Perkembangan Tegakan Sisa Pada Jalur Antara Potensi Produksi pada Silvikultur TPTI

3,36 3,89 2,56 2,65 4,09 4,04 4,54 1 2 3 4 5 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Kekayaan Jenis R1 0,15 0,12 0,14 0,13 0,10 0,13 0,12 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 0,14 0,16 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Dominansi C 34,83 40,74 38,31 26,77 21,62 35,78 5 10 15 20 25 30 35 40 45 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Kesamaan Komunitas 2,75 3,10 3,04 2,54 3,04 2,95 2,94 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI VF Keanekaragaman Jenis H 0,93 0,92 0,87 0,85 0,90 0,90 0,89 0,8 0,82 0,84 0,86 0,88 0,9 0,92 0,94 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Kemerataan Jenis E 4,85 6,87 7,06 4,46 6,66 5,99 5,48 1 2 3 4 5 6 7 8 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Kekayaan Jenis R1 0,07 0,06 0,07 0,11 0,06 0,07 0,06 0,02 0,04 0,06 0,08 0,1 0,12 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Dominansi C 23,08 31,03 26,79 51,61 35,16 48,96 10 20 30 40 50 60 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Kesamaan Komunitas 3,01 3,08 2,91 3,10 3,04 3,18 3,17 2,75 2,80 2,85 2,90 2,95 3,00 3,05 3,10 3,15 3,20 3,25 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Keanekaragaman Jenis H 0,83 0,82 0,84 0,88 0,84 0,84 0,86 0,79 0,8 0,81 0,82 0,83 0,84 0,85 0,86 0,87 0,88 0,89 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Kemerataan Jenis E 7,12 8,13 6,45 6,58 7,33 8,03 6,88 1 2 3 4 5 6 7 8 9 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Kekayaan Jenis R1 0,06 0,06 0,08 0,06 0,07 0,06 0,06 0,01 0,02 0,03 0,04 0,05 0,06 0,07 0,08 0,09 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Virgin Forest Dominansi C tinggi bila dibandingkan dengan ambang batas nilai IS yaitu sekitar 50. Tebang pilih merupakan satu-satunya sistim silvikultur pada hutan alam. Sistim ini telah lama diterapkan pada hutan alam yang ada di indonesia. Dalam berbagai referensi diungkapkan bahwa sistim silvikultur tebang pilih merupakan sistem yang paling ideal dari sistem yang ada, namun sistem ini tidak menjamin keberadaan jenis-jenis komersial pada tegakan sisa. Jenis-jenis komersial banyak yang ditebang secara menyeluruh sehingga tidak ditemukan jenis tersebut di hutan bekas tebangan. Dipandang perlu untuk menerapkan ketentuan jenis-jenis yang ditebang seharusnya ditanam kembali pada lokasi bekas tebangan tersebut. Jenis pohon seharusnya tidak ditebang semuanya tetapi disisakan sebagai tegakan sisa yang berfungsi sebagai pohon induk. Dengan demikian kehilangan jenis-jenis pohon yang ditebang tidak akan terjadi. Nilai indeks kesamaan komunitas blok tebangan TPTI lebih besar dibandingkan dengan blok tebangan TPTII. Intensitas Penebangan pada blok tebangan TPTII terjadi sebanyak dua kali yaitu pada saat diterapkan sistem TPTI dan pada saat diterapkan TPTII, bahkan terjadi penebangan sebanyak tiga kali yaitu pada saat pembuatan jalur tanam. Sementara blok TPTI hanya mengalami satu kali penebangan. Kondisi tersebut yang menyebabkan nilai IS di blok TPTI lebih besar. Jenis-jenis yang hilang di blok TPTII lebih banyak dibandingkan dengan blok TPTI. Perlu adanya perlakuan dalam penerapan sistem sistem silvikultur TPTII untuk menanam jenis-jenis yang telah hilang di blok akibat penebangan. Dengan penanaman tersebut diharapkan jenis-jenis komersial yang ditebang masih tetap ditemui pada tegakan sisa di blok tebangan. Indeks kesamaan komunitas merupakan cerminan tingkat perubahan vegetasi yang diakibatkan oleh diterapkannya sistem pengelolaan silvikultur. Perubahan vegetasi dalam penerapan sistem silvikultur tertentu tidak dapat dihindari, perubahan vegetasi tersebut mutlak ada. Meskipun demikian perubahan vegetasi perlu dikendalikan agar tidak terlalu besar nilainya. Beberapa konsep yang mengemuka diantaranya adalah diterapkannya konsep RIL Reduce Impact Logging dalam pengelolaan hutan. Rehabilitasi hutan bekas tebangan dengan cara menanamnya kembali mutlak harus dilaksanakan dengan mengacu kepada jenis-jenis yang ditebang. 36,17 37,39 40,39 47,73 34,35 47,9 10 20 30 40 50 60 TPTII 2005 TPTII 2006 TPTII 2007 TPTII 2008 TPTII 2009 TPTI Kesamaan Komunitas 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 Semai pancang tiang pohon TPTII TPTI VF H 1 20 40 60 80 100 120 Semai pancang tiang pohon TPTII TPTI VF

