bentuk mono- atau di- asetil


(29)

dari sianidin dan peonidin. Satu karakteristik umum dari semua tipe antosianin ubi jalar ungu adalah bahwa mereka terikat pada satu gugus kafeoil terkecil yang membuatnya menjadi penangkap radikal bebas yang sangat baik. Antosianin ubi jalar akan berwarna merah pada kondisi pH asam, ungu pada kondisi pH netral, dan berwarna hijau pada kondisi pH basa (Suda et al., 2003).

Pigmen antosianin dan senyawa flavonoid lainnya terbukti memiliki efek positif terhadap kesehatan (Timberlake dan Bridle, 1997). Di jepang, ubi jalar ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah.

Antosianin juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yashinaga, 1995). Menurut Suda et al. (2003), antosianin pada ubi jalar ungu berfungsi sebagai radical scavenging, antimutagenik, hepato-protective, anti hipertensi, dan anti hiperglisemik. Selain itu, antosianin dapat pula membantu fungsi mata (Ichiyanagi et. al., 2007).

C. TEKNIK PENGERINGAN

Pengeringan adalah suatu cara untuk mengurangi kadar air suatu bahan, sehingga diperoleh hasil akhir yang kering. Pengeringan ini umumnya bertujuan untuk memperpanjang masa simpan bahan pangan. Menurut Desrosier (1963) pengeringan adalah suatu proses pindah panas dan pindah massa. Sedangkan menurut Brooker et. al. (1973), pengeringan adalah proses pindah panas dari udara pengering ke bahan dan penguapan kandungan air dari bahan ke udara pengering secara simultan. Pengeringan akan lebih efektif pada aliran udara yang terkontrol (Van Arsdel et al., 1964).

Brown et al., (1964) menyatakan bahwa metode pengeringan yang paling baik adalah metode yang tidak mahal dan dapat menghasilkan kualitas, serta karakteristik produk yang diinginkan. Menurut Desrosier (1963) agar bahan pangan kering dapat diterima konsumen, harganya harus dapat bersaing dengan berbagai jenis bahan pangan awet yang baik; memiliki rasa, bau, dan


(30)

penampakkan yang sebanding dengan produk segar atau produk-produk yang diolah dengan cara yang lain; dapat direkonstitusi dengan mudah, masih memiliki nilai gizi yang tinggi serta harus memiliki stabilitas penyimpanan yang baik.

Menurut Buckle et. al. (1987), keuntungan pengawetan dengan pengeringan dibandingkan dengan metode lainnya adalah (1) Bobot yang ringan karena kadar air makanan, yang umumnya berkisar antara 60 – 90 %, hampir semuanya dapat dikeluarkan dengan dehidrasi; (2) Membutuhkan tempat lebih sedikit daripada aslinya; (3) Stabil dalam penyimpanan pada suhu kamar dan tidak memerlukan alat pendingin, tetapi ada batasan pada suhu penyimpanan maksimum untuk masa simpan yang cukup baik. Kerugian dari teknik pengeringan antara lain peka terhadap panas dan cepat hilangnya flavor yang mudah menguap.

Jenis bahan yang akan dikeringkan, mutu hasil akhir, dan pertimbangan ekonomi mempengaruhi pemilihan alat dan kondisi pengering yang akan digunakan. Bahan berbentuk lempeng atau bahan padatan paling sesuai apabila dikeringkan dengan menggunakan pengering kabinet atau tray drier, sedangkan untuk bahan yang berbentuk pasta atau puree maka alat yang sesuai untuk mengeringkannya adalah pengering drum (Brennan et al., 1974).

Pindah panas dapat berlangsung dengan cara konveksi, konduksi dan radiasi. Ada dua cara pengeringan yang biasa digunakan pada bahan pangan yaitu pengeringan dengan penjemuran dan pengeringan dengan alat pengering.

Faktor-faktor yang mempengaruhi pengeringan terdiri atas faktor yang berhubungan dengan alat pengering, faktor yang berhubungan dengan sifat-sifat bahan yang dikeringkan, dan perlakuan pra pengeringan. Faktor lain yang berpengaruh terhadap pengeringan adalah peletakan dan pengadukan bahan selama pengeringan berlangsung, sifat-sifat pengantar panas dari bahan alat pengering serta cara pemindahan panas dari sumber alat pemanas ke bahan yang dikeringkan (Richey et. al., 1961 dan Hall, 1957).

1. Pengeringan dengan Sinar Matahari

Pada umumnya proses pengeringan dengan sinar matahari disebut sebagai penjemuran. Dua keuntungan penjemuran di bawah sinar


(31)

matahari, yaitu adanya daya pemutih karena sinar ultra violet matahari dan mengurangi degradasi kimia yang dapat menurunkan mutu bahan (Grace, 1977). Selain itu biaya produksi lebih rendah, tidak diperlukan bahan penolong lain seperti bumbu dalam pengalengan, serta upah buruh lebih murah karena tidak memerlukan keahlian khusus dan alat-alat yang digunakan lebih sederhana (Sutijahartini, 1985).

Kelemahan proses penjemuran adalah proses pengeringan hanya bisa berlangsung apabila sinar matahari cukup, sering terjadi perubahan warna pada bahan, serta proses pengeringan tidak berlangsung secara konstan karena bergantung sekali pada kondisi cuaca setempat (Sutijahartini, 1985). Kelemahan lainnya antara lain dapat terkontaminasinya bahan oleh debu yang dapat mengurangi derajat keputihan tepung, sulitnya mengontrol suhu dan kelembaban udara serta terjadinya kontaminasi mikroba (Grace, 1977).

2. Pengering Oven

Oven pengering merupakan alat pengering yang paling mudah dalam pemeliharaan dan penggunaan dengan biaya operasional yang rendah. Komoditas yang akan dikeringkan dimasukkan ke dalam oven, kemudian diatur pada suhu dan waktu tertentu, untuk selanjutnya digiling setelah kering. Prinsip kerja oven pengering secara umum adalah memanaskan bahan dengan menggunakan prinsip pindah panas secara konveksi. Elemen pemanas akan memanaskan udara dalam kabinet, kemudian partikel-partikel udara tersebut akan mengenai bahan secara bergantian. Salah satu jenis oven pengering yang paling sering ditemukan adalah pengering kabinet.

