VII. ANALISIS EFISIENSI PRODUKSI USAHA PEMBESARAN LELE
DUMBO DI CV JUMBO BINTANG LESTARI
Tingkat efisiensi ekonomi dari faktor-faktor produksi dapat dilihat dari besarnya rasio Nilai Produk Marjinal NPM dengan Biaya Korbanan Marjinal
BKM per periode pembesaran. Faktor-faktor produksi yang dapat dianalisis adalah faktor-faktor produksi yang bersifat fisik dan yang dapat dinilai dengan
rupiah. Penggunaan faktor produksi yang optimal dan telah mencapai keuntungan yang maksimum yaitu ketika rasio antara NPM dan BKM sama dengan satu. Pada
kondisi tersebut usaha pembesaran lele dumbo dapat dikatakan telah efisien secara ekonomi. Rasio NPM dan BKM usaha pembesaran lele dumbo untuk masing-
masing faktor produksi dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Rasio Nilai Produk Marjinal NPM dengan Biaya Korbanan Marjinal BKM Usaha Pembesaran Lele Dumbo di CV Jumbo
Bintang Lestari
Variabel Pengunaan
Rata-rata Aktual
Koefisien Regresi
NPM BKM
NPM BKM
Pengunaan Input
Optimal
Padat Penebaran ekorm
2
272 0,210769
206,456 243
0,850 231
Pakan Pelet kgm
2
20,398 0,116729
1.524,925 6.400
0,238 4,860
Pakan Tambahan kgm
2
5,952 0,031643
1.416,720 1.625
0,872 5,189
Pupuk ltrm
2
0,002 0,104888
12.406.325,493 120.000
103,386 0,233
Probiotik kgm
2
0,002 0,099862
12.948.334,098 151.000
85,751 0,176
Kapur kgm
2
0,132 0,100986
203.926,477 400
509,816 67,276
Produksi Rata-rata kgm
2
24,007 Harga Output kg
11.100
Sumber: Data Primer, diolah 2010
Tabel 7 menunjukkan penggunaan faktor-faktor produksi aktual dan rasio Nilai Produk Marjinal NPM dengan Biaya Korbanan Marjinal BKM pada
usaha pembesaran lele dumbo yang menunjukkan bahwa penggunaan faktor- faktor produksi dalam usaha pembesaran lele dumbo di CV Jumbo Bintang
Lestari tidak efisien secara ekonomi. Hal ini dikarenakan nilai-nilai rasio NPM terhadap BKM tidak ada yang sama dengan satu. Rasio ini juga berarti bahwa
79 penggunaan faktor-faktor produksi pada usaha pembesaran lele dumbo belum
optimal pada suatu hasil produksi. Padat penebaran mempunyai nilai produk marjinal sebesar Rp
206,456ekor. Biaya korbanan marjinal padat penebaran adalah Rp 243ekor. Nilai NPM tersebut memiliki arti bahwa setiap penambahan padat penebaran sebanyak
1 ekorm
2
akan meningkatkan penerimaan sebanyak Rp 206,456. Adapun rasio antara NPM dan BKM dari padat penebaran adalah 0,850 1, berarti bahwa
padat penebaran belum efisien dalam penggunaannya. Dengan demikian, untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi padat penebaran harus dikurangi
hingga mencapai 231 ekorm
2
. Hal ini didukung oleh pernyataan Mahyuddin
2008 yang mengatakan bahwa padat penebaran tidak boleh terlalu tinggi untuk mengurangi tingkat kematian lele. Apabila populasi atau padat penebaran terlalu
padat, lele akan rentan terserang berbagai macam penyakit. Selain itu, padat penebaran yang terlalu tinggi juga akan menyebabkan terjadinya persaingan
dalam memperebutkan makanan dan melemahkan kondisi tubuh lele. Berdasarkan
informasi yang diperoleh dari hasil wawancara diketahui bahwa penggunaan yang berlebihan dikarenakan pembudidaya kurang mengontrol perhitungan padat
penebaran tiap kolam sehingga padat penebaran tiap kolam menjadi berbeda-beda yaitu antara 174-433 ekorm
2
. Nilai produk marjinal untuk pakan pelet adalah Rp 1.524,925kg dan biaya
korbanan marjinalnya sebesar Rp 6.400kg. Nilai NPM tersebut berarti bahwa setiap penambahan pakan pelet sebanyak satu kilogram akan meningkatkan
penerimaan pembudidaya sebesar Rp 1.524,925. Rasio NPM dan BKM pakan pelet adalah 0,238 1, berarti bahwa penggunaan pakan pelet belum efisien.
