Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII

kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N. Nitrat akan mengalami beberapa kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman Robertson 1989. Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut Vitousek dan Matson 1985. Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah. Definisi degradasi bersifat subyektif Lamb 1994, memiliki pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo 1994 memberikan illustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi Lamb 1994. Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada berubahnya simpanan hara dan suplai hara bagi pertumbuhan pohon dan konsekwensinya untuk jangka panjang pada kelestarian penggunaan lahan tersebut. Kaitannya dengan kerusakan tanah, Oldeman 1992 menyatakan bahwa kerusakan tanah adalah suatu proses dimana telah terjadi penurunan kapasitas tanah baik saat ini maupun masa yang akan datang dalam memberikan produk maupun jasa. Katagori pertama degradasi tanah berkaitan dengan pemindahan material tanah sedangkan katagori kedua berhubungan dengan degradasi tanah insitu yang berupa degradasi kimia penurunan bahan organik tanah dan hilangnya hara dan atau fisika tanah pemadatan tanah Barrow 1991; Oldeman 1992. Kerusakan tanah didefinisikan sebagai proses atau fenomena penurunan kemampuan tanah dalam mendukung kehidupan tanaman yang dicirikan oleh menurunnya produktivitas tanah. Dengan demikian kerusakan tanah mencakup permasalahan penurunan rangking atau status lahan sebagai hasil dari rangkaian proses alami atau akibat dari intervensi manusia Barrow 1991. Salah satu bentuk kerusakan tanah adalah hilangnya atau menurunnya bahan organik yang lebih cepat dibandingkan penambahannya pada lapisan tanah atas. Ketidakseimbangan antara masukan bahan organik dengan hilangnya yang terjadi melalui dekomposisi berdampak pada penurunan kadar bahan organik di dalam tanah. Penurunan kandungan bahan organik tanah membawa dampak pada kelestarian jangka panjang oleh karena bahan organik memainkan peranan penting bagi pertumbuhan pohon melalui pengaruhnya terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Faktor-faktor tersebut dalam gilirannya akan berpengaruh terhadap struktur tanah, laju infiltrasi, kapsitas pegang air, ketersediaan hara tanaman dan laju mineralisasi. Pada tanah yang diolah, lapisan tanah atas 0-30 kehilangan sekitar 20 – 60 dari karbon yang terdapat pada vegetasi alami. Terjadinya penurunan karbon dalam tanah yang begitu cepat mewakili adanya proses dekomposisi fraksi aktif yang begitu cepat. Pengaruh yang merugikan dari kerusakan tanah ini telah menyebabkan menurunnya kualitas tanah dengan cepat. Bentuk kerusakan tanah yang terjadi akibat penebangan hutan Lal 1995 adalah : a. Perubahan struktur tanah seperti pemadatan tanah yang menyebabkan penurunan daya retensi air, aerasi tanah buruk dan terhambatnya pertumbuhan akar. b. Penurunan kualitas dan kuantitas bahan organik tanah, dan terganggunya siklus C dan N c. Gangguan siklus hidrologi, bersama dengan deteriorasi struktur tanah menyebabkan erosi dan pencucian hara meningkat. Pemadatan dilaporkan sebagai bentuk kerusakan fisik tanah yang berkaitan dengan lintasan alat-alat berat yang digunakan terutama dalam kegiatan penyaradan kayu dari lokasi penebangan ke tempat penampungan kayu sementara. Menurut Malmer 1993 berat isi tanah pada jalan sarad meningkat sebesar 5 pada kedalaman 5 cm dibanding hutan primer. Berdasarkan hasil kajian Greacen dan Sands 1980 dilaporkan bahwa pemadatan tanah menyebabkan menurunnya aerasi tanah, infiltrasi air dan pertumbuhan akar tanaman. Dalam penebangan yang intensif di hutan tropika basah dataran rendah, hanya sekitar 10 dari volume kayu yang dikeluarkan tergolong strata emergent dengan ukuran tajuk besar yang merusak strata pohon dibawahnya. Setelah penebangan, terbentuk luasan kecil yang tediri dari tegakan sisa yang mencapai