Pengering kabinet (cabinet drier) terdiri dari suatu ruangan yang terisolasi dengan baik untuk mencegah kehilangan panas. Pengering kabinet umumnya digunakan untuk potongan-potongan buah atau umbi dengan kecepatan aliran 500-100 ft/menit. Pengeringan akan memakan waktu 5-10 jam atau kurang tergantung dari jenis bahan dan tingkat kadar air yang diinginkan (De Leon, 1988). Kipas yang berada di dalam pengering kabinet mengalirkan udara melalui elemen-elemen pemanas dan


(32)

menyebarkannya secara merata melalui nampan-nampan yang berisi bahan yang dikeringkan. Alat pengering ini dilengkapi sebuah saluran untuk mengeringkan udara yang penuh dengan uap air sebelum proses resirkulasi.

D. TEPUNG DAN PATI

Pati pada prinsipnya adalah produk olahan yang diperoleh dengan memisahkan komponen-komponen non-pati, yaitu serat kasar, lemak, dan protein, dengan cara memisahkan bagian-bagian seperti kulit, lembaga, dan protein telaru. Pati terkadang tertukar dengan tepung karena mereka memiliki penampakan yang tidak jauh berbeda, sama-sama berwarna putih. Hanya komposisi kimia dan karakteristik fisikokimia saja yang dapat membedakan antara tepung dan pati, tidak dapat dibedakan secara kasat mata.

Pati merupakan salah satu jenis bahan pengisi. Bahan pengisi ini dapat menstabilkan, memekatkan, atau mengentalkan makanan yang dicampur air untuk membentuk kekentalan tertentu. Bahan pengisi yang digunakan dari jenis ini umumnya adalah maizena (pati jagung), tapioka (pati singkong), pati sagu dan tepung beras. Kandungan gizi keempatnya per 100 gram dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan gizi maizena, tapioka, sagu dan tepung beras

Kandungan Gizi Maizenaa Tapiokab Saguc Tepung Berasd

Air (%) 14 11,30 10,25 12,0

Abu (%) 0,8 0,09 0,255 0,146

Protein (%) 0,3 0,50 0,31 7,0

Lemak (%) 0 0,10 0,25 0,5

Karbohidrat (%) 98,8 88,01 87,71 80,0

Sumber:

(a) Departemen Kesehatan RI (1995) (b) Brautlecht (1953)

(c) Departemen Kesehatan RI (1996) (d) Hubeis (1984)

Pati juga dapat berfungsi sebagai bahan pengikat. Menurut Tanikawa, et al. (1985), bahan pengikat adalah bahan yang digunakan dalam makanan


(33)

untuk mengikat air yang terdapat dalam adonan. Fungsi bahan pengikat adalah untuk menurunkan penyusutan akibat pemasakan, memberi warna yang terang, meningkatkan elastisitas produk, membentuk tekstur yang padat, dan menarik air dari adonan.

Bahan makanan yang ditambahkan pati umumnya akan mengalami penurunan kadar air. Penurunan kadar air ini diakibatkan adanya mekanisme interaksi pati dengan protein sehingga air tidak dapat diikat secara sempurna karena ikatan hidrogen yang seharusnya mengikat air telah dipakai untuk interaksi pati dan protein (Manullang et. al., 1995).

E. CHIPS

Chips adalah salah satu bentuk makanan ringan yang beredar di pasaran. Makanan ringan dapat diartikan sebagai makanan yang dikonsumsi di antara waktu makan reguler (Lusas, 2001). Makanan ringan mencakup banyak jenisnya antara lain keripik, produk ekstrusi, sup rekonstitusi, biskuit, cookies, dan banyak lainnya.

Selanjutnya menurut Lusas (2001), makanan ringan secara umum memiliki ciri-ciri yakni lezat, aman dan bebas dari bahan-bahan berbahaya, umumnya disiapkan dalam jumlah besar melalui proses kontinyu, serta diberi bumbu seperti garam atau flavor tambahan. Makanan ringan biasanya dikemas dalam kemasan siap makan, dalam ukuran sekali gigit, mudah dipegang dengan jari, dan memiliki penampakan yang disesuaikan dengan keinginan konsumen (berminyak ataupun kering). Selain itu makanan ringan, biasanya memiliki shelf-stable, dimana tidak membutuhkan pendinginan untuk mengawetkan produk serta dijual dalam kondisi segera dengan menggunakan bahan pengemas yang inert dan menggunakan sistem penanggalan sebagai informasi pada label kemasan.

Menurut Matz (1984), secara umum fabricated chips dapat digolongkan menjadi empat grup berdasarkan cara pengolahannya. Salah satunya adalah membentuk adonan yang bertotal-padatan tinggi menjadi lembaran tipis yang yang kemudian dipotong kecil-kecil kemudian digoreng.


(34)

Istilah Simulated Potato Chips untuk produk kentang hasil olahan proses tersebut dan secara komersil, produk tersebut mencapai keberhasilan terbesar.

Menurut Sudibyo (1979) keripik dibuat dengan cara mengiris-iris umbi dan direndam dalam larutan garam lalu dikeringkan dan digoreng. Chips dibuat dengan mengubah umbi menjadi tepung ataupun pasta, kemudian dibuat menjadi adonan dan mengalami pencetakan agar penampakannya menjadi lebih menarik, sehingga chips mempunyai nilai ekonomis yang lebih tinggi dari keripik.

1. Pembuatan Adonan

Leipa (1976) mengatakan bahwa telah banyak dibuat tiruan dari produk chips yang berasal dari adonan, seperti yang telah disebutkan diatas. Bahan-bahan utama diadon, dibuat lembaran, kemudian digoreng setelah dicetak sesuai dengan selera. Adonan ini umumnya mempunyai kadar air 30 – 45% (berat kering). Adonan dibuat menjadi lembaran kemudian dikeringkan sampai kadar air lebih kecil dari 15%, sehingga bentuk lembaran tersebut tidak berubah selama penggorengan.