5.2.7. Struktur Hutan Bekas Tebangan Pada Sistem silvikultur TPTII

Secara umum struktur tegakan hutan alam mengikuti pola kurva J terbalik. Begitu pula dengan areal LOA TPTII, secara keseluruhan membentuk kurva J terbalik sebagaimana tertera pada Gambar. 33 dengan demikian struktur hutan dapat dikatakan tidak berubah. Pengelolaan hutan dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ternyata tidak merubah struktur hutan. Hal tersebut terlihat dari kurva J terbalik yang dibentuk oleh struktur tegakan pada hutan bekas tebangan. Hasil penelitian ini sesuai dengn penelitian-penelitian struktur hutan terdahulu. Pada penelitian ini diperoleh formula eksponensial negatif dari struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTII, formula tersebut sebagai berukut : TPTII 2005 :N = 139,31568. e -0,062170DBH TPTII 2006 : N = 141,57938. e -0,073683DBH TPTII 2007 : N = 82,60379. e -0,059867DBH TPTII 2008 : N = 126,76519. e -0,066775DBH TPTII 2009 : N = 116,41260. e -0,066775DBH Di mana : N = Jumlah pohon per hektar Nha DBH = Diameter Setinggi Dada Formula tersebut dapat diandalkan karena mempunyai koefesien determinasi R 2 yang cukup tinggi yaitu 0,848, 0,863, 0,832, 0,933 dan 0,931 masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008 dan 2009. Menurut Bettinger et al 2009, Davis dan Johnson 1987, Meyer et al 1961, Suhendang 1985 dan Wahyudi 2011 sebaran diameter tegakan hutan alam menyerupai J terbalik dengan pola persamaan eksponensial : Q = Q0. e -cDBH . Persamaan tersebut mengandung komponen negatif pada diameter DBH yang berarti semakin besar diameter pohon maka semakin sedikit populasinya N. Struktur tegakan hutan alam bekas tebangan TPTII didominasi oleh pohon yang berdiameter kecil. Pohon yang berdiameter besar semakin sedikit jumlahnya dengan semakin tua umur tegakan. Struktur ini berbeda dengan struktur tanaman yang ada di jalur tanam yang menyerupai kurva lonceng, dimana struktur diameternya menyebar normal. Gambar 33. Struktur tegakan sistem silvikultur berbentuk kurva J Keterangan : Sum Sum 5 10 15 20 25 30 35 40 45 100 TPTII2005 Expon. TPTII2005 10 20 30 40 50 60 50 100 TPTII2007 TPTII2007 Expon. TPTII2007 10 20 30 40 50 50 100 TPTII 2009 TPTII 2009 Expon. TPTII 2009 kan sisa pada hutan bekas tebangan dengan mene ltur TPTII mengikuti pola sebaran hutan a J terbalik. umbu Y = Jumlah Pohon Batangha Sumbu X = Diameter Pohon cm TPTII2005 Expon. TPTII2005 10 20 30 40 50 100 TPTII 2006 TPTII2006 Expon. TPTII2006 TPTII2007 TPTII2007 Expon. TPTII2007 10 20 30 40 50 60 50 100 TPTII 2008 TPTII 2008 Expon. TPTII 2008 TPTII 2009 TPTII 2009 Expon. TPTII 2009 nerapkan an alam TPTII2006 Expon. TPTII2006 TPTII 2008 Expon. TPTII 2008

5.2.8. Perbandingan Struktur Hutan Bekas Tebangan antara TPTII, TPTI dan Virgin forest

Secara keseruluruhan ketiga tipe hutan yaitu hutan bekas tebangan TPTII, hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest mempunyai struktur tegakan yang sama yaitu berupa kurva J terbalik. Perbedaan dari ketiga kondisi hutan tersebut terletak pada jumlah maksimal pohon per hektar Nha. Struktur tegakan hutan bekas tebangan TPTI mempunyai kurva yang lebih mirip dengan virgin forest. Sedangkan kurva TPTII mempunyai beberapa perbedaan bila dibandingkan dengan virgin forest. Kurva TPTI dan virgin forest mempunyai persamaan nilai Nha yang tinggi pada kelas diameter awal, walaupun pada kelas diameter akhir virgin forest mempunyai nilai Nha yang lebih tinggi. secara keseluruhan keduanya mempunyai kurva yang terletak pada posisi kanan atas, sedangkan TPTII posisinya menempati kiri bawah. Hal ini menandakan jumlah pohon per hektar Nha dari TPTII lebih kecil bila dibandingkan dengan TPTI dan Virgin forest. Grafik penyebaran diameter pada 3 kondisi hutan yaitu tegakan sisa pada hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest di PT Sukajaya Makmur menyerupai J terbalik, seperti terlihat pada Gambar 34, dengan persamaan exponensial sebagai berikut : TPTII : N = 88,30799. e -0,055262DBH TPTI : N = 307,6097. e -0,073683DBH Virgin forest : N = 113,5011. e -0,05066DBH Di mana : N = Jumlah pohon per hektar Nha DBH = Diameter Setinggi Dada Persamaan yang mendukung pola J terbalik pada tiga kelompok hutan tersebut cukup meyakinkan karena nilai koefesien determinasinya R 2 cukup tinggi yaitu , 0,970, 0,940 dan 0,864, masing-masing untuk tegakan hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest. Pola persamaan J terbalik yang terbentuk menandakan bahwa struktur hutan alam all even aged forest bekas tebangan dalam pengelolaan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam penelitian ini masih terjaga dengan baik. Hal ini sejalan dengan pendapat Meyer et al 1961, Davis dan Johnson 1987, Nyland 1996, Suhendang 1985, Bettinger et.al 2009 dan 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 50 100 LOA TPTII LOA TPTII Expon. LOA TPTII 10 20 30 40 50 60 70 80 50 100 LOA TPTI LOA TPTI Expon. LOA TPTI 10 20 30 40 50 60 70 50 100 VF VF Expon. VF