sekitar 35 dari luas areal penebangan, dan sekitar 55 dari luasan termasuk katagori rusak Whitmore 1984 dalam Anderson dan Spancer 1991. Anderson dan spencer 1991 memperkirakan akibat praktek penebangan di Asia Tenggara pada areal bekas tebangan sekitar 15-50 nya merupakan tanah terbuka bare soil. Kerusakan yang terjadi baik pada tanah maupun vegetasi berkaitan dengan intensitas penebangan, seperti dilaporkan oleh Jonkers 1987 dalam Anderson dan Spencer 1991 bahwa dengan intensitas penebangan sebesar 15 m 3 ha terjadi kerusakan vegetasi sekitar 6 untuk diameter diatas 5 cm dibandingkan 13 untuk tebangan sebesar 46 m 3 ha. Dalam kaitannya dengan regenerasi setelah penebangan di hutan tropika, peranan gap atau rumpang sangat penting. Brown 1992 menyatakan bahwa dalam gap terjadi peningkatan yang cepat terhadap radiasi dan suhu dan sebaliknya terjadi penurunan terhadap kelembaban relatif. Selanjutnya terdapat perbedaan antara spesies yang tergolong pioneer dan bukan pioneer dalam menyatakan pertumbuhan tahunan berdasarkan interval waktu pengamatan terdiri tiga macam riap, yaitu : a. Riap Tahunan Berjalan Current Annual Increament, CAI, yaitu riap yang diukur untuk setiap satuan waktu pengukuran yang terkecil, biasanya satu tahun. b. Riap Rata-Rata Tahunan Meant Annual Increament, MAI, yaitu besarnya rata-rata tahunan yang sampai pada umur tertentu. c. Riap Periodik Tahunan Periodic Annual Increament, PAI, yaitu besarnya rata-rata tahunan yang terjadi selama periode waktu tertentu diantara dua kali pengukuran kebanyakan periode yang digunakan adalah interval lima atau sepuluh tahun. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil growth and yield pohon adalah faktor genetik Finkeldey 1989; Hani’in 1999; Kumar dan Matthias 2004; Na’iem dan Raharjo 2006, lingkungan atau tempat tumbuh Fisher dan Binkey 2000; Kozlowky dan Pallardy 1997; Sukotjo 1995 dan tehnik silvikultur Coates dan Philip 1997; Halle et al.1978; Pasaribu 2008; Santosa et al. 2008. Faktor lingkungan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan hasil pohon adalah iklim dan tanah. Faktor iklim banyak ditentukan oleh curah hujan, intensitas cahaya, suhu, kelembaban, kecepatan angin dan letak geografis. Sedangkan faktor tanah banyak dipengaruhi oleh sifat kimia, fisika dan biologi tanah serta ketinggian kelerengan dan arah lereng. Faktor bawaan dan genetik pohon memegang peranan cukup penting dalam mengontrol pertumbuhan pohon. Penggunaan bibit unggul hasil pemuliaan tanaman diperkirakan dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil hingga 2-4 kali Danida dan Dephut 2001. Karakteristik genetik dalam suatu spesies berhubungan erat dengan perilaku sel, arsitektur pohon dan akar, hormon, Zat pengatur tumbuh dan tingkat pembentukan serat Kozlowki dan Pallardi 1997; Landsberg 1986. Upaya untuk meningkatkan kualitas genetik benih dan bibit tanaman hutan hingga saat ini masih mengandalkan pada tegakan benih dan kebun benih. Menurut peratruran Menteri Kehutanan Nomor P.10Menhut-II2007 tanggal 13 maret 2007, tegakan benih teridentifikasi adalah sumber benih dengan kualitas rata-rata yang digunakan untuk menghasilkan benih dan lokasinya dapat diidentifikasikan dengan tepat. Sedangkan tegakan benih terseleksi adalah sumber benih dengan pohon fenotif bagus dan mempunyai sifat penting antara lain batang lurus, tidak cacat dan percabangan ringan. Kebun benih yang telah dikelola dengan baik serta mempunyai sekat isolasi yang memisahkan dengan tegakan lain dapat menjadi kebun benih. Dengan program pemuliaan pohon seperti ini diharapkan kualitas tegakan hutan akan semakin meningkat melalui kegiatan penanaman dan pengayaan menggunakan bibit unggul yang dilakukan setiap tahun. Pemilihan pohon induk dalam tegakan benih menggunakan kriteria antara lain sebagai pohon peninggi, mempunyai diameter paling besar diantara yang lain, bebas cabang yang tinggi, bentuk batang lurus dan silindris, bentuk