Sagala P . 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Sanchez PA. 1976. Properties and Management of Soils in Humid Tropics. A Wiley Interscience Publications. John Wiley and Sons Inc. New york,
China, Brisbane, Toronto.
Santoso B. 2008. Kebijakan Penerapan Multisitem Silvikultur Pada Hutan Produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman,
Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta.
Santoso E. 1997. Hubungan Perkembangan Ektomikoriza dengan Populasi Jasad Renik Dalam Rizosfer dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Eucalyptus
pellita dan Eucalyptus urophylla [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Santoso H, Syaffari K, Nina M. 2008. Tinjauan Aspek Silvikultur Dalam Penerapan Multisitem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. Di dalam :
Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka
Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor.
Sardiyanto, A. 2010. Uji Tanaman Shorea spp di IUPHHK PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Makalah Workshop 5 Tahun Pelaksanaan Silin.
Ditjen BPK. Jakarta.
Simarangkir BDAS, 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman
Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur.
Smith, D.M. 1962. The Practice of Silviculture. Seventh Edition. John Willey. The Iowa Unervisity Press, Ames. Iowa.
Smith JL, Halvorson JJ, Papendick RI. 1993. Using Multiple-Variable Indicator Trigging for Evaluating Soil Quality. Soil Science Society America Journal
57:743-749.
Seokotjo. 1995. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Riap Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Dephut RI. Jakarta.
Soekotjo. 2005. Evaluasi Tebang Pilih Indonesia. Prosiding Seminar Kehutanan Peningkatan Produktivitas Hutan. Editor Eko B. Hardiyanto. ITTO.
Yogyakarta.
Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Hasil. Di dalam: Hardiyanto EB, editor. Peran Konservasi Sumber Daya Genetik,
Pemuliaan dan Silvikultur dalm Mendukung Rehabilitasi Hutan. Prosiding
Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan; Yogyakarta, 26-27 Mei 2005.
Fakultas Kehutanan UGM dan Internasional Tropical Timber Organization. Hlm. 3-14. Yogyakarta.
Soekotjo. 2009. Tehnik Silvikultur Intensif SILIN. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Soektojo, Naiem M. 2006. SILIN Menuju Hutan yang Prospektif, Sehat dan Lestari. Warta Kagama Kehutanan. Desember. Edisi Perdana Desember
2006. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Soekotjo, Suparna N, Purnomo S. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Meranti Di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalteng. Jakarta: PT. Alas
Kusuma.
Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.
Spangenberg A, Grinum U, Sepeda JR, Silva D, Folster H. 1996. Nutrient Store and Export Rates of Eucalyptus urograndis Plantations in Eastern Amazonia
Jari. Forest Ecology and Management 80 : 225-234.
[SSSA] Soil Science Society of America. 1995. Statement on Soil Quality. Agronomy News.
Steel RGD, Torrie JH. 1980. Princiles and Procedures of Statistics. McGraw – Hill . New york
Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry, Genetics, Composition, Reactions. John Willey and Sons, Inc. New York.
Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung Tesis.
Program Pasca Sarjana IPB. Bogor.
Suhendang E. 2008. Multisitem Silvikultur Dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional
Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan
Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor.
Sulistyono D, Ansori S, Hardiyanto EB. 2007. Acacia mangium : Pengelolaan Residu Tebangan.
http:saifudinansori.blogspot.com200709pengelolaan- residu-tebangan. Diakses 22 September 2010
. Suntoro WA . 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya
Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah.
Fakultas Pertanian Sebelas Maret. Sebelas Maret University Press. Surakarta.
Suparna N. 2005. Meningkatkan Produktivitas Kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan-
Kalteng. Balikpapan : PT. Sari Bumi Kusuma.
Sutisna M. 1997. Strategi Silvikultur Untuk Meningkatkan Kelestarian Produktivitas Hutan Alam Indonesia. UGM press.
Sutisna M. 2005. Silvikultur Hutan Alami Indonesia. Direktorat Pembinaan
Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Pendidikan Tinggi. Samarinda.
[USDA] United States Departement of Agriculture. 1996. Soil Quality Resources Concerns. The United States Departement of Agricultur. Washington, D.C
Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield: Applications to Mixed Tropical Forest. CAB International, Wallingford.
. Van Migroet H, Johnson DW. 1993. Nitrate Dynamics in Forest Soil. Di dalam
Burt TP, Heathwaite AL, Trudgill ST, editor. Nitrate : Processes, Patterns ang Management. Chichester : John Wiley and Sond Ltd. 75- 97.
Vitousek PM. 1981. Clear Cutting and The Nitrogen Cycle. Di dalam : Clark FE, Rooswall T, editor. Terresterial Nitrogen Cycle : Processes, Ecosystem
Strategies and Management Impacts. Ecological Bulletin NFR 33: 631-642.
Vitousek PM, Matson PA. 1985. Disturbance, Nitrogen Availabilit, and Nitrogen Losses in a Intensively Managed Lobloiiy Pine Plantation. Ecology 66:
1360 -642.
Wahjono D, Anwar 2008. Prospek Penerapan Multisitem Silvikultur Pada Unit Pengelolaan Hutan Produksi. Puslitbang Kehutanan dan Konservasi Alam,
Departemen Kehutanan. Bogor.
Wahyudi. 2009. Selective Cutting and Line Enrichment Planting Silvikultural System Devolopment on Indonesian Tropical Rain Forest In: GAFORN-
Internasional Summmer School, George-August Universitat Gottingen. Germany.
Wahyudi. 2011. Perkembangan Tanaman dan Tegakan Tinggal Pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Studi Kasus di IUPHHK PT. Gunung Meranti
Provinsi Kalimantan Tengah. Insitut Pertanian Bogor. Bogor.
Wasis B. 2005. Kajian Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh Antara Rotasi Pertama dan Rotasi Kedua Pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd.
Studi kasus di HTI Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Wicaksono A and Ansori S. 2005. Growth of Shorea leprosula and Shorea selanica on the The Logged-over Area of Acacia mangium and
Paraseriantehes Falcataria Plantations in Subanjeriji, South Sumatra di PT. Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan. Palembang.
Woomer PL, Swift MJ. 1994. The Biological Management of Tropical Soil Fertility. TSBF. 81-116. John Wiley-Sayce. Chichester, UK
Zobel B, Talbert J. 1984. Applied forest tree improvement. John Wiley Sons, Inc. United States of America.
163 Lampiran 1. Penghitungan prediksi potensi produksi pada penerapan berbagai sistem silvikultur
Pendugaan Potensi produksi per hektar setelah 25 tahun pada hutan produksi ketika diterapkan sistem silvikultur TPTI No.