Air yang ditambahkan pada bahan baku dapat berupa air panas atau air suhu ruang biasa. Air yang panas berguna untuk mempermudah pembuatan adonan menjadi lembaran yang kemudian akan dicetak. Suhu adonan yang baik adalah 26,7 – 76,7 oC sebelum dibuat lembaran. Kadar air adonan yang baik adalah 25 – 55 % (yang terbaik adalah 35 – 45 %) untuk dapat menghasilkan lembaran yang tipis.

2. Pembuatan Lembaran Adonan

Adonan dibentuk menjadi lembaran dengan ketebalan tertentu. Keseragaman ukuran memegang peranan penting, selain untuk memperoleh penampakan yang baik, juga agar penetrasi panas merata pada saat pengolahan (Muchtadi et. al., 1979). Ketebalan adonan berhubungan dengan jumlah produk yang dihasilkan serta jumlah minyak yang diserap selama penggorengan (Boyle, 1975).

Dalam mencetak lembaran, ukuran ketebalam dapat divariasikan, tergantung pada kebutuhan. Pada pembuatan keripik secara konvensional,


(35)

ketebalan kentang yang digunakan adalah 0,125 – 2,5 mm atau yang terbaik adalah 0,175 – 0,5 mm. Bentuk yang biasa digunakan adalah bulat dengan diameter sekitar 65 mm (Liepa, 1976). Dilain pihak, Toft (1980) mengemukakan kisaran ketebalan adalah antara 0,25 – 1 mm. Potongan – potongan adonan yang telah terbentuk kemudian diturunkan kadar airnya sampai mencapai kisaran 9 – 13 % (Toft, 1980).

3. Penggorengan

Fellows (2000) menyatakan bahwa penggorengan adalah unit operasi yang secara umum digunakan untuk meningkatkan eating quality dari suatu bahan pangan. Penggorengan pada dasarnya merupakan imersi dari bagian bahan pangan ke dalam minyak nabati bersuhu tinggi (Singh dan Oliviera, 1994). Fungsi minyak goreng dalam proses penggorengan adalah sebagai medium penghantar panas, penambah cita rasa, dan menambah nilai kalori bahan pangan (Ketaren, 1986).

Saat bahan pangan ditempatkan ke dalam minyak bersuhu tinggi, temperatur bahan pangan akan meningkat secara cepat sehingga terjadi evaporasi air yang terkandung di dalam bahan menjadi uap panas. Permukaan bahan pangan kemudian mulai mengering dan evaporasi semakin bergerak menuju bagian dalam bahan pangan sehingga terbentuklah kerak (crust). Suhu permukaan bahan pangan kemudian semakin meningkat mendekati suhu minyak goreng dan suhu bagian dalam bahan meningkat perlahan mendekati suhu 100oC. Laju perpindahan panas dikendalikan oleh perbedaan suhu antara minyak dan bahan pangan serta oleh koefisien pindah panas permukaan bahan pangan. Sementara itu, laju penetrasi panas ke dalam bahan pangan dikendalikan oleh konduktivitas thermal bahan pangan. Selama proses penggorengan, air dan uap air dikeluarkan dari bahan pangan dan digantikan oleh minyak (Fellows, 2000).

Fungsi lain dari proses penggorengan adalah sebagai bagian dari proses pengawetan nahan pangan karena adanya proses penghancuran mikroorganisme dan enzim oleh panas serta karena adanya reduksi kandungan aw pada bahan pangan. Umur simpan dari hasil penggorengan


(36)

ditentukan oleh kadar air produk setelah digoreng, dimana produk yang memiliki kondisi lembab di bagian dalam memiliki umur simpan yang relatif pendek karena adanya proses migrasi air dan minyak selama penyimpanan (Fellows, 2000).

Kecukupan suhu dan waktu penggorengan berbeda untuk setiap bahan, kondisi dan perlakuan. Suhu terbaik penggorengan keripik kentang yang dapat digunakan menurut Leipa (1976) adalah 157-190oC. Waktu terbaik yang dibutuhkan untuk menggoreng adalah 5 – 25 detik. Dan media penggorengan yang dapat digunakan adalah semua jenis minyak masak atau shortening.

Toft (1980) menyatakan, penggorengan dapat dilakukan pada kisaran suhu 160 – 210oC dengan waktu penggorengan selama 10 – 60 detik. Dengan demikian keseragaman warna dapat diperoleh karena setiap potongan adonan mengalami kontak dengan minyak goreng selama jangka waktu yang sama. Selanjutnya Woolfe (1993) menambahkan bahwa suhu penggorengan keripik ubi jalar yang optimum adalah diantara 143 - 177oC. Salah satu faktor yang berpengaruh dalam proses penggorengan adalah kadar air bahan yang akan digoreng. Selain itu Shallenberger et. al. (1959) dalam penelitiannya, menemukan bahwa warna keripik berkorelasi baik dengan kandungan gula pereduksi, berkorelasi cukup baik dengan total gula, dan berkorelasi buruk dengan sukrosa (gula non-pereduksi).


(37)

III.

METODOLOGI

A. BAHAN

Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah ubi jalar (Ipomoea batatas (L.) Ayamurasaki) dalam pembuatan tepung ubi ungu. Sedangkan untuk pembuatan chips ubi ungu, bahan baku yang digunakan adalah tepung ubi ungu, garam, air dan berbagai jenis tepung atau pati (pati jagung, pati singkong serta tepung beras).

Bahan yang akan dianalisis antara lain tepung ubi terpilih dan chips ubi ungu terpilih. Sedangkan bahan-bahan kimia yang dipakai untuk analisis adalah n-heksana, K2SO4, HgO, H2SO4 pekat, larutan H3BO3, larutan NaOH-Na2S2O3, air destilata, indikator metil merah dan methylene blue, larutan NaOH dan larutan H2SO4, larutan K2SO4, etanol, aseton, larutan HCl, KCl, Na-CH3COO, CH3COOH pekat, metanol, buffer potasium klorida pH 1, buffer sodium asetat pH 4.5, HCl pekat, dan.

B. ALAT

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian persiapan dan pembuatan tepung ubi ungu adalah timbangan, wadah plastik, pisau, alat pengupas ubi, panci, steamer, pengering kabinet, pin disc mill, ayakan 100 mesh. Sedangkan alat yang digunakan dalam formulasi dan pembuatan chips ubi ungu adalah sendok, mangkok, sarung tangan, rooler noodle machine, pisau, cetakan cookies, rumah kaca pengering, deep fat fryer, termometer, dan stopwatch.