5.2.9. Indeks Nilai Penting INP Tingkat Pohon

Indeks nilai penting mempunyai skala nilai sampai dengan 300. Semakin besar nilai INP menandakan jenis tersebut semakin dominan pada komunitas tersebut. Indeks Nilai Penting INP ini digunakan untuk menetapkan dominasi suatu jenis terhadap jenis lainnya atau dengan kata lain nilai penting menggambarkan kedudukan ekologis suatu jenis dalam komunitas. Indeks Nilai Penting dihitung berdasarkan penjumlahan nilai Kerapatan Relatif KR, Frekuensi Relatif FR dan Dominansi Relatif DR. Mueller-Dombois dan Ellenberg, 1974 dalam Soe- rianegara dan Indrawan, 2005. Pada setiap strata suksesi secara umum jenis Medang dan Ubar mempunyai nilai INP tertinggi pada semua blok TPTII, TPTI dan virgin forest. Kedua jenis tersebut selalu muncul pada setiap blok dengan nilai INP tertinggi. Artinya kedua jenis tersebut lebih dominan dibandingkan dengan jenis lainnya. Dominannya jenis Medang dan Ubar pada seluruh strata suksesi menandakan bahwa jenis tersebut mempunyai daya adaptasi yang tinggi terhadap kondisi lingkungan hutan. Namun demikian kedua jenis ini tidak termasuk jenis komersial sehingga dalam pengelolaan hutan tidak ditebang. Pada permudaan tingkat semai jenis Ubar Eugenia sp mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur 5 tahun TPTII 2005 , 4 tahun TPTII 2006, pada areal bekas tebangan TPTI dan virgin forest Tabel 8, stabillo warna kuning . Jenis Ubar mendominasi pada hutan bekas tebangan yang tajuknya sudah mulai tertutup serta hutan yang tajuknya rapat. Jenis Ubar tidak mendominasi pada blok TPTII 2007, TPTII 2008 dan 2009, areal tersebut semuanya merupakan jenis areal tebangan muda. Tajuknya masih terbuka lebar sehingga cahaya masih bisa masuk ke lantai hutan. Permudaan tingkat semai jenis Ubar dapat beradaptasi dengan naungan. Jenis tersebut mendominasi pada hutan bekas tebangan yang berumur lanjut dan virgin forest. Jenis-jenis pohon yang dapat berdaptasi pada hutan yang berumur lanjut adalah jenis-jenis dari kelompok tahan naungan. Hutan yang berusia lanjut tajuknya akan semakin tertutup, cahaya matahari tidak akan menjangkau lantai hutan secara penuh sehingga hanya tanaman yang tahan naungan saja yang dapat beadaptasi. Tabel 8. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan semai Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Laevis Shorea leavis 31,933 Medang Litsea firma 40,210 Ubar Eugenia sp 54,475 TPTI Laevis Shorea Leavis 13,535 Medang Litsea firma 50,035 Ubar Eugenia sp 73,516 TPTII 2009 Kumpang Myristica sp 11,060 Medang Litsea firma 52,670 Ubar Eugenia sp 52,670 TPTII 2008 Jambu monyet Eugenia sp 50,805 Medang Litsea firma 18,825 Ubar Eugenia sp 42,699 TPTII 2007 Jambu monyet Eugenia sp 27,790 Medang Litsea firma 36,341 Ubar Eugenia sp 33,442 TPTII 2006 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia 25,000 Johor shorea johoriensis 18,750 Ubar Eugenia sp 33,333 TPTII 2005 Kelampai Elaterospermum tapos 38,447 Medang Litsea firma 49,680 Ubar Eugenia sp 55,960 Pada permudaan tingkat semai Jenis Medang Litsia firma dan Jambu Monyet Eugeunia sp mendominasi hutan bekas tebangan yang berumur muda yaitu areal hutan bekas tebangan TPTII tahun 2009, TPTII tahun 2008 dan TPTII tahun 2007 masing-masing baru berumur 1,2 dan 3 tahun Tabel 8, stabillo warna merah muda. Perbukaan tajuk secara besar-besaran telah menyebabkan cahaya matahari dapat menjangkau lantai hutan, sehingga memacu pertumbuhan semai kedua jenis tersebut. Permudaan tingkat semai jenis Medang dan Jambu Monyet mempunyai adaptasi yang tinggi terhadap intensitas cahaya matahari yang tinggi. Tingkat permudaan semai Shorea laevis termasuk jenis dominan ke tiga pada areal hutan bekas tebangan TPTI dan virgin forest. Berbeda dengan jenis dominan lainnya, Shorea laevis tidak terdapat pada seluruh areal hutan bekas tebangan TPTII. Penebangan intensif yang terjadi pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah menyebabkan hilangnya jenis-jenis komersial seperti Shorea laevis . Dengan tidak adanya pohon jenis komersial menyebabkan hilangnya dominasi permudaan tingkat semai pada areal tersebut. Hal ini menandakan telah terjadi perubahan komposisi jenis antara hutan primer dan hutan sekunder akibat adanya penglolaan hutan dengan menerapkan sistem sistem silvikultur TPTII. Pada permudaan tingkat tiang komposisi jenis hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI masih didominasi oleh jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang. Hal ini menunjukan bahwa kedua jenis tersebut dapat beradaptasi dengan lingkungan. Proses suksesi sekunder dapat dijalani oleh kedua jenis pohon tersebut. Namun secara ekonomis kedua jenis tersebut masih dipertanyakan nilai ekonominya, apalagi kedua jenis tersebut masuk ke dalam daftar jenis non komersial. Pada tingkat pohon jenis Shorea laevis menjadi pohon paling dominan pada virgin forest Tabel 11, stabillo warna kuning. Shorea laevis menjadi jenis penentu komposisi virgin forest. Jenis tersebut telah membedakan komposisi tegakan antara hutan primer virgin forest dengan semua hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI. Pada hutan primer virgin forest Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII dan TPTI telah merubah komposisi tegakan. Jenis-jenis komersial dari kelompok Dipterocarpaceace menjadi tidak dominan lagi bahkan pada beberapa plot hutan bekas tebangan tidak ditemukan lagi keberadaanya. Komposisi jenis yang menyusun hutan bekas tebangan baik TPTII maupun TPTI berbeda dengan komposisi jenis virgin forest. Hal tersebut menunjukan terjadinya perubahan jenis vegetasi yang menyusun hutan setelah dilakukannya penebangan. Jenis-jenis yang hilang dalam proses pengelolaan hutan seharusnya ditanam kembali dalam kegiatan penanaman. Jenis-jenis yang mendominasi hutan-hutan berumur lanjut dipastikan merupakan jenis potensial yang dapat tumbuh dan berkembang di areal tersebut. Tabel 9. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan pancang Jenis-jenis non komersial seperti Ubar dan Medang mendominasi komposisi tegakan pada hutan bekas tebangan baik TPTI maupun TPTII Tabel 11, stabillo warna merah muda. Fenomena ini menunjukan bahwa sistem silvikultur tebang pilih hanya menyisakan jenis-jenis non komersial. Jenis-jenis komersial menjadi berkurang atau hilang dari komposisi tegakan sisa. Berdasarkan penelitian ini dipandang perlu adanya penanaman kembali jenis-jenis komersial yang hilang dari blok tebangan. Disamping itu perlu adanya peraturan untuk menyisakan pohon induk dari jenis-jenis komersial pada tiap blok tebangan sehingga akan terjadi regenerasi yang normal. Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Kumpang Myristica sp 43,363 Medang Litsea firma 35,71 Ubar Eugenia sp 28,799 TPTI Kumpang Myristica sp 23,94 Medang Litsea firma 43,881 Ubar Eugenia sp 44,388 TPTII 2009 Medang Litsea firma 27,889 Purang 20,333 Ubar Eugenia sp 41,444 TPTII 2008 jambu monyet Eugenia sp 41,825 Medang Litsea firma 32,976 Purang 33,981 TPTII 2007 Medang Litsea firma 34,7 Purang 38,591 Ubar Eugenia sp 43,682 TPTII 2006 Medang Litsea firma 49,1 Purang 21,496 Ubar Eugenia sp 30,777 TPTII 2005 Medang Litsea firma 57,121 Purang 29,26 Ubar Eugenia sp 32,334 Tabel . 10 Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat permudaan tiang Tipe Hutan Jenis Nama Botani INP VF Kumpang Myristica sp 47,359 Medang Litsea firma 26,508 Ubar Eugenia sp 22,947 TPTI Ketikal Ochanostachys amentaceal 22,628 Kumpang Myristica sp 25,441 Medang Litsea firma 50,995 TPTII 2009 Medang Litsea firma 42,666 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia 20,077 Ubar Eugenia sp 34,966 TPTII 2008 Medang Litsea firma 47,203 parvi shorea parvifolia 33,164 Ubar Eugenia sp 63,469 TPTII 2007 Medang Litsea firma 41,02 Sampe Costanopsis sp 21,947 Ubar Eugenia sp 46,019 TPTII 2006 Medang Litsea firma 26,814 Sampe Costanopsis sp 27,324 Parvi Shorea parvifolia 41,467 TPTII 2005 Berobak Shorea sp 34,267 Medang Litsea firma 35,128 Ubar Eugenia sp 33,195 Tabel 11. Nilai INP hutan bekas tebangan TPTII, TPTI dan virgin forest pada tingkat pohon Nomor Jenis Nama Botani INP VF laevis shorea leavis 44,927 Mayau Shorea verescen 21,633 Medang Litsea firma 36,399 TPTI Medang Litsea firma 40,868 Parvi shorea parvifolia 29,095 ubar Eugenia sp 37,441 TPTII 2009 Kelampai Elaterospermum tapos 20,262 Medang Litsea firma 48,593 Ubar Eugenia sp 43,854 TPTII 2008 Laevis Shorea laevis 36,713 Medang Litsea firma 36,765 Ubar Eugenia sp 34,327 TPTII 2007 Kumpang Myristica sp 25,051 Medang Litsea firma 43,249 Ubar Eugenia sp 50,758 TPTII 2006 Kelampai Elaterospermum tapos 31,896 Medang Litsea firma 33,830 Parvi shorea parvifolia 34,132 TPTII 2005 Medang Litsea firma 35,947 Sampe Costanopsis sp 27,482 Ubar Eugenia sp 37,383

