kondisi vegetasi hutan akan cenderung lebih masam di bandingkan dengan yang berkembang di bawah padang rumput. Hutan tanaman dengan daun kecil koni-
fer dapat menyebabkan lebih masam dibandingkan dengan hutan tanaman ber- daun lebar .
Penyebab lainnya adalah kedalaman tanah dan pupuk organik. Pada lahan dengan curah hujan tinggi, umumnya kemasaman meningkat sesuai dengan keda-
laman lapisan tanah, sehingga kehilangan top soil oleh erosi dapat menyebabkan lapisan olah tanah menjadi lebih masam. Nitrogen tanah dapat berasal dari pupuk,
bahan organik, sisa hewan, fiksasi N oleh leguminose dapat menyebabkan tanah lebih masam.
5.3.5. Perbedaan Karakteristik Tanah
Areal hutan bekas tebangan mempunyai karakteristik tanah tapaksite yang berbeda-beda. Sistem silvikultur TPTII mempunyai karakterik tanah yang
berbeda baik secara internal maupun ekternal. Secara internal dalam satu sistem silvikultur TPTII mempunyai perbedaan karakteristik tanah yaitu antara Jalur
Tanam dengan Jalur Antara. Secara ekternal, berbeda dengan sistem silvikultur TPTI atau dengan virgin forest. Perbedaan tersebut dilihat dari parameter kualitas
tanah berupa sifat kimia dan sifat biologi tanah. Sifat kimia mencakup kadar Carbon C, Nitrogen N, Magnesium Mg, Kalsium Ca dan Posfor P.
Sedangkan untuk sifat biologi tanah dilihat dari parameter jumlah fungi. Perbedaan tersebut di atas sebagaimana tertera pada Gambar 39. Beberapa
objek jenis vegetasi dengan karakteristik yang sama akan digambarkan sebagai titik dengan posisi yang berdekatan. Pada output Gambar Biplot tersebut dapat
disimpulkan bahwa jenis vegetasi JT 06 Jalur Tanam TPTII 2006, JT 07, dan JT 08 semua mengelompok dan memiliki kemiripan karakteristik. Jenis vegetasi JA
06 Jalur Antara TPTII 2006 Dan JA 07 semuanya mengelompok dan memiliki kemiripan karakteristik.
Jenis vegetasi TPTI dan VF virgin forest
mengelompok dan memiliki kemiripan karakteristik.
5.3.5.1. Pebedaaan Karakteristik Tanah dalam Sistem Silvikultur TPTII
Pada areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII di dalamnya terdapat perbedaan karakterisik tanah, yaitu pada Jalur Antara dan
Jalur Tanam. Karakteristik Jalur Antara digambarkan dalam diagram Biplot
sebagai JA Jalur Antara mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan Jalur Tanam yang digambarkan dengan simbol JT mengelompok pada satu
kuadran lain yang berbeda Gambar 39. Artinya dalam satu pengelolaan sistem silvikultur telah terjadi perbedaan karakteristik tanah yang terdapat pada Jalur
Tanam dan Jalur Antara. Karakteristik tanah dalam sistem sistem silvikultur TPTII tidak homogen, terdapat perbedaan antara Jalur Tanam dan Jalur Antara.
Aktivitas pembuatan Jalur Tanam telah merubah karakteristik tanah sehingga berbeda dengan Jalur Antara.
5.3.5.2. Pebedaaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan TPTI
Areal hutan bekas tebanganTPTII mempunyai karakteristik tanah yang berbeda bila dibandingkan dengan areal hutan bekas tebangan TPTI. Antara areal
hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTII dan TPTI terdapat perbedaan karakterisik tempat tumbuh. Perbedaan tersebut terjadi antara
Jalur Tanam dan TPTI, serta Jalur Antara dan TPTI. Karakteristik Jalur Antara pada TPTII digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JA Jalur Antara
mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan TPTI mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda Gambar 39. Karakteristik Jalur Tanam dalam
TPTII digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JT mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan TPTI mengelompok pada satu kuadran lain yang
berbeda. Artinya antara satu pengelolaan sistem silvikultur dengan yang lainnya telah terjadi perbedaan karakteristik tanah, yaitu antara sistem silvikultur TPTII
dan TPTI. Karakteristik tapak antara sistem silvikultur TPTII dan TPTI tidak homogen, terdapat perbedaan karakteristik tapak antara TPTII dan TPTI.
penerapan sistem sistem silvikultur TPTII pada pengelolaan hutan telah merubah karakteristik tanah sehingga berbeda dengan kondisi sistem silvikultur TPTI.