Alat-alat yang digunakan untuk pengujian sifat kimia dan fisik adalah cawan aluminium, oven pengering, desikator, neraca analitik, cawan porselen, gegep, tanur, labu kjeldahl 30 ml, sudip, pipet mohr 1/2/5/10/25 ml, pipet tetes, botol akuades, lap, batu didih, tissue, gunting, penangas, alat destilasi, buret, erlenmeyer 250/300 ml, alat soxlet, kertas saring, kapas wool, labu lemak, kondensor, labu ukur 50/100/250/500/1000 ml bertutup, gelas pengaduk, pinset, inkubator, pH meter, crucible, gelas piala, sentrifuse, waring blender, tabung reaksi, tabung reaksi bertutup, gelas ukur, botol fial gelap, waterbath, spektrofotometer, corong, aluminium foil, cawan porcelain


(38)

penumbuk dan refrigerator. Alat-alat lain yang digunakan adalah alat-alat untuk uji organoleptik seperti piring kecil, sendok dan kertas label.

C. METODE PENELITIAN

Penelitianyang dilakukan terdiri atas dua tahap, yaitu tahap penelitian pendahuluan dan tahan penelitian utama. Tahap penelitian pendahuluan bertujuan untuk mendapatkan tepung ubi ungu dengan kriteria terbaik. Tahap penelitian utama bertujuan untuk mendapatkan formulasi terbaik dari chips berbahan baku tepungubi jalar ungu.

Penelitian pendahuluan terdiri dari persiapan dan optimasi bahan baku serta analisis proksimat tepung terpilih. Penelitian utama adalah formulasi pembuatan chips ubi jalar ungu dilakukan dengan trial and error. Disini terjadi penentuan rasio tepung ubi jalar dengan jumlah air dan bahan lainnya yang ditambahkan, formulasi lanjutan untuk memperbaiki formula awal terpilih, analisis organoleptik untuk menentukan chips ubi jalar terpilih serta analisis kimia dari chips ubi jalar ungu yang terpilih.

1. Penelitian Pendahuluan a. Persiapan bahan baku

Tahapan persiapan ini meliputi penentuan jenis dan spesifikasi ubi jalar yang akan digunakan sebagai bahan baku pembuatan chips. Terdapat beberapa jenis ubi jalar dipasaran, dapat dibedakan dengan mudah berdasarkan warna umbinya, seperti putih, kuning, merah jingga, dan biru keunguan.

Pemilihan jenis ubi jalar didasarkan pada kemudahan pembuatan tepung, warna tepung yang dihasilkan, dan jenis ubi yang akan diangkat ke permukaan untuk lebih dikenal. Untuk penelitian kali ini digunakan ubi jalar dengan varietas Ayamurasaki, yang memiliki umbi dengan warna ungu pekat gelap.

b. Pembuatan tepung ubi ungu

Pada tahap ini dipelajari berbagai kondisi pembuatan tepung ubi jalar sehingga dihasilkan tepung dengan mutu baik, berkaitan


(39)

dengan kadar antosianin serta kestabilan warna dari produk yang dihasilkan. Proses pembuatan tepung ini diawali proses pengukusan pada suhu 100oC selama 7 menit (teknik 2 dan 4) dan 10 menit (teknik 1 dan 3). Dilanjutkan dengan pengeringan yang dilakukan dengan dua metode yaitu metode sinar matahari (teknik 3 dan 4) dan metode pengering kabinet (teknik 1 dan 2) pada suhu 55 - 60oC, selama 5 - 6 jam. Ubi jalar kering kemudian ditepungkan dengan meggunakan pin disc mill lalu disaring dengan ayakan ukuran 100 mesh. Diagram proses pembuatan tepung ubi jalar dapat dilihat pada Gambar5.

Teknik 1 = 10 menit kukus, oven Teknik 3 = 10 menit kukus, matahari Teknik 2 = 7 menit kukus, oven Teknik 4 = 7 menit kukus, matahari

Gambar 5. Diagram alir pembuatan tepung ubi jalar  Sinar Matahari

9 – 12 jam

10’ 5’

Ubi Jalar

Tepung Ubi Jalar Pengupasan

Pengecilan Ukuran

Penggilingan Pengirisan ketebalan 1 ± 0,5 cm

Pengukusan

Pengeringan

Pengayakan

Pengering Kabinet 55 – 60o C, 5 – 6 jam


(40)

2. Penelitian Utama

Penentuan formulasi produk dilakukan berdasarkan trial and error dengan disertai adanya studi pustaka. Adonan yang baik adalah adonan yang mudah diolah, relatif kalis, dan mudah dibentuk. Adonan ini kemudian diproses menjadi lembaran adonan dengan roller noodle machine ketebalan 0.1 - 0.15 cm dan kemudian dicetak dengan cetakan cookies berdiameter sekitar 2 cm. Dilanjutkan dengan pengeringan sehingga diperoleh chips kering lalu dilakukan penggorengan pada suhu 190oC selama 5 – 10 detik.

a. Formulasi awal 

Formulasi awal dilakukan dengan menentukan jumlah tepung ubi ungu yang digunakan serta dipelajari pula jumlah penambahan air yang paling sesuai untuk menghasilkan lembaran yang baik. Dilakukan pula penentuan penambahan bahan lainnya mengikuti komposisi bahan bakunya seperti garam, margarin, dan putih telur dengan acuan pembuatan keripik simulasi ubi jalar ungu berbahan dasar hancuran ubi jalar (Hadisetiawati, 2005).

Selain itu dilakukan pula penetapan teknik pengeringan yang terbaik, yaitu dengan oven pengering atau dengan penjemuran pada sinar matahari, untuk menghasilkan penampakan chips yang tebaik saat digoreng. Proses pembuatan chips ubi ungu dapat dilihat pada Gambar 6.

b. Formulasi lanjutan

Formulasi lanjutan dilakukan apabila ditemukan kekurangan pada produk terpilih dari formulasi awal. Namun apabila tidak ditemukan kekurangan pada produk tersebut, maka tahap ini tidak perlu dilakukan. Pada tahap ini dilakukan formulasi ulang untuk memperbaiki formulasi awal dengan disertai studi pustaka.

c. Uji organoleptik

Uji organoleptik pada penelitian kali ini ditujukan untuk pengujian hedonik (kesukaan) untuk menilai penerimaan dan kesukaan


(41)

konsumen terhadap produk chips dengan uji rating skala katagori. Uji organoleptik ini juga bertujuan untuk mengkarakterisasi formula-formula adonan dasar yang diperoleh secara organoleptik dan untuk mengetahui formula dasar yang terbaik. Kemudian akan dikarakterisasi lebih lanjut dengan adanya analisis karakter kimia dan fisik.