5.2.10. Potensi Produksi Hutan Alam Pada Penerapan Sistem silvikultur TPTII dan TPTI

Perbedaan penerapan silvikultur dalam satu areal hutan akan berdampak pa- da produktivitas hutan. Prediksi potensi produksi dilakukan terhadap areal yang dikelola dengan penerapan sistem TPTII dan TPTI. Areal yang dijadikan data dasar adalah areal blok TPTII tahun 2005, 2006, 2007, 2008, 2009 dan areal TPTI. Dari data yang tersedia dibuat prediksi potensi produksi pada akhir rotasi tebang dan daur. Hasil dari prediksi ini diperoleh beberapa pola pengelolaan pro- duksi atas dasar penerapan silvikultur. Dari prediksi ini diperoleh juga beberapa alternatif pengaturan hasil yang didasarkan pada potensi produksi. Potensi produksi hutan alam produksi tegakan sisa pada akhir rotasi tebang diprediksi dengan mengacu pada beberapa asumsi dasar. Asumsi riap diameter untuk semua jenis adalah 0,82 cmtahun yang diperoleh dari rata-rata riap diameter PUP PT. Sukajaya Makmur pada tahun 2005 ke tahun 2006 Lampiran 2. Untuk penentuan tinggi pohon diperoleh dari hasil analisis regresi antara tinggi dengan diameter dari plot PUP PT. Sukajaya Makmur tahun 2005 dengan persamaaan sebagai berikut : Log T = 0,597 + 0,53 Log D Dimana : T = Tinggi Pohon Total D = Diameter Pohon Persamaan regresi tersebut mempunyai koefesien determinan R-Sq-adj sebesar 76,7 dan tingkat kepercayaan P- value sebesar 99 Lampiran 3. Untuk tanaman Meranti yang berada pada Jalur Tanam potensi produksi diprediksi dari model pertumbuhan diameter dan tinggi yang dikembangkan dari hasil penelitian ini Tabel 7. Rotasi tebang atau daur diasumsikan selama 25 tahun, hal ini disesuaikan dengan model yang dikembangkan dari penelitian ini dimana diameter 40 cm dicapai pada umur 25 tahun Tabel 6. Berdasarkan perhitungan potensi produksi pada akhir rotasi tebang Lampiran 1 maka diperoleh prediksi potensi produksi pohon layak tebang pada akhir rotasi tebang atau daur sebagaimana tertera pada Tabel 12.

a. Potensi Produksi pada Silvikultur TPTI

Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan Sistem silvikultur TPTI pada akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang di- dasarkan atas perbedaan limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Untuk limit diameter dibedakan pada besaran diameter 40 cm, 50cm dan 60 cm , se- dangkan untuk pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non ko- mersial. khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Diptero- carpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila Pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 192,43 m 3 ha. Lain halnya apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 32,14 m 3 ha dan 22,72 m 3 ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 50 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 132,81 m 3 ha. Hal tersebut kondisinya akan berbeda apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpa- ceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 19,24 m 3 ha dan 14,06 m 3 ha. Apabila pada sistem TPTI diterapkan limit diameter tebangan sebesar 60 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 90,60 m 3 ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komer- sial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi te- gakan sebesar 7,16 m 3 ha dan 10,18 m 3 ha.

