nyai potensi produksi se komersial saja atau kelo
tegakan sebesar 119,10
Gambar 35. Grafik p penerap
Dari uraian tersebut menerapkan sistem silvi
tinggi dibandingkan de produktivitas yang lebi
silvikuktur TPTII , peng pengaturan hasil alterna
jalur tanam. Tegakan si Tegakan yang ada pa
penyangga keanekarag keanekaragaman hayati
sebagai penyeimbang i iklim mikro tanaman me
lagi, tegakan pada jalur a sangat dibutuhkan oleh t
50 100
150 200
250 300
350
40 up
sebesar 255,34 m
3
ha. Apabila yang ditebang lompok Dipterocarpaceae saja maka akan diper
119,10 m
3
ha dan 111,10 m
3
ha.
k prediksi potensi produksi hutan alam produksi apan sistem silvikultur TPTII dan TPTI
ebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hut silvikultur TPTII mempunyai potensi tegakan
dengan TPTI. Sistem silvikultur TPTII lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI.
P ngaturan hasilnya sebaiknya mengacu kepada al
natif satu hanya memanen tanaman Meranti ya sisa yang berada di jalur antara sebaiknya tida
pada jalur tersebut harus dijadikan Buffer agaman Hayati yang berfungsi sebagai jalur
ti pada hutan produksi. Disamping itu dapat be iklim mikro yang berfungsi untuk menstabil
meranti yang berada di jalur tanam. Dan yang l ur antara dapat berfungsi sebagai penyimpan unsu
h tanaman Meranti yang berada pada jalur tanam
50 up 60 up
ng hanya jenis peroleh potensi
produksi dalam
n hutan dengan kan yang lebih
II mempunyai Pada sistem
alternatif satu. yang berada di
tidak ditebang. r Biodiversity
lur konservasi berfungsi pula
bilkan kondisi g lebih penting
n unsur hara yang am.
TPTI TS TPTII
Tanaman TPTII Total
Penerapan sistem silvikultur TPTII meningkatkan produksi hampir mencapai 50 dari total produksi TPTI Gambar 35. Peningkatan tersebut
mencerminkan pengelolaan hutan yang intensif. Pengelolaan yang intensif terutama dilaksanakan pada jalur tanam.
Soekotjo 2009 Mulyana at al. 2004 mencatatkan nilai rata-rata potensi kayu hutan alam sebesar 50 m
3
ha, nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan prediksi potensi produksi hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur
TPTII yang mencapai 255,34 m
3
ha. Terjadi peningkatan potensi produksi sebesar 5 kali lipat dari nilai rata-rata potensi hutan alam atau terjadi peningkatan
sebesar 500 . Nilai potensi produksi hutan alam yang lebih ekstrim dikemukakan dalam penelitian Wahyudi 2010 yaitu sebesar 22,41 m
3
ha. Nilai tersebut diperoleh dari tebangan penyiapan lahan IUPHHK PT. Gunung Meranti
selama tahun 2007, 2008 dan 2009. Perbandingannya dengan hasil penelitian ini menunjukan kenaikan potensi produksi yang sangat besar yaitu 11 kali lipat atau
sebesar 1100 . Hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII mempunyai Produktivitas yang tinggi.
Penanaman jenis unggulan dengan teknik jalur mempunyai kontribusi yang besar terhadap Peningkatan produktivitas hutan alam yang kelola dengan sistem
silvikultur TPTII. Kontibusi peningkatan produktivitas tersebut terlihat jelas dalam perbandingan proporsi luasan dengan potensi produksi. Jalur Tanam
mempunyai proporsi luasan sebesar 15 , dengan luasan kecil tersebut dapat menghasilkan produksi sebesar 35 dari total produksi. Nilai kontribusi yang
lebih ekstrim ditunjukkan Soekotjo 2009, potensi produksi pada Jalur Tanam dapat mencapai 400 m
3
ha. Dengan potensi seperti itu kontibusi produksi yang dihasilkan jalur tanam akan mencapai 70 . Kontribusi tersebut tidak diperoleh
pada lokasi penelitian ini karena syarat cukup dari penerapan silvikultur intensif belum dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut terlihat dari penggunaan bibit yang
belum memenuhi kriteria unggul dan pemeliharaan yang intensif, sebagaimana digariskan dalam kaidah-kaidah silvikultur intensif. Pemeliharaan berupa
pembersihan Jalur Tanam dari gangguan gulma dan jenis-jenis non target belum dilaksanakan secara sempurna, sehingga pertumbuhan tanaman pada penelitian ini
belum optimal sebagaimana diharapkan dalam penerapan silvikultur TPTII.