Sifat mutu yang diujikan adalah warna, tekstur (kerenyahan) dan penampakan minyak. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih sebanyak 30 orang panelis. Sampel disajikan secara acak lengkap pada seluruh panelis yang dilibatkan.

 

             

Gambar 6. Diagram alir pembuatan chips ubi ungu d. Analisis formulasi terpilih

Pada tahap ini dilakukan analisis proximat pada sampel tepung terpilih dan pada sampel chips terpilih. Selain itu pula dilakukan uji kadar antosianin yang masih tersisa pada produk akhir dan uji kandungan total dietary fiber yang tersisa, serta pengukuran warna dengan menggunakan chromameter

Chips Ubi Tepung ubi jalar ungu 

Bahan lainnya Air

Penggorengan 190oC selama 5-7 detik

Pengeringan dengan sinar matahari

Pencetakan

Penipisan dan Pembentukan Tekstur Pengadonan


(42)

D. METODE ANALISIS 1. Analisis Sifat Kimia

a. Kadar air, metode oven (AOAC, 1995)

Cawan kosong dikeringkan dengan oven selama 15 menit dan didinginkan dalam desikator, kemudian ditimbang. Sampel 4 – 5 gram dimasukan ke dalam cawan yang telah ditimbang dan selanjutnya dikeringkan di dalam oven bersuhu 100-105oC selama 6 jam. Cawan yang telah berisi contoh tersebut dipindahkan ke desikator, didinginkan, dan ditimbang. Pengeringan dilakukan kembali sampai diperoleh berat konstan. Kadar air dihitung berdasarkan kehilangan berat yaitu selisih berat awal dengan berat akhir. Penetapan kadar air berdasarkan perhitungan :

% a ba x %

% a bb x %

Dimana: a = berat bahan awal b = berat bahan akhir

b. Kadar abu, metode tanur (AOAC, 1995)

Pengukuran kadar abu ditentukan dengan menggunakan tanur. Cawan porselen dikeringkan dalam tanur bersuhu 600oC selama 15 menit, kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sebanyak 3–5 g sampel ditimbang dan dimasukkan dalam cawan porselen kemudian dipijarkan di atas bunsen sampai tidak berasap lagi. Selanjutnya dilakukan pengabuan di dalam tanur bersuhu 600oC selama 4–6 jam sampai semua terbentuk abu berwarna putih dan beratnya konstan. Cawan dan sampel kemudian didinginkan dalam desikator dan ditimbang segera setelah suhu ruang tercapai. Penetapan kadar abu berdasarkan perhitungan:

% berat sampel x berat abu % % berat sampel kering x berat abu %


(43)

c. Kadar protein, metode kjeldahl (AOAC, 1995)

Penentuan kadar protein dilakuan dengan metode Mikro-Kjeldahl. Sejumlah kecil sampel ditimbang (0,1 – 0,15 g), kemudian ditempatkan dalam labu Kjeldahl dan ditambahkan 1,9 ± 0,1 g K2SO4, 40 ± 10 mg HgO dan 2,0 ± 0.1 ml H2SO4. Ditambahkan pula beberapa batu didih. Sampel dididihkan selama 1 – 1.5 jam sampai cairan menjadi jernih.

Cairan yang dihasilkan didinginkan untuk kemudian ditambahkan 8 – 10 ml NaOH-Na2S2O3 dan dimasukkan ke alat destilasi. Di bawah kondensor alat destilasi diletakkan erlenmeyer yang berisi 5 ml larutan H3BO3 dan beberapa tetes indikator (campuran 2 bagian metil merah 0.2% dalam alkohol dan 1 bagian methylene blue 0.2% dalam alkohol). Ujung selang kondensor harus terendam dalam larutan tersebut untuk menampung hasil destilasi sekitar 50 ml. Hasil destilasi kemudian dititrasi oleh HCl 0.02M sampai terbentuk warna abu-abu. Prosedur yang sama juga dilakukan terhadap blanko (yang tidak mengandung sampel). Penetapan kadar protein berdasarkan perhitungan:

% a b x N HCl x 4. 7mg sampel x % % a b x N HCl x 4. 7mg sampel kering x %

Kadar Protein % % N x FK

Dimana: a = ml titrasi HCl pada sampel b = ml titrasi HCl pada blanko

FK = faktor konversi (6.25 untuk chips ubi jalar) d. Kadar lemak, metode soxhlet (AOAC, 1995)

Penentuan kadar lemak dilakukan berdasarkan metode ekstraksi soxhlet. Labu lemak yang akan digunakan dikeringkan dalam oven bersuhu 100 – 110oC, didinginkan dalam desikator dan ditimbang. Sampel ditimbang sebanyak 5 g dalam bentuk tepung,


(44)

dibungkus dengan kertas saring dan ditutup dengan kapas bebas lemak. Kertas saring berisi sampel dimasukkan ke dalam alat ekstraksi (soxhlet) yang telah berisi pelarut (heksana atau dietil eter) kemudian dirangkaikan dengan kondensor.

Refluks dilakukan selama lima jam (minimum) dan pelarut yang ada di dalam labu lemak didestilasi. Selanjutnya, labu lemak yang berisi lemak hasil ekstraksi dipanaskan dalam oven yang bersuhu 100oC sampai beratnya konstan, didinginkan dalam desikator, dan ditimbang. Penetapan kadar lemak berdasarkan perhitungan:

% berat sampel x berat lemak % % berat sampel kering x berat lemak % e. Kadar karbohidrat (AOAC, 1995)

Kadar karbohidrat sampel dihitung dengan mengurangi 100% kandungan gizi sampel dengan kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar serat dan kadar lemak. Nilainya dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut :

Kadar Karbohidrat % % ‐ Kadar Air Kadar Abu Kadar Protein Kadar Lemak

f. Nilai energi (Almatsier, 2002)

Perhitungan nilai energi makanan dapat dilakukan dengan menggunakan faktor Atwater menurut komposisi karbohidrat, lemak, protein serta nilai energi faal makanan tersebut.