80 Untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi maka penggunaan aktual pakan
pelet perlu dikurangi hingga mencapai 4,860 kgm
2
. Menurut Mahyuddin 2008 penentuan jumlah pakan pelet per hari untuk
lele dumbo dapat dihitung berdasarkan bobot total benih dan umur tebar. Misalkan bobot total benih lele yang memiliki padat tebar 5.250 ekor adalah 157,5
kg 30 grekor. Kebutuhan pakan per hari pada tahap awal 5 x 157,5 kg = 7,9 kg. Setelah 10 hari masa pemeliharaan, dimisalkan lele mengalami kenaikan rata-
rata 15 grekor dicari dengan metode sampling, maka bobot total lele menjadi 45 grekor x 5.2501000 = 236 kg. Sehingga diperoleh kebutuhan pakan per hari
menjadi 5 x 236 kg = 11,8 kg dengan asumsi persentase pakan 5. Begitu seterusnya, setiap periode 10 hari sekali dilakukan penimbangan ulang bobot lele
secara sampling. Namun menjelang panen 2 minggu sebelum panen, persentase pakan diturunkan menjadi 2-3. Berdasarkan metode tersebut diperoleh hasil
bahwa rata-rata penggunaan pakan pelet pada satu periode pembesaran adalah 32,601 kgm
2
. Dari hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa berdasarkan perhitungan dengan menggunakan metode perhitungan bobot total benih dan
umur tebar, penggunaan pakan pelet di CV Jumbo Bintang Lestari sebaiknya perlu ditambah dari 20,398 kgm
2
menjadi 32,601 kgm
2
. Namun Mahyuddin 2008 menambahkan bahwa penggunaan pakan pelet dapat dinaikkan atau
diturunkan sesuai nafsu makan lele. Pakan tambahan mempunyai nilai produk marjinal sebesar Rp
1.416,720kg dan biaya korbanan marjinalnya adalah Rp 1.625kg. Nilai NPM ini berarti bahwa penambahan satu kilogram pakan tambahan akan meningkatkan
penerimaan pembudidaya sebesar Rp 1.416,720. Rasio NPM dan BKM pakan
81 tambahan adalah 0,872 1 yang artinya penggunaan pakan tambahan belum
efisien. Untuk menjadi efisien maka penggunaan aktual pakan tambahan harus dikurangi hingga mencapai 5,189 kgm
2
. Penggunaan pakan tambahan dapat dikurangi jika penggunaan pakan pelet sudah efisien. Sebab, pakan tambahan
merupakan pakan sampingan yang digunakan oleh CV Jumbo Bintang Lestari. Pakan tambahan tersebut adalah limbah dari peternakan bangkai ayam dan telur
dan limbah dari pabrik makanan sisa sosis. Jumlah pakan tambahan yang digunakan tidak teratur sebab pakan tambahan hanya digunakan jika ada limbah
peternakan atau limbah pabrik makanan yang dijual kepada CV Jumbo Bintang Lestari. Akan tetapi, karena penggunaan pakan pelet sebagai pakan utama pun
masih kurang, maka pakan tambahan sebaiknya perlu ditambahkan. Nilai produk marjinal untuk pupuk adalah Rp 12.406.325,493liter dan
biaya korbanan marjinalnya sebesar Rp 120.000liter. Nilai NPM ini berarti bahwa setiap penambahan pupuk sebanyak satu liter akan meningkatkan
penerimaan pembudidaya sebesar Rp 12.406.325,493. Rasio NPM dan BKM pupuk adalah 103,386 1, berarti bahwa penggunaan pupuk belum efisien.
Untuk mencapai kondisi efisien maka penggunaan aktual pupuk perlu ditambah hingga mencapai 0,233 literm
2
. Namun, berdasarkan dosis pupuk yang boleh digunakan, maka secara aktual untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi,
penggunaan pupuk sebaiknya adalah 0,002 literm
2
. Menurut Darseno 2010 penggunaan pupuk pabrikan urea dan TSP tidak boleh berlebihan, sebab
kandungan utama yang dimiliki oleh pupuk urea adalah nitrogen. Sedangkan air kolam yang kotor sudah mengandung nitrogen. Kadar nitrogen yang berlebihan
justru akan menambah tingkat keasaman air.
82 Probiotik mempunyai nilai produk marjinal sebesar Rp 12.948.334,098kg
dan biaya korbanan marjinalnya adalah Rp 151.000kg. Nilai NPM ini berarti bahwa penambahan satu kilogram probiotik akan meningkatkan penerimaan
pembudidaya sebesar Rp 12.948.334,098. Rasio NPM dan BKM probiotik adalah 85,751 1 yang artinya penggunaan probiotik belum efisien. Untuk menjadi
efisien maka penggunaan aktual probiotik harus ditambah hingga mencapai 0,176 kgm
2
. Namun, sama halnya dengan penggunaan pupuk, berdasarkan dosis probiotik yang boleh digunakan, maka secara aktual untuk mencapai kondisi
efisiensi secara ekonomi, penggunaan probiotik sebaiknya adalah 0,002 kgm
2
. Kapur mempunyai nilai produk marjinal sebesar Rp 203.926,477kg dan
biaya korbanan marjinalnya adalah Rp 400kg. Nilai NPM ini berarti bahwa penambahan satu kilogram kapur akan meningkatkan penerimaan pembudidaya
sebesar Rp 203.926,477. Rasio NPM dan BKM kapur adalah 509,816 1 yang artinya penggunaan kapur belum efisien. Untuk menjadi efisien maka penggunaan
aktual kapur harus ditambah hingga mencapai 67,276 kgm
2
. Sama halnya dengan penggunaan pupuk dan probiotik, berdasarkan dosis kapur yang boleh digunakan,
maka secara aktual untuk mencapai kondisi efisiensi secara ekonomi, penggunaan probiotik sebaiknya adalah 0,132 kgm
2
. Akan tetapi dilihat dari kondisi di CV Jumbo Bintang Lestari, penggunaan rata-rata aktual kapur tergolong cukup tinggi
jika dibandingkan dengan dosis yang sebaiknya digunakan. Menurut Darseno 2010, penggunaan kapur sebaiknya adalah 0,006 kgm
2
atau disesuaikan dengan kadar keasaman pH tanah. Penggunaan rata-rata aktual kapur yang tinggi di CV
Jumbo Bintang Lestari disebabkan oleh tidak terkontrolnya penebaran kapur saat persiapan kolam dilakukan.
VIII. ANALISIS PENDAPATAN USAHA PEMBESARAN LELE