b. Potensi Produksi Tanaman Meranti Pada Sistem silvikultur TPTII

Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur. Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat in- tensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas penja- rangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohonha, Intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohonha dan intensitas ting- gi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohonha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m 3 ha. Lain halnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m 3 ha. Selanjutnya apabila pada sistem TPTII dilakukan penja- rangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai po- tensi produksi sebesar 91,79 m 3 ha. Potensi produksi TPTII pada Jalur Antara jauh lebih besar bila dibandingkan dengan potensi produksi pada Jalur Antara atau tegakan sisa TPTI. Jalur Antara hanya mempunyai potensi produksi dari jenis Dipterocarpaceae sebesar 19,31 m 3 ha dan potensi produksi Dipterocarpaceae TPTI hanya mencapai 22,71 m 3 ha. Potensi produksi Dipterocarpaceae yang ada pada Jalur Tanam jauh lebih besar bila dibandingkan Jalur Antara dan TPTI. Tabel 12. Prediksi potensi produksi pada penerapan sistem silvikultur TPTII dan TPTI dalam satuan m 3 ha

c. Potensi Produksi Tanaman Meranti dan Tegakan Sisa pada Silvikultur TPTII

Apabila areal hutan dikelola dengan menggunakan sistem silvikultur TPTII ditambah dengan pengelolaan tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara pada akhir daur akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang didasarkan atas limit diameter tebangan dan perbedaan jumlah tanaman pada akhir daur . Jumlah tanaman pada akhir daur dapat berbeda-beda tergantung pada tingkat intensitas penjarangan. Limit diameter untuk tanaman meranti yang ditebang dibatasi mulai dari 40 cm. Jumlah tanaman dibedakan menjadi tiga katagori yaitu intensitas pen- jarangan rendah dengan jumlah tanaman pada akhir daur 150 pohonha, intensitas sedang dengan jumlah tanaman pada akhir daur 125 pohonha dan intensitas ting- gi dengan jumlah tanaman pada akhir daur 100 pohonha. Pada akhir daur akan ikut dipanen pula tegakan sisa yang terdapat pada jalur antara. Pada tegakan sisa di akhir rotasi tebang akan diperoleh beberapa nilai potensi produksi yang dida- NO SISTEM SILVIKULTUR JENIS TEGAKAN BATAS DIAMETER Cm Up SISA PENJARA NGAN batang PEMBAGIAN JENIS KOMERSIAL NON KOMERSIA L JUMLAH TOTAL DIPTERO NON DIPTE RO TOTAL 1. TPTI 40 22,72 9,42 32,14 160,29 192,43 50 14,06 5,18 19,24 113,57 132,81 60 7,16 3,02 10,18 80,42 90,6 2. TPTI INTENSIF TEGAKAN SISA 40 19,31 8 27,31 136,24 163,55 50 11,95 4,4 16,35 96,53 112,88 60 6,09 2,56 8,65 68,35 77 2a. ALTERNATIF SATU TANAMAN MURNI 40 150 137,68 40 125 114,74 40 100 91,79 2b. ALTERNATIF DUA TANAMAN PLUS TS 40 150 156,99 8 164,99 136,24 301,23 40 125 134,05 8 142,05 136,24 278,29 40 100 111,1 8 119,1 136,24 255,34 sarkan atas batas limit diameter dan pengelompokan jenis kayu. Limit diameter dibatasi hanya pohon yang berdiameter minimal 40 cm saja yang akan dipanen. Pengelompokan jenis dibedakan atas jenis komersial dan non komersial. Khusus untuk jenis komersial dibedakan lagi menjadi kelompok Dipterocarpaceae dan Non Dipterocarpaceae. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang rendah maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 137,68 m 3 ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada di jalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah den- gan potensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempunyai potensi produksi sebesar 301,23 m 3 ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan dipe- roleh potensi tegakan sebesar 164,99 m 3 ha dan 156,99 m 3 ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang sedang maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 114,74 m 3 ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan po- tensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempu- nyai potensi produksi sebesar 278,29 m 3 ha. Apabila yang ditebang hanya jenis komersial saja atau kelompok Dipterocarpaceae saja maka akan diperoleh potensi tegakan sebesar 142,05 m 3 ha dan 134,05 m 3 ha. Apabila pada sistem TPTII dilakukan penjarangan dengan intensitas yang tinggi maka pada akhir daur akan mempunyai potensi produksi sebesar 91,79 m 3 ha. Nilai tersebut akan berbeda jika pemanenan tidak hanya dilakukan pada tanaman yang ada dijalur tanam saja, akan tetapi dilakukan pada tegakan sisa yang ada di jalur antara. Apabila potensi produksi pada tanaman ditambah dengan po- tensi produksi tegakan sisa yang diterapkan limit diameter tebangan sebesar 40 cm dan semua jenis kayu ditebang maka pada akhir rotasi tebangan akan mempu- nyai potensi produksi se komersial saja atau kelo tegakan sebesar 119,10 Gambar 35. Grafik p penerap Dari uraian tersebut menerapkan sistem silvi tinggi dibandingkan de produktivitas yang lebi silvikuktur TPTII , peng pengaturan hasil alterna jalur tanam. Tegakan si Tegakan yang ada pa penyangga keanekarag keanekaragaman hayati sebagai penyeimbang i iklim mikro tanaman me lagi, tegakan pada jalur a sangat dibutuhkan oleh t 50 100 150 200 250 300 350 40 up sebesar 255,34 m 3 ha. Apabila yang ditebang lompok Dipterocarpaceae saja maka akan diper 119,10 m 3 ha dan 111,10 m 3 ha. k prediksi potensi produksi hutan alam produksi apan sistem silvikultur TPTII dan TPTI ebut dapat disimpulkan bahwa pengelolaan hut silvikultur TPTII mempunyai potensi tegakan dengan TPTI. Sistem silvikultur TPTII lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. P ngaturan hasilnya sebaiknya mengacu kepada al natif satu hanya memanen tanaman Meranti ya sisa yang berada di jalur antara sebaiknya tida pada jalur tersebut harus dijadikan Buffer agaman Hayati yang berfungsi sebagai jalur ti pada hutan produksi. Disamping itu dapat be iklim mikro yang berfungsi untuk menstabil meranti yang berada di jalur tanam. Dan yang l ur antara dapat berfungsi sebagai penyimpan unsu h tanaman Meranti yang berada pada jalur tanam 50 up 60 up ng hanya jenis peroleh potensi produksi dalam n hutan dengan kan yang lebih II mempunyai Pada sistem alternatif satu. yang berada di tidak ditebang. r Biodiversity lur konservasi berfungsi pula bilkan kondisi g lebih penting n unsur hara yang am. TPTI TS TPTII Tanaman TPTII Total Penerapan sistem silvikultur TPTII meningkatkan produksi hampir mencapai 50 dari total produksi TPTI Gambar 35. Peningkatan tersebut mencerminkan pengelolaan hutan yang intensif. Pengelolaan yang intensif terutama dilaksanakan pada jalur tanam. Soekotjo 2009 Mulyana at al. 2004 mencatatkan nilai rata-rata potensi kayu hutan alam sebesar 50 m 3 ha, nilai ini jauh lebih kecil dibandingkan dengan prediksi potensi produksi hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII yang mencapai 255,34 m 3 ha. Terjadi peningkatan potensi produksi sebesar 5 kali lipat dari nilai rata-rata potensi hutan alam atau terjadi peningkatan sebesar 500 . Nilai potensi produksi hutan alam yang lebih ekstrim dikemukakan dalam penelitian Wahyudi 2010 yaitu sebesar 22,41 m 3 ha. Nilai tersebut diperoleh dari tebangan penyiapan lahan IUPHHK PT. Gunung Meranti selama tahun 2007, 2008 dan 2009. Perbandingannya dengan hasil penelitian ini menunjukan kenaikan potensi produksi yang sangat besar yaitu 11 kali lipat atau sebesar 1100 . Hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII mempunyai Produktivitas yang tinggi. Penanaman jenis unggulan dengan teknik jalur mempunyai kontribusi yang besar terhadap Peningkatan produktivitas hutan alam yang kelola dengan sistem silvikultur TPTII. Kontibusi peningkatan produktivitas tersebut terlihat jelas dalam perbandingan proporsi luasan dengan potensi produksi. Jalur Tanam mempunyai proporsi luasan sebesar 15 , dengan luasan kecil tersebut dapat menghasilkan produksi sebesar 35 dari total produksi. Nilai kontribusi yang lebih ekstrim ditunjukkan Soekotjo 2009, potensi produksi pada Jalur Tanam dapat mencapai 400 m 3 ha. Dengan potensi seperti itu kontibusi produksi yang dihasilkan jalur tanam akan mencapai 70 . Kontribusi tersebut tidak diperoleh pada lokasi penelitian ini karena syarat cukup dari penerapan silvikultur intensif belum dilaksanakan dengan baik. Hal tersebut terlihat dari penggunaan bibit yang belum memenuhi kriteria unggul dan pemeliharaan yang intensif, sebagaimana digariskan dalam kaidah-kaidah silvikultur intensif. Pemeliharaan berupa pembersihan Jalur Tanam dari gangguan gulma dan jenis-jenis non target belum dilaksanakan secara sempurna, sehingga pertumbuhan tanaman pada penelitian ini belum optimal sebagaimana diharapkan dalam penerapan silvikultur TPTII.