Perhitungan :

Nilai energi faktor atwater x kandungan gizi bahan pangan

Energi kkal/ g 4 kkal/g x kadar karbohidrat 4 kkal/g x kadar protein 9 kkal/g x kadar lemak


(45)

g. Kadar serat kasar (AOAC, 1995)

Sampel digiling sampai halus sehingga dapat melewati saringan berdiameter 1mm. Sebanyak 2 g sampel ditimbang. Lemak dalam sampel sebelumnya diekstrak dengan menggunakan soxhlet dengan pelarut petroleum eter. Setelah bebas lemak, sampel dipindahkan secara kuantitatif ke dalam gelas piala 600 ml. Kemudian ke dalam larutan ditambah 200 ml larutan H2SO4 0.255N. Letakkan gelas piala di dalam pendingin balik (wadah harus dalam keadaan tertutup). Gelas piala didihkan selama 30 menit dengan sesekali digoyang-goyangkan. Tambahkan 200 ml larutan NaOH 0.625 N. Didihkan kembali sampel selama 30 menit dengan pendingin balik sambil sesekali digoyang-goyangkan.

Saring sampel melalui kertas saring yang telah diketahui beratnya sambil dicuci dengan K2SO4 10%. Cuci residu di kertas saring dengan air mendidih kemudian dengan alkohol 95%. Keringkan kertas saring dalam oven 110oC hingga tercapai berat konstan (1-2 jam). Setelah didinginkan dalam desikator, kertas saring ditimbang.

%bb W WW X %

%bk Kadar Serat Kasar %bbkadar air X % Keterangan:

W2 = berat residu dan kertas saring yang telah dikeringkan (g) W1 = kertas saring yag telah dikeringkan (g)

W = berat sampel yang dianalisis (g)

h. Penentuan Total Antosianin (Giusti dan Worlstad, 2001)

Sebanyak masing-masing 1 gr sampel dimasukkan ke dalam 2 buah tabung reaksi. Tabung reaksi pertama ditambah larutan buffer potasium klorida (0.025 M) pH 1 sebanyak 9 ml dan tabung reaksi kedua ditambahkan larutan buffer sodium asetat (0.4M) pH 4.5 sebanyak 9 ml. Pengaturan pH dalam pembuatan buffer potasium klorida menggunakan HCl pekat dan dalam pembuatan buffer sodium


(46)

asetat menggunakan CH3CHOOH pekat. Absorbansi dari kedua perlakuan pH diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 510 nm untuk larutan buffer potasium klorida dan untuk larutan buffer sodium asetat 700 nm setelah didiamkan 15 menit.

Nilai absorbansi sampel ekstrak dihitung dengan menggunakan persamaan:

.

Total antosianin dihitung sebagai sianidin-3-glikosida menggunakan koefisien ekstingsi molar sebesar 26900 L

/

mol cm dan berat molekul sebesar 449,2 g

/

mol. Total antosianin dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:

ɛ

dimana:

A = Absorbansi

ε

= Koefisien absorbtivitas (26900 L/molcm) b = Diameter kuvet (1 cm)

BM = Berat molekul Sianidin-3-Glikosida (449.2 g/mol) FP = Faktor pengenceran

Konsentrasi antosianin selanjutnya dinyatakan dalam mg CyE

/

g sampel (CyE = sianidin equivalen). Pada penelitian ini, kadar antosianin diukur pada chips ubi jalar ungu yang merupakan produk akhir.

2. Analisis Sifat Fisik

a. Penghitungan rendemen (Toledo, 1991)

Penghitungan rendemen tepung ubi jalar dihitung berdasarkan bobot awal ubi jalar beserta kulitnya setelah dibersihkan. Rendemen dihitung menggunakan rumus berikut:


(47)

b. Pengukuran warna (Faridah et al, 2009)

Pengukuran warna menggunakan Minolta Chromameter CR 300. Hasil pengukuran dinyatakan dalam sistem Hunter yang dicirikan dengan notasi L, a, dan b. Notasi L menyatakan parameter kecerahan yang memiliki nilai dari 0 (hitam) sampai 100 (putih), notasi a menyatakan warna kromatik campuran merah-hijau dengan nilai +a (dari 0 s/d 100) adalah merah dan –a (0 s/d -80) adalah hijau, sedangkan notasi b menyatakan warna kromatik campuran biru-kuning dengan nilai +b (0 s/d 70) adalah kuning dan nilai –b (0 s/d -70) adalah biru.

3. Uji Organoleptik (Meilgard, 1999)

Uji organoleptik pada chips ubi ungu adalah uji rating hedonik. Panelis diminta untuk menilai produk chips ubi ungu pada 7 skala hedonik. Penilaian panelis ditransformasikan menjadi skala numerik 1-7, di mana 1 = sangat tidak suka, 2 = tidak suka, 3 = agak tidak suka, 4 = netral, 5 = agak suka, 6 = suka, dan 7 = sangat suka.

Parameter yang digunakan dalam uji rating hedonik terhadap chips ubi ungu adalah penampakan minyak, tekstur (kerenyahan) dan warna. Panelis yang digunakan adalah panelis tidak terlatih yang berjumlah 30 orang, akan tetapi penggunaan panelis yang semakin banyak akan semakin baik. Sampel disajikan secara acak lengkap pada seluruh panelis yang dilibatkan. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan analisis sidik ragam (Analysis of Variance / ANOVA) untuk mengetahui ada tidaknya perbedaan, dan jika terdapat perbedaan, analisis dilanjutkan dengan uji Duncan’s Multiple Test.  


(48)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. PENELITIAN PENDAHULUAN 1. Persiapan Bahan Baku

Ubi jalar yang digunakan sebagai bahan baku pembuatan tepung ubi ungu pada penelitian kali ini adalah ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki. Varietas ini diperoleh berdasarkan kerjasama dengan koperasi setempat di daerah Ciampea, Bogor. Koperasi tersebut telah dibimbing untuk menanam ubi jalar ungu ini, dimulai dari pembibitan, pemanenan hingga pengolahan menjadi produk akhir, salah satunya tepung ubi jalar ungu.

