Saran KESIMPULAN DAN SARAN

Sagala P . 1994. Mengelola Lahan Kehutanan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. Sanchez PA. 1976. Properties and Management of Soils in Humid Tropics. A Wiley Interscience Publications. John Wiley and Sons Inc. New york, China, Brisbane, Toronto. Santoso B. 2008. Kebijakan Penerapan Multisitem Silvikultur Pada Hutan Produksi Indonesia. Direktorat Bina Pengembangan Hutan Tanaman, Ditjen Bina Produksi Kehutanan. Departemen Kehutanan. Jakarta. Santoso E. 1997. Hubungan Perkembangan Ektomikoriza dengan Populasi Jasad Renik Dalam Rizosfer dan Pengaruhnya Terhadap Pertumbuhan Eucalyptus pellita dan Eucalyptus urophylla [Disertasi]. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santoso H, Syaffari K, Nina M. 2008. Tinjauan Aspek Silvikultur Dalam Penerapan Multisitem Silvikultur pada Areal Hutan Produksi. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Sardiyanto, A. 2010. Uji Tanaman Shorea spp di IUPHHK PT Suka Jaya Makmur, Kalimantan Barat. Makalah Workshop 5 Tahun Pelaksanaan Silin. Ditjen BPK. Jakarta. Simarangkir BDAS, 2000. Analisis Riap Dryobalanops lanceolata Burck pada Lebar Jalur yang Berbeda di Hutan Koleksi Universitas Mulawarman Lempake. Frontir Nomor 32. Kalimantan Timur. Smith, D.M. 1962. The Practice of Silviculture. Seventh Edition. John Willey. The Iowa Unervisity Press, Ames. Iowa. Smith JL, Halvorson JJ, Papendick RI. 1993. Using Multiple-Variable Indicator Trigging for Evaluating Soil Quality. Soil Science Society America Journal 57:743-749. Seokotjo. 1995. Beberapa Faktor yang Mempengaruhi Riap Hutan Tanaman Industri. Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan Dephut RI. Jakarta. Soekotjo. 2005. Evaluasi Tebang Pilih Indonesia. Prosiding Seminar Kehutanan Peningkatan Produktivitas Hutan. Editor Eko B. Hardiyanto. ITTO. Yogyakarta. Soekotjo. 2005. Evolusi Tebang Pilih Indonesia: Konsep, Aplikasi dan Hasil. Di dalam: Hardiyanto EB, editor. Peran Konservasi Sumber Daya Genetik, Pemuliaan dan Silvikultur dalm Mendukung Rehabilitasi Hutan. Prosiding Seminar Nasional Peningkatan Produktivitas Hutan; Yogyakarta, 26-27 Mei 2005. Fakultas Kehutanan UGM dan Internasional Tropical Timber Organization. Hlm. 3-14. Yogyakarta. Soekotjo. 2009. Tehnik Silvikultur Intensif SILIN. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Soektojo, Naiem M. 2006. SILIN Menuju Hutan yang Prospektif, Sehat dan Lestari. Warta Kagama Kehutanan. Desember. Edisi Perdana Desember 2006. Fakultas Kehutanan Universitas Gajah Mada. Yogyakarta. Soekotjo, Suparna N, Purnomo S. 2004. Pengalaman Membangun Hutan Tanaman Meranti Di PT. Sari Bumi Kusuma, Kalteng. Jakarta: PT. Alas Kusuma. Soerianegara I, Indrawan A. 2005. Ekologi Hutan Indonesia. Laboratorium Ekologi Fakultas Kehutanan IPB. Bogor. Spangenberg A, Grinum U, Sepeda JR, Silva D, Folster H. 1996. Nutrient Store and Export Rates of Eucalyptus urograndis Plantations in Eastern Amazonia Jari. Forest Ecology and Management 80 : 225-234. [SSSA] Soil Science Society of America. 1995. Statement on Soil Quality. Agronomy News. Steel RGD, Torrie JH. 1980. Princiles and Procedures of Statistics. McGraw – Hill . New york Stevenson FJ. 1982. Humus Chemistry, Genetics, Composition, Reactions. John Willey and Sons, Inc. New York. Suhendang E. 1985. Studi Model Struktur Tegakan Hutan Alam Hujan Tropika Dataran Rendah di Bengkunat Propinsi Daerah Tingkat I Lampung Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. Suhendang E. 2008. Multisitem Silvikultur Dalam Perspektif Ilmu Manajemen Hutan. Di dalam : Indrawan et al. Editor. Proseding Lokakarya Nasional Penerapan Multisistem Silvikultur pada Pengusahaan Hutan Produksi Dalam Rangka Meningkatkan Produktivitas dan Pemanfaatan Kawasan Hutan. IPB – Ditjen BPK. Bogor. Sulistyono D, Ansori S, Hardiyanto EB. 2007. Acacia mangium : Pengelolaan Residu Tebangan. http:saifudinansori.blogspot.com200709pengelolaan- residu-tebangan. Diakses 22 September 2010 . Suntoro WA . 2003. Peran Bahan Organik Terhadap Kesuburan Tanah dan Upaya Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Guru Besar Ilmu Kesuburan Tanah. Fakultas Pertanian Sebelas Maret. Sebelas Maret University Press. Surakarta. Suparna N. 2005. Meningkatkan Produktivitas Kayu dari Hutan Alam dengan Penerapan Silvikultur Intensif di PT. Sari Bumi Kusuma Unit Seruyan- Kalteng. Balikpapan : PT. Sari Bumi Kusuma. Sutisna M. 1997. Strategi Silvikultur Untuk Meningkatkan Kelestarian Produktivitas Hutan Alam Indonesia. UGM press. Sutisna M. 2005. Silvikultur Hutan Alami Indonesia. Direktorat Pembinaan Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat. Direktorat Pendidikan Tinggi. Samarinda. [USDA] United States Departement of Agriculture. 1996. Soil Quality Resources Concerns. The United States Departement of Agricultur. Washington, D.C Vanclay JK. 1994. Modelling Forest Growth and Yield: Applications to Mixed Tropical Forest. CAB International, Wallingford. . Van Migroet H, Johnson DW. 1993. Nitrate Dynamics in Forest Soil. Di dalam Burt TP, Heathwaite AL, Trudgill ST, editor. Nitrate : Processes, Patterns ang Management. Chichester : John Wiley and Sond Ltd. 75- 97. Vitousek PM. 1981. Clear Cutting and The Nitrogen Cycle. Di dalam : Clark FE, Rooswall T, editor. Terresterial Nitrogen Cycle : Processes, Ecosystem Strategies and Management Impacts. Ecological Bulletin NFR 33: 631-642. Vitousek PM, Matson PA. 1985. Disturbance, Nitrogen Availabilit, and Nitrogen Losses in a Intensively Managed Lobloiiy Pine Plantation. Ecology 66: 1360 -642. Wahjono D, Anwar 2008. Prospek Penerapan Multisitem Silvikultur Pada Unit Pengelolaan Hutan Produksi. Puslitbang Kehutanan dan Konservasi Alam, Departemen Kehutanan. Bogor. Wahyudi. 2009. Selective Cutting and Line Enrichment Planting Silvikultural System Devolopment on Indonesian Tropical Rain Forest In: GAFORN- Internasional Summmer School, George-August Universitat Gottingen. Germany. Wahyudi. 2011. Perkembangan Tanaman dan Tegakan Tinggal Pada Sistem Tebang Pilih Tanam Jalur Studi Kasus di IUPHHK PT. Gunung Meranti Provinsi Kalimantan Tengah. Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Wasis B. 2005. Kajian Perbandingan Kualitas Tempat Tumbuh Antara Rotasi Pertama dan Rotasi Kedua Pada Hutan Tanaman Acacia mangium Willd. Studi kasus di HTI Musi Hutan Persada, Propinsi Sumatera Selatan [Disertasi]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Wicaksono A and Ansori S. 2005. Growth of Shorea leprosula and Shorea selanica on the The Logged-over Area of Acacia mangium and Paraseriantehes Falcataria Plantations in Subanjeriji, South Sumatra di PT. Musi Hutan Persada, Sumatra Selatan. Palembang. Woomer PL, Swift MJ. 1994. The Biological Management of Tropical Soil Fertility. TSBF. 81-116. John Wiley-Sayce. Chichester, UK Zobel B, Talbert J. 1984. Applied forest tree improvement. John Wiley Sons, Inc. United States of America. 163 Lampiran 1. Penghitungan prediksi potensi produksi pada penerapan berbagai sistem silvikultur Pendugaan Potensi produksi per hektar setelah 25 tahun pada hutan produksi ketika diterapkan sistem silvikultur TPTI No. Tahun No. petak Kelompok jenis 30 - 40 cm 40 - 50 cm 50 -60 cm =60 cm =50 cm N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha 1 2005 1E A. Komersil 5,88 3,69 5,88 6,80 5,88 12,73 1,96 8,08 7,84 20,81 1. Dipterocarpaceae 1,96 1,38 1,96 2,02 1,96 4,75 - - 1,96 4,75 2. Non Dipterocarpaceae 3,92 2,31 3,92 4,78 3,92 7,97 1,96 8,08 5,88 16,05 B. Non Komersil 25,49 15,56 68,63 83,54 31,37 61,12 17,65 134,89 49,02 196,01 Total A + B 31,37 19,25 74,51 90,34 37,25 73,84 19,61 142,97 56,86 216,81 2 2005 1C A. Komersil - - 1,96 2,04 1,96 4,73 1,96 10,96 3,92 15,69 1. Dipterocarpaceae - - 1,96 2,04 - - 1,96 10,96 1,96 10,96 2. Non Dipterocarpaceae - - - - 1,96 4,73 - - 1,96 4,73 B. Non Komersil 29,41 20,14 56,86 65,26 25,49 48,01 37,25 198,66 62,75 246,67 Total A + B 29,41 20,14 58,82 67,31 27,45 52,75 39,22 209,62 66,67 262,36 3 2005 1D A. Komersil 1,96 1,11 7,84 9,61 - - - - - - 1. Dipterocarpaceae - - 3,92 5,60 - - - - - - 2. Non Dipterocarpaceae 1,96 1,11 3,92 4,01 - - - - - - B. Non Komersil 15,69 8,99 27,45 33,19 15,69 29,14 31,37 189,46 47,06 218,60 Total A + B 17,65 10,10 35,29 42,80 15,69 29,14 31,37 189,46 47,06 218,60 163 164 Lampiran 1 Lanjutan 4 2006 2A A. Komersil 3,92 61,62 27,45 30,07 5,88 12,26 3,92 14,76 9,80 27,02 1. Dipterocarpaceae 1,96 1,42 19,61 21,98 5,88 12,26 1,96 6,76 7,84 19,02 2. Non Dipterocarpaceae 