Tahun No. petak
Kelompok jenis 30 - 40 cm
40 - 50 cm 50 -60 cm
=60 cm =50 cm
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
1 2005
1E A. Komersil
5,88 3,69
5,88 6,80
5,88 12,73
1,96 8,08
7,84 20,81
1. Dipterocarpaceae 1,96
1,38 1,96
2,02 1,96
4,75 -
- 1,96
4,75 2. Non Dipterocarpaceae
3,92 2,31
3,92 4,78
3,92 7,97
1,96 8,08
5,88 16,05
B. Non Komersil 25,49
15,56 68,63
83,54 31,37
61,12 17,65
134,89 49,02
196,01
Total A + B 31,37
19,25 74,51
90,34 37,25
73,84 19,61
142,97 56,86
216,81
2 2005
1C A. Komersil
- -
1,96 2,04
1,96 4,73
1,96 10,96
3,92 15,69
1. Dipterocarpaceae -
- 1,96
2,04 -
- 1,96
10,96 1,96
10,96 2. Non Dipterocarpaceae
- -
- -
1,96 4,73
- -
1,96 4,73
B. Non Komersil 29,41
20,14 56,86
65,26 25,49
48,01 37,25
198,66 62,75
246,67
Total A + B 29,41
20,14 58,82
67,31 27,45
52,75 39,22
209,62 66,67
262,36
3 2005
1D A. Komersil
1,96 1,11
7,84 9,61
- -
- -
- -
1. Dipterocarpaceae -
- 3,92
5,60 -
- -
- -
- 2. Non Dipterocarpaceae
1,96 1,11
3,92 4,01
- -
- -
- -
B. Non Komersil 15,69
8,99 27,45
33,19 15,69
29,14 31,37
189,46 47,06
218,60
Total A + B 17,65
10,10 35,29
42,80 15,69
29,14 31,37
189,46 47,06
218,60
163
164 Lampiran 1 Lanjutan
4 2006
2A A. Komersil
3,92 61,62
27,45 30,07
5,88 12,26
3,92 14,76
9,80 27,02
1. Dipterocarpaceae 1,96
1,42 19,61
21,98 5,88
12,26 1,96
6,76 7,84
19,02 2. Non Dipterocarpaceae
1,96 60,20
7,84 8,09
- -
1,96 8,00
1,96 8,00
B. Non Komersil 33,33
18,53 35,29
38,87 19,61
38,27 15,69
60,71 35,29
98,98
Total A + B 37,25
80,15 62,75
68,94 25,49
50,53 19,61
75,47 45,10
126,00
5 2006
2E A. Komersil
17,65 10,05
25,49 27,37
5,88 11,82
3,92 11,45
9,80 23,27
1. Dipterocarpaceae 15,69
8,99 19,61
21,67 5,88
11,82 3,92
11,45 9,80
23,27 2. Non Dipterocarpaceae
1,96 1,06
5,88 5,70
- -
- -
- -
B. Non Komersil 15,69
8,43 56,86
61,85 17,65
32,93 21,57
84,13 39,22
117,06
Total A + B 33,33
18,48 82,35
89,23 23,53
44,75 25,49
95,58 49,02
140,33
6 2006
2G A. Komersil
5,88 3,14
11,76 12,51
9,80 19,05
1,96 7,54
11,76 26,58
1. Dipterocarpaceae 5,88
3,14 11,76
12,51 9,80
19,05 1,96
7,54 11,76
26,58 2. Non Dipterocarpaceae
- -
- -
- -
- -
- -
B. Non Komersil 37,25
21,24 27,45
30,36 7,84
15,59 1,96
15,67 9,80
31,26
Total A + B 43,14
24,38 39,22
42,87 17,65
34,63 3,92
23,21 21,57
57,84
7 2007
3B A. Komersil
1,96 1,62
7,84 9,84
1,96 3,79
1,96 5,58
3,92 9,37
1. Dipterocarpaceae 1,96
1,62 3,92
4,78 -
- 1,96
5,58 1,96
5,58 2. Non Dipterocarpaceae
- -
3,92 5,05
1,96 3,79
- -
1,96 3,79
B. Non Komersil 56,86
34,58 39,22
43,74 7,84
16,44 11,76
35,41 19,61
51,85
Total A + B 58,82
36,19 47,06
53,58 9,80
20,23 13,73
40,99 23,53
61,22
165 Lampiran 1 Lanjutan
8 2007
3D A. Komersial
7,84 5,24
5,88 7,99
5,88 11,64
3,92 10,95
9,80 22,59
1. Dipterocarpaceae -
- 3,92
5,22 5,88
11,64 3,92
10,95 9,80
22,59 2. Non Dipterocarpaceae
7,84 5,24
1,96 2,76
- -
- -
- -
B. Non Komersil 49,02
27,58 39,22
38,39 17,65
34,87 11,76
65,11 29,41
99,98
Total A + B 56,86
32,82 45,10
46,38 23,53
46,51 15,69
76,06 39,22
122,57
9 2007
3E A. Komersil
11,76 6,46
9,80 10,99
3,92 8,31
5,88 17,46
9,80 25,76
1. Dipterocarpaceae -
- 7,84
8,91 1,96
4,15 -
- 1,96
4,15 2. Non Dipterocarpaceae
11,76 6,46
1,96 2,08
1,96 4,15
5,88 17,46
7,84 21,61
B. Non Komersil 50,98
31,75 37,25
38,61 13,73
24,71 11,76
36,30 25,49
61,01
Total A + B 62,75
38,21 47,06
49,60 17,65
33,02 17,65
53,75 35,29
86,77
10 2008
4F A. Komersil
15,69 10,07
15,69 17,19
11,76 21,34
3,92 11,95
15,69 33,29
1. Dipterocarpaceae 11,76
7,32 7,84
8,46 9,80
17,19 1,96
7,01 11,76
24,20 2. Non Dipterocarpaceae
3,92 2,75
7,84 8,73
1,96 4,15
1,96 4,94
3,92 9,09
B. Non Komersil 41,18
25,42 25,49
29,00 23,53
45,61 15,69
57,29 39,22
102,89
Total A + B 56,86
35,48 41,18
46,18 35,29
66,95 19,61
69,24 54,90
136,19
165
166 Lampiran 1Lanjutan
11 2008
4G A. Komersil
9,80 7,08
17,65 21,04
3,92 6,57
5,88 18,45
9,80 25,02
1. Dipterocarpaceae 5,88
4,33 9,80
11,50 3,92
6,57 5,88
18,45 9,80
25,02 2. Non Dipterocarpaceae
3,92 2,75
7,84 9,54
- -
- -
- -
B. Non Komersil 39,22
24,68 37,25
39,73 15,69
28,94 11,76
50,59 27,45
79,54
Total A + B 49,02
31,76 54,90
60,77 19,61
35,51 17,65
69,04 37,25
104,55
12 2008
4H A. Komersil
5,88 4,33
11,76 13,40
3,92 6,57
5,88 18,45
9,80 25,02
1. Dipterocarpaceae 5,88
4,33 9,80
11,50 3,92
6,57 5,88
18,45 9,80
25,02 2. Non Dipterocarpaceae
- -
1,96 1,90
- -
- -
- -
B. Non Komersil 29,41
19,24 49,02
56,38 15,69
30,52 11,76
61,92 27,45
92,44
Total A + B 35,29
23,57 60,78
69,79 19,61
37,09 17,65
80,37 37,25
117,46
13 2009
5E A. Komersil
5,88 3,73
7,84 8,77
3,92 8,53
1,96 5,15
5,88 13,67
1. Dipterocarpaceae 1,96
1,37 5,88
6,87 1,96
4,73 1,96
5,15 3,92
9,88 2. Non Dipterocarpaceae
3,92 2,35
1,96 1,90
1,96 3,79
- -
1,96 3,79
B. Non Komersil 31,37
19,55 52,94
54,58 11,76
23,38 17,65
79,36 29,41
102,74
Total A + B 37,25
23,28 60,78
63,35 15,69
31,91 19,61
84,51 35,29
116,42
167
14 5I
A. Komersil 5,88
3,73 11,76
13,15 3,92
8,53 3,92
11,91 7,84
20,43 1. Dipterocarpaceae
1,96 1,37
5,88 6,87
1,96 4,73
1,96 5,15
3,92 9,88
2. Non Dipterocarpaceae 3,92
2,35 5,88
6,29 1,96
3,79 1,96
6,76 3,92
10,55 B. Non Komersil
41,18 25,24
50,98 56,76
19,61 36,93
19,61 85,19
39,22 122,12
Total A + B 47,06
28,97 62,75
69,91 23,53
45,45 23,53
97,10 47,06
142,55
15 2009
5J A. Komersil
5,88 3,84
1,96 2,76
- -
- -
- -
1. Dipterocarpaceae 1,96
1,28 -
- -
- -
- -
- 2. Non Dipterocarpaceae
3,92 2,56
1,96 2,76
- -
- -
- -
B. Non Komersil 50,98
33,62 27,45
30,48 15,69
30,78 7,84
51,56 23,53
82,34
Total A + B 56,86
37,47 29,41
33,25 15,69
30,78 7,84
51,56 23,53
82,34
167
168 Lampiran 1 Lanjutan
Pendugaan Potensi produksi per hektar setelah 25 tahun pada hutan produksi ketika diterapkan sistem silvikultur TPTII
No. Kelompok jenis
30 - 40 cm 40 - 50 cm
50 -60 cm =60 cm
=50 cm Tahun
No. petak
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
1 2005
1E A. Komersil
5,00 3,14
5,00 5,78
5,00 10,82
1,67 6,87
6,67 17,68
1. Dipterocarpaceae 1,67
1,18 1,67
1,72 1,67
4,04 -
- 1,67
4,04 2. Non Dipterocarpaceae
3,33 1,96
3,33 4,06
3,33 6,78
1,67 6,87
5,00 13,64
B. Non Komersil 21,67
13,22 58,33
71,01 26,67
51,95 15,00
114,66 41,67
166,61
Total A + B 26,67
16,36 63,33
76,79 31,67
62,77 16,67
121,52 48,33
184,29
2 2005
1C A. Komersil
- -
1,67 1,74
1,67 4,02
1,67 9,31
3,33 13,34
1. Dipterocarpaceae -
- 1,67
1,74 -
- 1,67
9,31 1,67
9,31 2. Non Dipterocarpaceae
- -
- -
1,67 4,02
- -
1,67 4,02
B. Non Komersil 25,00
17,12 48,33
55,47 21,67
40,81 31,67
168,86 53,33
209,67
Total A + B 25,00
17,12 50,00
57,21 23,33
44,84 33,33
178,17 56,67
223,01
3 2005
1D A. Komersil
1,67 0,94
6,67 8,17
- -
- -
- -
1. Dipterocarpaceae -
- 3,33
4,76 -
- -
- -
- 2. Non Dipterocarpaceae