Pemilihan jenis ubi jalar ungu varietas Ayamurasaki sebagai bahan baku utama pada penelitian ini dikarenakan jenis ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan jenis ubi jalar lainnya. Ubi jalar jenis ini memiliki kandungan antosianin yang cukup tinggi yaitu sekitar 923,65 mg

/

100g ubi segar (Widjarnako, 2008). Antosianin ini berfungsi sebagai radical scavenging, antimutagenik, hepato-protective, anti hipertensi, dan anti hiperglisemik (Suda et al., 2003).

Selain itu, warna daging umbi yang berwarna ungu ini diharapkan dapat menghasilkan tepung dan produk akhir dengan atribut warna alami yang lebih menarik dibandingkan dengan produk lainnya yang sejenis di pasaran. Alasan lain yang mendukung pengunaan ubi jalar jenis ini adalah karena jenis ubi ini masih cukup baru dan belum dikenal secara luas baik umbi segarnya maupun produk olahannya. Oleh karena itu, ubi jenis ini membutuhkan usaha pengembangan di bidang pengolahan produk antara yang lebih baik maupun di produk akhir, sehingga penerimaan konsumen dapat ditingkatkan.

Ubi jalar ungu yang digunakan pada percobaan ini memiliki warna kulit gelap keunguan dengan klasifikasi ukuran medium sehingga memudahkan dalam proses pengupasan dan pemotongan. Ubi yang digunakan pada penelitian kali ini dapat dilihat pada Gambar 7. Selain itu


(49)

ubi jalar ini harus bebas dari penyakit yang akan menyebabkan rasa pahit dan menurunkan kadar antosianin pada produk akhir.

Gambar 7. Ubi ungu var. Ayamurasaki

Kumbang Cylas formicarius F. merupakan hama utama pada ubi jalar di dunia, baik di daerah tropika maupun subtropika. Hama ini dikenal juga dengan sebutan hama lanas. Di Indonesia, hama ini terdapat di semua daerah penghasil ubi (Supriyatin, 2001). Hama ini dapat merusak umbi di lapangan maupun pada saat penyimpanan. Kerusakan yang ditimbulkan ditandai dengna adanya lubang-lubang kecil pada umbi dan mengeluarkan bau tidak sedap yang khas.

Larva Cylas formicarius F. merusak umbi dengan menggerek, membuat lorong-lorong dan sisa gerekan ditumbuk di sekitar lubang gerekan dalam umbi. Bagian umbi yang rusak karena serangan hama lanas sering disebut sebagai bagian yang boleng. Ubi yang terserang hama lanas dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Umbi yang terkena boleng

Tidak ada perbedaan dalam penampakan antara ubi ungu atau ubi putih yang terserang hama ini, hanya saja penggunaan ubi putih sebagai contoh untuk memperjelas bagian yang telah terkena hama boleng. Umbi yang rusak akibat serangan hama kumbang penggerek Cylas formicarius


(50)

akan menghasilkan phtoalexin dalam bentuk senyawa sesquiterpen yang rasanya pahit (Palaniswami dan Chattopadhyays, 2003) sehingga tidak dapat dikonsumsi dan dikhawatirkan berbahaya bagi kesehatan.

2. Pembuatan Tepung Ubi Ungu

Tepung ubi jalar ungu dapat dibuat dengan berbagai teknik pengolahan baik tanpa modifikasi sesuai dengan pembuatan tepung pada umumnya maupun dengan modifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan. Pada penelitian kali ini dilakukan pemilihan metode pembuatan berdasarkan modifikasi pada perlakuan yang dibutuhkan. Modifikasi yang diberikan adalah modifikasi sifat fisik melalui perlakuan pemasakan awal dan perlakuan pengeringan.

Tepung ubi ungu dari varietas Ayamurasaki yang telah berhasil diproduksi dan dijual ke pasaran ternyata memiliki warna yang kemerahan dan aroma yang agak asam. Aroma yang agak asam ini menunjukkan terjadinya proses fermentasi, yang terjadi selama proses pembuatan. Proses fermentasi akan menurunkan pH, pH yang rendah akan merubah warna ungu menjadi warna merah. Suda et al. (2003) menyatakan bahwa antosianin ubi jalar ungu akan berwarna merah pada kondisi pH asam, ungu pada kondisi pH netral, dan berwarna biru pada kondisi pH basa (Suda et al., 2003).

Terjadi penurunan tingkat preferensi masyarakat karena warna tepung ubi ungu yang dihasilkan ternyata tidak berwarna ungu, meskipun setelah direhidrasi akan kembali berwarna ungu. Oleh karena itu, dilakukan modifikasi dalam proses pembuatan tepung ubi ungu ini sehingga diperoleh warna tepung yang benar-benar ungu. Perlakuan pemasakan awal diharapkan dapat memfiksasi komponen-komponen ubi termasuk warna sehingga memiliki kestabilan yang lebih baik selama proses pembuatan tepung selanjutnya.

Pembuatan tepung ubi jalar meliputi pembersihan, pengupasan, perendaman, pengirisan, pengukusan dengan menggunakan steamer, penghancuran (penyawutan) dan pengeringan sampai ubi yang telah disawut dapat dipatahkan. Pengolahan ubi jalar menjadi tepung diawali


(1)

Lampiran 9.Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik tekstur (kerenyahan)

chips ubi jalar ungu

Post Hoc Tests

SAMPEL

Homogeneous Subsets

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SCORE

179.905a 35 5.140 3.841 .000

5091.219 1 5091.219 3804.048 .000

47.981 6 7.997 5.975 .000

131.924 29 4.549 3.399 .000

232.876 174 1.338

5504.000 210 412.781 209 Source

Corrected Model Intercept SAMPEL PANELIS Error Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .436 (Adjusted R Squared = .322) a.

SCORE

Duncana,b

30 4.23

30 4.47

30 4.53 4.53

30 5.10 5.10

30 5.17

30 5.33

30 5.63

.348 .059 .105

SAMPEL 2 3 1 4 7 5 6 Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = 1.338. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.