5.3.5.3. Pebedaaan Karakteristik Tanah antara TPTII dan Virgin forest
Areal hutan bekas tebangan TPTII mempunyai karakterisik tanah yang berbeda dengan virgin forest. Areal hutan bekas tebangan TPTII mempunyai
karakteristik tanah yang berbeda bila dibandingkan dengan areal hutan virgin forest. Antara areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur
TPTII dan virgin forest terdapat perbedaan karakterisik tempat tumbuh. Perbedaan tersebut terjadi antara Jalur Tanam TPTII dan virgin forest, serta Jalur
Antara TPTII dan virgin forest. Karakteristik Jalur Antara pada TPTII digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JA Jalur Antara mengelompok pada
satu kuadran, begitu pula dengan virgin forest mengelompok pada satu kuadran lain yang berbeda Gambar. 39. Karakteristik Jalur Tanam dalam TPTII
digambarkan dalam diagram Biplot sebagai JT mengelompok pada satu kuadran, begitu pula dengan virgin forest mengelompok pada satu kuadran lain yang
berbeda. Karakteristik tapak antara sistem silvikultur TPTII dan virgin forest tidak homogen, terdapat perbedaan karakteristik tapak antara TPTII dan virgin forest.
penerapan sistem sistem silvikultur TPTII pada pengelolaan hutan telah merubah karakteristik tanah sehingga berbeda dengan kondisi virgin forest hutan primer.
Areal hutan bekas tebangan yang menerapkan sistem silvikultur TPTI mempunyai karakteristik tanah yang sama dengan virgin forest.
5.3.5.4. Kesamaan Karakteristik Tanah TPTI dan Virgin forest
Areal hutan bekas tebangan TPTI mempunyai karakteristik tanah yang sama dengan virgin forest. Pada diagram Biplot Gambar . 39 TPTI dan virgin forest
mengelompok pada kuadran yang sama. Artinya ada kemiripan karakteristik tanah antara keduanya. Pengelolaan hutan dengan menerapkan sistem silvikultur
TPTI tidak merubah karakteristik tanah. Hal tersebut ditunjukan dengan adanya kesamaan karakteristik tanah dari hutan bekas tebangan TPTI dengan virgn forest.
Adanya kemiripan karakteristik hutan bekas tebangan TPTI dengan virgin forest dan ketidakmiripannya dengan TPTII, menunjukan adanya kelebihan dari
sistem silvikultur TPTI dibandingkan dengan TPTII. sistem silvikultur TPTI menerapkan tebang pilih tanpa tanam jalur sedangkan TPTII menerapkan tebang
pilih dengan tanam jalur. Penebangan pada sistem silvikultur TPTI dilaksanakan hanya sekali yaitu pada saat penebangan, sedangkan penebangan pada TPTII
terjadi sebanyak tiga kali yaitu, pertama pada saat areal tersebut dikelola dengan TPTI terjadi tebang pilih, kedua pada saat areal tersebut dikelola dengan TPTII
terjadi juga tebang pilih dan ketiga pada saat pembuatan Jalur Tanam terjadi penebangan secara jalur. Ketiga penebangan tersebut menyebabkan TPTII
menjadi lebih intensif mengalami perubahan tapak dibandingkan dengan TPTI. Dalam sistem silvikultur TPTII perlu adanya perubahan sistem penebangan.
Sistem tebang pilih dan penjaluran tanaman menyebabkan terjadinya kerusakan
ganda. Sistem penebangan harus dirubah menjadi sistem tebang jalur sehingga kerusakan dapat diperkecil. Dengan perubahan sistem penebangan yang
menerapkan hanya tebang jalur saja kerusakan tapak akan semakin kecil begitu pula dengan tegakan sisa akan lebih utuh dan tetap terpelihara keragaman
jenisnya. Tebang jalur juga sekaligus menjadi kegiatan penyiapan lahan untuk penanaman sehingga kegiatan menjadi lebih efisien.