5.3. Karakteristik Tanah Hutan Pada Penerapan Sistem Silvikultur TPTII

Pengelolaan hutan dengan berbagai sistem silvikultur selalu menimbulkan perubahan karakteristik tanah Wasis 2005; Mindawati 2011. Hal tersebut terjadi pula dalam pengelolaan hutan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII. Perubahan karakteristik tersebut meliputi perubahan kualitas yang mencakup aspek dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Sebagian besar blok TPTII merupakan hutan bekas tebangan dari TPTI hutan sekunder dan hanya sebagian kecil saja yang merupakan hutan primer virgin forest. Berdasarkan hal tersebut maka untuk mengetahui perubahan karakteristik tanah pada penerapan sistem silvikultur TPTII perlu pembanding karakteristik tanah hutan bekas tebangan TPTI dan hutan primer KPPN. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII, Jalur Antara dan Jalur Tanam mempunyai karakteristik vegetasi yang berbeda. Jalur Antara mempunyai struktur vegetasi menyerupai hutan alam sedangkan Jalur Tanam mempunyai struktur vegetasi menyerupai hutan tanaman Gambar 9 dan 33. Meskipun ada pada satu hamparan yang sama tetapi keduanya mempunyai karakteristik tanah yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jalur Antara merupakan kondisi awal dari Jalur Tanam, dengan mengukur dan membandingkan kualitas tanah dari kedua jalur tersebut dapat diperoleh informasi perubahan kondisi kualitas tanah pada penerapan sistem silvikultur TPTII. Perubahan vegetasi hutan dari hutan alam menjadi hutan tanaman mempunyai konsekwensi perubahan terhadap sifat- sifat tanah.