1,67 0,94
3,33 3,41
- -
- -
- -
B. Non Komersil 13,33
7,64 23,33
28,21 13,33
24,77 26,67
161,04 40,00
185,81
Total A + B 15,00
8,58 30,00
36,38 13,33
24,77 26,67
161,04 40,00
185,81
169 Lampiran 1Lanjutan
4 2006
2A A. Komersil
3,33 52,38
23,33 25,56
5,00 10,42
3,33 12,54
8,33 22,96
1. Dipterocarpaceae 1,67
1,21 16,67
18,68 5,00
10,42 1,67
5,75 6,67
16,17 2. Non Dipterocarpaceae
1,67 51,17
6,67 6,87
- -
1,67 6,80
1,67 6,80
B. Non Komersil 28,33
15,75 30,00
33,04 16,67
32,53 13,33
51,60 30,00
84,13
Total A + B 31,67
68,12 53,33
58,60 21,67
42,95 16,67
64,15 38,33
107,10
5 2006
2E A. Komersil
15,00 8,54
21,67 23,27
5,00 10,04
3,33 9,73
8,33 19,78
1. Dipterocarpaceae 13,33
7,64 16,67
18,42 5,00
10,04 3,33
9,73 8,33
19,78 2. Non Dipterocarpaceae
1,67 0,90
5,00 4,84
- -
- -
- -
B. Non Komersil 13,33
7,17 48,33
52,58 15,00
27,99 18,33
71,51 33,33
99,50
Total A + B 28,33
15,71 70,00
75,84 20,00
38,04 21,67
81,24 41,67
119,28
6 2006
2G A. Komersil
5,00 2,67
10,00 10,63
8,33 16,19
1,67 6,40
10,00 22,59
1. Dipterocarpaceae 5,00
2,67 10,00
10,63 8,33
16,19 1,67
6,40 10,00
22,59 2. Non Dipterocarpaceae
- -
- -
- -
- -
- -
B. Non Komersil 31,67
18,05 23,33
25,81 6,67
13,25 1,67
13,32 8,33
26,57
Total A + B 36,67
20,73 33,33
36,44 15,00
29,44 3,33
19,73 18,33
49,16
170 Lampiran 1 Lanjutan
7 2007
3B A. Komersil
1,67 1,37
6,67 8,36
1,67 3,22
1,67 4,74
3,33 7,97
1. Dipterocarpaceae 1,67
1,37 3,33
4,07 -
- 1,67
4,74 1,67
4,74 2. Non Dipterocarpaceae
- -
3,33 4,30
1,67 3,22
- -
1,67 3,22
B. Non Komersil 48,33
29,39 33,33
37,18 6,67
13,98 10,00
30,10 16,67
44,07
Total A + B 50,00
30,76 40,00
45,54 8,33
17,20 11,67
34,84 20,00
52,04
8 2007
3D A. Komersil
6,67 4,46
5,00 6,79
5,00 9,89
3,33 9,31
8,33 19,20
1. Dipterocarpaceae -
- 3,33
4,44 5,00
9,89 3,33
9,31 8,33
19,20 2. Non Dipterocarpaceae
6,67 4,46
1,67 2,35
- -
- -
- -
B. Non Komersil 41,67
23,44 33,33
32,63 15,00
29,64 10,00
55,34 25,00
84,98
Total A + B 48,33
27,90 38,33
39,42 20,00
39,54 13,33
64,65 33,33
104,19
9 2007
3E A. Komersil
10,00 5,49
8,33 9,34
3,33 7,06
5,00 14,84
8,33 21,90
1. Dipterocarpaceae -
- 6,67
7,57 1,67
3,53 -
- 1,67
3,53 2. Non Dipterocarpaceae
10,00 5,49
1,67 1,77
1,67 3,53
5,00 14,84
6,67 18,37
B. Non Komersil 43,33
26,99 31,67
32,82 11,67
21,00 10,00
30,85 21,67
51,86
Total A + B 53,33
32,48 40,00
42,16 15,00
28,06 15,00
45,69 30,00
73,75
10 2008
4F A. Komersil
13,33 8,56
13,33 14,61
10,00 18,14
3,33 10,16
13,33 28,30
1. Dipterocarpaceae 10,00
6,22 6,67
7,19 8,33
14,61 1,67
5,96 10,00
20,57 2. Non Dipterocarpaceae
3,33 2,34
6,67 7,42
1,67 3,53
1,67 4,20
3,33 7,73
B. Non Komersil 35,00
21,60 21,67
24,65 20,00
38,77 13,33
48,69 33,33
87,46
Total A + B 48,33
30,16 35,00
39,25 30,00
56,91 16,67
58,85 46,67
115,76
171
11 2008
4G A. Komersil
8,33 6,02
15,00 17,88
3,33 5,58
5,00 15,68
8,33 21,27
1. Dipterocarpaceae 5,00
3,68 8,33
9,77 3,33
5,58 5,00
15,68 8,33
21,27 2. Non Dipterocarpaceae
3,33 2,34
6,67 8,11
- -
- -
- -
B. Non Komersil 33,33
20,98 31,67
33,77 13,33
24,60 10,00
43,00 23,33
67,60
Total A + B 41,67
26,99 46,67
51,66 16,67
30,19 15,00
58,68 31,67
88,87
12 2008
4H A. Komersil
5,00 3,68
10,00 11,39
3,33 5,58
5,00 15,68
8,33 21,27
1. Dipterocarpaceae 5,00
3,68 8,33
9,77 3,33
5,58 5,00
15,68 8,33
21,27 2. Non Dipterocarpaceae
- -
1,67 1,62
- -
- -
- -
B. Non Komersil 25,00
16,35 41,67
47,93 13,33
25,94 10,00
52,63 23,33
78,58
Total A + B 30,00
20,03 51,67
59,32 16,67
31,53 15,00
68,31 31,67
99,84
13 2009
5E A. Komersil
5,00 3,17
6,67 7,45
3,33 7,25
1,67 4,37
5,00 11,62
1. Dipterocarpaceae 1,67
1,17 5,00
5,84 1,67
4,02 1,67
4,37 3,33
8,40 2. Non Dipterocarpaceae
3,33 2,00
1,67 1,62
1,67 3,22
- -
1,67 3,22
B. Non Komersil 26,67
16,62 45,00
46,40 10,00
19,88 15,00
67,46 25,00
87,33
Total A + B 31,67
19,79 51,67
53,85 13,33
27,12 16,67
71,83 30,00
98,95
172 Lampiran 1 Lanjutan
14 2009
5I A. Komersil
5,00 3,17
10,00 11,18
3,33 7,25
3,33 10,12
6,67 17,37
1. Dipterocarpaceae 1,67
1,17 5,00
5,84 1,67
4,02 1,67
4,37 3,33
8,40
2. Non Dipterocarpaceae
3,33 2,00
5,00 5,34
1,67 3,22
1,67 5,75
3,33 8,97
B. Non Komersil 35,00
21,46 43,33
48,24 16,67
31,39 16,67
72,41 33,33
103,80
Total A + B 40,00
24,63 53,33
59,42 20,00
38,64 20,00
82,53 40,00
121,17
15 2009
5J A. Komersil
5,00 3,26
1,67 2,35
- -
- -
- -
1. Dipterocarpaceae 1,67
1,09 -
- -
- -
- -
- 2. Non Dipterocarpaceae
3,33 2,18
1,67 2,35
- -
- -
- -
B. Non Komersil 43,33
28,58 23,33
25,91 13,33
26,17 6,67
43,82 20,00
69,99
Total A + B 48,33
31,85 25,00
28,26 13,33
26,17 6,67
43,82 20,00
69,99
173 Lampiran 1 Lanjutan
Rata-rata potensi produksi per hektar pada penerapan silvikultur TPTI
Kelompok jenis 30 - 40 cm
40 - 50 cm 50 -60 cm
=60 cm =50 cm
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
A. Komersil 7,06
8,38 11,37
12,90 4,58
9,06 3,14
10,18 7,71
19,23 1. Dipterocarpaceae
3,79 2,44
7,58 8,66
3,53 6,90
2,22 7,16
5,75 14,06
2. Non Dipterocarpaceae 3,27
5,94 3,79
4,24 1,05
2,16 0,92
3,02 1,96
5,17 B. Non Komersil
36,47 22,30
42,09 46,72
17,25 33,15
16,34 80,42
33,59 113,57
Total A + B 43,53
30,68 53,46
59,62 21,83
42,21 19,48
90,59 41,31
132,80
174
Lampiran 1 Lanjutan
Rata-rata potensi produksi per hektar pada penerapan silvikultur TPTII
Kelompok jenis 30 - 40 cm
40 - 50 cm 50 -60 cm
=60 cm =50 cm
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
N Phha
V m3ha
A. Komersil 6,00
7,12 9,67
10,97 3,89
7,70 2,67
8,65 6,56
16,35 1. Dipterocarpaceae
3,22 2,07
6,44 7,36
3,00 5,86
1,89 6,09
4,89 11,95
2. Non Dipterocarpaceae 2,78
5,05 3,22
3,60 0,89
1,84 0,78
2,56 1,67
4,40 B. Non Komersil
31,00 18,96
35,78 39,71
14,67 28,18
13,89 68,35
28,56 96,53
Total A + B 37,00
26,08 45,44
50,68 18,56
35,88 16,56
77,00 35,11
112,88
175
Lampiran 2. Rekapitulasi penghitungan riap diameter Petak Ukur Permanen PUP PT. Sukajaya Makmur RKT 2005 tahun pengukuran 2005
dan 2006
Nomor Petak
Ukur Rataan Riap Diameter cm
Keterangan PUP 1
PUP 2 PUP 3
PUP 4
1 0,62
0,80 0,93
2 0,84
0,79 0,94
3 0,87
0,87 0,75
0,98 4
0,89 0,88
0,64 0,86
5 0,87
0,89 0,77
0,85 6
0,78 0,80
0,93 0,92
7 0,83
0,86 0,67
0,91 8
0,83 0,83
0,71 0,79
9 0,84
0,78 0,71
10 0,89
0,74 0,74
11 0,85
0,82 0,83
0,70 12
0,87 0,86
0,90 0,73
13 0,87
0,83 0,94
0,76 14
0,86 0,88
0,85 0,73
15 0,86
0,80 0,88
0,71 16
0,85 0,88
0,93 0,58
17 0,91
0,68 0,83
0,70 18
0,79 0,79
0,85 0,71
19 0,66
0,69 0,84
0,66 20
1,01 0,83
0,87 0,62
21 0,72
0,85 1,15
0,88 22
0,71 0,85
1,05 0,96
23 0,70
0,86 0,91
0,93 18
0,79 0,79
0,85 0,71
19 0,66
0,69 0,84
0,66 20
0,81 0,83
0,87 0,62
21 0,72
0,85 1,15
0,88 22
0,71 0,85
1,05 0,96
23 0,70
0,86 0,91
0,93 24
0,73 0,80
0,80 0,86
25 0,81
0,86 0,85
Rata-rata 0,81
0,83 0,84