1,96 60,20 7,84 8,09 - - 1,96 8,00 1,96 8,00 B. Non Komersil 33,33 18,53 35,29 38,87 19,61 38,27 15,69 60,71 35,29 98,98 Total A + B 37,25 80,15 62,75 68,94 25,49 50,53 19,61 75,47 45,10 126,00 5 2006 2E A. Komersil 17,65 10,05 25,49 27,37 5,88 11,82 3,92 11,45 9,80 23,27 1. Dipterocarpaceae 15,69 8,99 19,61 21,67 5,88 11,82 3,92 11,45 9,80 23,27 2. Non Dipterocarpaceae 1,96 1,06 5,88 5,70 - - - - - - B. Non Komersil 15,69 8,43 56,86 61,85 17,65 32,93 21,57 84,13 39,22 117,06 Total A + B 33,33 18,48 82,35 89,23 23,53 44,75 25,49 95,58 49,02 140,33 6 2006 2G A. Komersil 5,88 3,14 11,76 12,51 9,80 19,05 1,96 7,54 11,76 26,58 1. Dipterocarpaceae 5,88 3,14 11,76 12,51 9,80 19,05 1,96 7,54 11,76 26,58 2. Non Dipterocarpaceae - - - - - - - - - - B. Non Komersil 37,25 21,24 27,45 30,36 7,84 15,59 1,96 15,67 9,80 31,26 Total A + B 43,14 24,38 39,22 42,87 17,65 34,63 3,92 23,21 21,57 57,84 7 2007 3B A. Komersil 1,96 1,62 7,84 9,84 1,96 3,79 1,96 5,58 3,92 9,37 1. Dipterocarpaceae 1,96 1,62 3,92 4,78 - - 1,96 5,58 1,96 5,58 2. Non Dipterocarpaceae - - 3,92 5,05 1,96 3,79 - - 1,96 3,79 B. Non Komersil 56,86 34,58 39,22 43,74 7,84 16,44 11,76 35,41 19,61 51,85 Total A + B 58,82 36,19 47,06 53,58 9,80 20,23 13,73 40,99 23,53 61,22 165 Lampiran 1 Lanjutan 8 2007 3D A. Komersial 7,84 5,24 5,88 7,99 5,88 11,64 3,92 10,95 9,80 22,59 1. Dipterocarpaceae - - 3,92 5,22 5,88 11,64 3,92 10,95 9,80 22,59 2. Non Dipterocarpaceae 7,84 5,24 1,96 2,76 - - - - - - B. Non Komersil 49,02 27,58 39,22 38,39 17,65 34,87 11,76 65,11 29,41 99,98 Total A + B 56,86 32,82 45,10 46,38 23,53 46,51 15,69 76,06 39,22 122,57 9 2007 3E A. Komersil 11,76 6,46 9,80 10,99 3,92 8,31 5,88 17,46 9,80 25,76 1. Dipterocarpaceae - - 7,84 8,91 1,96 4,15 - - 1,96 4,15 2. Non Dipterocarpaceae 11,76 6,46 1,96 2,08 1,96 4,15 5,88 17,46 7,84 21,61 B. Non Komersil 50,98 31,75 37,25 38,61 13,73 24,71 11,76 36,30 25,49 61,01 Total A + B 62,75 38,21 47,06 49,60 17,65 33,02 17,65 53,75 35,29 86,77 10 2008 4F A. Komersil 15,69 10,07 15,69 17,19 11,76 21,34 3,92 11,95 15,69 33,29 1. Dipterocarpaceae 11,76 7,32 7,84 8,46 9,80 17,19 1,96 7,01 11,76 24,20 2. Non Dipterocarpaceae 3,92 2,75 7,84 8,73 1,96 4,15 1,96 4,94 3,92 9,09 B. Non Komersil 41,18 25,42 25,49 29,00 23,53 45,61 15,69 57,29 39,22 102,89 Total A + B 56,86 35,48 41,18 46,18 35,29 66,95 19,61 69,24 54,90 136,19 165 166 Lampiran 1Lanjutan 11 2008 4G A. Komersil 9,80 7,08 17,65 21,04 3,92 6,57 5,88 18,45 9,80 25,02 1. Dipterocarpaceae 5,88 4,33 9,80 11,50 3,92 6,57 5,88 18,45 9,80 25,02 2. Non Dipterocarpaceae 3,92 2,75 7,84 9,54 - - - - - - B. Non Komersil 39,22 24,68 37,25 39,73 15,69 28,94 11,76 50,59 27,45 79,54 Total A + B 49,02 31,76 54,90 60,77 19,61 35,51 17,65 69,04 37,25 104,55 12 2008 4H A. Komersil 5,88 4,33 11,76 13,40 3,92 6,57 5,88 18,45 9,80 25,02 1. Dipterocarpaceae 5,88 4,33 9,80 11,50 3,92 6,57 5,88 18,45 9,80 25,02 2. Non Dipterocarpaceae - - 1,96 1,90 - - - - - - B. Non Komersil 29,41 19,24 49,02 56,38 15,69 30,52 11,76 61,92 27,45 92,44 Total A + B 35,29 23,57 60,78 69,79 19,61 37,09 17,65 80,37 37,25 117,46 13 2009 5E A. Komersil 5,88 3,73 7,84 8,77 3,92 8,53 1,96 5,15 5,88 13,67 1. Dipterocarpaceae 1,96 1,37 5,88 6,87 1,96 4,73 1,96 5,15 3,92 9,88 2. Non Dipterocarpaceae 3,92 2,35 1,96 1,90 1,96 3,79 - - 1,96 3,79 B. Non Komersil 31,37 19,55 52,94 54,58 11,76 23,38 17,65 79,36 29,41 102,74 Total A + B 37,25 23,28 60,78 63,35 15,69 31,91 19,61 84,51 35,29 116,42 167 14 5I A. Komersil 5,88 3,73 11,76 13,15 3,92 8,53 3,92 11,91 7,84 20,43 1. Dipterocarpaceae 1,96 1,37 5,88 6,87 1,96 4,73 1,96 5,15 3,92 9,88 2. Non Dipterocarpaceae 3,92 2,35 5,88 6,29 1,96 3,79 1,96 6,76 3,92 10,55 B. Non Komersil 41,18 25,24 50,98 56,76 19,61 36,93 19,61 85,19 39,22 122,12 Total A + B 47,06 28,97 62,75 69,91 23,53 45,45 23,53 97,10 47,06 142,55 15 2009 5J A. Komersil 5,88 3,84 1,96 2,76 - - - - - - 1. Dipterocarpaceae 1,96 1,28 - - - - - - - - 2. Non Dipterocarpaceae 3,92 2,56 1,96 2,76 - - - - - - B. Non Komersil 50,98 33,62 27,45 30,48 15,69 30,78 7,84 51,56 23,53 82,34 Total A + B 56,86 37,47 29,41 33,25 15,69 30,78 7,84 51,56 23,53 82,34 167 168 Lampiran 1 Lanjutan Pendugaan Potensi produksi per hektar setelah 25 tahun pada hutan produksi ketika diterapkan sistem silvikultur TPTII No. Kelompok jenis 30 - 40 cm 40 - 50 cm 50 -60 cm =60 cm =50 cm Tahun No. petak N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha 1 2005 1E A. Komersil 5,00 3,14 5,00 5,78 5,00 10,82 1,67 6,87 6,67 17,68 1. Dipterocarpaceae 1,67 1,18 1,67 1,72 1,67 4,04 - - 1,67 4,04 2. Non Dipterocarpaceae 3,33 1,96 3,33 4,06 3,33 6,78 1,67 6,87 5,00 13,64 B. Non Komersil 21,67 13,22 58,33 71,01 26,67 51,95 15,00 114,66 41,67 166,61 Total A + B 26,67 16,36 63,33 76,79 31,67 62,77 16,67 121,52 48,33 184,29 2 2005 1C A. Komersil - - 1,67 1,74 1,67 4,02 1,67 9,31 3,33 13,34 1. Dipterocarpaceae - - 1,67 1,74 - - 1,67 9,31 1,67 9,31 2. Non Dipterocarpaceae - - - - 1,67 4,02 - - 1,67 4,02 B. Non Komersil 25,00 17,12 48,33 55,47 21,67 40,81 31,67 168,86 53,33 209,67 Total A + B 25,00 17,12 50,00 57,21 23,33 44,84 33,33 178,17 56,67 223,01 3 2005 1D A. Komersil 1,67 0,94 6,67 8,17 - - - - - - 1. Dipterocarpaceae - - 3,33 4,76 - - - - - - 2. Non Dipterocarpaceae 1,67 0,94 3,33 3,41 - - - - - - B. Non Komersil 13,33 7,64 23,33 28,21 13,33 24,77 26,67 161,04 40,00 185,81 Total A + B 15,00 8,58 30,00 36,38 13,33 24,77 26,67 161,04 40,00 185,81 169 Lampiran 1Lanjutan 4 2006 2A A. Komersil 3,33 52,38 23,33 25,56 5,00 10,42 3,33 12,54 8,33 22,96 1. Dipterocarpaceae 1,67 1,21 16,67 18,68 5,00 10,42 1,67 5,75 6,67 16,17 2. Non Dipterocarpaceae 1,67 51,17 6,67 6,87 - - 1,67 6,80 1,67 6,80 B. Non Komersil 28,33 15,75 30,00 33,04 16,67 32,53 13,33 51,60 30,00 84,13 Total A + B 31,67 68,12 53,33 58,60 21,67 42,95 16,67 64,15 38,33 107,10 5 2006 2E A. Komersil 15,00 8,54 21,67 23,27 5,00 10,04 3,33 9,73 8,33 19,78 1. Dipterocarpaceae 13,33 7,64 16,67 18,42 5,00 10,04 3,33 9,73 8,33 19,78 2. Non Dipterocarpaceae 1,67 0,90 5,00 4,84 - - - - - - B. Non Komersil 13,33 7,17 48,33 52,58 15,00 27,99 18,33 71,51 33,33 99,50 Total A + B 28,33 15,71 70,00 75,84 20,00 38,04 21,67 81,24 41,67 119,28 6 2006 2G A. Komersil 5,00 2,67 10,00 10,63 8,33 16,19 1,67 6,40 10,00 22,59 1. Dipterocarpaceae 5,00 2,67 10,00 10,63 8,33 16,19 1,67 6,40 10,00 22,59 2. Non Dipterocarpaceae - - - - - - - - - - B. Non Komersil 31,67 18,05 23,33 25,81 6,67 13,25 1,67 13,32 8,33 26,57 Total A + B 36,67 20,73 33,33 36,44 15,00 29,44 3,33 19,73 18,33 49,16 170 Lampiran 1 Lanjutan 7 2007 3B A. Komersil 1,67 1,37 6,67 8,36 1,67 3,22 1,67 4,74 3,33 7,97 1. Dipterocarpaceae 1,67 1,37 3,33 4,07 - - 1,67 4,74 1,67 4,74 2. Non Dipterocarpaceae - - 3,33 4,30 1,67 3,22 - - 1,67 3,22 B. Non Komersil 48,33 29,39 33,33 37,18 6,67 13,98 10,00 30,10 16,67 44,07 Total A + B 50,00 30,76 40,00 45,54 8,33 17,20 11,67 34,84 20,00 52,04 8 2007 3D A. Komersil 6,67 4,46 5,00 6,79 5,00 9,89 3,33 9,31 8,33 19,20 1. Dipterocarpaceae - - 3,33 4,44 5,00 9,89 3,33 9,31 8,33 19,20 2. Non Dipterocarpaceae 6,67 4,46 1,67 2,35 - - - - - - B. Non Komersil 41,67 23,44 33,33 32,63 15,00 29,64 10,00 55,34 25,00 84,98 Total A + B 48,33 27,90 38,33 39,42 20,00 39,54 13,33 64,65 33,33 104,19 9 2007 3E A. Komersil 10,00 5,49 8,33 9,34 3,33 7,06 5,00 14,84 8,33 21,90 1. Dipterocarpaceae - - 6,67 7,57 1,67 3,53 - - 1,67 3,53 2. Non Dipterocarpaceae 10,00 5,49 1,67 1,77 1,67 3,53 5,00 14,84 6,67 18,37 B. Non Komersil 43,33 26,99 31,67 32,82 11,67 21,00 10,00 30,85 21,67 51,86 Total A + B 53,33 32,48 40,00 42,16 15,00 28,06 15,00 45,69 30,00 73,75 10 2008 4F A. Komersil 13,33 8,56 13,33 14,61 10,00 18,14 3,33 10,16 13,33 28,30 1. Dipterocarpaceae 10,00 6,22 6,67 7,19 8,33 14,61 1,67 5,96 10,00 20,57 2. Non Dipterocarpaceae 3,33 2,34 6,67 7,42 1,67 3,53 1,67 4,20 3,33 7,73 B. Non Komersil 35,00 21,60 21,67 24,65 20,00 38,77 13,33 48,69 33,33 87,46 Total A + B 48,33 30,16 35,00 39,25 30,00 56,91 16,67 58,85 46,67 115,76 171 11 2008 4G A. Komersil 8,33 6,02 15,00 17,88 3,33 5,58 5,00 15,68 8,33 21,27 1. Dipterocarpaceae 5,00 3,68 8,33 9,77 3,33 5,58 5,00 15,68 8,33 21,27 2. Non Dipterocarpaceae 3,33 2,34 6,67 8,11 - - - - - - B. Non Komersil 33,33 20,98 31,67 33,77 13,33 24,60 10,00 43,00 23,33 67,60 Total A + B 41,67 26,99 46,67 51,66 16,67 30,19 15,00 58,68 31,67 88,87 12 2008 4H A. Komersil 5,00 3,68 10,00 11,39 3,33 5,58 5,00 15,68 8,33 21,27 1. Dipterocarpaceae 5,00 3,68 8,33 9,77 3,33 5,58 5,00 15,68 8,33 21,27 2. Non Dipterocarpaceae - - 1,67 1,62 - - - - - - B. Non Komersil 25,00 16,35 41,67 47,93 13,33 25,94 10,00 52,63 23,33 78,58 Total A + B 30,00 20,03 51,67 59,32 16,67 31,53 15,00 68,31 31,67 99,84 13 2009 5E A. Komersil 5,00 3,17 6,67 7,45 3,33 7,25 1,67 4,37 5,00 11,62 1. Dipterocarpaceae 1,67 1,17 5,00 5,84 1,67 4,02 1,67 4,37 3,33 8,40 2. Non Dipterocarpaceae 3,33 2,00 1,67 1,62 1,67 3,22 - - 1,67 3,22 B. Non Komersil 26,67 16,62 45,00 46,40 10,00 19,88 15,00 67,46 25,00 87,33 Total A + B 31,67 19,79 51,67 53,85 13,33 27,12 16,67 71,83 30,00 98,95 172 Lampiran 1 Lanjutan 14 2009 5I A. Komersil 5,00 3,17 10,00 11,18 3,33 7,25 3,33 10,12 6,67 17,37 1. Dipterocarpaceae 1,67 1,17 5,00 5,84 1,67 4,02 1,67 4,37 3,33 8,40