5.3. Karakteristik Tanah Hutan Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII
Pengelolaan hutan dengan berbagai sistem silvikultur selalu menimbulkan perubahan karakteristik tanah Wasis 2005; Mindawati 2011. Hal tersebut terjadi
pula dalam pengelolaan hutan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII. Perubahan karakteristik tersebut meliputi perubahan kualitas yang mencakup
aspek dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Sebagian besar blok TPTII merupakan hutan bekas tebangan dari TPTI hutan sekunder dan hanya sebagian
kecil saja yang merupakan hutan primer virgin forest. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah pada penerapan sistem
silvikultur TPTII perlu pembanding karakteristik tanah hutan bekas tebangan TPTI dan hutan primer KPPN.
Pada penerapan sistem silvikultur TPTII, Jalur Antara dan Jalur Tanam mempunyai karakteristik vegetasi yang berbeda. Jalur Antara mempunyai
struktur vegetasi menyerupai hutan alam sedangkan Jalur Tanam mempunyai
struktur vegetasi menyerupai hutan tanaman Gambar 9 dan 33. Meskipun ada
pada satu hamparan yang sama tetapi keduanya mempunyai karakteristik tanah yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jalur Antara merupakan kondisi awal
dari Jalur Tanam, dengan mengukur dan membandingkan kualitas tanah dari kedua jalur tersebut dapat diperoleh informasi perubahan kondisi kualitas tanah
pada penerapan sistem silvikultur TPTII. Perubahan vegetasi hutan dari hutan alam menjadi hutan tanaman mempunyai konsekwensi perubahan terhadap sifat-
sifat tanah.
5.3.1. Perubahan Kualitas Tanah dalam Penerapan Sistem silvikultur TPTII.
Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang
maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk identifikasi problem produksi dengan tujuan estimasi produksi secara realistik serta memonitor perubahan yang
terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan Doran dan Parkin, 1994. Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman
yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai
sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap
perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah Doran dan Parkin, 1994.
Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem
Carter, 2002. Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani 2001 bahwa perubahan
kualitas tanah menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika
kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Perubahan Kualitas tanah dapat dilihat dari perubahan sifat-sifat tanah yang
mencakup sifat kimia, fisik dan biologi. Perbedaan tersebut pada penerapan sistem silvikultur TPTII dapat dilihat dari perubahan kualitas tanah yang terjadi
antara Jalur Antara dan Jalur Tanam. Pada kedua jalur tersebut dilakukan uji statistik Tukey Uji T. Pada prinsipnya uji T digunakan untuk membantu dalam
mengambil keputusan apakah sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedua jalur tersebut identik atau berbeda sebagai akibat dari perlakuan pembuatan Jalur
Tanam. Sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang diuji pada Jalur Tanam dan Jalur
Antara sebagian besar berbeda nyata Lampiran 7. Dengan kata lain pembuatan Jalur Tanam selebar 3 meter menyebabkan perubahan terhadap kondisi tanah.
Kondisi ini berlaku juga secara khusus pada setiap umur tanaman. Pada setiap umur tanaman terjadi perbedaan kondisi tanah antara Jalur Tanam dengan Jalur
Antara. Data perubahan karakteristik tanah yang terjadi pada Jalur Tanam dan Jalur Antara pada setiap umur tanaman ditampilkan pada Lampiran 10.
5.3.1.1. Perubahan Sifat Kimia Tanah
Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat
fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana. Perubahan Sifat kimia
tanah dapat dilihat dengan jelas dari kandungan unsur hara tanah. Demikian pula dengan kondisi kemasaman tanah mengalami penurunan setelah dilakukan
pembuatan Jalur Tanam.