0,80
Rata-rata PUP 0,82
Lampiran 3. Hasil analisis regresi antara tinggi dan diameter pohon pada PUP di areal PT Sukajaya Makmur
Regression Analysis: log T versus log D The regression equation is
log T = 0,597 + 0,530 log D Predictor Coef
SE Coef T P Constant 0,59717 0,02507 23,82 0,000
log D 0,52955 0,01761 30,07 0,000
S = 0,09359 R-Sq = 76,8 R-Sqadj = 76,7
Analysis of Variance
Analysis of Variance Source DF SS MS F P
Regression 1 7,9201 7,9201 904,16 0,000 Residual Error 560 4,9054 0,0088
Total 561 12,8255
Lampiran 4. Daftar nama jenis pohon yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sukajaya Makmur
NO NAMA DAERAH
NAMA BOTANI FAMILI
1 Balik angin
Croton argyratus Euphorbiaceae
2 Bangkirai
Shorea laevifolia Ridley Dipterocarpaceae
3 Banitan
Monocarfia Kalimantanensis Keβler Annonaceae
4 Bayur
Pterosperum javanicum Jungh. Sterculiaceae
5 Bekarut
Barringtonia asiatica. Lecythidaceae
6 Bekasai
Pometia sp Sapindaceae
7 Bekawi
Hopea sp Dipterocarpaceae
8 Belang Tikus
Eugenia sp Myrtaceae
9 Belantik
Cococeras sumatrana Euphorbiceae
10 Belian
Eusideroxylon zwageri Lauraceae
11 Belubu
Pterocymbium tubilatum Sterculiaceae
12 Benuang
Octomeles sumatrana Miq Datiscaceae
13 Berangan
Ochanostachys sp Olacaceae
14 Berobakan
Shorea sp. Dipterocarpaceae
15 Bersirih
Vatica oblongifolia Dipterocarpaceae
16 Bintangor
Calophyllum inophyllum L Guttiferae
17 Binyau
Dracontomelon dao Anacardiaceae
18 Birung
Alangium javanicum Alangiaceae
19 Boyu
Saraca sp Caesalpiniaceae
20 Brangkasai
Pometia Pinnata Sapindaceae
21 Bulin
Eusideroxylon zwageri Lauraceae
22 Cempaka
Elmerillia sp Magnoliaceae
23 Cempedak
Artocarpus champeden Merr Moraceae
24 Cempening
Quercus sp Fagaceae
25 Dadak
Artocarpus sp Moraceae
26 Durian burung
Durio dulcis Bombacaceae
27 Emang
Hopea sp Dipterocarpaceae
28 EmbakKapul
Baccaurea sp Euphorbiaceae
29 Engkabang
Shorea pinanga Dipterocarpaceae
30 Engkalinas
Vatica sp Dipterocarpaceae
31 GaharuGaru
Aquilaria malaccensis Thymelacaceae
32 Gambir
Trigonopleura malayana Hook f Euphorbiaceae
33 Garung
Macaranga hypoleuca Lamk Euphorbiaceae
34 GeronamBetana
Ochanostachys amentacea Olacaceae
35 Gerunggang
Cratoxylon sumatranum Blume Guttiferae
36 Ipak
Gonystylus brunescens Thymelaeaceae
37 Jabon
Anthocephalus cadamba Rubiaceae
38 Jangkang
Xylopia sp. Annonaceae
39 Jelatang
Laportea stimulans 40
Jelutung Dyera costulata Hook f
Apocynaceae 41
Juhing Dillenia sp.
Dilleniaceae 42
Kalam Duabanga mollucana
Sonneratiaceae 43
Kampili Quercus lineata
Fagaceae 44
Kandis Cratoxylon formosum
Guttiferae 45
Kapuak Artocarpus tamaran
Moraceae 46
Kapul Baccaurea dulcis Mig
Euphorbiaceae 47
Kapur Kapur Dryobalanops beccarii Dyer
Dipterocarpaceae 48
Kayu Arang Diospyros campanulata Merr
Ebenaceae 49
Kayu Batu Irvingia malayana
Simaroubaceae 50
Kayu bunga Parinari oblongifolia
Crysobalanaceae 51
Kayu Langit Santiria tomentosa
Bursecaceae 52
Kayu Malam Diospyros maerophylla
Elenaceae 53
Kedondong Daeryodes costata
Bursecaceae 54
Kekabang Sandoriacum koetjape
Meliaceae 55
Kelaban Vitex pubescens Vahl
Verbenaceae 56
Keladan Dryobalanops aromatica
Dipterocarpaceae
57 Kelampai
Elaterospermum tapos Blume Euphorbiaceae
58 Kelengkeng
Artocarpus sp Moraceae
59 Kelepu
Nauclea sp. Rubiaceae
60 Kemayau
Dacryodes rostrata Burseraceae
61 Kembayau
Dacryodes rostrata Bunseraceae
62 Kempas
Koompassia malaccensi Maing Fabaceae
63 Keranji
Diallium indum L Caesalpinaceae
64 Keruing
Dipterocarpus gericulatus Vsi Dipterocarpaceae
65 Ketapang
Terminalia catappa L Combrettaceae
66 Ketikal
Ochanostachys amentaceal Olacaceae
67 Kontoi
Shorea sp. Dipterocarpaceae
68 Kubing
Tristania sp Myrtaceae
69 Kulim
Scorodocarpus borneensis Olacaceae
70 Kumpang
Myristica iners Blume Myristicaceae
71 Kumpang arang
Diospyros borneensis Ebenaceae
72 Kumpang darah
Myristica sp. Myristicaceae
73 Laban
Vitex pubesceus Vahl Verbenaceae
74 Lagan
Kibessia sp. Melastomataceae
75 Lahong
Durio acutifolius Bombacaceae
76 Langsat
Lansium domesticum Meliaceae
77 Lanjau
Pontaspadon motleyi Anacardiaceae
78 Linang
Nephelium sp. Sapindaceae
79 Mahabai
Polyalthia hypoleuca Annonaceae
80 Manggis hutan
Garcinia mangostana L Guttiferae
81 Manyam
Glochidion sp. Euphorbiaceae
82 Medang
Litsea firma Hook f Lauraceae
83 Majak
Shorea palembanica Dipterocarpacea
84 Melapi
Hopea sp. Dipterocarpaceae
85 Menjalin
Xanthophyllum excelsum Polygalaceae
86 Mentawa
Artocarpus elasticus Moraceae
87 Meranti Batu
Shorea uliginosa Dipterocarpacea
88 Meranti kuning
Shorea johorensis Dipterocarpaceae
89 Meranti merah
Shorea leprosula Dipterocarpaceae
90 Meranti putih
Shorea hopeifolia Dyer Dipterocarpaceae
91 Merawan
Hopea mengerawan Dipterocarpaceae
92 Merkubung
Macaranga gigantea Euphorbiaceae
93 Mersawa
Anisoptera costata Korth Dipterocarpaceae
94 Nyatoh
Palaquium beccarianum Van Royen Sapotaceae
95 Pandau
Randia sp Rubiaceae
96 Pangkilan Semut
Baccaurea sp Euphorbiacea
97 Paru-Paru
Sindora wallichii Caesalpiniaceae
98 Pekawai
Durio kutejensis Bombacacea
99 Pengerawan
Shorea leprosula Dipterocarpacea
100 Petai
Parkia speciosa Leguminoceae
101 Pihing
Artocarpus sp. Moraceae
102 Pisang-pisang
Mezzetia parvifolia Annonacea
103 Ponga
Shorea ovata Dipterocarpacea
104 Ponga Batu
Shorea quadrinervis Dipterocarpacea
105 Pongsi
Elaeocarpus stipulatis Tiliacea
106 Pudu
Artocarpus comando Moraceae
107 Putat
Planchonia valida Lecythidaceae
108 Rambutan
Nephelium sp. Sapindaceae
109 Rengas
Gluta renghas Anacardiaceae
110 Rerige
Dillenia eximia Dilteniacea
111 Resak
Vatica pauciflora Hook f Dipterocarpaceae
112 Riga
Dillenia sp. Dilleniaceae
113 Rupis
Ouratea sp Oehnacea
114 Salam
Euginea sp. Myrtaceae
115 Sampak
Aglaia sp Meliaceae
116 Sampe
Costanopsis sp Fagaceae
117 Segarang
Sapium discolor Euphorbiaceae
118 Segulang
Evodia sp. Rutaceae
119 Sembulan
Teysmanniodendron sp Verbenaceae
120 Sengkuang
Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae
121 Simpotir
Kingiodendron sp. Caesalpiniaceae
122 Simpur
Dillenia eximia Dilleniaceae
123 Sinduk
Scorodocarpus Olacaceae
124 Sindur
Sindora wallichii Caesalpiniaceae
125 Sumpit
Microsas henrici Tiliaceae
126 Tampar
Sindora leiocarpa Caesalpiniaceae
127 Tengkawang
Shorea stenoptera Dipterocarpaceae
128 Terentang
Campnosperma auriculata Anacardiaceae
129 Timau
Cratoxylon arborescens Guttiferae
130 Torap
Arthocarpus elasticus Moracea
131 UbahUbai
Eugenia sp. Myrtaceae
132 Ubar
Eugenia sp Myrtacea
133 Udak
Sterculia sp. Sterculiaceae
134 Umbing
Xylopia sp Annonaceae
Lampiran 6. Hasil analisis regresi berganda antara tinggi pohon dan umur serta sifat-sifat tanah
Welcome to Minitab, press F1 for help.