2. Non Dipterocarpaceae

3,33 2,00 5,00 5,34 1,67 3,22 1,67 5,75 3,33 8,97 B. Non Komersil 35,00 21,46 43,33 48,24 16,67 31,39 16,67 72,41 33,33 103,80 Total A + B 40,00 24,63 53,33 59,42 20,00 38,64 20,00 82,53 40,00 121,17 15 2009 5J A. Komersil 5,00 3,26 1,67 2,35 - - - - - - 1. Dipterocarpaceae 1,67 1,09 - - - - - - - - 2. Non Dipterocarpaceae 3,33 2,18 1,67 2,35 - - - - - - B. Non Komersil 43,33 28,58 23,33 25,91 13,33 26,17 6,67 43,82 20,00 69,99 Total A + B 48,33 31,85 25,00 28,26 13,33 26,17 6,67 43,82 20,00 69,99 173 Lampiran 1 Lanjutan Rata-rata potensi produksi per hektar pada penerapan silvikultur TPTI Kelompok jenis 30 - 40 cm 40 - 50 cm 50 -60 cm =60 cm =50 cm N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha A. Komersil 7,06 8,38 11,37 12,90 4,58 9,06 3,14 10,18 7,71 19,23 1. Dipterocarpaceae 3,79 2,44 7,58 8,66 3,53 6,90 2,22 7,16 5,75 14,06 2. Non Dipterocarpaceae 3,27 5,94 3,79 4,24 1,05 2,16 0,92 3,02 1,96 5,17 B. Non Komersil 36,47 22,30 42,09 46,72 17,25 33,15 16,34 80,42 33,59 113,57 Total A + B 43,53 30,68 53,46 59,62 21,83 42,21 19,48 90,59 41,31 132,80 174 Lampiran 1 Lanjutan Rata-rata potensi produksi per hektar pada penerapan silvikultur TPTII Kelompok jenis 30 - 40 cm 40 - 50 cm 50 -60 cm =60 cm =50 cm N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha N Phha V m3ha A. Komersil 6,00 7,12 9,67 10,97 3,89 7,70 2,67 8,65 6,56 16,35 1. Dipterocarpaceae 3,22 2,07 6,44 7,36 3,00 5,86 1,89 6,09 4,89 11,95 2. Non Dipterocarpaceae 2,78 5,05 3,22 3,60 0,89 1,84 0,78 2,56 1,67 4,40 B. Non Komersil 31,00 18,96 35,78 39,71 14,67 28,18 13,89 68,35 28,56 96,53 Total A + B 37,00 26,08 45,44 50,68 18,56 35,88 16,56 77,00 35,11 112,88 175 Lampiran 2. Rekapitulasi penghitungan riap diameter Petak Ukur Permanen PUP PT. Sukajaya Makmur RKT 2005 tahun pengukuran 2005 dan 2006 Nomor Petak Ukur Rataan Riap Diameter cm Keterangan PUP 1 PUP 2 PUP 3 PUP 4 1 0,62 0,80 0,93 2 0,84 0,79 0,94 3 0,87 0,87 0,75 0,98 4 0,89 0,88 0,64 0,86 5 0,87 0,89 0,77 0,85 6 0,78 0,80 0,93 0,92 7 0,83 0,86 0,67 0,91 8 0,83 0,83 0,71 0,79 9 0,84 0,78 0,71 10 0,89 0,74 0,74 11 0,85 0,82 0,83 0,70 12 0,87 0,86 0,90 0,73 13 0,87 0,83 0,94 0,76 14 0,86 0,88 0,85 0,73 15 0,86 0,80 0,88 0,71 16 0,85 0,88 0,93 0,58 17 0,91 0,68 0,83 0,70 18 0,79 0,79 0,85 0,71 19 0,66 0,69 0,84 0,66 20 1,01 0,83 0,87 0,62 21 0,72 0,85 1,15 0,88 22 0,71 0,85 1,05 0,96 23 0,70 0,86 0,91 0,93 18 0,79 0,79 0,85 0,71 19 0,66 0,69 0,84 0,66 20 0,81 0,83 0,87 0,62 21 0,72 0,85 1,15 0,88 22 0,71 0,85 1,05 0,96 23 0,70 0,86 0,91 0,93 24 0,73 0,80 0,80 0,86 25 0,81 0,86 0,85 Rata-rata 0,81 0,83 0,84 0,80 Rata-rata PUP 0,82 Lampiran 3. Hasil analisis regresi antara tinggi dan diameter pohon pada PUP di areal PT Sukajaya Makmur Regression Analysis: log T versus log D The regression equation is log T = 0,597 + 0,530 log D Predictor Coef SE Coef T P Constant 0,59717 0,02507 23,82 0,000 log D 0,52955 0,01761 30,07 0,000 S = 0,09359 R-Sq = 76,8 R-Sqadj = 76,7 Analysis of Variance Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 7,9201 7,9201 904,16 0,000 Residual Error 560 4,9054 0,0088 Total 561 12,8255 Lampiran 4. Daftar nama jenis pohon yang terdapat di areal IUPHHK PT. Sukajaya Makmur NO NAMA DAERAH NAMA BOTANI FAMILI 1 Balik angin Croton argyratus Euphorbiaceae 2 Bangkirai Shorea laevifolia Ridley Dipterocarpaceae 3 Banitan Monocarfia Kalimantanensis Keβler Annonaceae 4 Bayur Pterosperum javanicum Jungh. Sterculiaceae 5 Bekarut Barringtonia asiatica. Lecythidaceae 6 Bekasai Pometia sp Sapindaceae 7 Bekawi Hopea sp Dipterocarpaceae 8 Belang Tikus Eugenia sp Myrtaceae 9 Belantik Cococeras sumatrana Euphorbiceae 10 Belian Eusideroxylon zwageri Lauraceae 11 Belubu Pterocymbium tubilatum Sterculiaceae 12 Benuang Octomeles sumatrana Miq Datiscaceae 13 Berangan Ochanostachys sp Olacaceae 14 Berobakan Shorea sp. Dipterocarpaceae 15 Bersirih Vatica oblongifolia Dipterocarpaceae 16 Bintangor Calophyllum inophyllum L Guttiferae 17 Binyau Dracontomelon dao Anacardiaceae 18 Birung Alangium javanicum Alangiaceae 19 Boyu Saraca sp Caesalpiniaceae 20 Brangkasai Pometia Pinnata Sapindaceae 21 Bulin Eusideroxylon zwageri Lauraceae 22 Cempaka Elmerillia sp Magnoliaceae 23 Cempedak Artocarpus champeden Merr Moraceae 24 Cempening Quercus sp Fagaceae 25 Dadak Artocarpus sp Moraceae 26 Durian burung Durio dulcis Bombacaceae 27 Emang Hopea sp Dipterocarpaceae 28 EmbakKapul Baccaurea sp Euphorbiaceae 29 Engkabang Shorea pinanga Dipterocarpaceae 30 Engkalinas Vatica sp Dipterocarpaceae 31 GaharuGaru Aquilaria malaccensis Thymelacaceae 32 Gambir Trigonopleura malayana Hook f Euphorbiaceae 33 Garung Macaranga hypoleuca Lamk Euphorbiaceae 34 GeronamBetana Ochanostachys amentacea Olacaceae 35 Gerunggang Cratoxylon sumatranum Blume Guttiferae 36 Ipak Gonystylus brunescens Thymelaeaceae 37 Jabon Anthocephalus cadamba Rubiaceae 38 Jangkang Xylopia sp. Annonaceae 39 Jelatang Laportea stimulans 40 Jelutung Dyera costulata Hook f Apocynaceae 41 Juhing Dillenia sp. Dilleniaceae 42 Kalam Duabanga mollucana Sonneratiaceae 43 Kampili Quercus lineata Fagaceae 44 Kandis Cratoxylon formosum Guttiferae 45 Kapuak Artocarpus tamaran Moraceae 46 Kapul Baccaurea dulcis Mig Euphorbiaceae 47 Kapur Kapur Dryobalanops beccarii Dyer Dipterocarpaceae 48 Kayu Arang Diospyros campanulata Merr Ebenaceae 49 Kayu Batu Irvingia malayana Simaroubaceae 50 Kayu bunga Parinari oblongifolia Crysobalanaceae 51 Kayu Langit Santiria tomentosa Bursecaceae 52 Kayu Malam Diospyros maerophylla Elenaceae 53 Kedondong Daeryodes costata Bursecaceae 54 Kekabang Sandoriacum koetjape Meliaceae 55 Kelaban Vitex pubescens Vahl Verbenaceae 56 Keladan Dryobalanops aromatica Dipterocarpaceae 57 Kelampai Elaterospermum tapos Blume Euphorbiaceae 58 Kelengkeng Artocarpus sp Moraceae 59 Kelepu Nauclea sp. Rubiaceae 60 Kemayau Dacryodes rostrata Burseraceae 61 Kembayau Dacryodes rostrata Bunseraceae 62 Kempas Koompassia malaccensi Maing Fabaceae 63 Keranji Diallium indum L Caesalpinaceae 64 Keruing Dipterocarpus gericulatus Vsi Dipterocarpaceae 65 Ketapang Terminalia catappa L Combrettaceae 66 Ketikal Ochanostachys amentaceal Olacaceae 67 Kontoi Shorea sp. Dipterocarpaceae 68 Kubing Tristania sp Myrtaceae 69 Kulim Scorodocarpus borneensis Olacaceae 70 Kumpang Myristica iners Blume Myristicaceae 71 Kumpang arang Diospyros borneensis Ebenaceae 72 Kumpang darah Myristica sp. Myristicaceae 73 Laban Vitex pubesceus Vahl Verbenaceae 74 Lagan Kibessia sp. Melastomataceae 75 Lahong Durio acutifolius Bombacaceae 76 Langsat Lansium domesticum Meliaceae 77 Lanjau Pontaspadon motleyi Anacardiaceae 78 Linang Nephelium sp. Sapindaceae 79 Mahabai Polyalthia hypoleuca Annonaceae 80 Manggis hutan Garcinia mangostana L Guttiferae 81 Manyam Glochidion sp. Euphorbiaceae 82 Medang Litsea firma Hook f Lauraceae 83 Majak Shorea palembanica Dipterocarpacea 84 Melapi Hopea sp. Dipterocarpaceae 85 Menjalin Xanthophyllum excelsum Polygalaceae 86 Mentawa Artocarpus elasticus Moraceae 87 Meranti Batu Shorea uliginosa Dipterocarpacea 88 Meranti kuning Shorea johorensis Dipterocarpaceae 89 Meranti merah Shorea leprosula Dipterocarpaceae 90 Meranti putih Shorea hopeifolia Dyer Dipterocarpaceae 91 Merawan Hopea mengerawan Dipterocarpaceae 92 Merkubung Macaranga gigantea Euphorbiaceae 93 Mersawa Anisoptera costata Korth Dipterocarpaceae 94 Nyatoh Palaquium beccarianum Van Royen Sapotaceae 95 Pandau Randia sp Rubiaceae 96 Pangkilan Semut Baccaurea sp Euphorbiacea 97 Paru-Paru Sindora wallichii Caesalpiniaceae 98 Pekawai Durio kutejensis Bombacacea 99 Pengerawan Shorea leprosula Dipterocarpacea 100 Petai Parkia speciosa Leguminoceae 101 Pihing Artocarpus sp. Moraceae 102 Pisang-pisang Mezzetia parvifolia Annonacea 103 Ponga Shorea