Sistem silvikultur TPTI dan TPTII masing-masing mempunyai karakteristik yang berbeda satu dengan yang lainnya. Penerapan atribut teknik silvikultur yang
berbeda pada kedua sistem silvikultur tersebut menimbulkan perbedaan karakteristik hutan bekas tebangan. Perbedaan atribut teknik silvikultur yang
paling menonjol adalah dalam hal penentuan batas diameter pohon yang diitebang. TPTI mempunyai batas limit diameter pohon yang ditebang sebesar 50
cm, sedangkan TPTII mempunyai batas limit diameter pohon yang ditebang sebesar 40 cm . Penurunan batas diameter tersebut mempunyai konsekwensi
terhadap kondisi tegakan. Tegakan sisa menjadi lebih sedikit dan keterbukaan tajuk menjadi lebih besar. Kondisi tersebut akan berkontribusi terhadap
perubahan karakteristik tanah. Perbedaan atribut teknik silvikultur lainnya adalah adanya Jalur Tanam dalam sistem silvikultur TPTII. Adanya Jalur Tanam besar
kontribusinya terhadap keterbukaan lantai hutan. Kondisi tersebut akan berpengaruh terhadap karakteristik tanah. Perbedeaan karakteristik tanah
ditimbulkan oleh perbedaan atribut teknik silvikultur yang ada dalam sistem silvikultur. Kesamaan karakterisrik tanah antara TPTI dengan virgin forest
menunjukan pengelolaan hutan dengan sistem silvikultur tersebut tidak merubah kondisi tanah.
Gambar 39. Diagram Biplot Karakteristik Sifat Tanah Pada Hutan Produksi 146
3 2
1 -1
-2 -3
1,5 1,0
0,5 0,0
-0,5 -1,0
-1,5 -2,0
-2,5
First Component S
e c
o n
d C
o m
p o
n e
n t
keanekaragaman Jenis Kesamaan Komunitas
Jumlah Fungi
Magnesium
Calsium P-tersedia
N-total C-organik
Biplot of C-organik; ...; keanekaragaman Jenis
✁ ✂✄
✁ ✂
☎
✆✝✆ ✞
✆ ✂
✟ ✠✡
✆ ✂
✄ ✆
✂ ☎
✆ ✂
☛
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
Tanaman Meranti merah Shorea leprosula pada Jalur Tanam dalam penerapan sistem silvikultur TPTII mengalami pertumbuhan dan perkembangan
yang normal. Riap diameter tanaman S.leprosula mengalami kenaikan sejalan dengan peningkatan diameternya.
Riap diameter meranti pada umur 5 tahun mencapai 0,77 cmth, dan terus meningkat sejalan dengan peningkatan umur.
Pada umur umur 25 tahun riap diameter diprediksi akan mencapai 1,67cmth. Daur pertama tanaman S. leprosula akan diperoleh pada umur 25 tahun, dengan
rata-rata diameter tanaman 41,83 cm.
Potensi tegakan tanaman S. leprosula pada daur pertama tersebut akan mencapai 91,79 m
3
hath. Struktur tegakan
tanaman S. leprosula membentuk struktur tegakan yang lebih menyerupai hutan tanaman seumur dengan kurva diameter menyebar berbentuk lonceng dan
membentuk model polinomial. Penerapan sistim silvikultur TPTII pada hutan alam produksi mempunyai
produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan TPTI. Hal tersebut dilihat dari nilai potensi produksi total TPTII yaitu sebesar 255,34 m
3
ha, sedangkan TPTI hanya mempunyai nilai potensi produksi sebesar 192,43 m
3
ha. Penerapan sistem silvikultur TPTII pada hutan alam produksi terjadi
dinamika nilai keanekaragaman jenis yang berfluktuatif, secara keseluruhan tingkat keanekaragaman jenis tersebut menempati katagori sedang sama halnya
dengan kondisi keanekaragaman jenis pada areal TPTI dan virgin forest. Adapun Nilai indeks persamaan komunitas IS pada hutan produksi bekas tebangan
TPTII lebih kecil dibandingkan dengan TPTI dan Virgin Forest. Struktur tegakan sisa pada hutan bekas tebangan TPTII mengikuti pola sebaran hutan alam
berbentuk kurva J terbalik dan membentuk model eksponensial negatif . Struktur tegakan tersebut menyerupai struktur tegakan sisa pada sistem silvikultur TPTI
dan virgin forest. Pengelolaan hutan dengan menerapkan silvikultur TPTII atau TPTI telah
merubah komposisi tegakan. Pada hutan primer virgin forest Shorea laevis
mendominasi komposisi tegakan, namun pada hutan sekunder yaitu pada hutan bekas tebangan TPTII dan TPTI jenis tersebut hilang dari nominasi jenis
dominan. Dengan hilangnya jenis tersebut, pada tingkat pohon telah terjadi perbedaan komposisi jenis antara hutan primer dengan hutan sekunder.