5.3.1. Perubahan Kualitas Tanah dalam Penerapan Sistem silvikultur TPTII.

Penilaian terhadap kualitas tanah adalah sesuatu yang sangat penting dalam menentukan sistem pengelolaan lahan yang lestari baik untuk masa sekarang maupun yang akan datang. Hal ini diperlukan untuk identifikasi problem produksi dengan tujuan estimasi produksi secara realistik serta memonitor perubahan yang terjadi terhadap ekosistem kaitannya dengan pengelolaan lahan Doran dan Parkin, 1994. Dengan kata lain penilaian kualitas tanah memberikan pemahaman yang mendasar tentang evaluasi kelestarian sistem pengelolaan lahan. Tanah memiliki berbagai level kualitas yang secara mendasar didefinisikan sebagai sumberdaya alam stabil atau yang melekat dengan faktor pembentukan tanah dan perubahan yang dinamis sebagai dampak dari pengelolaan tanah. Deteksi terhadap perubahan dari komponen dinamis adalah hal penting dalam evaluasi kinerja dan kelestarian pengelolaan tanah Doran dan Parkin, 1994. Konsep kualitas tanah umumnya digunakan untuk mengevaluasi atau mengkaji aspek kelestarian dari suatu penggunaan lahan dalam agroekosistem Carter, 2002. Dengan kata lain kualitas tanah merupakan satu kesatuan dengan prinsip kelestarian. Ditambahkan oleh Handayani 2001 bahwa perubahan kualitas tanah menunjukan respon suatu jenis tanah terhadap penggunaan dan pengelolaannya. Oleh karena itu suatu penggunaan lahan hanya akan lestari jika kualitas tanah tetap dipertahankan atau ditingkatkan. Perubahan Kualitas tanah dapat dilihat dari perubahan sifat-sifat tanah yang mencakup sifat kimia, fisik dan biologi. Perbedaan tersebut pada penerapan sistem silvikultur TPTII dapat dilihat dari perubahan kualitas tanah yang terjadi antara Jalur Antara dan Jalur Tanam. Pada kedua jalur tersebut dilakukan uji statistik Tukey Uji T. Pada prinsipnya uji T digunakan untuk membantu dalam mengambil keputusan apakah sifat fisik, kimia dan biologi tanah pada kedua jalur tersebut identik atau berbeda sebagai akibat dari perlakuan pembuatan Jalur Tanam. Sifat fisik, kimia dan biologi tanah yang diuji pada Jalur Tanam dan Jalur Antara sebagian besar berbeda nyata Lampiran 7. Dengan kata lain pembuatan Jalur Tanam selebar 3 meter menyebabkan perubahan terhadap kondisi tanah. Kondisi ini berlaku juga secara khusus pada setiap umur tanaman. Pada setiap umur tanaman terjadi perbedaan kondisi tanah antara Jalur Tanam dengan Jalur Antara. Data perubahan karakteristik tanah yang terjadi pada Jalur Tanam dan Jalur Antara pada setiap umur tanaman ditampilkan pada Lampiran 10.

