Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII
kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N. Nitrat akan mengalami beberapa
kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh
tanaman Robertson 1989. Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu
dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang
mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut Vitousek dan Matson 1985.
Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah. Definisi degradasi bersifat subyektif Lamb 1994, memiliki
pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian
masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh
baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi
dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo 1994 memberikan illustrasi
bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan.
Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya
dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi Lamb 1994. Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin
hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang
dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi
yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada
berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekwensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan
tersebut. Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman 1992 menyatakan bahwa
kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk
maupun jasa. Katagori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan katagori kedua berhubungan dengan degradasi tanah
insitu yang berupa degradasi kimia penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara dan atau fisika tanah pemadatan tanah Barrow 1991; Oldeman 1992.
Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh
menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian
proses alami atau akibat dari intervensi manusia Barrow 1991. Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan
organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi
melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik di dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada
kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia
dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapsitas pegang air, ketersediaan hara
tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas 0-30 kehilangan sekitar 20 – 60 dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami.
Terjadinya penurunan karbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat.
Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi
akibat penebangan hutan Lal 1995 adalah :
a. Perubahan struktur tanah seperti pemadatan tanah yang menyebabkan
penurunan daya retensi air, aerasi tanah buruk dan terhambatnya pertumbuhan akar.
b. Penurunan kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, dan terganggunya
siklus C dan N c.
Gangguan siklus hidrologi, bersama dengan deteriorasi struktur tanah menyebabkan erosi dan pencucian hara meningkat.
Pemadatan dilaporkan sebagai bentuk kerusakan fisik tanah yang berkaitan dengan lintasan alat-alat berat yang digunakan terutama dalam kegiatan
penyaradan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu sementara. Menurut Malmer 1993 berat isi tanah pada jalan sarad meningkat sebesar 5
pada kedalaman 5 cm dibanding hutan primer. Berdasarkan hasil kajian Greacen dan Sands 1980 dilaporkan bahwa pemadatan tanah menyebabkan menurunnya
aerasi tanah, infiltrasi air dan pertumbuhan akar tanaman. Dalam penebangan yang intensif di hutan tropika basah dataran rendah,
hanya sekitar 10 dari volume kayu yang dikeluarkan tergolong strata emergent dengan ukuran tajuk besar yang merusak strata pohon dibawahnya. Setelah
penebangan, terbentuk luasan kecil yang tediri dari tegakan sisa yang mencapai sekitar 35 dari luas areal penebangan, dan sekitar 55 dari luasan termasuk
katagori rusak Whitmore 1984 dalam Anderson dan Spancer 1991. Anderson dan spencer 1991 memperkirakan akibat praktek penebangan di Asia Tenggara
pada areal bekas tebangan sekitar 15-50 nya merupakan tanah terbuka bare soil. Kerusakan yang terjadi baik pada tanah maupun vegetasi berkaitan dengan
intensitas penebangan, seperti dilaporkan oleh Jonkers 1987 dalam Anderson dan Spencer 1991 bahwa dengan intensitas penebangan sebesar 15 m
3
ha terjadi kerusakan vegetasi sekitar 6 untuk diameter diatas 5 cm dibandingkan 13
untuk tebangan sebesar 46 m
3
ha. Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika,
peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown 1992 menyatakan bahwa dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan
sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam
menyatakan pertumbuhan tahunan berdasarkan interval waktu pengamatan terdiri tiga macam riap, yaitu :
a. Riap Tahunan Berjalan Current Annual Increament, CAI, yaitu riap yang diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran yang terkecil, biasanya satu
tahun. b. Riap Rata-Rata Tahunan Meant Annual Increament, MAI, yaitu besarnya
rata-rata tahunan yang sampai pada umur tertentu. c. Riap Periodik Tahunan Periodic Annual Increament, PAI, yaitu besarnya
rata-rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau
sepuluh tahun. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil growth
and yield pohon adalah faktor genetik Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar dan Matthias 2004; Na’iem dan Raharjo 2006, lingkungan atau tempat tumbuh
Fisher dan Binkey 2000; Kozlowky dan Pallardy 1997; Sukotjo 1995 dan tehnik silvikultur Coates dan Philip 1997; Halle et al.1978; Pasaribu 2008; Santosa et al.
2008. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon
adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditentukan oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis.
Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian kelerengan dan arah lereng.
Faktor bawaan dan genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan
tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali Danida dan Dephut 2001. Karakteristik genetik dalam suatu spesies
berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, Zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat Kozlowki dan Pallardi 1997;
Landsberg 1986. Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun
benih.
Menurut peratruran Menteri Kehutanan Nomor P.10Menhut-II2007 tanggal 13 maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan
kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah
sumber benih dengan pohon fenotif bagus dan mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan.
Kebun benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan
program pemuliaan pohon seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan
bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai
diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari
hama dan penyakit Hani’in 1999; Soekotjo 2009. Lal 1995 telah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar
kecilnya riap suatu tegakan, faktor itu adalah sebagai berikut: a. Tindakan silvikultur, Dalam hal ini tindakan silvikultur yang diutamakan
adalah penjarangan. Hal ini mengingatkan tindakan penjarangan merupakan tindakan silvikultur yang sangat penting dalam pemeliharaan hutan. Dari
penjarangan akan diperoleh dua keuntungan yaitu hasil kayu penjarangan dan hasil tegakan akhir yang baik. Masalah silvikultur ini akan berhubungan
dengan produksi kemudian hari. b. Jenis, Setiap jenis pohon mempunyai sifat pertumbuhan yang berbeda-beda.
Sebagian pohon mempunyai kecepatan tumbuh yang besar dan sebagian lagi cukup kecil. Pohon yang tumbuh lebih cepat akan mempunyai riap yang lebih
besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih kecil.
c. Kualitas tempat tumbuh, merupakan ukuran tingkat kesuburan tanah untuk dapat menunjukkan produktivitas tanah, guna menghasilkan volume kayu jenis
tertentu. Kualitas tempat tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan pohon. Pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang subur akan memberikan hasil yang
lebih besar dibandingkan dengan pohon yang tumbuh di tanah yang kurang subur.
Menurut Soekotjo 1995 variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, tehnik
silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul
hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar inherent growth rate. Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat
mempunyai riap yang berbeda reit of growth. Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai
contoh, penelitian pertumbuhan Meranti di hutan Semengoh Serawak
menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79 lebih besar dibandingkan Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Penanaman
Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalimantan Selatan.
Dengan demikian menurut Soekotjo 1995 informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap
bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda.
Menurut Dirjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009 pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan
dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50.
Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman Meranti Shorea spp pada jalur tanam sistem TPTII sebesar 1,67 cmth atau
13,33 m
3
hath. Sementara itu data lain menunjukan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatra Utara sebesar 1,32 cmth Ditjen Hut 1980 dan Shorea
leprosula, Shorea ovalis serta Shorea parvifolia sebesar 10 m
3
hath Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995.
Soekotjo 1995 yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh Serawak menyatakan bahwa Shorea pinanga umur
38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 – 1,24 cmth. Shorea splendica umur 35 tahun
yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cmth. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang
ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cmth. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo 1995
menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalimantan Barat lebih tinggi dibanding di Kalimantan Selatan dan sebaliknya Shorea stenoptera di
Kalimanatan Selatan tumbuh lebih baik dibanding di kalimantan Barat.