tajuk silindris dan seimbang, riap tinggi dan bebas dari hama dan penyakit Hani’in 1999; Soekotjo 2009. Lal 1995 telah menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi besar kecilnya riap suatu tegakan, faktor itu adalah sebagai berikut: a. Tindakan silvikultur, Dalam hal ini tindakan silvikultur yang diutamakan adalah penjarangan. Hal ini mengingatkan tindakan penjarangan merupakan tindakan silvikultur yang sangat penting dalam pemeliharaan hutan. Dari penjarangan akan diperoleh dua keuntungan yaitu hasil kayu penjarangan dan hasil tegakan akhir yang baik. Masalah silvikultur ini akan berhubungan dengan produksi kemudian hari. b. Jenis, Setiap jenis pohon mempunyai sifat pertumbuhan yang berbeda-beda. Sebagian pohon mempunyai kecepatan tumbuh yang besar dan sebagian lagi cukup kecil. Pohon yang tumbuh lebih cepat akan mempunyai riap yang lebih besar dibandingkan dengan pohon-pohon yang mempunyai kecepatan tumbuh yang lebih kecil. c. Kualitas tempat tumbuh, merupakan ukuran tingkat kesuburan tanah untuk dapat menunjukkan produktivitas tanah, guna menghasilkan volume kayu jenis tertentu. Kualitas tempat tumbuh akan mempengaruhi pertumbuhan pohon. Pohon-pohon yang tumbuh pada tanah yang subur akan memberikan hasil yang lebih besar dibandingkan dengan pohon yang tumbuh di tanah yang kurang subur. Menurut Soekotjo 1995 variabel yang mempengaruhi riap tanaman adalah jenis, sumber benih, jenis yang dimuliakan, manipulasi atribut lingkungan, tehnik silvikultur yang dipakai serta kelas diameter. Pemilihan jenis yang tepat untuk tujuan budidaya sangat berpengaruh terhadap nilai yang dihasilkan. Jenis unggul hasil pemuliaan pohon mempunyai riap yang lebih besar inherent growth rate. Pada kelas diameter yang berbeda, meskipun pada pohon yang sama, dapat mempunyai riap yang berbeda reit of growth. Pada lokasi yang berbeda, meskipun jenisnya sama, dapat mempunyai riap yang berbeda pula. Sebagai contoh, penelitian pertumbuhan Meranti di hutan Semengoh Serawak menunjukkan bahwa Shorea stenoptera mempunyai riap 79 lebih besar dibandingkan Shorea pinanga pada kondisi lingkungan yang sama. Penanaman Shorea macrophylla di Kalbar menunjukkan riap yang lebih besar dibandingkan penanaman di Kalimantan Selatan. Dengan demikian menurut Soekotjo 1995 informasi tentang riap harus dilengkapi dengan data inherent growth dan reit of growth dan informasi data riap bersifat spesifik untuk setiap tempat tumbuh sehingga tidak dapat digunakan untuk memprediksi riap tanaman sejenis pada tempat yang berbeda. Menurut Dirjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009 pengelolaan hutan menggunakan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m3ha setelah 30 tahun dari pohon berdiameter 50. Asumsi tersebut menyatakan bahwa MAI diameter tanaman Meranti Shorea spp pada jalur tanam sistem TPTII sebesar 1,67 cmth atau 13,33 m 3 hath. Sementara itu data lain menunjukan bahwa MAI diameter Shorea platyclados di Sumatra Utara sebesar 1,32 cmth Ditjen Hut 1980 dan Shorea leprosula, Shorea ovalis serta Shorea parvifolia sebesar 10 m 3 hath Hutan Industri 1958 dalam Manan 1995. Soekotjo 1995 yang mengutip riap beberapa tanaman Shorea spp di komplek hutan Semengoh Serawak menyatakan bahwa Shorea pinanga umur 38 tahun yang ditanam dengan jarak 4,5 m x 4,5 m mempunyai diameter 31,35 cm dengan kisaran riap diameter 0,49 – 1,24 cmth. Shorea splendica umur 35 tahun yang ditanam dengan jarak 3,6 m x 3,6 m mempunyai diameter 31,62 cm dengan kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cmth. Shorea stenoptera umur 34 tahun yang ditanam dengan jarak 3,5 m x 3,6 m mempunyai kisaran riap diameter 0,53 – 1,39 cmth. Meskipun tidak menyebutkan data kuantitatif, Soekotjo 1995 menyebutkan bahwa pertumbuhan Shorea macrophylla di Kalimantan Barat lebih tinggi dibanding di Kalimantan Selatan dan sebaliknya Shorea stenoptera di Kalimanatan Selatan tumbuh lebih baik dibanding di kalimantan Barat.

