berdampak pada menurun harga jual kayu. Muslich dan Krisdianto 2006 menjelaskan bahwa batang kayu rakyat umumnya merupakan kayu muda
juvenile yang menghasilkan kayu dengan berat jenis rendah yang menyebabkan kayu kurang awet secara alami. Berbeda dengan kayu dari hutan alam yang
umumnya ditebang ketika sudah masak tebang sehingga kayu memiliki berat jenis dan kerapatan tinggi yang menyebabkan tingginya kualitas kayu.
4. Keterbatasan modal Sebanyak 17 dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang
menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena adanya keterbatasan modal yang dimiliki. Menurut beberapa responden meski
pengelolaan hutan rakyat ini cukup mudah dan tidak terlalu banyak biaya yang dikeluarkan akan tetapi keterbatasannya modal masih mereka rasakan karena
selama ini pendapatan yang diperoleh dari pekerjaan utama masih rendah sehingga untuk menutupi biaya pengembangan hutan rakyat ini masih dirasa
kurang mencukupi. Diperlukan adanya pemberian pinjaman modal kepada para petani hutan rakyat agar dapat mengembangkan usahanya lebih maksimal lagi.
5. Harga jual kayu yang cenderung murah Sebanyak 4 dari total jawaban yang ada menyatakan bahwa faktor yang
menghalangi responden untuk mengembangkan usaha hutan rakyat karena harga jual kayu yang cenderung murah. Harga jual kayu kerap ditentukan oleh para
pembeli tengkulak. Dalam hal ini petani kerap berada pada posisi yang lemah dalam menetapkan harga jual kayu terutama ketika petani menjual kayu dalam
keadaan terdesak.
5.4 Kondisi Umum Struktur Hutan Rakyat
Secara umum tegakan untuk jenis sengon dan jati yang terdapat di lokasi penelitian masih merupakan tegakan muda. Jumlah pohon sengon dan jati
rata-rata per ha pada tiap kelas diameter disajikan pada Tabel 11 dan 12. Berdasarkan Tabel 11 dan 12 diketahui bahwa sengon dan jati yang tumbuh di
dalam hutan rakyat tersebut didominasi oleh kelas pancang dan tiang.
Tabel 11 Jumlah pohon Sengon rata-rata per ha pada tiap kelas diameter
Desa Jumlah Sengon rata-rata per ha batangha pada setiap kelas diameter cm
10 11-15
16-20 21-25
26-30 31-35
36-40 40
Damarwulan 263
233 177
71 44
27 8
4 Clering
436 300
114 31
Suwawal 369
316 243
53
Tabel 12 Jumlah pohon Jati rata-rata per ha pada tiap kelas diameter
Desa Kerapatan Jati rata-rata per ha batangha pada setiap kelas diameter cm
10 11-15
16-20 21-25
Damarwulan 200
194 38
8 Clering
307 287
75 Suwawal
435 329
68
Kondisi tegakan hutan rakyat sengon yang ada di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal menggambarkan penurunan jumlah pohon per ha pada kelas
diameter yang semakin besar. Hal itu mungkin terjadi karena responden di Desa Damarwulan dan Clering melakukan penebangan pohon dengan sistem tebang
pilih. Sistem tebang pilih yang dilakukan responden yakni memilih pohon yang berdiameter lebih besar untuk ditebang terlebih dahulu. Namun sistem tebang
pilih yang dilakukan kurang memperhatikan waktu masak tebang pohon sehingga kualitas kayu dan pendapatan yang diperoleh responden dari kegiatan penebangan
tersebut kurang optimal. Kondisi tegakan yang ada di Desa Suwawal menunjukkan bahwa jumlah
pohon semakin menurun pada kelas diameter yang semakin besar. Hal itu mungkin terjadi karena kebanyakan responden baru menanam hutan rakyat
dengan tanaman sengon sekitar 3 tahun yang lalu. Kondisi tegakan untuk jenis jati yang ada di Desa Damarwulan, Clering, dan Suwawal juga menggambarkan
kondisi yang sama dengan tegakan untuk jenis Sengon, yakni mengalami penurunan jumlah pohon per ha pada kelas diameter yang semakin besar. Hal itu
terjadi karena kebanyakan responden yang ada di Desa Damarwulan dan Clering baru menanam tanaman jati sekitar 8 tahun yang lalu, akan tetapi ada beberapa
orang dari mereka yang memiliki tanaman jati lebih dari 10 tahun dalam jumlah yang sangat sedikit karena sisa warisan dari orangtua mereka dahulu. Pada Desa
Suwawal kebanyakan respondennya baru menanam tanaman jati sekitar 5 tahun yang lalu. Gambar 3 dan 4 memperlihatkan bahwa kelas diameter yang lebih kecil
memiliki jumlah pohon per ha yang lebih banyak dibandingkan dengan kelas diameter yang lebih besar.
Gambar 3 Hasil perhitungan jumlah pohon sengon per ha di setiap desa.
Gambar 4 Hasil perhitungan jumlah pohon jati per ha di setiap desa. Pada pengusahaan hutan rakyat di Desa Damarwulan, Clering dan
Suwawal, penentuan luas lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden berdasarkan umur tidak bisa ditentukan. Hal itu dikarenakan sebagian besar
sistem pembanguan hutan rakyat di lokasi penelitian dilakukan dengan sistem campuran dan agroforestry. Di Desa Clering, luas total lahan hutan rakyat yang
dimiliki responden dengan sistem monokultur yakni sebesar 4,74 ha atau sekitar 31 dari luas lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden di desa
tersebut. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati seluas 4,34 ha atau sekitar 92 dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan
rakyat monokultur untuk jenis jati yang ada di Desa Clering ini didominasi oleh umur 8 tahun. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon seluas 0,4 ha atau
sekitar 8 dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur
. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon yang ada di Desa Clering ini didominasi oleh umur 2 tahun
Pada pengusahaan hutan rakyat di Desa Suwawal seluas 4,69 ha atau 49 dari seluruh lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden dibangun
dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati seluas 3,32 ha atau sekitar 70 dari seluruh lahan hutan rakyat milik responden yang
dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati yang ada di Desa Suwawal ini didominasi oleh umur 5 tahun. Hutan rakyat
monokultur untuk jenis sengon seluas 1,37 ha atau sekitar 30 dari seluruh lahan
hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon yang ada di Desa Suwawal ini didominasi oleh umur 3 tahun
5.5 Pengelolaan Hutan Rakyat