ovata Dipterocarpacea 104 Ponga Batu Shorea quadrinervis Dipterocarpacea 105 Pongsi Elaeocarpus stipulatis Tiliacea 106 Pudu Artocarpus comando Moraceae 107 Putat Planchonia valida Lecythidaceae 108 Rambutan Nephelium sp. Sapindaceae 109 Rengas Gluta renghas Anacardiaceae 110 Rerige Dillenia eximia Dilteniacea 111 Resak Vatica pauciflora Hook f Dipterocarpaceae 112 Riga Dillenia sp. Dilleniaceae 113 Rupis Ouratea sp Oehnacea 114 Salam Euginea sp. Myrtaceae 115 Sampak Aglaia sp Meliaceae 116 Sampe Costanopsis sp Fagaceae 117 Segarang Sapium discolor Euphorbiaceae 118 Segulang Evodia sp. Rutaceae 119 Sembulan Teysmanniodendron sp Verbenaceae 120 Sengkuang Dracontomelon mangiferum Anacardiaceae 121 Simpotir Kingiodendron sp. Caesalpiniaceae 122 Simpur Dillenia eximia Dilleniaceae 123 Sinduk Scorodocarpus Olacaceae 124 Sindur Sindora wallichii Caesalpiniaceae 125 Sumpit Microsas henrici Tiliaceae 126 Tampar Sindora leiocarpa Caesalpiniaceae 127 Tengkawang Shorea stenoptera Dipterocarpaceae 128 Terentang Campnosperma auriculata Anacardiaceae 129 Timau Cratoxylon arborescens Guttiferae 130 Torap Arthocarpus elasticus Moracea 131 UbahUbai Eugenia sp. Myrtaceae 132 Ubar Eugenia sp Myrtacea 133 Udak Sterculia sp. Sterculiaceae 134 Umbing Xylopia sp Annonaceae Lampiran 6. Hasil analisis regresi berganda antara tinggi pohon dan umur serta sifat-sifat tanah Welcome to Minitab, press F1 for help. Regression Analysis: Log T versus 1U; pH; ... Liat is highly correlated with other X variables Liat has been removed from the equation. The regression equation is Log T = 0,20 - 1,09 1U - 0,169 pH + 0,0669 C-org + 0,367 N + 0,0045 P - ter + 0,0858 Ca + 0,188 Mg - 0,377 K - 0,00502 Pasir + 0,00164 Debu Predictor Coef SE Coef T P Constant 0,201 1,736 0,12 0,914 1U -1,0871 0,2555 -4,25 0,013 pH -0,1690 0,3404 -0,50 0,646 C-org 0,06686 0,06989 0,96 0,393 N 0,3672 0,9466 0,39 0,718 P - ter 0,00446 0,01648 0,27 0,800 Ca 0,08584 0,06955 1,23 0,285 Mg 0,1882 0,1835 1,03 0,363 K -0,3765 0,7712 -0,49 0,651 Pasir -0,005017 0,008903 -0,56 0,603 Debu 0,001642 0,008815 0,19 0,861 S = 0,144020 R-Sq = 94,0 R-Sqadj = 78,9 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 10 1,29277 0,12928 6,23 0,046 Residual Error 4 0,08297 0,02074 Total 14 1,37573 Stepwise Regression: Log T versus 1U; pH; ... Alpha-to-Enter: 0,05 Alpha-to-Remove: 0,05 Response is Log T on 11 predictors, with N = 15 Step 1 2 Constant 0,8245 2,1234 1U -0,94 -1,05 T-Value -7,60 -9,83 P-Value 0,000 0,000 pH -0,263 T-Value -2,83 P-Value 0,015 S 0,139 0,112 R-Sq 81,64 89,00 R -Sqadj 80,23 87,16 Log T = 2,1234 - 1,051U – 0,263 pH — 04082011 13:32:34 — Lampiran 7. Hasil uji beda nyata Tukey uji T pada beberapa sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII di PT. Sukajaya Makmur ————— 392011 3:22:00 PM ———————————————————— Welcome to Minitab, press F1 for help. ————— 392011 3:53:59 PM ———————————————————— Two-Sample T-Test and CI: H20 K, H20 T Two-sample T for H20 K vs H20 T N Mean StDev SE Mean H20 K 30 4.933 0.350 0.064 H20 T 30 4.630 0.381 0.070 Difference = mu H20 K - mu H20 T Estimate for difference: 0.3033 95 CI for difference: 0.1143, 0.4923 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 3.21 P-Value = 0.002 DF = 57 Two-Sample T-Test and CI: C Org K, C Org T Two-sample T for C Org K vs C Org T N Mean StDev SE Mean C Org K 29 2.96 2.07 0.38 C Org T 30 2.20 1.55 0.28 Difference = mu C Org K - mu C Org T Estimate for difference: 0.764 95 CI for difference: -0.193, 1.721 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.60 P-Value = 0.115 DF = 51 Two-Sample T-Test and CI: keyldahl K, keyldahl T Two-sample T for keyldahl K vs keyldahl T N Mean StDev SE Mean keyldahl K 30 0.229 0.128 0.023 keyldahl T 30 0.199 0.101 0.018 Difference = mu keyldahl K - mu keyldahl T Estimate for difference: 0.0307 95 CI for difference: -0.0291, 0.0904 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.03 P-Value = 0.308 DF = 55 Two-Sample T-Test and CI: bray I K, bray I T Two-sample T for bray I K vs bray I T N Mean StDev SE Mean bray I K 30 12.8 11.6 2.1 bray I T 30 6.97 5.64 1.0 Difference = mu bray I K - mu bray I T Estimate for difference: 5.87 95 CI for difference: 1.10, 10.63 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.49 P-Value = 0.017 DF = 41 Lampiran 7 Lanjutan Two-Sample T-Test and CI: Ca K, Ca T Two-sample T for Ca K vs Ca T N Mean StDev SE Mean Ca K 30 5.79 1.63 0.30 Ca T 30 5.35 1.68 0.31 Difference = mu Ca K - mu Ca T Estimate for difference: 0.441 95 CI for difference: -0.414, 1.297 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.03 P-Value = 0.306 DF = 57 Two-Sample T-Test and CI: Mg K, Mg T Two-sample T for Mg K vs Mg T N Mean StDev SE Mean Mg K 30 4.131 0.727 0.13 Mg T 30 4.333 0.790 0.14 Difference = mu Mg K - mu Mg T Estimate for difference: -0.203 95 CI for difference: -0.595, 0.190 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -1.03 P-Value = 0.306 DF = 57 Two-Sample T-Test and CI: K K, K T Two-sample T for K K vs K T N Mean StDev SE Mean K K 30 0.205 0.129 0.024 K T 30 0.1623 0.0889 0.016 Difference = mu K K - mu K T Estimate for difference: 0.0430 95 CI for difference: -0.0143, 0.1003 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.51 P-Value = 0.138 DF = 51 Two-Sample T-Test and CI: KTK K, KTK T Two-sample T for KTK K vs KTK T N Mean StDev SE Mean KTK K 30 12.86 4.53 0.83 KTK T 30 10.85 4.12 0.75 Difference = mu KTK K - mu KTK T Estimate for difference: 2.01 95 CI for difference: -0.23, 4.25 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.80 P-Value = 0.078 DF = 57 Two-Sample T-Test and CI: kejenuhan K, kejenuhan T Two-sample T for kejenuhan K vs kejenuhan T N Mean StDev SE Mean kejenuhan K 30 42.8 12.2 2.2 kejenuhan T 30 32.7 10.1 1.8 Difference = mu kejenuhan K - mu kejenuhan T Estimate for difference: 10.05 95 CI for difference: 4.25, 15.84 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 3.47 P-Value = 0.001 DF = 55 Lampiran 7 Lanjutan Two-Sample T-Test and CI: Al+++ K, Al+++ T Two-sample T for Al+++ K vs Al+++ T N Mean StDev SE Mean Al+++ K 30 2.085 0.368 0.067 Al+++ T 30 1.831 0.490 0.089 Difference = mu Al+++ K - mu Al+++ T Estimate for difference: 0.255 95 CI for difference: 0.030, 0.479 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.28 P-Value = 0.027 DF = 53 Two-Sample T-Test and CI: Zn K, Zn T Two-sample T for Zn K vs Zn T N Mean StDev SE Mean Zn K 30 4.967 0.570 0.10 Zn T 30 5.447 0.665 0.12 Difference = mu Zn K - mu Zn T Estimate for difference: -0.480 95 CI for difference: -0.800, -0.160 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -3.00 P-Value = 0.004 DF = 56 Two-Sample T-Test and CI: Fe K, Fe T Two-sample T for Fe K vs Fe T N Mean StDev SE Mean Fe K 30 43.8 12.1 2.2 Fe T 30 33.91 9.91 1.8 Difference = mu Fe K - mu Fe T Estimate for difference: 9.92 95 CI for difference: 4.20, 15.63 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 3.48 P-Value = 0.001 DF = 55 Two-Sample T-Test and CI: pasir K, pasir T Two-sample T for pasir K vs pasir T N Mean StDev SE Mean pasir K 30 32.51 8.97 1.6 pasir T 30 26.3 12.0 2.2 Difference = mu pasir K - mu pasir T Estimate for difference: 6.25 95 CI for difference: 0.77, 11.73 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.29 P-Value = 0.026 DF = 53 Two-Sample T-Test and CI: debu K, debu T Two-sample T for debu K vs debu T N Mean StDev SE Mean debu K 30 36.77 5.19 0.95 debu T 30 41.22 6.14 1.1 Difference = mu debu K - mu debu T Estimate for difference: -4.45 95 CI for difference: -7.39, -1.51 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -3.03 P-Value = 0.004 DF = 56 Two-Sample T-Test and CI: bulk K, bulk T Lampiran 7 Lanjutan Two-sample T for bulk K vs bulk T N Mean StDev SE Mean bulk K 15 0.849 0.115 0.030 bulk T 30 0.927 0.111 0.020 Difference = mu bulk K - mu bulk T Estimate for difference: -0.0787 95 CI for difference: -0.1523, -0.0050 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = -2.19 P-Value = 0.037 DF = 27 Two-Sample T-Test and CI: porositas K, porositas T Two-sample T for porositas K vs porositas T N Mean StDev SE Mean porositas K 15 67.99 4.36 1.1 porositas T 30 65.06 4.18 0.76 Difference = mu porositas K - mu porositas T Estimate for difference: 2.93 95 CI for difference: 0.14, 5.72 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.15 P-Value = 0.040 DF = 27 Two-Sample T-Test and CI: PF2 K, PF2 T Two-sample T for PF2 K vs PF2 T N Mean StDev SE Mean PF2 K 15 44.84 3.56 0.92 PF2 T 30 41.62 