Analisis Hubungan Sifat-sifat Tanah dengan Tinggi Tegakan Shorea leprosula

5.1.1. Sejarah Pengelolaan Tanaman

IUPHHK PT. Sukajaya Makmur merupakan salah satu dari enam perusahaan yang pertama kali menjadi tempat percontohan penerapan sistem silvikultur TPTII pada tahun 2005. Dalam perkembangannya perusahaan ini membuat satu unit manajemen tersendiri yang secara khusus menangani penerapan sistem silvikultur TPTII. Pada tingkat operasional kegiatan TPTII dipusatkan di Base Camp TPTII KM 64, terpisah dari Base Camp TPTI. Gambaran intensifikasi budidaya tanaman kehutanan terlihat di tempat tersebut. Tahapan operasional TPTII di PT Sukajaya Makmur meliputi pengadaan bibit , penyiapan lahan, penanaman, pemeliharaan tanaman dan perlindungan tanaman. Tahapan pengadaan bibit dan pemeliharaan merupakan tahapan operasional paling penting dalam menentukan keberhasilan tanaman. Kegiatan pengadaan bibit dilakukan di Persemaian khusus untuk Tanaman TPTII terletak di KM 62, menyatu dengan Base Camp dengan luas 0,8 ha. Sampai saat ini persemaian tersebut telah memproduksi bibit sebanyak 1.126.050 satu juta seratus dua puluh enam ribu lima puluh batang, yang terdiri dari berbagai jenis bibit Meranti Shorea sp. Ada tiga jenis bentuk pengadaan bibit dilaksanakan oleh PT. SJM . Pertama dari benih yang disemai, benih tersebut diperoleh dari tegakan alam yang ada di areal hutan. Kedua diperoleh dari stek pucuk, berasal dari kebun pangkas yang berada di lahan persemaian. Ketiga diperoleh dari cabutan, berasal dari anakan yang tersebar di bawah tegakan areal hutan. Kegiatan pengadaan bibit di PT. SJM belum sepenuhnya memenuhi kaidah-kaidah pengadaan bibit sebagaimana digariskan pada sistem silvikultur TPTII. Pengadaan bibit masih terpaku pada alam, belum sepenuhnya mengandalkan bibit unggul yang sudah diketahui fenotif dan genotifnya. Penggunaan bibit unggul dalam sistem silvikultur TPTII merupakan prinsip mutlak yang harus diterapkan. Tahapan penting lainnya dalam kegiatan TPTII adalah pemeliharaan. Kegiatan pemeliharaan mempunyai peranan yang cukup penting dalam keberhasilan tanaman. Pemeliharaan tanaman yang dilakukan oleh PT. SJM hanya mencapai 999,31 ha dari rencana seluas 4074 atau hanya mencapai 24,53. Kondisi ini pasti berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman pada tahap awal memerlukan pemeliharaan yang intensif. Tanaman harus terbebas dari gulma agar mencapai pertumbuhan yang optimal. Kondisi Jalur Tanam yang dipenuhi oleh gulma sangat mengganggu pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan gulma pada Jalur Tanam lebih cepat sehingga menutup tanaman. Tanaman yang tetutup oleh gulma petumbuhannya kerdil bahkan ada yang sampai mati. Beberapa tanaman juga mengalami etiolasi karena tertutup oleh gulma. Sistem silvikultur TPTII telah mensyaratkan manipulasi lingkungan agar tanaman dapat tumbuh dengan baik. Manipulasi lingkungan tersebut diantaranya adalah pembukaan tajuk. Pembukaan tajuk memungkinkan tanaman Meranti mendapatkan ruang dan cahaya yang lebih besar. Peran pembukaan tajuk tersebut akan hilang apabila tidak ada pemeliharaan. Jalur Tanam akan didominasi oleh gulma apabila tidak dilaksanakan pemeliharaan yang intensif. Kegiatan pengadaan bibit dan pemeliharaan tanaman di PT. SJM mempunyai keterkaitan dengan pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan tanaman di PT.SJM pada penelitian ini relatif rendah bila dibandingkan dengan beberapa penelitian lainnya. Kondisi pertumbuhan tanaman diuraikan dalam hasil penelitian ini. Dua kondisi kegiatan ini membuat penerapan sistem silvikultur TPTII di PT. SJM belum memenuhi syarat kecukupan.