2.5. Kualitas Tanah Penentu Keberhasilan Penerapan Sistem Silvikultur

Dalam beberapa tahun terakhir, karena keprihatinan terhadap kerusakan tanah dan tuntutan pengelolaan tanah secara berkelanjutan, terjadi perubahan perhatian terhadap beberapa peubah tanah. Seiring dengan hal tersebut, penggunaan tanah ditekankan pada nilai dan karakteristik tanah untuk suatu tujuan tertentu. Secara umum perhatian terhadap kualitas tanah berkembang pada seputar bahasan tentang fungsi tanah yang menjadi prioritas utama dari suatu ekosistem. Tanah dikenal sebagai komponen penting dari suatu ekosistem. Oleh karena itu, kualitas tanah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dan bahkan menjadi kunci indikator dari konsep pengelolaan lahan secara berkelanjutan Carter, 1997. Kualitas tanah merupakan gambaran utuh dari suatu kondisi spesifik tanah untuk melakukan fungsinya Karlen, 1997. Kemudian definisi ini mengalami perluasan, bahwa kualitas tanah sebagai gabungan ciri tanah yang menyatakan kemampuan alami untuk melakukan fungsinya di dalam ekosistem alami maupun yang dikelola untuk mencapai kelestarian produktivitas tanaman dan binatang, mempertahankan kualitas lingkungan air dan udara dan memacu kesehatan tanaman Soil Science Society of America, 1995. Definisi ini mirip dengan konsep yang diajukan oleh Doran et al. 1996 yang menyatakan bahwa kualitas tanah sebagai kemampuan tanah untuk melakukan fungsinya, dalam suatu ekosistem dan batasan penggunaan lahan untuk kelestarian produktivitas biologi, mempertahankan kualitas lingkungan dan memacu kesehatan tanaman, binatang dan manusia. Definisi tersebut mempunyai implikasi bahwa kualitas tanah terdiri atas dua bagian, yaitu intrinsic part yang mencakup sifat atau kapasitas yang melekat pada tanah tersebut untuk mendukung pertumbuhan tanaman, dan dynamic part yang dipengaruhi oleh tindakan pengelolaan terhadap tanah tersebut oleh manusia Carter, 1997. Sifat yang melekat pada tanah merupakan gabungan atau integrasi dari beberapa faktor pembentuk tanah seperti iklim, topografi, vegetasi, bahan induk dan waktu. Dengan demikian tiap tanah mempunyai kapasitas yang baik. Gambar kedua kualitas tanah berkaitan dengan kemampuan alami tanah untuk melakukan fungsinya, nilai kegunaannya dan tindakan pengelolaan yang memiliki arti penting dalam penilaian kualitas tanah. Fungsi utama tanah menurut Karlen 1997 meliputi : a. Sebagai sumberdaya dalam menyimpan dan mendaur hara dalam biosfer tanah yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman dan hijauan makan ternak. b. Sebagai matriks, tempat akar berpegang serta tumbuh dan tempat menyimpan dan meregulasi aliran air dan larutan. c. Menyaring, mencegah, mendegradasi dan menurunkan kadar racun dari material organik maupun anorganik. Ada kesepakatan umum bahwa kualitas tanah mencakup 3 isu utama, yaitu 1 produktivitas tanaman secara berkelanjutan, 2 kualitas lingkungan, baik tanah, air maupun udara, dan 3 kesehatan mahluk hidup Parr, 1992 dalam Doran dan Parkin, 1994. Oleh karena itu penilaian atau assessment terhadap suatu sistem pengelolaan lahan khususnya terhadap fungsi tanah harus terkait dengan salah- satu dari isu di atas. Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk, 1 identifikasi problem produksi untuk tujuan estimasi produksi secara realistik dan 2 memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan Doran dan Parkin, 1994. Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah Doran dan Parkin, 1994. Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem Carter, 2002. Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani 2001 bahwa perubahan kualitas menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Pemilihan indikator kualitas tanah sangat tergantung pada konteks permasalahan yang ingin diteliti. Isu yang penting adalah bagaimana mengevaluasi kualitas tanah oleh karena hasil tersebut akan digunakan untuk mengklasifikasikan kapabilitas lahan, melihat dampak dari suatu sistem penggunaan lahan, sebagai basis untuk membuat regulasi dan sebagai data untuk memonitor perubahan lingkungan Parr, 1992 dalam Halvorson, 1997. Oleh karena itu diperlukan identifikasi terhadap sifat tanah yang berkaitan dengan kualitas tanah Smith, 1993. Para ilmuwan sepakat bahwa untuk mengevaluasi kualitas tanah membutuhkan integrasi dari beberapa jenis data tanah yang meliputi sifat fisik, kimia dan biologi tanah Doran et al. 1994 dalam Halvorson et al. 1997. Doran dan Parkin 1994 menyatakan bahwa indikator kualitas tanah harus memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut : a. Berkorelasi secara baik dengan proses ekosistem dan berorientasi modelling. b. Sebagai satu-kesatuan dari sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Pendekatan harus secara holistik tidak dilakukan per bidang yang cenderung sempit reductionistis. c. Indikator harus dapat diakses atau diaplikasikan di lapangan oleh banyak pihak d. Peka terhadap perubahan pengelolaan dan iklim. Indikator yang tidak sensitif kurang bermanfaat dalam memonitor perubahan kualitas tanah dan dalam pengajuan rekomendasi dalam rangka meningkatkan kualitas tanah. e. Jika mungkin, indikator merupakan komponen data yang sudah ada yang berasal dari data base. Indikator kualitas tanah yang diajukan oleh Doran dan Parkin 1994 terdiri dari : a. Fisik tanah yang meliputi, tekstur tanah, kedalaman tanah, bobot isi tanah dan infiltrasi, kapasitas pegang air, karakteristik air, kadar air, suhu tanah. b. Kimia tanah yang mencakup, total C-organik dan total N, pH, N mineral, P dan K c. Biologi tanah yang meliputi, C-mic, N-mic, N mineralisasi potensial, respirasi tanah, rasio C biomasa terhadap total C-org, rasio respirasi terhadap biomasa. Menurut Halvorson et al. 1997 terdapat variabilitas indikator tanah menurut waktu temporal dan tempat spatial yang mempengaruhi kualitas tanah. Beberapa sifat tanah yang perubahannya cepat atau bersifat sementara highly dynamic adalah bobot volume, total porositas, suhu tanah, kadar air, kapasitas lapangan, pH, unsur yang mudah larut Ammonium dan Nitrat, biomassa C dan N, dan lain-lain. Sifat-sifat tanah lainnya yang mempunyai sifat relatif statis, antara lain kandungan bahan organik dan tekstur. Selain itu ada beberapa sifat tanah yang sifatnya intermediate, diantara kapasitas tukar kation, stabilitas agregat dan mikro dan meso fauna Coleman et al, 1992 dalam Halvorson et al.1997. Meskipun banyak sifat-sifat tanah yang potensial untuk dijadikan sebagai indikator kualitas tanah namun pemilihan sifat-sifat tanah yang akan digunakan sangat tergantung pada tujuan dilakukannya evaluasi. Karlen et al 1997 menyatakan bahwa untuk mengimplementasikan penilaian kualitas tanah perlu dilakukan identifikasi terhadap indikator-indikator yang sensitif terhadap karakter pengelolaan lahan. Selanjutnya Islam dan Weil 2000 mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang turut membantu kualitas tanah yang didasarkan atas sifat kepermanenannya dan tingkat kepekaan terhadap pengelolaan. Beberapa sifat tanah dapat