4.90 0.89 Difference = mu PF2 K - mu PF2 T Estimate for difference: 3.22 95 CI for difference: 0.62, 5.82 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.51 P-Value = 0.017 DF = 37 Two-Sample T-Test and CI: lambat K, lambat T Two-sample T for lambat K vs lambat T N Mean StDev SE Mean lambat K 15 9.11 2.94 0.76 lambat T 30 6.65 3.35 0.61 Difference = mu lambat K - mu lambat T Estimate for difference: 2.460 95 CI for difference: 0.470, 4.450 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.52 P-Value = 0.017 DF = 31 Two-Sample T-Test and CI: permeabilitas K, permeabilitas T Two-sample T for permeabilitas K vs permeabilitas T N Mean StDev SE Mean permeabilitas K 15 14.17 4.02 1.0 permeabilitas T 30 11.78 2.47 0.45 Difference = mu permeabilitas K - mu permeabilitas T Estimate for difference: 2.40 95 CI for difference: 0.03, 4.76 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.12 P-Value = 0.047 DF = 19 Lampiran 7 Lanjutan Two-Sample T-Test and CI: mikro K, mikro T Two-sample T for mikro K vs mikro T N Mean StDev SE Mean mikro K 30 39.8 17.0 3.1 mikro T 30 31.1 13.4 2.4 Difference = mu mikro K - mu mikro T Estimate for difference: 8.67 95 CI for difference: 0.74, 16.60 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 2.19 P-Value = 0.033 DF = 54 Two-Sample T-Test and CI: fungi K, fungi T Two-sample T for fungi K vs fungi T N Mean StDev SE Mean fungi K 30 14.4 10.6 1.9 fungi T 30 10.37 7.92 1.4 Difference = mu fungi K - mu fungi T Estimate for difference: 4.07 95 CI for difference: -0.77, 8.90 T-Test of difference = 0 vs not =: T-Value = 1.69 P-Value = 0.098 DF = 53 Lampiran 8. Regresi diameter dengan umur pada tanaman Meranti merah Shorea leprosula di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII ☞ ✌✍ ✌ ✎✏✑✎ ✒✓✏✒ ✓ ✔✕ ✑✎ ✖ ✑ ✒✑ ✗ ✕ ✑ ✘ ✓ ✖✓✒ ✔ ✓✖ ✕✎✏✏ ✕ dada cm dengan Umur tahun adalah log D = - 0,44789 + 1,4803 log A Regression Analysis: log D versus log A ✙✚✛ dictor Coef SE Coef T P Constant -0,44789 0,07830 -5,72 0,000 log A 1,4803 0,1619 9,14 0,000 S = 0,2189 R-Sq = 74,9 R-Sqadj = 74,0 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 4,0061 4,0061 83,59 0,000 Residual Error 28 1,3419 0,0479 Total 29 5,3480 Lampiran 9. Regresi tinggi dan diameter pada tanaman Meranti merah Shorea leprosula di Jalur Tanam pada penerapan silvikultur TPTII ✜✢✣✢ ✤✥✦ ✤ ✧★ ✥✧★✩✪ ✦✤✫✦✧✦ ✬✪ ✤✥✥ ✪ ✫ ✭ ✫✦ ✮ ✯ dengan Diameter setinggi dada cm adalah log T = 0,27263 + 0,7093 log D Regression Analysis: log T versus log D Predictor Coef SE Coef T P Constant 0,27263 0,01186 22,99 0,000 log D 0,70930 0,02610 27,17 0,000 S = 0,06037 R-Sq = 96,3 R-Sqadj = 96,2 Analysis of Variance Source DF SS MS F P Regression 1 2,6906 2,6906 738,36 0,000 Residual Error 28 0,1020 0,0036 Total 29 2,7927 189 Lampiran 10. Hasil Uji T sifat-sifat tanah antara Jalur Antara dan Jalur Tanam dalam penerapan silvikultur TPTII dengan umur tanaman 1 sampai 5 tahun SIFAT TANAH Blok TPTII Tahun 2005 2006 2007 2008 2009 JA JT P JA JT P JA JT P JA JT P JA JT P A. KIMIA Ph 5,0 4,7 6 5,1 4,9 4 4,5 4,7 -4 4,9 5,1 4 4,7 4,4 6 KTK 14,05 15,21 8 17,14 12,86 25 16,53 14,70 11 19,00 12,75 33 14,31 15,78 10 Kej Basa 38,43 29,27 24 46,50 37,83 19 40,60 36,90 9 43,37 45,57 5 36,50 25,67 30 C-org 5,297 2,363 55 4,973 2,823 43 5,580 4,530 19 4,770 4,340 9 2,220 3,190 44 N 0,340 0,223 34 0,354 0,230 35 0,377 0,307 19 0,353 0,320 9 0,297 0,293 1 P- ters ppm 10,83 4,13 62 17,13 11,83 31 28,50 4,03 86 32,70 14,93 54 19,50 16,73 14 K me100 g 0,343 0,167 51 0,280 0,247 12 0,357 0,320 10 0,247 0,183 26 0,250 0,173 31 Ca me100 g 5,620 6,59 17 4,140 4,930 19 5,632 4,393 22 4,750 3,010 37 7,580 7,397 2 Mg me100g 3,817 4,610 21 3,660 4,577 25 4,423 4,800 9 4,927 4,807 2 3,607 3,230 10 Al dd meq 1,93 2,017 5 1,837 1,837 2,100 2,117 1 2,260 2,507 11 1,703 1,440 15 Fe 39,50 30,47 23 47,50 38,93 18 41,60 38,00 9 44,37 46,57 5 37,70 26,90 29 Zn 4,867 5,800 19 5,867 5,330 9 4,767 4,633 3 4,867 5,167 6 5,333 5,933 11 B. FISIKA Permeabiltas cmjam 18,49 15,63 15 15,11 11,34 25 13,38 11,07 17 12,62 10,14 20 11,26 10,70 5 Bulk Density gcc 0.77 0,90 16 0,80 1,03 28 0,88 0,93 5 0,90 0,93 3 0,89 0,86 3 Porositas 70,85 66,29 6 69,85 61,40 12 66,73 65,00 3 66,14 65,04 2 66,38 67,57 2 Air Ters 18,47 13,38 28 14,37 10,54 27 13,41 12,65 6 13,05 13,61 4 12,53 13,47 8 C. BIOLOGI Mikroorganisme 25,30 24,83 2 55,00 27,00 51 40,83 21,67 47 31,33 22,33 29 52,20 58,20 12 Fungi 5,83 2,67 54 20,33 22,33 10 23,67 14,17 40 13,00 8,50 35 2,33 13,80 83 Keterangan : JA = Jalur Antara JT = Jalur Tanam P = Perubahan = Berbeda nyata pada taraf 95 = Berbeda nyata pada taraf 99 ABSTRACT IWAN AMINUDIN. The Development Stands on Production Natural Forest in TPTII Silvicultural System. Advisory Committee : ANDRY INDRAWAN as Chairman, PRIJANTO PAMOENGKAS and BASUKI WASIS as Members. TPTII silvicultural system are expected to increase the productivity of forests through stripline planting system. Planting lane on one side allows the growth of Meranti type group, but on the other hand alleged damages arising out of land and vegetation changes. This study aims to analyze the structure and composition of the residual stand on logged-over natural forests, to evaluate plant growth Red Meranti Shorea leprosula and is identify soil quality on production of natural forest management in the application of TPTII silvicultural system. The research was carried out in working area IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Ketapang District, West Kalimantan Province. Growth of S. leprosula is predicted to reach the first cycle at the age of 25 years, with a diameter increment reached 1.67 cmyear, with an average diameter of 41.83 cm and the productivity reached 91.79 m 3 ha. The potential total production of 255.34 m 3 ha of TPTII higher than TPTI which only had the potential value of production amounting to 192.43 m 3 ha. S. leprosula plant stand structure resembles the forest plantations spread diameter bell-shaped curve, while the residual stand structure following the pattern of distribution of natural forests inverted J-shaped curve. Changes in vegetation is shown from the community similarity index IS value. The diversity indexH’ ware varies value, generally ware same higher value at TPTII, TPTI and Virgin Forest. Land degradation can be seen from some of the parameters of chemical properties, soil physics and biology. Soil characteristics at different TPTII logged over area, TPTI logged over area and Virgin Forest. TPTII silvicultural systems have advantages in terms of timber production potential, but has the disadvantage of the soil quality. Keyword: TPTII, Shorea leprosula, productivity, diversity, soil quality. RINGKASAN IWAN AMINUDIN. Perkembangan Tegakan pada Hutan Alam Produksi dalam Sistem Silvikultur TPTII. Dibimbing oleh : ANDRY INDRAWAN, PRIJANTO PAMOENGKAS DAN BASUKI WASIS. Sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun di sisi lain dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi kemudian dipertanyakan. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi pertumbuhan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya, menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya dan mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan. Penelitian dilaksanakan di areal kerja IUPHHK PT. Suka Jaya Makmur, Kabupaten Ketapang, Propinsi Kalimantan Barat. Pengambilan data primer dilakukan pada areal hutan TPTII yang berumur 0, 1, 2, 3, 4, dan 5 tahun yang terletak pada blok tebangan TPTII tahun 2010 TPTI 1983, 2009, 2008, 2007, 2006, dan 2005. Pengambilan data primer pada blok KPPN Kawasan Konservasi Plasma Nutfah merupakan areal representasi dari Virgin Forest. Data sekunder untuk vegetasi dan tanaman diperoleh dari petak ukur permanen. Riap diameter Shorea leprosula pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cmth, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur. Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cmth. Daur pertama tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII akan diperoleh pada umur 25 tahun, dengan rata-rata diameter tanaman 41,83 cm. Potensi tegakan tanaman Shorea leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m 3 ha. Struktur tegakan tanaman Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII telah terjadi perubahan vegatasi, hal ini dapat terlihat dari nilai indeks persamaan komunitas IS. Nilai indeks tersebut pada hutan bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI. Nilai indeks keanekaragaman jenis H’ sangat fluktuatif, tetapi secara umum antara TPTII, TPTI dan Virgin Forest mempunyai tingkat keanekaragaman jenis yang sama , yaitu pada tingkat sedang. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam berbentuk kurva J terbalik. Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur TPTI dan virgin forest. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur TPTII atau TPTI telah merubah komposisi tegakan. Pada hutan primer virgin forest Shorea laevis mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder. Penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi total dari TPTII yaitu sebesar 255,34 m3ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m3ha. Dalam penerapan Sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan Virgin Forest . Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi tanah. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang. Jalur Antara harus dipertahankan dan difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi sebagai penciri Karakterisasi keberlanjutan hutan alam. Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi kayu, akan tetapi mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya memodifikasi terhadap sistem silvikultur TPTII, dualisme penebangan, antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan Jalur Tanam perlu dicoba untuk dihilangkan. Diperlukan penelitian lebih lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pembuatan Jalur Tanam.

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Keterpurukan sektor kehutanan sudah berjalan hampir 14 tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Masih besarnya angka laju kerusakan hutan serta bangkrutnya dunia usaha di sektor kehutanan sebagai akibat besarnya dominasi pengusahaan hutan dalam bentuk konsesi HPH atau IUPHHK serta diperburuk lagi dengan praktek perambahan hutan, penebangan liar dan penyelundupan kayu. Keberlanjutan peran dan kontribusi sektor kehutanan dalam pembangunan nasional dipertanyakan, masih bisakah sektor kehutanan bangkit kembali pada masa yang akan datang. Peran sektor kehutanan dalam pembangunan banyak dipertanyakan, utamanya yang terkait dengan pengelolaan hutan alam Indonesia dalam bentuk konsesi HPH IUPHHK. Sejarah pengelolaan hutan di Indonesia dimulai dengan keluarnya Undang- Undang Nomor 5 tahun 1967 menjadi penanda awal lahirnya pengelolaan hutan dalam bentuk konsesi HPH. Kebutuhan modal yang besar guna mengejar pertumbuhan ekonomi telah memalingkan penguasa Orde Baru ke arah sektor kehutanan sebagai sumber devisa. Pada awal tahun 1969 tercatat 53 unit konsesi HPH dan meningkat sampai 632 unit pada akhir tahun 1980-an dengan luas konsesi mencapai sekitar 64,3 juta ha. Pada masa tersebut merupakan era emas sektor kehutanan, devisa dari eksport produksi sektor kehutanan pada puncaknya mencapai USD 8 Milyar pertahun Ngadiono 2004. Atas pencapaian tersebut sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa terbesar kedua setelah Migas. Setelah era tersebut sampailah pada masa keterpurukan. Pada tahun 2003 jumlah HPH yang beroperasi hanya tinggal 266 unit dengan luas konsesi tinggal 28,1 juta ha. Kontribusi sektor kehutanan terhadap perolehan devisa merosok tajam menjadi tinggal USD 1,5 Milyar pertahun Ngadiono 2004. Kondisi tersebut berlanjut sampai saat ini, sektor kehutanan tidak lagi mempunyai kontribusi yang signifikan terhadap devisa nasional bahkan menjadi beban dan masalah bagi pembangunan nasional. Dunia kehutanan memang terpuruk tetapi belum mati, oleh karena itu untuk memulai kembali kebangkitan kehutanan di Indonesia langkah pokok yang harus dilakukan adalah redesign manajemen hutan. Redesign manajemen hutan mengarah pada pencapaian kelestarian hutan pada masing-masing fungsi hutan, terutama pada hutan produksi sehingga pada hutan produksi tersebut tetap terjadi kelestarian fungsi produksi dan ekologi. Diperlukan redesign kelola produksi untuk membangkitkan kembali sektor kehutanan. Terkait kelola produksi dan peningkatan produktivitas perlu penelaahan kembali sistem-sistem silvikultur yang pernah diterapkan di Indonesia. Sistem silvikultur memegang peranan sentral dalam pengelolaan hutan karena didalamnya terdapat pengaturan mengenai daur tebang, riap, tahapan kegiatan dari seluruh penebangan kayu sampai pada kegiatan penanaman pengayaan pada kawasan hutan bekas tebangan Indrawan 2008. Kesalahan dalam penerapan sistem silvikultur akan berakibat pada kerusakan hutan. Sistem silvikultur yang menjadi landasan praktek pengusahaan hutan alam tropis di luar Jawa adalah keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35KptsDDI1972 tanggal 13 Maret 1972, tentang Pedoman Tebang Pilih Indonesia TPI, Tebang Habis dengan Permudaan Buatan THPB, Tebang Habis dengan Permudaan Alam THPA dan Pedoman-pedoman Pengawasannya. Dalam perjalanannya sistem silvikultur TPI disempurnakan dengan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI, yang diatur dalam Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485Kpts-II1989 tanggal 18 September 1989 tentang Sistem Silvikultur pengelolaan Hutan Alam Produksi di Indonesia. Keputusan tersebut dioperasionalkan dengan Surat Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564Kpts-IVBPHH1989 tanggal 30 November 1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI. Konsep sistem silvikultur TPTI yang semula diyakini mampu melestarikan sumberdaya hutan ternyata belum sepenuhnya mewujud di lapangan. Salah satu fenomena utama yang mengemuka sebagai akibat kondisional di atas adalah menurunnya luas hutan alam yang dikelola dengan sistem tebang pilih dari 59,6 juta hektar tahun 1990 menjadi 28,7 juta hektar tahun 2007. Kondisi tersebut juga tercermin dari penurunan produktivitas kayu bulat dari 28 juta m 3 menjadi hanya 9,1 juta m 3 . Riap tahunan juga menurun dengan rerata 0,46 m 3 hatahun Ditjen BPK 2010. Dalam kondisi berat dan kompleknya problema kegiatan pengusahaan hutan tersebut, diperlukan sebuah terobosan solusi. Sebagai landasan utama aktivitas kelola hutan, maka sistem silvikultur merupakan salah satu kunci solusi. Diperlukan penyempurnaan sistem silvikultur yang mampu mengatasi berbagai problema akibat dinamika dan perubahan lingkungan strategis di berbagai tingkatan. Konfigurasi kawasan hutan alam produksi yang dewasa ini didominasi oleh hutan bekas tebangan atau logged over area LoA yang produktivitas dan potensi tegakannya cenderung menurun. Konsekwensi dari kondisi tersebut maka penerapan sistem silvikultur hutan alam harus memenuhi beberapa syarat yaitu: mampu meningkatkan produktivitas lahan, mendongkrak potensi dan riap tegakan, menjamin kepastian hukum tenurial dan keamanan berusaha serta meningkatkan penyerapan tenaga kerja. Untuk menjawab tantangan permasalahan tersebut maka digagaslah sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII. Sebagai landasan hukum, telah ditetapkan Keputusan Direktur Jenderal Bina Produksi Kehutanan Nomor SK.226VI-BHPA2005 tanggal 1 September 2005 tentang Pedoman Sistem Silvikultur TPTI Intensif. Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII merupakan suatu teknik silvikultur yang memadukan tindakan maupun prinsip-prinsip dasar silvikultur. Prinsip-prinsip tersebut adalah pemuliaan pohon, perbaikan tapaktempat tumbuh dan perlindungan terhadap serangan hama dan penyakit Indrawan 2008. TPTII lebih dikenal dengan istilah Silvikultur intensif SILIN dipandang merupakan cara-cara penyelenggaraan dan pemeliharaan hutan, serta penerapan praktik- praktik pengaturan komposisi dan pertumbuhan hutan yang secara intensif dilakukan untuk mewujudkan hutan dengan struktur dan komposisi yang dikehendaki dan disesuaikan dengan lingkungan setempat, dengan harapan dapat menyempurnakan sistem silvikultur TPTI yang sudah selama 30 tahun diterapkan pada hutan alam di Indonesia. Sistem silvikultur TPTII berkembang sebagai salah satu upaya untuk penyelamatan hutan tropis Indonesia yang semakin rusak. Sistem silvikultur TPTII mampu mengatasi kelemahan sistem silvikultur TPTI dalam hal pengontrolan hasil penanaman, namun apakah sitem silvikultur tersebut mampu mengatasi kelemahan yang paling penting dalam pengelolaan hutan alam, yaitu meningkatkan produktifitas hutan. Untuk menjawab pertanyaan tersebut sangat diperlukan agar kegagalan yang berujung pada deforestasi dan degradasi hutan tidak terulang kembali serta tercipta kepastian dan kegairahan usaha di bidang pengelolaan hutan dengan tetap menjaga kelestariannya.