Regression Analysis: Log T versus 1U; pH; ...
Liat is highly correlated with other X variables Liat has been removed from the equation.
The regression equation is Log T = 0,20 - 1,09 1U - 0,169 pH + 0,0669 C-org + 0,367 N + 0,0045 P
- ter
+ 0,0858 Ca + 0,188 Mg - 0,377 K - 0,00502 Pasir + 0,00164 Debu
Predictor Coef SE Coef T P Constant 0,201 1,736 0,12 0,914
1U -1,0871
0,2555 -4,25 0,013
pH -0,1690 0,3404
-0,50 0,646 C-org 0,06686 0,06989 0,96 0,393
N 0,3672 0,9466 0,39 0,718 P - ter 0,00446 0,01648 0,27 0,800
Ca 0,08584 0,06955 1,23 0,285 Mg
0,1882 0,1835 1,03 0,363 K
-0,3765 0,7712 -0,49 0,651
Pasir -0,005017 0,008903
-0,56 0,603 Debu 0,001642 0,008815 0,19 0,861
S = 0,144020 R-Sq = 94,0
R-Sqadj = 78,9
Analysis of Variance Source
DF SS MS F P Regression 10 1,29277 0,12928 6,23 0,046
Residual Error 4 0,08297 0,02074 Total 14 1,37573
Stepwise Regression: Log T versus 1U; pH; ...
Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is Log T on 11 predictors, with N = 15
Step 1 2 Constant 0,8245 2,1234
1U -0,94
-1,05 T-Value
-7,60 -9,83
P-Value 0,000 0,000 pH
-0,263 T-Value
-2,83 P-Value 0,015
S 0,139 0,112 R-Sq 81,64 89,00
R
-Sqadj 80,23 87,16
Log T = 2,1234 - 1,051U – 0,263 pH
— 04082011 13:32:34 —
Lampiran 7. Hasil uji beda nyata Tukey uji T pada beberapa sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII di
PT. Sukajaya Makmur
————— 392011 3:22:00 PM
———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help.
————— 392011 3:53:59 PM ———————————————————— Two-Sample T-Test and CI: H20 K, H20 T
Two-sample T for H20 K vs H20 T N Mean StDev SE Mean
H20 K 30 4.933 0.350 0.064 H20 T 30 4.630 0.381 0.070
Difference = mu H20 K - mu H20 T Estimate for difference: 0.3033
95 CI for difference: 0.1143, 0.4923 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 3.21 P-Value = 0.002 DF = 57
Two-Sample T-Test and CI: C Org K, C Org T
Two-sample T for C Org K vs C Org T N Mean StDev SE Mean
C Org K 29 2.96 2.07 0.38 C Org T 30 2.20 1.55 0.28
Difference = mu C Org K - mu C Org T Estimate for difference: 0.764
95 CI for difference: -0.193, 1.721 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.60 P-Value = 0.115 DF = 51
Two-Sample T-Test and CI: keyldahl K, keyldahl T
Two-sample T for keyldahl K vs keyldahl T N Mean StDev SE Mean
keyldahl K 30 0.229 0.128 0.023 keyldahl T 30 0.199 0.101 0.018
Difference = mu keyldahl K - mu keyldahl T Estimate for difference: 0.0307
95 CI for difference: -0.0291, 0.0904 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.03 P-Value = 0.308 DF = 55
Two-Sample T-Test and CI: bray I K, bray I T
Two-sample T for bray I K vs bray I T N Mean StDev SE Mean
bray I K 30 12.8 11.6 2.1 bray I T 30 6.97 5.64 1.0
Difference = mu bray I K - mu bray I T Estimate for difference: 5.87
95 CI for difference: 1.10, 10.63 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.49 P-Value = 0.017 DF = 41
Lampiran 7 Lanjutan
Two-Sample T-Test and CI: Ca K, Ca T
Two-sample T for Ca K vs Ca T N Mean StDev SE Mean
Ca K 30 5.79 1.63 0.30 Ca T 30 5.35 1.68 0.31
Difference = mu Ca K - mu Ca T Estimate for difference: 0.441
95 CI for difference: -0.414, 1.297 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.03 P-Value = 0.306 DF = 57
Two-Sample T-Test and CI: Mg K, Mg T
Two-sample T for Mg K vs Mg T N Mean StDev SE Mean
Mg K 30 4.131 0.727 0.13 Mg T 30 4.333 0.790
0.14 Difference = mu Mg K - mu Mg T
Estimate for difference: -0.203
95 CI for difference: -0.595, 0.190 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -1.03 P-Value = 0.306 DF = 57
Two-Sample T-Test and CI: K K, K T
Two-sample T for K K vs K T N Mean StDev SE Mean
K K 30 0.205 0.129 0.024 K T 30 0.1623 0.0889 0.016
Difference = mu K K - mu K T Estimate for difference: 0.0430
95 CI for difference: -0.0143, 0.1003 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.51 P-Value = 0.138 DF = 51
Two-Sample T-Test and CI: KTK K, KTK T
Two-sample T for KTK K vs KTK T N Mean StDev SE Mean
KTK K 30 12.86 4.53 0.83 KTK T 30 10.85 4.12 0.75
Difference = mu KTK K - mu KTK T Estimate for difference: 2.01
95 CI for difference: -0.23, 4.25 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.80 P-Value = 0.078 DF = 57
Two-Sample T-Test and CI: kejenuhan K, kejenuhan T
Two-sample T for kejenuhan K vs kejenuhan T N Mean StDev SE Mean
kejenuhan K 30 42.8 12.2 2.2 kejenuhan T 30 32.7 10.1 1.8
Difference = mu kejenuhan K - mu kejenuhan T Estimate for difference: 10.05
95 CI for difference: 4.25, 15.84 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 3.47 P-Value = 0.001 DF = 55
Lampiran 7 Lanjutan
Two-Sample T-Test and CI: Al+++ K, Al+++ T
Two-sample T for Al+++ K vs Al+++ T N Mean StDev SE Mean
Al+++ K 30 2.085 0.368 0.067 Al+++ T 30 1.831 0.490
0.089 Difference = mu Al+++ K - mu Al+++ T
Estimate for difference: 0.255 95 CI for difference: 0.030, 0.479
T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.28 P-Value = 0.027 DF = 53
Two-Sample T-Test and CI: Zn K, Zn T
Two-sample T for Zn K vs Zn T N Mean StDev SE Mean
Zn K 30 4.967 0.570 0.10 Zn T 30 5.447 0.665 0.12
Difference = mu Zn K - mu Zn T Estimate for difference:
-0.480 95 CI for difference: -0.800, -0.160
T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -3.00 P-Value = 0.004 DF = 56
Two-Sample T-Test and CI: Fe K, Fe T
Two-sample T for Fe K vs Fe T N Mean StDev SE Mean
Fe K 30 43.8 12.1 2.2 Fe T 30 33.91 9.91 1.8
Difference = mu Fe K - mu Fe T Estimate for difference: 9.92
95 CI for difference: 4.20, 15.63 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 3.48 P-Value = 0.001 DF = 55
Two-Sample T-Test and CI: pasir K, pasir T
Two-sample T for pasir K vs pasir T N Mean StDev SE Mean
pasir K 30 32.51 8.97 1.6 pasir T 30 26.3 12.0 2.2
Difference = mu pasir K - mu pasir T Estimate for difference: 6.25
95 CI for difference: 0.77, 11.73 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.29 P-Value = 0.026 DF = 53
Two-Sample T-Test and CI: debu K, debu T
Two-sample T for debu K vs debu T N Mean StDev SE Mean
debu K 30 36.77 5.19 0.95 debu T 30 41.22 6.14 1.1
Difference = mu debu K - mu debu T Estimate for difference:
-4.45 95 CI for difference: -7.39, -1.51
T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -3.03 P-Value = 0.004 DF = 56 Two-Sample T-Test and CI: bulk K, bulk T
Lampiran 7 Lanjutan
Two-sample T for bulk K vs bulk T N Mean StDev SE Mean
bulk K 15 0.849 0.115 0.030 bulk T 30 0.927 0.111 0.020
Difference = mu bulk K - mu bulk T Estimate for difference:
-0.0787 95 CI for difference: -0.1523, -0.0050
T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -2.19 P-Value = 0.037 DF = 27
Two-Sample T-Test and CI: porositas K, porositas T
Two-sample T for porositas K vs porositas T N Mean StDev SE Mean
porositas K 15 67.99 4.36 1.1 porositas T 30 65.06 4.18
0.76 Difference = mu porositas K - mu porositas T
Estimate for difference: 2.93 95 CI for difference: 0.14, 5.72
T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.15 P-Value = 0.040 DF = 27