(2)

Lampiran 10. Data uji organoleptik warna chips ubi jalar ungu

Panelis U M5 B5 T5 M10 B10 T10

1. 4 4 5 5 6 5 4

2. 4 6 6 5 6 5 3

3. 4 6 4 6 5 6 6

4. 4 3 2 9 6 5 6

5. 4 4 6 4 4 5 5

6. 4 6 6 6 6 6 6

7. 4 4 5 6 5 6 6

8. 4 2 2 6 5 5 4

9. 4 3 5 4 6 5 5

10. 4 4 4 4 6 5 4

11. 4 6 6 6 6 5 6

12. 4 6 5 6 5 5 2

13. 4 5 5 5 6 5 5

14. 4 2 5 5 5 6 2

15. 4 3 4 5 5 5 3

16. 4 4 6 6 6 5 4

17. 3 6 6 6 6 5 4

18. 3 4 4 5 6 6 4

19. 4 6 6 6 6 5 3

20. 4 2 6 6 5 5 5

21. 4 5 5 5 6 5 4

22. 4 7 6 3 5 6 6

23. 4 6 7 6 6 5 7

24. 4 5 6 5 6 5 5

25. 3 3 5 4 6 6 5

26. 4 6 6 5 6 5 6

27. 6 6 6 6 6 6 6

28. 5 5 6 6 6 5 5

29. 3 6 6 5 7 6 5

30. 3 3 6 5 5 5 3


(3)

Lampiran 11.Hasil uji ANOVA dan Duncan organoleptik warna chips ubi jalar ungu

Post Hoc Tests

SAMPEL

Homogeneous Subsets

Tests of Between-Subjects Effects

Dependent Variable: SCORE

114.452a 35 3.270 3.750 .000

5120.805 1 5120.805 5871.908 .000

55.624 29 1.918 2.199 .001

58.829 6 9.805 11.243 .000

151.743 174 .872

5387.000 210 266.195 209 Source

Corrected Model Intercept PANELIS SAMPEL Error Total

Corrected Total

Type III Sum

of Squares df Mean Square F Sig.

R Squared = .430 (Adjusted R Squared = .315) a.

SCORE

Duncana,b

30 3.93

30 4.60

30 4.63

30 5.23

30 5.30

30 5.30

30 5.57

1.000 .890 .213

SAMPEL 1 2 7 3 4 6 5 Sig.

N 1 2 3

Subset

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. Based on Type III Sum of Squares

The error term is Mean Square(Error) = .872. Uses Harmonic Mean Sample Size = 30.000. a.

Alpha = .05. b.


(4)

Lampiran 12. Analisis proksimat chips ubi jalar terpilih

Keterangan Ulangan Nilai (%bb) Rerata SD RSD analisis

RSD hitung

Kadar air 1 2.86 3.07 0.29 9.5249 3.3791

2 3.27

Kadar abu 1 2.02 2.18 0.22 10.2411 3.5566

2 2.34

Kadar lemak 1 13.01 12.42 0.86 6.9326 2.7377

2 11.82

Kadar protein 1 3.04 3.14 0.13 4.2348 3.3678

2 3.23

Kadar karbohidrat 1 79.07 79.20 0.19 0.2410 2.0714

2 79.34

Serat Kasar 1 3.26 3.10 0.24 7.7101 3.3741

2 2.93

Nilai Kalori

kkal/ g 4 kkal/g x kadar karbohidrat 4 kkal/g x

kadar protein 9 kkal/g x kadar lemak 4 kkal/g x 79. g 4 kkal/g x . 4 g 9

kkal/g x .4 g

. kkal . kkal .7 kkal


(5)

Lampiran 13. Hasil analisis antosianin tepung ubi ungu bahan baku

Ulangan

pH 1 pH 4,5

A

Total antocyanin

(mg CyE/L)

Rerata Total antocyanin

(mg CyE/L)

Rerata Total antocyanin

(mg CyE/L)

SD RSD

analisis

RSD hitung

A510 A700 A510-700 A510 A700 A510-700

1

1 0.955 0.084 0.871 0.332 0.101 0.231 0.640 3206.1859

3206.1859

3233.7390 38.9660 1.2050 1.6761 0.955 0.084 0.871 0.332 0.100 0.232 0.639 3201.1982

2 0.955 0.083 0.872 0.332 0.101 0.231 0.641 3211.1955 0.955 0.084 0.871 0.332 0.101 0.231 0.640 3206.1859

2

1 0.975 0.098 0.877 0.335 0.104 0.231 0.646 3236.2439

3261.2922 0.975 0.097 0.878 0.333 0.104 0.229 0.649 3251.2729

2 0.980 0.097 0.883 0.333 0.104 0.229 0.654 3276.3212 0.980 0.097 0.883 0.333 0.105 0.228 0.655 3281.3308

Lampiran 14. Hasil analisis antosianin chips ubi ungu

Ulangan

pH 1 pH 4,5

A

Total antocyanin

(mg CyE/L)

Rerata Total antocyanin

(mg CyE/L)

Rerata Total antocyanin

(mg CyE/L)

SD RSD

analisis

RSD hitung

A510 A700 A510-700 A510 A700 A510-700


(6)

Lampiran 15. Analisis warna tepung ubi ungu bahan baku dengan chromameter

Ulangan L a b Hue

tan-1 (b/a)

1

1 42.19 12.63 -2.42 349.2

42.21 12.62 -2.43 349.1

2 42.22 12.6 -2.42 349.2

42.23 12.57 -2.41 349.2

2

1 41.96 13.45 -3.33 346.2

41.96 13.46 -3.34 346.2

2 42.21 12.62 -2.43 349.1

42.22 12.60 -2.42 349.2

Rata-Rata 42.15 12.82 -2.65 348.42

Lampiran 16. Analisis warna chips ubi ungu dengan chromameter

Ulangan L a b Hue

tan-1 (b/a)

1

35.45 12.71 -1.83 351.90 35.46 12.69 -1.81 351.90 35.45 12.71 -1.84 351.80

2

36.66 13.93 -2.20 351.10 36.66 13.93 -2.19 351.20 36.67 13.95 -2.20 351.10 Rata-Rata 36.06 13.32 -2.01 351.50