5.1.2. Pertumbuhan Diameter

Salah satu fungsi ekosistem adalah produktivitas. Produktivitas tanaman da- pat diukur melalui beberapa parameter, salah satunya adalah pertumbuhan diame- ter, disamping karena mudah pelaksanaannya, juga memiliki keakuratan yang cu- kup tinggi. Oleh karena itu pertumbuhan diameter dapat digunakan untuk menje- laskan produktivitas tanaman Pamoengkas 2006. Rata-rata diameter tanaman S. leprosula, yang ditanam pada Jalur Tanam TPTII pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 4. Tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII mengalami pertumbuhan normal. Pertambahan nilai rata-rata diameter pada semua umur menunjukan bahwa tanaman tersebut tumbuh normal. Secara berurutan tanaman S. leprosula pada umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun mempunyai nilai rata-rata diameter sebesar 0,36 cm, 0,99 cm, 1,81 cm, 2,78 cm dan 3,86 cm. Pada setiap umur terjadi peningkatan nilai rata-rata diameter. Dengan demikian tanaman tersebut terkatagori tumbuh normal. Tabel 4. Pertumbuhan diameter tanaman S. leprosula pada jalur tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Umur Th Diameter cm MAI cmth 1 0,36 0,36 2 0,99 0,50 3 1,81 0,60 4 2,78 0,69 5 3,86 0,77 Sebagai pembanding dari hasil penelitian ini perlu dikemukakan hasil penelitian beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur TPTII. Pada umur 5 tahun tanaman S. leprosula yang berada di Jalur Tanam di PT. SJM mempunyai rata-rata diameter sebesar 7,95 cm Sardiyanto 2010, nilai tersebut jauh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 3,86 cm. Hal ini dimungkinkan karena Plot yang diukur merupakan petak ukur permanen yang dipelihara dengan baik sehingga tanaman yang diukur mempunyai pertumbuhann yang lebih baik dibandingkan dengan tanaman operasional. Tanaman operasional mempunyai intensitas pemeliharaan hanya mencapai 24,53, sedangkan tanaman PUP pemeliharaannya mencapai 100. IUPHHK PT. Balik Papan Forest Industri mempunyai tanaman operasional S. leprosula dengan rata-rata diameter 5,57 cm PT. BFI 2010, PT. SBK tanaman operasionalnya mempunyai rata-rata diameter 11 cm Purnomo et al 2010, PT. Erna Djuliawati mempunyai rata-rata diameter 4,6 cm PT. Erna Djuliawati 2010. Semua IUPHHK tersebut di atas mempunyai rata-rata diameter yang lebih tinggi dibandingkan dengan penelitian ini, kecuali IUPHHK PT. Sarpatim 2010 yang mempunyai tanaman operasional dengan rata-rata diameter 3,7 cm, lebih kecil dibandingkan dengan penelitian ini. Perbedaan tempat tumbuh dan sumber benih yang sangat variatif merupakan penyebab dari perbedaan pertumbuhan diameter tersebut. Riap adalah salah satu informasi yang paling esensial dan mendasar dalam penyusunan ketentuan-ketentuan pada perencanaan pengelolaan hutan. Riap diartikan sebagai pertambahan dimensi tanaman atau tegakan hutan selama selang waktu tertentu Vanclay 1994. Pertumbuhan riap MAI diameter tanaman S. le- prosula umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun tertera pada Tabel 4. Riap diameter tanaman S. leprosula yang ditanam pada sistem silvikultur TPTII sangat bervariasi, meskipun demikian riap tersebut cenderung meningkat. Pada Umur 1, 2, 3, 4 dan 5 tahun, masing-masing mempunyai riap diameter sebesar 0,36 cmtahun, 0,50 cmtahun, 0,60 cmtahun, 0,69 dan 0,77 cmtahun. Riap diameter pada penelitian ini jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan hasil penelitian pada beberapa IUPHHK yang menerapkan silvikultur intesif, seperti di PT. SBK riap diameternya mencapai 2,53 cmtahun Purnomo et al 2010, PT. Erna Djuliawati 2010 mencatatkan hasil pengukuran riap diameternya 2,80 cmtahun, Litbang PT. SJM tempat penelitian ini dilakukan mencatatkan riap diameter sebesar 1,94 cmth Sardiyanto 2010, nilai tersebut jauh lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian ini yang hanya mencapai 0,77 cmtahun. PT. BFI 2010 mencatatkan riap diameter tanaman sebasar 1,39 cmtahunh lebih besar bila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Perbedaan riap pertumbuhan hasil penelitian ini dengan yang lainnya disebabkan oleh perbedaan tempat tumbuh dan variasi dari sumber benih. Adapun penelitian yang dilakukan oleh Litbang PT. SJM mempunyai plot yang berbeda dengan penelitian ini, yaitu plot yang ada di dalam PUP. Faktor intensitas pemeliharaan yang terjadi antara plot PUP dengan tanaman operasional menyebabkan pertumbuhan riap tanaman yang berbeda. Tanaman operasional intensitas pemeliharaannya hanya mencapai 24,52 sedangkan PUP mencapai 100. Menurut Tourney dan Korstia 1974 dalam Simarangkir 2000 mengemu- kakan pertumbuhan diameter tanaman berhubungan erat dengan laju fotosintesis akan sebanding dengan jumlah intensitas cahaya matahari yang diterima dan res- pirasi. Akan tetapi pada titik jenuh cahaya, tanaman tidak mampu menambah hasil fotosintesis walaupun jumlah cahaya bertambah. Selain itu produk fotosin- tesis sebanding dengan total luas daun aktif yang dapat melakukan fotosintesis. Pernyataan Baker et al, 1992 bahwa terhambatnya pertumbuhan diameter tana- man karena produk fotosintesisnya serta spektrum cahaya matahari yang kurang merangsang aktivitas hormon dalam proses pembentukan sel.