dimiliki responden dengan sistem monokultur yakni sebesar 4,74 ha atau sekitar 31 dari luas lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden di desa
tersebut. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati seluas 4,34 ha atau sekitar 92 dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan
rakyat monokultur untuk jenis jati yang ada di Desa Clering ini didominasi oleh umur 8 tahun. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon seluas 0,4 ha atau
sekitar 8 dari seluruh lahan hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur
. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon yang ada di Desa Clering ini didominasi oleh umur 2 tahun
Pada pengusahaan hutan rakyat di Desa Suwawal seluas 4,69 ha atau 49 dari seluruh lahan hutan rakyat yang dimiliki oleh seluruh responden dibangun
dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati seluas 3,32 ha atau sekitar 70 dari seluruh lahan hutan rakyat milik responden yang
dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis jati yang ada di Desa Suwawal ini didominasi oleh umur 5 tahun. Hutan rakyat
monokultur untuk jenis sengon seluas 1,37 ha atau sekitar 30 dari seluruh lahan
hutan rakyat yang dibangun dengan sistem monokultur. Hutan rakyat monokultur untuk jenis sengon yang ada di Desa Suwawal ini didominasi oleh umur 3 tahun
5.5 Pengelolaan Hutan Rakyat
5.5.1 Penanaman
Teknik penanaman yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Damarwulan, Clering dan Suwawal masih alami. Penanaman dilakukan dengan cara membabat
semak belukar yang ada di sekitar lahan, kemudian tanah dicangkul untuk dijadikan sebagai lubang tanam. Kegiatan pembabatan semak belukar dan
pembuatan lubang tanam biasanya dilakukan masyarakat pada akhir musim kemarau. Kemudian setelah memasuki musim penghujan barulah bibit ditanam
pada lubang tanam yang telah disediakan. Sebelum bibit dimasukkan ke dalam lubang tanam, terlebih dahulu diberi pupuk kandang pada lubang tanam. Tanaman
yang tumbuh tidak dapat dipastikan jumlahnya pada setiap tahun sehingga menyebabkan kelas umur yang terbentuk tidak merata.
Selain teknik penanaman bibit yang berasal dari biji, masyarakat biasanya juga melakukan teknik penanaman dengan cara trubus Gambar 5. Teknik
penanaman secara trubus dilakukan dengan cara membiarkan tunas-tunas baru yang tumbuh pada tunggal sisa penebangan. Setelah penebangan maka pada
tunggak sisa tebangan akan muncul tunas-tunas baru. Teknik penanaman ini mempunyai keuntungan yaitu diperolehnya bibit baru dalam jumlah yang cukup
banyak dan cepat menghasilkan kayu. Kegiatan penanaman secara trubus dapat berlangsung selama lima kali periode penebangan. Kerugian yang diperoleh dari
teknik trubus ini yaitu kayu yang dihasilkan secara trubus mudah renggasmudah patah. Kekuatan kayu lebih rendah jika dibandingkan dengan kayu yang
dihasilkan dari pohon yang berasal dari biji. Harga kayu yang berasal dari trubusan mempunyai harga yang lebih rendah dari pohon yang dihasilkan dari biji.
Gambar 5 Teknik penanaman bibit dengan cara trubus.
5.5.2 Pola tanam
Jarak tanam yang dilakukan responden untuk menanam tanaman kehutanan seperti sengon yakni: 2 X 2 m, 2 Х 3 m, 2,5 Х 3 m, dan 3 Х 3 m. Jarak
tanam jati, yakni: 2 X 2 m, 2,5 Х 2,5 m, 2,5 Х 3 m, 3 Х 4 m, 2,5 Х 4 m. Namun tidak semua lahan tersebut terisi pohon sehingga kerapatannya menjadi rendah.
Jarak tanam untuk hutan kadang juga tidak beraturan sehingga pola penyebarannya jaraknya pun berbeda yakni rapat dan jarang.
5.5.3 Pemeliharaan