5.3.1.1. Perubahan Sifat Kimia Tanah

Selama ini evaluasi terhadap kualitas tanah lebih dititikberatkan pada sifat fisik dan kimia karena metode pengukurannya sederhana. Perubahan Sifat kimia tanah dapat dilihat dengan jelas dari kandungan unsur hara tanah. Demikian pula dengan kondisi kemasaman tanah mengalami penurunan setelah dilakukan pembuatan Jalur Tanam. Tabel 13. Perubahan Kandungan Hara tanah dalam penerapan sistem silvikultur TPTII Unsur Hara Jalur Antara Jalur Tanam Perubahan Nilai Katagor i Nilai Katagor i Nilai C-org 2,96 Sedang 2,20 Sedang 0,76 25,68 N 0,229 Sedang 0,199 Rendah 0,03 13,10 P- ters ppm 12,8 Rendah 6,97 Sangat rendah 5,83 45,55 K me100 g 0,205 9 Rendah 0,162 Sangat rendah 0,043 20,98 Ca me100 g 5,79 Sedang 5,35 Rendah 0,44 7,60 Mg me100g 4,131 Tinggi 4,333 Tinggi -0,202 4,89 Keterangan : dan = masing-masing berbeda nyata pada tarap 99 dan 95 Penentuan status hara suatu lahan dapat dilakukan melalui analisis tanah dan analisis jaringan tanaman terutama bagian daun Poerwanto 2003, Dell et al 2003, Landsberg 1997. Menurut rusdiana 1999 tujuan analisis tanah dan tanaman adalah untuk menetapkan kesesuaian lahan dan produktivitas potensial lahan pada sistem silvikultur tertentu dan untuk mendiagnosa kemungkinan adanya defisiensi hara yang dapat menghambat pertumbuhan dan kapasitas produksi tegakan. Analisis kadar hara tanah sudah umum dilakukan baik di bidang pertanian maupun kehutanan, tetapi analisis kadar hara pada daun di bidang kehutanan masih sangat jarang dilakukan. Di bidang pertanian analisis hara daun tanaman umum dilakukan untuk mendeteksi kemungkinan defisiensi unsur hara bagi tanaman dan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemupukan. Namun demikian menurut Fisher dan Binkley 2000 analisis menggunakan jaringan tanaman seperti pada jaringan daun tanaman sering kurang tepat untuk menggambarkan status hara dalam tanah. Manfaat dari mengetahui status hara tanah suatu lahan bertegakan adalah untuk menentukan manajemen tapak yang tepat, baik berupa pemupukan maupun kegiatan pemelihraan dan manipulasi lingkungan. Nitrogen N Unsur hara N merupakan unsur hara makro penting essensial bagi pertumbuhan tanaman. Kadar N tanah sangat tergantung bahan organik tanah sebagai sumber utama. N merupakan bagian penting dalam klorofil dan berfungsi pada proses fotosintesis. Tanaman menyerap unsur N dari tanah dalam bentuk kation amonium NH4 + dan anion nitrat NO3 - pada larutan tanah Mengel dan Kirby 1982; Marsehner 1991. Keberadaan N dalam tanah bersifat mobil yaitu mudah bergerak atau berpindah, seperti menguap ke udara, tercuci atau terangkat melalui erosi sehingga kadar N tanah bersifat fluktuatif Hutz dan Chandler 1951. Kisaran Kadar N di lokasi Penelitian tertera pada tabel 13. Kadar N total dibawah tegakan pada Jalur Antara berkisar pada nilai 0,229 dan Jalur Tanam berkisar pada nilai 0,199 . Berdasrkan uji beda Tukey, kadar N tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam tidak berbeda. Meskipun demikian katagori hara N dari Jalur Antara ke Jalur Tanam mengalami penurunan dari katagori sedang menjadi rendah. Pospor P Unsur hara P tanah merupakan hara makro penting kedua setelah N bagi pertumbuhan tanaman. Unsur ini berperan dalam proses pembentukan protein. Unsur P diserap dalam bentuk anion-anion H 2 PO 4 - dan atau HPO 4 2- serta PO 4 3- . Kandungan hara P tersedia tinggi akan menyebabkan kecenderungan tanah menjadi lebih subur sehingga memungkinkan bagi pertumbuhan tanaman. Mengel dan Kirby 1982; Marscher 1991. Jumlah P tersedia dalam tanah ditentukan oleh jumlah P dalam komplek jerapan P total yang mekanisme ketersediaanya diatur oleh pH. Perbandingan kadar P tersedia tanah di lokasi penelitian tertera pada tabel 13. Kadar P tersedia pada Jalur Antara sebesar 12,8 ppm, sedangkan pada Jalur Tanam 6,97 ppm. Kadar P pada Jalur Tanam lebih rendah jika dibanding dengan Jalur Antara dan sangat berbeda nyata pada tarap 99 . Terjadi penurunan kadar hara P setelah pembuatan Jalur Tanam sebesar 5,83 ppm. Katagori hara P juga mengalami penurunan, semula berkatagori rendah pada Jalur Antara menurun menjadi sangat rendah pada Jalur Tanam. Hal ini terjadi karena adanya kegiatan pembersihan lahan land clearing pada Jalur Tanam. Persiapan Pembuatan Jalur Tanam menyebabkan bukaan lahan yang lebih besar sehingga unsur hara P mengalami pencucian leaching. Penurunan nilai pH tanah turut berkontribusi terhadap penurunan kadar unsur hara P di tanah. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Hardjowigeno 2010, pH tanah jika meningkat atau ditingkatkan dapat menentukan mudah tidaknya unsur hara diserap tanaman dan demikian pula sebaliknya, terutama hara P yang terikat dapat menjadi tersedia dan dapat mempenga- ruhi perkembangan mikroorganisme. Kalium K Unsur hara K merupakan unsur hara makro penting bagi pertumbuhan tanaman dan berperan sebagai katalisator proses enzimatik dalam jaringan tanaman. Hara K diserap dalam bentuk ion-ion positif K + . Penyerapan unsur hara K + adalah unik khas sebab tanaman mengabsorpsi K melebihi dari jumlah yang diperlukan Mar- schner 1991. Di dalam jaringan tanaman unsur K bersifat mobil dan keberadaan un- sur K yang cukup pada tanah dapat menyeimbangkan kesuburan tanah. Kadar K ta- nah pada penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar hara K pada Jalur Antara mencapai 0,2059 me100g dan menurun pada Jalur Tanam menjadi sebesar 0,162 me100g. Berdasarkan hasil uji T penurunan tersebut tidak berbeda nyata. Meskipun demikian pada kenyataannya kadar unsur hara K mengalami penurunan katagori. Pada Jalur Antara awalnya berkatagori rendah berubah menjadi sangat rendah pada Jalur Tanam. Penurunan ini sejalan dengan penurunan kadar unsur hara lainnya yang disebabkan oleh adanya pencucian hara pada Jalur Tanam. Kalsium Ca Unsur hara Ca merupakan unsur hara makro penting lain bagi pertumbu- han tanaman dan diserap dalam bentuk ion-ion positif kation-kation basa dapat ditukar. Keberadaan unsur Ca dalam tanah yang cukup dapat menyeimbangkan kesuburan tanah. Kadar Ca tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar Ca pada Jalur Antara sebesar 5,79 me100 g dan pada Jalur Tanam menurun menjadi sebesar 5,35 me100 g. Berdasarkan hasil uji T penurunan ka- dar Ca antara Jalur Antara dan Jalur Tanam tidak berbeda nyata. Terjadi penuru- nan kadar Ca tanah setelah pembuatan Jalur Tanam sebesar 0,44 me100g. Meskipun tidak berbeda nyata namun katagori hara Ca mengalami penurunan, hara Ca pada Jalur Antara berkatagori sedang dan menurun menjadi status rendah pada Jalur Tanam. Hal ini dikarenakan untuk pertumbuhan tanaman S. leprosula membutuhkan unsur hara Ca dalam jumlah cukup besar terutama untuk pemben- tukan jaringan tanaman seperti batang, cabang, ranting dan akar. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Spangenberg et al. 1996, Mindawati 2011 bahwa kandungan hara Ca tanah turun dari rotasi 1 ke rotasi 2 ke rotasi 3 dan ke rotasi 4 Spangenberg et al. 1996. Penambahan unsur hara Ca dalam pengelolaan tanaman S leprosula dapat dilakukan melalui pemberian rockposphat sebagai pupuk dasar dan pupuk TSP yang juga mengandung Ca. Pemupukan tersebut belum mencukupi untuk menja- dikan unsur hara Ca tersedia cukup dalam tanah. Selain itu, tambahan unsur Ca didapat dari air hujan yang masuk ke lahan, menurut Chijicke 1980 dan Sanchez 1976 asupan hara Ca ke tanah dari air hujan sangat kecil. Sebagai contoh, asu- pan hara Ca pada lahan hutan tanaman Pinus caribaea di Ghana sebesar 12,7 kghatahun dengan curah hujan 1850 mmtahun, pada tanaman kelapa sawit di Malaysia 12,5 kg hatahun dengan curah hujan 2300 mmtahun dan pada tegakan Gmelina arborea di Panama sebesar 9,51 kghatahun dengan curah hujan rata- rata 1930 mmtahun. Magnesium Mg Unsur hara Mg merupakan unsur hara penting setelah unsur N, P, K dan Ca yang diperlukan tanaman untuk pembentukan klorofil dan mempengaruhi aktivi- tas enzim. Unsur hara Mg diserap akar tanaman dalam bentuk ion-ion positif Mg 2+ . Keberadaan unsur Mg yang cukup dalam tanah dapat menyeimbangkan ke- suburan tanah. Rata-rata nilai kadar Mg tanah di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 13. Kadar Mg pada Jalur Antara sebesar 4,131 me100 g dan setelah pembuatan Jalur Tanam mengalami peningkatan menjadi sebesar 4,333 me100 g. Kadar ha- ra Mg setelah pembuatan Jalur Tanam meningkat sebesar 0,202 tetapi secara sta- tistik yang dilakukan melalui uji T tidak berbeda nyata. Katagori kandungan hara Mg dari Jalur Antara ke Jalur Tanam tidak mengalami perubahan, kedua Jalur tersebut mempunyai katagori kandungan hara Mg tinggi. Secara keseluruhan kandungan unsur hara penting mengalami penurunan setelah dilakukan pembuatan Jalur Tanam, kecuali kandungan Magnesium Mg yang mengalami peningkatan. Menurut Hardjowigeno 2005 Mg tersedia di dalam tanah dalam bentuk kation Mg 2+ . Sumber Mg di dalam tanah diperoleh dari bahan mineral kelam seperti biotit, augit, horenblende, amfibol dan sebagian berasal dari garam MgSO 4 serta kapur CaMg CO 3 2+ . Sebagian besar bahan-