berubah dalam waktu harian atau mudah berubah dari hari ke hari sebagai hasil dari praktek pengelolaan secara rutin atau adanya pengaruh iklim. Sifat tanah lainnya adalah sifat-sifat yang permanen yang merupakan sifat bawaan inherent tanah atau lokasi site dan sedikit terpengaruh oleh pengelolaan. Berdasarkan sifat kepermanenannya, Islam dan Weil 2000 mengklasifikasikan sifat-sifat tanah yang memiliki kontribusi terhadap kualitas tanah sebagai berikut : a. Ephemeral berubah dalam jangka waktu harian atau rutin, seperti kadar air, respirasi tanah, pH, N mineral, K tersedia, P tersedia, dan berat isi tanah. b. Intermediate dampak dari suatu pengelolaan lebih dari beberapa tahun, seperti agregasi tanah, biomasa mikroba, basal respirasi, specific respiration quotient, C aktif dan kandungan bahan organik c. Permanent sifat bawaan, seperti kedalaman tanah, lereng, iklim, restictive layers, tekstur, batuan dan mineralogi. Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana Larson dan Pierce, 1991. Akhir-akhir ini telah disepakati bahwa sifat biologi dan biokimia dapat diidentifikasikan lebih awal atau cepat dan merupakan indikator sensitif terhadap kerusakan atau perubahan produktivitas tanah Kennedy dan Papendick, 1995. Bahan organik tanah mempunyai peranan besar dalam menentukan sifat tanah baik fisik, kimia maupun biologi tanah. Bahan organik penting dalam perbaikan sifat-sifat fisik tanah, terutama melalui peningkatan ukuran dan stabilitas agregat. Peningkatan ukuran dan stabilitas agregat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat-sifat fisik tanah lainnya, antara lain peningkatan kapasitas retensi air dan jumlah air tersedia, peningkatan pori makro dan meso, peningkatan porositas total, peningkatan aerasi dan peningkatan permeabilitas serta infiltrasi. Di dalam tanah, bahan organik akan mengalami dekomposisi dan mineralisasi yang hasilnya dapat berupa senyawa organik yang relatif resisten terhadap dekomposisi lanjutan senyawa humat dan sebagian akan dilepaskan sebagai unsur hara yang dapat dimanfaatkan kembali oleh tanaman. Dengan demikian hasil akhir tersebut merupakan senyawa-senyawa yang dapat berpengaruh langsung maupun tidak langsung terhadap sifat kimia tanah. Melihat demikian besarnya peranan tersebut maka penurunan kadar bahan organik tanah perlu diwaspadai. Menurut Karlen et al. 1999 perubahan bahan organik tanah yang diakibatkan oleh praktek pengelolaan lahan dapat dideteksi melalui pengukuran biomassa mikroorganisme tanah C-mic. Bahan organik yang diukur perubahannya adalah bagian bahan organik tanah aktif. Indikasi perubahan bahan organik tanah biasanya diukur juga dari kadar total karbon. Indikator ini berguna untuk mengevaluasi perubahan kualitas tanah dalam jangka panjang tetapi kurang peka untuk mendeteksi perubahan jangka pendek Woomer dan Swift, 1994, sedangkan peubah N total dan N tersedia untuk melihat kemampuan lahan dalam mensuplai N bagi ekosistem dan N yang tercuci atau hilang dari profil tanah Handayani, 1999. Salah-satu sifat tanah yang juga direkomendasikan sebagai indikator kualitas tanah adalah stabilitas agregat atau distribusi ukuran agregat dan bobot isi. Stabilitas agregat berkaitan dengan resistensi agregat yang berkaitan dengan fungsi tanah lainnya seperti sifat biologi, kimia dan fisik tanah Karlen et al. 1999. Selain itu bobot isi juga dimasukkan kedalam indikator kualitas tanah karena pengaruhnya terhadap penetrasi akar tanaman dan pori-pori yang terisi oleh air dan udara Karlen et al. 1997.

III. METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian tentang Perkembangan Tegakan Pada Hutan Alam Produksi Dalam Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Provinsi Kalimantan Barat. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan bulan Mei 2010. Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan bekas tebangan TPTII Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif pada umur 0, 1,2, 3, 4 dan 5 tahun, yaitu blok tebangan TPTII pada tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009. Pada hutan bekas tebangan TPTI Tebang Pilih Tanam Indonesia pengambilan sampel diambil pada hutan bekas tebangan pada umur 27 tahun yaitu pada blok LOA TPTI Logged Over Area Tebang Pilih Tanam Indonesia tahun 1983, yang merupakan representasi dari kondisi hutan sebelum dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. Pengambilan data primer pada blok KPPN Kawasan Konservasi Plasma Nutfah merupakan areal representasi dari virgin forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen. 3.2. Metode Penelitian 3.2.1. Rancangan Plot Penelitian Plot penelitian dibuat khusus pada areal IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur. Plot penelitian dibuat pada areal hutan blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009, LOA TPTI dan virgin forest yang berada pada areal KPPN. Plot penelitian ditempatkan pada tiga petak berbeda yang dipilih secara acak . Pada tiap petak dibuat plot penelitian sebanyak tiga plot dengan masing-masing luasan 1 hektar. Dalam satu plot penelitian terdapat 5 jalur pengambilan data. Secara keseluruhan pada setiap blok tebangan terdapat 3 plot dan 15 jalur pengambilan data, masing- masing untuk Jalur Antara dan Jalur Tanam. Model plot Penelitan mengacu kepada Soerianegara dan Indrawan 2005 yaitu berbentuk petak tunggal berupa bujur sangkar, sebagaimana diilustrasikan pada Gambar 4. mengetahui stratifikasi dan bersama diameter batang dapat digunakan untuk mengetahui dan menaksir ukuran volume pohon. Kriteria tingkat permudaan dan pohon serta ukuran sampel plotnya mengacu kepada Soerianegara dan Indrawan 2005. Pohon Tree adalah tumbuhan yang memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan ukuran diameter lebih dari 20 cm, Semai Seedling : Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1,5 m, Pancang Sapling : Permudaan dengan tinggi 1,5 m sampai anakan berdiameter kurang dari 10 cm, Tiang Poles : Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm. Kriteria ukuran plot untuk pohon dan permudaannya diilustrasikan pada Gambar 4. Pengukuran diameter dilakukan pada diameter setinggi dada Dbh pada ketinggian 1,30 meter dari permukaan tanah. atau 20 cm di atas banir Dab bagi pohon-pohon yang berbanir lebih tinggi dari 1,30 m dari permukaan tanah, dengan menggunakan phiband.

3.2.3. Pengambilan Data Pertumbuhan Tanaman

Tanaman Meranti merah Shorea leprosula yang berada pada Jalur Tanam dievaluasi pertumbuhannya. Tanaman yang dievaluasi adalah tanaman yang terdapat pada areal hutan blok TPTII. Evaluasi dilakukan pada tiga petak terpilih secara acak pada setiap blok TPTII. Parameter yang diukur untuk pertumbuhan tanaman adalah tinggi, diameter, persentasi tanaman yang tumbuh dan luas areal efektif. Data pertumbuhan tanaman yang diambil berupa sampling sepanjang 100 meter jalur sebanyak 3 kali ulangan.

3.2.4. Pengambilan Data Tanah

Pengambilan sampel tanah dilakukan dengan mengikuti pengambilan data vegetasi dan tanaman. Pada setiap plot dan jalur yang dilakukan pengambilan data vegetasi dan tanaman maka padanya dilkukan pula pengambilan sampel data tanah. Untuk blok TPTII sampel tanah diambil dari blok tebangan dengan umur 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun. Untuk blok TPTI sampel diambil pada blok tebangan dengan umur 27 tahun. Untuk blok virgin forest sampel tanah diambil dari areal Kawasan Perlindungan Plasma Nutfah KPPN. Sampel tanah diambil pada dua tingkat kedalaman yaitu kedalaman 0 – 20 cm dan 20 – 40 cm. Pengambilan sampel tanah untuk setiap kedalaman dilakukan pada lima tempat berbeda,