Tabel 13. Perubahan Kandungan Hara tanah dalam penerapan sistem silvikultur TPTII
Unsur Hara Jalur Antara
Jalur Tanam Perubahan
Nilai Katagor
i Nilai
Katagor i
Nilai
C-org 2,96
Sedang 2,20
Sedang 0,76
25,68 N
0,229 Sedang
0,199 Rendah
0,03 13,10
P- ters ppm 12,8
Rendah 6,97
Sangat rendah
5,83 45,55
K me100 g 0,205 9
Rendah 0,162
Sangat rendah
0,043 20,98
Ca me100 g 5,79
Sedang 5,35
Rendah 0,44
7,60 Mg me100g
4,131 Tinggi
4,333 Tinggi
-0,202 4,89
Keterangan : dan =
masing-masing berbeda nyata pada tarap 99 dan 95
Penentuan status hara suatu lahan dapat dilakukan melalui analisis tanah dan analisis jaringan tanaman terutama bagian daun Poerwanto 2003, Dell et al
2003, Landsberg 1997. Menurut rusdiana 1999 tujuan analisis tanah dan tanaman adalah untuk menetapkan kesesuaian lahan dan produktivitas potensial
lahan pada sistem silvikultur tertentu dan untuk mendiagnosa kemungkinan adanya defisiensi hara yang dapat menghambat pertumbuhan dan kapasitas
produksi tegakan. Analisis kadar hara tanah sudah umum dilakukan baik di bidang pertanian maupun kehutanan, tetapi analisis kadar hara pada daun di
bidang kehutanan masih sangat jarang dilakukan. Di bidang pertanian analisis hara daun tanaman umum dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan defisiensi
unsur hara bagi tanaman dan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemupukan. Namun demikian menurut Fisher dan Binkley 2000 analisis
menggunakan jaringan tanaman seperti pada jaringan daun tanaman sering kurang tepat untuk menggambarkan status hara dalam tanah. Manfaat dari
mengetahui status hara tanah suatu lahan bertegakan adalah untuk menentukan manajemen tapak yang tepat, baik berupa pemupukan maupun kegiatan
pemelihraan dan manipulasi lingkungan.
Nitrogen N
Unsur hara N merupakan unsur hara makro penting essensial bagi pertumbuhan tanaman. Kadar N tanah sangat tergantung bahan organik tanah
sebagai sumber utama. N merupakan bagian penting dalam klorofil dan berfungsi
pada proses fotosintesis. Tanaman menyerap unsur N dari tanah dalam bentuk kation amonium NH4
+
dan anion nitrat NO3
-
pada larutan tanah Mengel dan Kirby 1982; Marsehner 1991. Keberadaan N dalam tanah bersifat mobil yaitu
mudah bergerak atau berpindah, seperti menguap ke udara, tercuci atau terangkat melalui erosi sehingga kadar N tanah bersifat fluktuatif Hutz dan Chandler 1951.
Kisaran Kadar N di lokasi Penelitian tertera pada tabel 13. Kadar N total dibawah tegakan pada Jalur Antara berkisar pada nilai 0,229
dan Jalur Tanam berkisar pada nilai 0,199 . Berdasrkan uji beda Tukey, kadar N tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam tidak berbeda. Meskipun
demikian katagori hara N dari Jalur Antara ke Jalur Tanam mengalami penurunan dari katagori sedang menjadi rendah.
Pospor P
Unsur hara P tanah merupakan hara makro penting kedua setelah N bagi pertumbuhan tanaman. Unsur ini berperan dalam proses pembentukan protein.
Unsur P diserap dalam bentuk anion-anion H
2
PO
4 -
dan atau HPO
4 2-
serta PO
4 3-
. Kandungan hara P tersedia tinggi akan menyebabkan kecenderungan tanah
menjadi lebih subur sehingga memungkinkan bagi pertumbuhan tanaman. Mengel dan Kirby 1982; Marscher 1991. Jumlah P tersedia dalam tanah
ditentukan oleh jumlah P dalam komplek jerapan P total yang mekanisme ketersediaanya diatur oleh pH. Perbandingan kadar P tersedia tanah di lokasi
penelitian tertera pada tabel 13. Kadar P tersedia pada Jalur Antara sebesar 12,8 ppm, sedangkan pada Jalur
Tanam 6,97 ppm. Kadar P pada Jalur Tanam lebih rendah jika dibanding dengan Jalur Antara dan sangat berbeda nyata pada tarap 99 . Terjadi penurunan kadar
hara P setelah pembuatan Jalur Tanam sebesar 5,83 ppm. Katagori hara P juga
mengalami penurunan, semula berkatagori rendah pada Jalur Antara menurun menjadi sangat rendah pada Jalur Tanam. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan
pembersihan lahan land clearing pada Jalur Tanam. Persiapan Pembuatan Jalur Tanam menyebabkan bukaan lahan yang lebih besar sehingga unsur hara P
mengalami pencucian leaching. Penurunan nilai pH tanah turut berkontribusi terhadap penurunan kadar unsur hara P di tanah. Hal tersebut sejalan dengan
pendapat Hardjowigeno 2010, pH tanah jika meningkat atau ditingkatkan dapat