1.2. Perumusan Masalah

Secara umum praktek tebang pilih yang diterapkan di dalam areal konsesi hutan IUPHHKHPH telah menyebabkan perubahan baik vegetasi, iklim mikro maupun sifat tanah . Berbagai studi menunjukan adanya peningkatan kehilangan unsur hara sebagai akibat deforestasi . Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut sangat menentukan produktifitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumber daya hutan di daerah tropis. Menurut Wasis 2005, pengelolaan sumberdaya alam hutan akan lestari jika mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Sejalan dengan pendapat tersebut Lal 1995 mengemukakan pendapat, pengelolaan hutan yang berbasis pada cadangan unsur hara yang rendah karena adanya penebangan, perubahan jumlah dan kualitas bahan organik, erosi dan pencucian hara mempunyai sifat tidak lestari Lal 1995. Dengan kata lain kelestarian suatu sistem penggunaan lahan terkait secara langsung dengan kualitas tanah yang harus dipertahankan atau ditingkatkan. Kualitas tanah memuat dua aspek, yaitu aspek yang bersifat pokok intrinsic part yang mencakup kapasitas yang melekat pada sifat tanah tersebut untuk pertumbuhan tanaman, dan aspek dinamik dinamic part yang dipengaruhi oleh cara pengelolaan terhadap tanah tersebut. Carter et al. 1997. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan , sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman dengan sistem jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul kekhawatiran adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi. kedua hal tersebut merupakan pertanyaan-pertanyaan yang harus mendapat jawaban pasti. Untuk memahami perubahan baik fungsi ekosistem maupun struktur ekosistem akibat penerapan sistem silvikultur TPTII maka diperlukan penelitian untuk melihat bagaimana kondisi kualitas tanah pada areal TPTII umur 0,1,2,3, 4, 5 tahun dan hutan alam primer sebagai pembanding. Untuk mengkaji atau menilai kualitas tanah, indikator kunci biologi, kimia dan fisik harus diidentifikasi atau dievaluasi untuk melihat sensitivitas dari indikator tersebut terhadap sistem silvikultur TPTII. Beberapa parameter penting dari sifat tanah yang menentukan kualitas tanah dalam penelitian ini adalah meliputi sifat fisik tanah, sifat kimia tanah dan sifat biologi tanah. Selain itu struktur ekosistem juga perlu diketahui untuk melihat struktur vertikal dan horizontal pada plot yang sama. Beberapa masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : a. Apakah pada areal hutan alam terjadi peningkatan produktivitas setelah dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. b. Sejauh mana perkembangan tegakan sisa pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII. c. Sifat-sifat tanah apa yang secara signifikan mempengaruhi pertumbuhan tegakan pada areal hutan alam yang dikelola dengan sistem silvikultur TPTII.

1.3. Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan untuk mengetahui perkembangan tegakan dan mengetahui produktivitas tegakan hutan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII, sedangkan tujuan khusus adalah : a. Mengevaluasi pertumbuhan tanaman Meranti merah Shorea leprosula pada jalur tanam pada penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya. b. Menganalisa struktur dan komposisi dari tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta memprediksi produktivitasnya. c. Mengidentifikasi kualitas tanah pada pengelolaan hutan alam produksi dalam penerapan sistem silvikultur TPTII serta mencari hubungannya dengan tegakan.

1.4. Hipotesis

a. Sistem silvikultur TPTII mampu meningkatkan produktifitas hutan b. Tegakan sisa pada hutan alam bekas tebangan dalam penerapan sistem silvikultur TPTII mempunyai struktur dan komposisi yang berbeda dengan tegakan sebelumnya. c. Pada penerapan sistem silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah.

1.5. Manfaat Penelitian

a. Memberikan sumbangan pemikiran untuk pengembangan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi lestari pada tingkat IUPHHK. b. Sebagai bahan referensi dalam pengembangan ilmu pengetahuan bidang pengelolaan hutan dan kehutanan. c. Sebagai bahan referensi bagi para stakeholder diantaranya yaitu : pemegang IUPHHK, Kementrian Kehutanan RI, dan peneliti dalam menetapkan sistem silvikultur, seberapa besar pengaruh keterkaitannya. d. Untuk memperoleh gambaran yang holistik mengenai produktivitas lahan yang saling berinteraksi dalam pengelolaan sumberdaya hutan ditingkat pengelolaan hutan alam produksi yang ramah lingkungan pada IUPHHK. e. Sebagai acuan bagi Pemerintah Khususnya Kementrian Kehutanan untuk pengambilan kebijakan dalam pengelolaan hutan alam produksi.

1.6. Kerangka Pemikiran

Dalam konsep pengelolaan hutan lestari, multi fungsi multiple functions, yaitu kayu dan jasa ekosistem ecosystem services sudah menjadi tuntutan yang harus dipenuhi. Sebagai respon atas konsep tersebut, kebijakan pengelolaan hutan bekas tebangan mengalami modifikasi dari TPTI menjadi TPTI-Intensif. Secara umum, praktek tebang pilih menyebabkan perubahan baik pada vegetasi, iklim mikro maupun kondisi tanah. Sebagai basis dalam pengelolaan hutan maka ketiga aspek tersebut tanah, iklim dan vegetasi sangat menentukan produktivitas hutan yang menjadi faktor penting dalam penilaian kelestarian sumberdaya hutan di daerah tropis. Dalam cakupan pengelolaan hutan alam poduksi aspek tanah dan vegetasi merupakan dua faktor utama yang menjadi pijakan penerapan silvikultur. Pengelolaan sumberdaya hutan akan lestari jika tetap mempertahankan produktivitas yang tinggi per satuan luas secara terus-menerus dan meningkatnya kualitas tanah. Dalam kaitannya dengan produktivitas hutan, sistem silvikultur TPTII merupakan salah satu pilihan dalam pengelolaan hutan yang diperkirakan dapat meningkatkan produktivitas hutan melalui penanaman secara jalur. Permasalahan yang muncul dalam penerapan sistem silvikultur TPTII adalah tingkat keterbukaan tajuk pada tahap awal yang cukup besar sebagai akibat pembuatan Jalur Tanam Jalur Bersih. Terciptanya ruang-ruang tumbuh yang cukup besar ini pada satu sisi memungkinkan bagi pertumbuhan anakan dari kelompok jenis Meranti, namun pada sisi lain muncul dugaan adanya kerusakan tanah dan perubahan vegetasi secara spesifik keanekaragaman jenis, kemudian dipertanyakan. Untuk memahami dan mengetahui produktivitas hutan akibat penerapan TPTII maka diperlukan suatu penelitian terhadap komponen ekosistem hutan, diantaranya adalah struktur dan komposisi tegakan sisa, pertumbuhan tanaman Meranti pada jalur tanam dan kondisi tempat tumbuh site. Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat kecenderungan ketiga aspek tersebut pada areal IUPHHK yang menerapkan sistem silvikultur TPTII. Hal tersebut dapat dicapai dengan mengetahui pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap komponen ekosistem hutan yang meliputi biodiversitas jenis vegetasi, pertumbuhan tanaman target dan kualitas tanah. Dengan demikian akan tersusun sebuah informasi dari pengaruh penerapan sistem silvikultur TPTII terhadap ekosistem hutan yang merupakan indikator penilaian produktivitas hutan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Perkembangan Silvikultur Di Indonesia

Silvikultur adalah seni dan ilmu membangun dan memelihara hutan dengan menerapkan ilmu silvika untuk memperoleh manfaat optimal. Menurut PP Nomor 6 tahun 2007 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan serta Pemanfaatan Hutan, sistem silvikultur adalah sistem budidaya hutan mulai dari memilih benih atau bibit, menyemai, menanam, memelihara tanaman dan memanen. Di dalam sistem silvukultur terdapat pengaturan mengenai kelas diameter atau kelas umur, riap kegiatan penanamanpengayaan enrichment planting , pemangkasan pruning, penjarangan thinning, siklus tebang, rotasi tebang serta informasi silvikultur jenis Pasaribu 2008. Menurut Nyland 2002 sistem silvikultur adalah rangkaian kegiatan berencana mengenai pengelolaan hutan yang meliputi penebangan, peremajaan, pemeliharaan tegakan hutan untuk menjamin kelestarian produksi atau hasil hutan lainnya. Sedangkan menurut Mattews 1997 sistem silvikultur merupakan proses pemeliharaan, pemanenan, dan penggantian dengan tanaman baru sehingga menghasilkan tegakan dengan bentuk yang berbeda. Pada hutan alam produksi sistem silvikultur dimulai dari kegiatan pemanenan sedangkan pada hutan tanaman dimulai dari kegiatan pembibitan dan perawatan tanaman. Dengan demikian definisi sitem silvikultur dapat berbeda-beda, namun semuanya mengandung tiga komponen utama yaitu permudaan regeneration, pemeliharaan tending, dan pemanenan Harvestingremoving. Sistem silvikultur yang diterapkan dalam unit manajemen dapat dibedakan berdasarkan umur tegakan maupun sistem penebangan. Berdasarkan umur tegakan terdiri dari sistem silvikultur untuk tegakan seumur even-aged stands seperti THPA dan THPB, sistem silvikultur untuk tegakan beberapa umur uneven-aged stands dan tegakan semua umur all aged-stands seperti tebang pilih individu TPI, TPTI, Bina Pilih, kelompok melingkar tebang rumpang dan kelompok dalam jalur TPTJ dan TPTII. Berdasarkan sistem penebangan pohon terdiri dari sistem silvikultur tebang pilih selective cutting dan sistem tebang habis clear cutting. Menurut Manan 1976, sistem silvikultur dapat dibedakan menjadi dua bagian yaitu : a. polycyclic system, yaitu jumlah penebangan siklus tebang yang lebih dari satu kali selama rotasi. Sistem TPI dan TPTI termasuk polycyclic system karena menggunakan dua kali siklus tebang 2x35 tahun selama rotasi 70 tahun. b. Monocyclic system, yaitu jumlah penebangan siklus tebang yang hanya sekali selama rotasi , seperti sistem silvikultur THPA dan THPB. Setelah pengelolaan hutan berjalan lebih dari dua puluh tahun, banyak hutan alam produksi yang mengalami fragmentasi Indrawan 2008. Lanskap hutan hujan tropis telah membentuk mozaik Pasaribu 2008; Suhendang 2008 yang terdiri dari hutan primer, hutan sekunder, hutan rawang, hutan bekas penebangan