Two-Sample T-Test and CI: PF2 K, PF2 T
Two-sample T for PF2 K vs PF2 T N Mean StDev SE Mean
PF2 K 15 44.84 3.56 0.92 PF2 T 30 41.62 4.90 0.89
Difference = mu PF2 K - mu PF2 T Estimate for difference: 3.22
95 CI for difference: 0.62, 5.82 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.51 P-Value = 0.017 DF = 37
Two-Sample T-Test and CI: lambat K, lambat T
Two-sample T for lambat K vs lambat T N Mean StDev SE Mean
lambat K 15 9.11 2.94 0.76 lambat T 30 6.65 3.35 0.61
Difference = mu lambat K - mu lambat T Estimate for difference: 2.460
95 CI for difference: 0.470, 4.450 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.52 P-Value = 0.017 DF = 31
Two-Sample T-Test and CI: permeabilitas K, permeabilitas T
Two-sample T for permeabilitas K vs permeabilitas T N Mean StDev SE Mean
permeabilitas K 15 14.17 4.02 1.0 permeabilitas T 30 11.78 2.47 0.45
Difference = mu permeabilitas K - mu permeabilitas T Estimate for difference: 2.40
95 CI for difference: 0.03, 4.76 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.12 P-Value = 0.047 DF = 19
Lampiran 7 Lanjutan
Two-Sample T-Test and CI: mikro K, mikro T
Two-sample T for mikro K vs mikro T N Mean StDev SE Mean
mikro K 30 39.8 17.0 3.1 mikro T 30 31.1 13.4 2.4
Difference = mu mikro K - mu mikro T Estimate for difference: 8.67
95 CI for difference: 0.74, 16.60 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.19 P-Value = 0.033 DF = 54
Two-Sample T-Test and CI: fungi K, fungi T
Two-sample T for fungi K vs fungi T N Mean StDev SE Mean
fungi K 30 14.4 10.6 1.9 fungi T 30 10.37 7.92 1.4
Difference = mu fungi K - mu fungi T Estimate for difference: 4.07
95 CI for difference: -0.77, 8.90 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.69 P-Value = 0.098 DF = 53
Lampiran 8. Regresi diameter dengan umur pada tanaman Meranti merah Shorea leprosula di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII
☞ ✌✍ ✌ ✎✏✑✎
✒✓✏✒ ✓ ✔✕ ✑✎ ✖
✑ ✒✑ ✗ ✕
✑ ✘ ✓ ✖✓✒
✔ ✓✖ ✕✎✏✏ ✕
dada cm dengan Umur tahun adalah log D = - 0,44789 + 1,4803 log A
Regression Analysis: log D versus log A
✙✚✛
dictor Coef SE Coef
T P Constant
-0,44789 0,07830 -5,72 0,000
log A 1,4803 0,1619 9,14 0,000
S = 0,2189 R-Sq = 74,9 R-Sqadj = 74,0 Analysis of Variance
Source DF SS MS F
P Regression
1 4,0061 4,0061 83,59 0,000 Residual Error
28 1,3419 0,0479 Total
29 5,3480
Lampiran 9. Regresi tinggi dan diameter pada tanaman Meranti merah Shorea leprosula di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII
✜✢✣✢ ✤✥✦ ✤ ✧★ ✥✧★✩✪
✦✤✫✦✧✦ ✬✪
✤✥✥ ✪
✫ ✭ ✫✦
✮ ✯
dengan Diameter setinggi dada cm adalah
log T = 0,27263 + 0,7093 log D Regression Analysis: log T versus log D
Predictor Coef SE Coef T P
Constant 0,27263 0,01186 22,99 0,000
log D 0,70930 0,02610 27,17 0,000
S = 0,06037 R-Sq = 96,3 R-Sqadj = 96,2 Analysis of Variance
Source DF SS MS F P
Regression 1 2,6906 2,6906 738,36 0,000
Residual Error 28 0,1020 0,0036
Total 29 2,7927
189 Lampiran 10. Hasil Uji T sifat-sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII dengan umur tanaman 1
sampai 5 tahun
SIFAT TANAH
Blok TPTII Tahun 2005
2006 2007
2008 2009
JA JT
P JA
JT P
JA JT
P JA
JT P
JA JT
P
A. KIMIA Ph
5,0 4,7
6 5,1
4,9 4
4,5 4,7
-4 4,9
5,1 4
4,7 4,4
6
KTK 14,05
15,21
8
17,14 12,86
25
16,53 14,70
11
19,00 12,75
33
14,31 15,78
10
Kej Basa 38,43
29,27
24
46,50 37,83
19
40,60 36,90
9
43,37 45,57
5
36,50 25,67
30
C-org 5,297
2,363 55
4,973 2,823
43 5,580
4,530 19
4,770 4,340
9 2,220
3,190 44
N 0,340
0,223 34
0,354 0,230
35 0,377
0,307 19
0,353 0,320
9 0,297
0,293 1
P- ters ppm 10,83
4,13 62
17,13 11,83
31 28,50
4,03 86
32,70 14,93
54 19,50
16,73 14
K me100 g 0,343
0,167 51
0,280 0,247
12 0,357
0,320 10
0,247 0,183
26 0,250
0,173 31
Ca me100 g 5,620
6,59
17
4,140 4,930
19
5,632 4,393
22
4,750 3,010
37
7,580 7,397
2
Mg me100g 3,817
4,610
21
3,660 4,577
25
4,423 4,800
9
4,927 4,807
2
3,607 3,230
10
Al dd meq 1,93
2,017 5
1,837 1,837
2,100 2,117
1 2,260
2,507 11
1,703 1,440
15
Fe 39,50
30,47 23
47,50 38,93
18 41,60
38,00 9
44,37 46,57
5 37,70
26,90 29
Zn 4,867
5,800 19
5,867 5,330
9 4,767
4,633 3
4,867 5,167
6 5,333
5,933 11
B. FISIKA Permeabiltas
cmjam 18,49
15,63
15
15,11 11,34
25
13,38 11,07
17
12,62 10,14
20
11,26 10,70
5
Bulk Density gcc 0.77
0,90 16
0,80 1,03
28 0,88
0,93 5
0,90 0,93
3 0,89
0,86 3
Porositas 70,85
66,29
6
69,85 61,40
12
66,73 65,00
3
66,14 65,04
2
66,38 67,57
2
Air Ters 18,47
13,38
28
14,37 10,54
27
13,41 12,65
6
13,05 13,61
4
12,53 13,47
8
C. BIOLOGI Mikroorganisme
25,30 24,83
2 55,00
27,00 51
40,83 21,67
47 31,33
22,33 29
52,20 58,20
12
Fungi 5,83
2,67 54
20,33 22,33
10 23,67
14,17 40
13,00 8,50
35 2,33
13,80 83
Keterangan : JA = Jalur Antara
JT = Jalur Tanam P = Perubahan
= Berbeda nyata pada taraf 95 = Berbeda nyata pada taraf 99
ABSTRACT
IWAN AMINUDIN. The Development Stands on Production Natural Forest in TPTII Silvicultural System. Advisory Committee : ANDRY INDRAWAN as
Chairman, PRIJANTO PAMOENGKAS and BASUKI WASIS as Members.
TPTII silvicultural system are expected to increase the productivity of forests through stripline planting system. Planting lane on one side allows the growth of
Meranti type group, but on the other hand alleged damages arising out of land and vegetation changes. This study aims to analyze the structure and composition
of the residual stand on logged-over natural forests, to evaluate plant growth Red Meranti Shorea leprosula and is identify soil quality on production of natural
forest management in the application of TPTII silvicultural system. The research was carried out in working area IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Ketapang
District, West Kalimantan Province. Growth of S. leprosula is predicted to reach the first cycle at the age of 25 years, with a diameter increment reached 1.67
cmyear, with an average diameter of 41.83 cm and the productivity reached 91.79 m
3
ha. The potential total production of 255.34 m
3
ha of TPTII higher than TPTI which only had the potential value of production amounting to 192.43
m
3
ha. S. leprosula plant stand structure resembles the forest plantations spread diameter bell-shaped curve, while the residual stand structure following the
pattern of distribution of natural forests inverted J-shaped curve. Changes in vegetation is shown from the community similarity index IS value. The diversity
indexH’ ware varies value, generally ware same higher value at TPTII, TPTI and Virgin Forest. Land degradation can be seen from some of the parameters of
chemical properties, soil physics and biology. Soil characteristics at different TPTII logged over area,
TPTI logged over area and Virgin Forest. TPTII silvicultural systems have advantages in terms of timber production potential, but
has the disadvantage of the soil quality.
Keyword: TPTII, Shorea leprosula, productivity, diversity, soil quality.
RINGKASAN
IWAN AMINUDIN. Perkembangan Tegakan pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII. Dibimbing oleh : ANDRY INDRAWAN, PRIJANTO
PAMOENGKAS DAN BASUKI WASIS.
Sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman
dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat
pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun di
sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman Shorea leprosula
pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya, menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan
sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya dan mengidentifikasi kualitas tanah pada
pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan.
Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data primer
dilakukan pada areal hutan TPTII yang berumur 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun yang terletak pada blok tebangan TPTII tahun 2010 TPTI 1983, 2009, 2008, 2007,
2006, dan 2005. Pengambilan data primer pada blok KPPN Kawasan Konservasi Plasma Nutfah merupakan areal representasi dari Virgin Forest. Data sekunder
untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen.
Riap diameter Shorea leprosula pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cmth, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun
riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cmth. Daur pertama tanaman
Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII akan diperoleh
pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman Shorea leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai
91,79 m
3
ha. Struktur tegakan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai
hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah terjadi perubahan vegatasi,
hal ini dapat terlihat dari nilai indeks persamaan komunitas IS. Nilai indeks tersebut pada hutan bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII
lebih kecil dibandingkan dengan TPTI. Nilai indeks keanekaragaman jenis H’ sangat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest
mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama , yaitu pada tingkat sedang. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem
silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur
TPTI dan virgin forest. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII atau TPTI telah merubah komposisi tegakan. Pada hutan primer virgin
forest Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan
sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat
pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder.
Penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi
total dari TPTII yaitu sebesar 255,34 m3ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m3ha.
Dalam penerapan Sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi
tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan Virgin Forest
. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah.
Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang.
Jalur Antara harus dipertahankan dan difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai
areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi sebagai penciri Karakterisasi keberlanjutan hutan alam.
Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi kayu, akan tetapi
mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya memodifikasi terhadap sistem silvikultur TPTII, dualisme penebangan,
antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan Jalur Tanam perlu dicoba untuk dihilangkan.
Diperlukan penelitian lebih lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi
adanya pembuatan Jalur Tanam.
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan
hutan serta bangkrutnya dunia usaha di sektor kehutanan sebagai akibat besarnya dominasi pengusahaan hutan dalam bentuk konsesi HPH atau IUPHHK serta
diperburuk lagi dengan praktek perambahan hutan, penebangan liar dan penyelundupan kayu. Keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam
pembangunan nasional dipertanyakan, masih bisakah sektor kehutanan bangkit kembali pada masa yang akan datang. Peran sektor kehutanan dalam
pembangunan banyak dipertanyakan, utamanya yang terkait dengan pengelolaan hutan alam Indonesia dalam bentuk konsesi HPH IUPHHK.
Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai dengan keluarnya Undang- Undang Nomor 5 tahun 1967 menjadi penanda awal lahirnya pengelolaan hutan
dalam bentuk konsesi HPH. Kebutuhan modal yang besar guna mengejar
pertumbuhan ekonomi telah memalingkan penguasa Orde Baru ke arah sektor kehutanan sebagai sumber devisa. Pada awal tahun 1969 tercatat 53 unit konsesi
HPH dan meningkat sampai 632 unit pada akhir tahun 1980-an dengan luas konsesi mencapai sekitar 64,3 juta ha. Pada masa tersebut merupakan era emas
sektor kehutanan, devisa dari eksport produksi sektor kehutanan pada puncaknya mencapai USD 8 Milyar pertahun Ngadiono 2004. Atas pencapaian tersebut
sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah Migas. Setelah era tersebut sampailah pada masa keterpurukan. Pada tahun 2003 jumlah
HPH yang beroperasi hanya tinggal 266 unit dengan luas konsesi tinggal 28,1 juta ha.
Kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa merosok tajam menjadi tinggal USD 1,5 Milyar pertahun Ngadiono 2004. Kondisi tersebut
berlanjut sampai saat ini, sektor kehutanan tidak lagi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap devisa nasional bahkan menjadi beban dan masalah bagi
pembangunan nasional. Dunia kehutanan memang terpuruk tetapi belum mati, oleh karena itu untuk
memulai kembali kebangkitan kehutanan di Indonesia langkah pokok yang harus
dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign
manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan,
terutama pada hutan produksi sehingga pada hutan produksi tersebut tetap terjadi kelestarian fungsi produksi dan ekologi. Diperlukan redesign kelola produksi
untuk membangkitkan kembali sektor kehutanan. Terkait kelola produksi dan
peningkatan produktivitas perlu penelaahan kembali sistem-sistem silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia.
Sistem silvikultur memegang peranan sentral dalam pengelolaan hutan karena didalamnya terdapat pengaturan mengenai daur tebang, riap, tahapan
kegiatan dari seluruh penebangan kayu sampai pada kegiatan penanaman pengayaan pada kawasan hutan bekas tebangan Indrawan 2008. Kesalahan
dalam penerapan sistem silvikultur akan berakibat pada kerusakan hutan. Sistem silvikultur yang menjadi landasan praktek pengusahaan hutan alam
tropis di luar Jawa adalah keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35KptsDDI1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia TPI, Tebang
Habis dengan Permudaan Buatan THPB, Tebang Habis dengan Permudaan Alam THPA dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Dalam perjalanannya
sistem silvikultur TPI disempurnakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI, yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor 485Kpts-II1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Keputusan tersebut
dioperasionalkan dengan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564Kpts-IVBPHH1989 tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang
Pilih Tanam Indonesia TPTI. Konsep sistem silvikultur TPTI yang semula diyakini mampu melestarikan
sumberdaya hutan ternyata belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Salah satu fenomena utama yang mengemuka sebagai akibat kondisional di atas adalah
menurunnya luas hutan alam yang dikelola dengan sistem tebang pilih dari 59,6 juta hektar tahun 1990 menjadi 28,7 juta hektar tahun 2007. Kondisi tersebut
juga tercermin dari penurunan produktivitas kayu bulat dari 28 juta m
3
menjadi hanya 9,1 juta m
3
. Riap tahunan juga menurun dengan rerata 0,46 m
3
hatahun Ditjen BPK 2010.
Dalam kondisi berat dan kompleknya problema kegiatan pengusahaan hutan tersebut, diperlukan sebuah terobosan solusi. Sebagai landasan utama
aktivitas kelola hutan, maka sistem silvikultur merupakan salah satu kunci solusi. Diperlukan penyempurnaan sistem silvikultur yang mampu mengatasi berbagai
problema akibat dinamika dan perubahan lingkungan strategis di berbagai tingkatan. Konfigurasi kawasan hutan alam produksi yang dewasa ini didominasi
oleh hutan bekas tebangan atau logged over area LoA yang produktivitas dan potensi tegakannya cenderung menurun. Konsekwensi dari kondisi tersebut maka
penerapan sistem silvikultur hutan alam harus memenuhi beberapa syarat yaitu: mampu meningkatkan produktivitas lahan, mendongkrak potensi dan riap
tegakan, menjamin kepastian hukum tenurial dan keamanan berusaha serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Untuk menjawab tantangan
permasalahan tersebut maka digagaslah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII. Sebagai landasan hukum, telah ditetapkan Keputusan
Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226VI-BHPA2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Sistem Silvikultur TPTI Intensif.
Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII merupakan suatu teknik silvikultur yang memadukan tindakan maupun prinsip-prinsip dasar silvikultur.
Prinsip-prinsip tersebut adalah pemuliaan pohon, perbaikan tapaktempat tumbuh dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit Indrawan 2008. TPTII
lebih dikenal dengan istilah Silvikultur intensif SILIN dipandang merupakan cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik-
praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan yang secara intensif dilakukan untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang
dikehendaki dan disesuaikan dengan lingkungan setempat, dengan harapan dapat menyempurnakan sistem silvikultur TPTI yang sudah selama 30 tahun diterapkan
pada hutan alam di Indonesia. Sistem silvikultur TPTII berkembang sebagai salah satu upaya untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang semakin rusak.
Sistem silvikultur TPTII mampu mengatasi kelemahan sistem silvikultur TPTI dalam hal pengontrolan hasil penanaman, namun apakah sitem silvikultur
tersebut mampu mengatasi kelemahan yang paling penting dalam pengelolaan hutan alam, yaitu meningkatkan produktifitas hutan. Untuk menjawab pertanyaan
tersebut sangat diperlukan agar kegagalan yang berujung pada deforestasi dan degradasi hutan tidak terulang kembali serta tercipta kepastian dan kegairahan
usaha di bidang pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.
1.2. Perumusan Masalah
Secara umum praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi hutan IUPHHKHPH telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro
maupun sifat tanah . Berbagai studi menunjukan adanya peningkatan kehilangan unsur hara sebagai akibat deforestasi . Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka
ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktifitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumber daya hutan di daerah tropis.
Menurut Wasis 2005, pengelolaan sumberdaya alam hutan akan lestari jika mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan
meningkatnya kualitas tanah. Sejalan dengan pendapat tersebut Lal 1995
mengemukakan pendapat, pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan unsur
hara yang rendah karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari Lal 1995. Dengan
kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat
dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok intrinsic part yang mencakup kapasitas yang melekat pada sifat tanah tersebut untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek
dinamik dinamic part yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah tersebut. Carter et al. 1997.
Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan , sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat
meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat
keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi
memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul kekhawatiran adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi. kedua hal
tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus mendapat jawaban pasti.
Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem akibat penerapan sistem silvikultur TPTII maka diperlukan penelitian untuk melihat
bagaimana kondisi kualitas tanah pada areal TPTII umur 0,1,2,3, 4, 5 tahun dan hutan alam primer sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah,
indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur TPTII.
Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam penelitian ini adalah meliputi sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi
tanah. Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur vertikal dan horizontal pada plot yang sama.
Beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : a. Apakah pada areal hutan alam terjadi peningkatan produktivitas setelah dikelola
dengan sistem silvikultur TPTII. b. Sejauh mana perkembangan tegakan sisa pada areal hutan alam yang dikelola
dengan sistem silvikultur TPTII. c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tegakan
pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.
1.3. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui perkembangan tegakan dan mengetahui produktivitas tegakan hutan dalam penerapan sistem silvikultur
TPTII, sedangkan tujuan khusus adalah : a.
Mengevaluasi pertumbuhan tanaman Meranti merah Shorea leprosula
pada jalur tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya.
b. Menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam
bekas tebangan dalam
penerapan sistem silvikultur TPTII
serta memprediksi produktivitasnya.
c. Mengidentifikasi kualitas tanah pada
pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan
tegakan.
1.4. Hipotesis
a. Sistem silvikultur TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan
b. Tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem
silvikultur TPTII mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda dengan tegakan sebelumnya.
c. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah.
1.5. Manfaat Penelitian
a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan dalam
pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK. b.
Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan.
c. Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder diantaranya yaitu : pemegang
IUPHHK, Kementrian Kehutanan RI, dan peneliti dalam menetapkan sistem silvikultur, seberapa besar pengaruh keterkaitannya.
d. Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai produktivitas lahan yang
saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditingkat pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada IUPHHK.
e. Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Kementrian Kehutanan untuk
pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi.
1.6. Kerangka Pemikiran
Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, multi fungsi multiple functions, yaitu kayu dan jasa ekosistem ecosystem services sudah menjadi tuntutan yang
harus dipenuhi. Sebagai respon atas konsep tersebut, kebijakan pengelolaan hutan bekas tebangan mengalami modifikasi dari TPTI menjadi TPTI-Intensif. Secara
umum, praktek tebang pilih menyebabkan perubahan baik pada vegetasi, iklim mikro maupun kondisi tanah. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga
aspek tersebut tanah, iklim dan vegetasi sangat menentukan produktivitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di
daerah tropis. Dalam cakupan pengelolaan hutan alam poduksi aspek tanah dan vegetasi merupakan dua faktor utama yang menjadi pijakan penerapan silvikultur.
Pengelolaan sumberdaya hutan akan lestari jika tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya
kualitas tanah. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan
dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman secara jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah
tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal yang cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam Jalur Bersih. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang
cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul dugaan adanya kerusakan
tanah dan perubahan vegetasi secara spesifik keanekaragaman jenis, kemudian dipertanyakan.
Untuk memahami dan mengetahui produktivitas hutan akibat penerapan TPTII maka diperlukan suatu penelitian terhadap komponen ekosistem hutan,
diantaranya adalah struktur dan komposisi tegakan sisa, pertumbuhan tanaman Meranti pada jalur tanam dan
kondisi tempat tumbuh site. Penelitian ini
penting dilakukan untuk melihat kecenderungan ketiga aspek tersebut pada areal IUPHHK yang menerapkan sistem silvikultur TPTII.
Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap komponen ekosistem hutan yang meliputi biodiversitas
jenis vegetasi, pertumbuhan tanaman target dan kualitas tanah. Dengan demikian akan tersusun sebuah informasi dari pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII
terhadap ekosistem hutan yang merupakan indikator penilaian produktivitas
hutan.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia
Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP
Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan
mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat pengaturan mengenai kelas
diameter atau kelas umur, riap kegiatan penanamanpengayaan enrichment planting
, pemangkasan pruning, penjarangan thinning, siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis Pasaribu 2008.
Menurut Nyland 2002 sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan,
pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews 1997
sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga
menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan
tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sitem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya
mengandung tiga komponen utama yaitu permudaan regeneration, pemeliharaan tending, dan pemanenan Harvestingremoving.
Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur
tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur even-aged stands seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur
uneven-aged stands dan tegakan semua umur all aged-stands seperti tebang pilih individu TPI, TPTI, Bina Pilih, kelompok melingkar tebang rumpang dan
kelompok dalam jalur TPTJ dan TPTII. Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih selective cutting dan sistem tebang
habis clear cutting.
Menurut Manan 1976, sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu :
a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan siklus tebang yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system
karena menggunakan dua kali siklus tebang 2x35 tahun selama rotasi 70 tahun.
b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan siklus tebang yang hanya sekali selama rotasi , seperti sistem silvikultur THPA dan THPB.
Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari dua puluh tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi Indrawan 2008. Lanskap hutan
hujan tropis telah membentuk mozaik Pasaribu 2008; Suhendang 2008 yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan
liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multisistem silvikultur menjadi keniscayaan
agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya.
Menurut Indrawan 2008 multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang
diterapkan pada satu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta
dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang 2008 menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of
American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari
kegiatan pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal
single silvicultural system dan sistem silvikultur jamak multiple silvicultural system
. Tehnik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi ,
sosial, dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi
sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan Soekotjo 2009. Tehnik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
a. Tehnik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies genetik, memanipulasi lingkungan dan
pengendalian hama terpadu intregated pest management. Tehnik pengendalian ini diterapkan dalam sistem TPTI intensif.
b. Tehnik perlindungan tempat tumbuh agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya dan pohon dari hama,
penyakit dan kerusakan mekanis c. Tehnik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan
Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5
tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman
Modal Dalam Negeri yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan.
Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia TPI berdasarkan surat keputusan Dirjen
Kehutanan Nomor 35KptsDDI1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah
pohon inti yang harus ditinggalkan per hektar. Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan
revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi diameter 25 cm sebanyak 25 pohon per hektar serta menambah ketentuan yang disesuaikan
dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang
Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM. Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI
dilakukan berdasarkan
Surat Keputusan
Menteri Kehutanan
Nomor 485KptsII1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan
Nomor 564KptsIV-BPHH1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasannya pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi
kegiatan pemungutan hasil yang lebih menonjol pada sistem TPI dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan Ditjen BPK 2005.
Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151KptsIV-BPHH1993 yang memisahkan
organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil produksi, alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa
tahapan kegiatan pembinaan hutan. Sistem tebang pilih TPI maupun TPTI masih mempunyai beberapa
kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil penanamanpengayaan Enrichmentplanting. Sistem ini juga tidak sesuai
diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tengagara Barat dan Lophopetalum multinervium
di Kalimantan Timur Ditjen BPK 2005. Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak
bagi tenaga kehutanan di lapangan Suhendang 2008. Menurut Santoso et al. 2008 kelemahan sistem TPTI adalah:
a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh.
b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun. Seharusnya siklus tebang ditentukan berdasarkan riap dan
dinamika struktur tegakan hutan. c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia hasil survei
tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan di hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder.
Menurut Wahyono dan Anwar 2008 sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal hutan yang potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda
potensi 20 m
3
ha, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain
sistem TPTI adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu kurang dari 1 m
3
hath Ditjen BPK 2010.
Menurut Santosa et al. 2008 dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian
masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUUPHK dengan
menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari.
Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam
terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan
hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur Indrawan 2008; Santoso et al. 2008.
Menurut Pasaribu 2008 kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan,
kebakaran hutan, perubahan akibat ekses ekonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW.
Terfragmentasinya areal hutan produksi Suhendang 2008, meningkatnya laju kerusakan hutan Indrawan 2008 serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada
sistem TPTI Ditjen BPK 2005, 2010 telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif.
Menurut Suhendang 2008 paradigma baru pengelolaan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam close to natural forest. Menurut
Mitlohner 2009 close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian
lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis. Menurut Coates dan Philip 1997 penebangan hutan dengan sistem celah
gap lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang
baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua umur all-aged stands
dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar rumpang atau memanjang strips. Menurut Pasaribu 2008 tehnik silvikultur
tebang rumpang menunjukan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam
rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer.
Penelitian sistem gap memanjang strips telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam
Indonesia TJTI yang selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi TJTK.
Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25-100 m . Hambatan
pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan
pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhirnya berubah menjadi
sistem Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur HTI-TTJ berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 453Kpts-II1997 yang
dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220KptsIV-BPH1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit
menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga
membentuk jarak tanam 5x25 meter. Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur HTI-TTJ kemudian
diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55KptsIV-BPH1998. Evaluasi sistem TPTJ
menunjukan hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan
sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309Kpts-II1999. Namun
pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1072Kpts-II2002 dan selanjutnya kembali kepada sistem TPTI kecuali
PT. Sari Bumi Kusuma Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 201Kpts-II1998 dan PT. Erna Juliawati Surat Keputusan Menhutbun
Nomor 15Kpts-II1999. Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK
tersebut telah menginspirasi para pakar dari perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan tehnik silvikultur
intensif silin melalui penggunaan bibit unggul, tehnik manipulasi lingkungan