liar, hutan bekas kebakaran, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong. Pada kondisi seperti ini penerapan multisistem silvikultur menjadi keniscayaan agar setiap bagian hutan mendapatkan perlakuan silvikultur yang sesuai dengan kondisi hutannya. Menurut Indrawan 2008 multisistem silvikultur adalah sistem pengelolaan hutan produksi lestari yang terdiri dari dua atau lebih sistem silvikultur yang diterapkan pada satu unit manajemen dan merupakan multi usaha dengan tujuan mempertahankan dan meningkatkan produksi kayu dan hasil hutan lainnya serta dapat mempertahankan kepastian kawasan hutan produksi. Suhendang 2008 menulis bahwa sistem silvikultur menurut Society of American Forester tahun 1998 adalah rangkaian perlakuan terencana terdiri dari kegiatan pemeliharaan, pemanenan, dan pembangunan kembali tegakan. Skema penerapan sistem silvikultur ada dua macam yaitu sistem silvikultur tunggal single silvicultural system dan sistem silvikultur jamak multiple silvicultural system . Tehnik silvikultur adalah upaya mengintegrasikan atribut ekologi, ekonomi , sosial, dan administrasi menjadi pendekatan yang bulat dalam rangka mengelola dan memanfaatkan sumberdaya hutan untuk memenuhi kebutuhan generasi sekarang dan akan datang tanpa mengurangi kemampuan fungsi hutan Soekotjo 2009. Tehnik silvikultur dapat digolongkan menjadi tiga yaitu : a. Tehnik pengendalian struktur, komposisi, kerapatan, pertumbuhan dan rotasi serta kombinasi antara spesies genetik, memanipulasi lingkungan dan pengendalian hama terpadu intregated pest management. Tehnik pengendalian ini diterapkan dalam sistem TPTI intensif. b. Tehnik perlindungan tempat tumbuh agar permukaan tanah selalu tertutup vegetasi sehingga stabil dan terjaga kesuburannya dan pohon dari hama, penyakit dan kerusakan mekanis c. Tehnik pelayanan eksploitasi, pengelolaan dan pemanfaatan Sejarah perjalanan sistem silvikultur di Indonesia diawali dari Peraturan Pemerintah Nomor 21 tahun 1970 yang merupakan penjabaran dari UU Nomor 5 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Kehutanan, UU Nomor 1 tahun 1967 tentang penanaman modal asing dan UU Nomor 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri yang menyebutkan bahwa hutan produksi dapat diusahakan dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan. Sistem silvikultur yang dipakai dalam mengelola hutan alam produksi adalah Tebang Pilih Indonesia TPI berdasarkan surat keputusan Dirjen Kehutanan Nomor 35KptsDDI1972 tanggal 13 Maret 1972. Namun sistem ini mempunyai kelemahan pada ketidakpastian besaran limit diameter serta jumlah pohon inti yang harus ditinggalkan per hektar. Pada tahun 1980, Direktorat Reboisasi dan Rehabilitasi Lahan melakukan revisi terhadap ketentuan limit diameter dan jumlah pohon inti menjadi diameter 25 cm sebanyak 25 pohon per hektar serta menambah ketentuan yang disesuaikan dengan kondisi hutan eboni campuran dan ramin campuran. Pada tahun 1987 dibentuk tim materi diskusi penyempurnaan pedoman TPI dari Badan Litbang Kehutanan, Fakultas Kehutanan IPB dan Fakultas Kehutanan UGM. Pergantian sistem TPI menjadi Tebang Pilih Tanam Indonesia TPTI dilakukan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 485KptsII1989 yang dijabarkan dalam Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 564KptsIV-BPHH1989 tentang Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia. Alasannya pergantian ini antara lain untuk menyeimbangkan porsi kegiatan pemungutan hasil yang lebih menonjol pada sistem TPI dengan kegiatan pembinaan hutan agar tercapai kelestarian hutan Ditjen BPK 2005. Pada tahun 1993 dilakukan revisi TPTI berdasarkan Keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 151KptsIV-BPHH1993 yang memisahkan organisasi pembinaan hutan dengan pemungutan hasil produksi, alokasi anggaran kegiatan pembinaan hutan yang memadai serta pergeseran beberapa tahapan kegiatan pembinaan hutan. Sistem tebang pilih TPI maupun TPTI masih mempunyai beberapa kelemahan antara lain sulit mengontrol hasil kegiatan pembinaan hutan, terutama hasil penanamanpengayaan Enrichmentplanting. Sistem ini juga tidak sesuai diterapkan pada hutan alam Duabanga moluccana di Nusa Tengagara Barat dan Lophopetalum multinervium di Kalimantan Timur Ditjen BPK 2005. Sistem TPTI dinilai kurang luwes dan bersifat kaku sehingga sangat sedikit bidang gerak bagi tenaga kehutanan di lapangan Suhendang 2008. Menurut Santoso et al. 2008 kelemahan sistem TPTI adalah: a. Masih menggunakan asumsi riap 1 cm per tahun, padahal riap diameter pohon sangat bervariasi tergantung jenis pohon dan kondisi tempat tumbuh. b. Penetapan siklus tebang yang sama untuk setiap kondisi tegakan hutan, yaitu 35 tahun. Seharusnya siklus tebang ditentukan berdasarkan riap dan dinamika struktur tegakan hutan. c. Penetapan etat volume berdasarkan volume tegakan tersedia hasil survei tanpa memperhitungkan riap tegakan. Cara seperti ini hanya dapat dilakukan di hutan primer namun tidak bisa pada hutan sekunder. Menurut Wahyono dan Anwar 2008 sistem TPTI hanya dapat diterapkan pada areal hutan yang potensial saja, sementara pada areal lain seperti hutan muda potensi 20 m 3 ha, semak belukar, padang alang-alang dan tanah kosong tidak bisa. Padahal kondisi hutan produksi saat ini sangat bervariasi. Kelemahan lain sistem TPTI adalah rendahnya produktivitas hutan, yaitu kurang dari 1 m 3 hath Ditjen BPK 2010. Menurut Santosa et al. 2008 dengan meningkatnya laju degradasi hutan, rendahnya laju pembangunan hutan tanaman, masih rendahnya perekonomian masyarakat di sekitar hutan dan meningkatnya kawasan hutan produksi yang tidak dikelola dengan baik menunjukkan bahwa kinerja pemegang IUUPHK dengan menerapkan satu sistem silvikultur TPTI belum memenuhi prinsip pengelolaan hutan lestari. Minimnya keberhasilan penerapan pengelolaan hutan lestari menyebabkan kondisi hutan saat ini menyerupai mosaik, karena di dalam kawasan hutan alam terdapat berbagai tipe penutupan lahan berupa areal terbuka, hutan alam kurang produktif dan yang masih produktif. Upaya optimalisasi pengelolaan kawasan hutan yang berbentuk mosaik adalah penerapan multisistem silvikultur Indrawan 2008; Santoso et al. 2008. Menurut Pasaribu 2008 kondisi areal hutan produksi saat ini sudah tidak utuh lagi yang disebabkan penataan ruang untuk pembangunan non kehutanan, kebakaran hutan, perubahan akibat ekses ekonomi daerah serta pengaturan batas areal yang mengacu pada Rencana Tata Ruang Wilayah RTRW. Terfragmentasinya areal hutan produksi Suhendang 2008, meningkatnya laju kerusakan hutan Indrawan 2008 serta rendahnya riap hutan bekas tebangan pada sistem TPTI Ditjen BPK 2005, 2010 telah memicu munculnya beberapa sistem silvikultur alternatif. Menurut Suhendang 2008 paradigma baru pengelolaan hutan saat ini adalah pendekatan pada bentuk hutan alam close to natural forest. Menurut Mitlohner 2009 close to nature forestry adalah upaya pengelolaan hutan alam dengan tetap mempertahankan lapisan strata hutan serta menjaga kelestarian lingkungan, seperti iklim mikro, tanah, air dan keanekaragaman jenis. Menurut Coates dan Philip 1997 penebangan hutan dengan sistem celah gap lebih sesuai dengan kondisi hutan alam karena menyerupai fenomena pohon atau kelompok pohon yang mati dalam hutan lalu terbentuk regenerasi alam yang baik. Sistem gap termasuk sistem silvikultur untuk tegakan semua umur all-aged stands dengan penebangan dalam kelompok pohon dalam bentuk gap melingkar rumpang atau memanjang strips. Menurut Pasaribu 2008 tehnik silvikultur tebang rumpang menunjukan hasil yang baik pada kebun percobaan Badan Litbang Kehutanan Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur, karena dalam rumpang telah terjadi regenerasi alam dan membentuk tegakan seumur berlapis seperti tegakan primer. Penelitian sistem gap memanjang strips telah dilakukan pada beberapa IUPHHK sejak tahun 1993 dengan nama sistem silvikultur Tebang Jalur Tanam Indonesia TJTI yang selanjutnya berubah menjadi Tebang Jalur Tanam Konservasi TJTK. Prinsip sistem ini adalah membangun hutan tanaman diantara hutan alam dalam bentuk jalur selebar 25-100 m . Hambatan pelaksanaan sistem ini adalah adanya PP Nomor 21 tahun 1970 dan PP Nomor 7 tahun 1990 yang melarang pembangunan hutan tanaman dalam kawasan pengelolaan hutan alam. Kendala ini mengakibatkan munculnya keinginan untuk menggabungkan kedua PP tersebut. Sistem TJTK akhirnya berubah menjadi sistem Hutan Tanaman Industri dengan Tebang Tanam Jalur HTI-TTJ berdasarkan keputusan Menteri Kehutanan Nomor 453Kpts-II1997 yang dijabarkan dalam pedoman teknis berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 220KptsIV-BPH1997. Dalam sistem ini jalur tanam dipersempit menjadi 3 meter namun dilakukan pembuatan jalur bebas naungan selebar 10 meter. Interval penanaman 5 meter dan jarak antar jalur 25 meter, sehingga membentuk jarak tanam 5x25 meter. Sistem Hutan Tanaman Industri-Tebang Tanam Jalur HTI-TTJ kemudian diganti menjadi sistem Tebang Pilih Tanam Jalur TPTJ berdasarkan keputusan Dirjen Pengusahaan Hutan Nomor 55KptsIV-BPH1998. Evaluasi sistem TPTJ menunjukan hasil yang memuaskan, karena regenerasi terbentuk dengan baik dan tegakan tinggal serta lingkungan dapat terjaga, sehingga TPTJ dimasukkan sebagai salah satu sistem silvikultur untuk pengelolaan hutan alam produksi berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 309Kpts-II1999. Namun pada tahun 2002 keputusan ini dibatalkan melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1072Kpts-II2002 dan selanjutnya kembali kepada sistem TPTI kecuali PT. Sari Bumi Kusuma Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 201Kpts-II1998 dan PT. Erna Juliawati Surat Keputusan Menhutbun Nomor 15Kpts-II1999. Hasil yang memuaskan dari pelaksanaan TPTJ pada kedua IUPHHK tersebut telah menginspirasi para pakar dari perguruan tinggi untuk menyempurnakan sistem silvikultur ini dengan menerapkan tehnik silvikultur intensif silin melalui penggunaan bibit unggul, tehnik manipulasi lingkungan