Pada penerapan silvikultur TPTII terjadi penurunan kualitas tanah, penurunan tersebut terlihat dari beberapa parameter sifat kimia, fisika dan biologi
tanah. Karakteristik Tanah pada bekas tebangan TPTII berbeda dengan TPTI dan virgin Forest. Perbedaan tersebut terlihat dari sifat kimia, fisika dan biologi
tanah. Umur tanaman dan pH tanah berkorelasi dengan pertumbuhan tinggi
tanaman.
6.2. Saran
Pada penerapan sistem silvikultur TPTII tegakan sisa yang berada dalam Jalur Antara sebaiknya tidak ditebang. Jalur Antra harus dipertahankan dan
difungsikan sebagai areal konservasi keanekaragaman jenis sekaligus sebagai areal konservasi unsur hara tanah, penyeimbang mikroklimat serta dapat berfungsi
sebagai penciri Karakterisasi keberlanjutan hutan alam. Sistem Silvikultur TPTII mempunyai keunggulan dari sisi potensi produksi
kayu, akan tetapi mempunyai kelemahan dari sisi kualitas tanah. Atas dasar kondisi tersebut perlu adanya penelitian yang memodifikasi terhadap sistem
silvikultur TPTII, dualisme penebangan, antara tebang pilih dan tebang jalur pada pembuatan jalur tanam perlu dicoba untuk dihilangkan. Perlu penelitian lebih
lanjut yang merubah pola penebangan dari tebang pilih menjadi tebang jalur, sehingga tidak diperlukan lagi adanya pembuatan jalur tanam.
DAFTAR PUSTAKA
Alexander M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. John Willey and Sons. New York.
Anderson JM, Spancer T. 1991. Carbon, Nutrient and Water Balances on Tropical Forest Ecosystem Subject to Disturbance : Management
Implications and Research Proposal. MAB 7. UNESCO. Paris.
[Anomimous]. 2003. Biodiversity and Ecosystem Function. http. www. diversity and ecosystem function. [9 pebruari 2010].
[Anonimous]. 2004. Ecosystem Structure and Function. http. www. diversity and ecosystem function. Html [9 pebruari 2010].
[Anonimous]. 2010. Ecosystem Structure and Function. http: www. ecosystem structure and function. Html [9 pebruari 2010].
Apanah S, Weiland G. 1993. Planting Quality Timber Tress in Peninsular Malaysia.
Malayan Forest Record No. 38. Forest Research Institute
Malaysia. Kepong. Baker FS, Daniel TW, Helm JW. 1992. Prinsip-Prinsip Silvikultur Terjemahan.
Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Barrow CJ. 1991. Land Degradation. Cambridge University Press. Cambridge
Bengtsson J, Nilsson SG, Franc A, Menozzi P. 2000. Biodiversity Disturbances, Ecosystem Fucntion and Management of European Forest. Forest Ecology
and Management 132: 39-50.
Bittinger P, Boston K, Sirvi JP, Grebner DL. 2009. Forest Management and Planning. Academic Press – Elsevier.
Brown ND. 1992. Interaction Between Forest Management For Production and Forest Regeneration : Miller FR, Adam KL, editor. Wise Management of
Tropical Forest. Proceedings of The Oxford Conference on Tropical Forest. Oxford Forestry Institute. 27 – 35.
Brown S, Lugo A. 1994. Rehabilitation of Tropical Land : a Key to Sustaining Devolopment. Restoration Ecology 2 2 : 97 – 111.
Bruenig EF. 1996. Conservation and Management of Tropical Rain Forest : an Intregated Aproach to Sustainability. Cambridge : CAB International.
Carter MR et al. 1997. Concepts of Soil Quality and Their Significance :: Gregorich EG, Carter MR, editor. Soil Quality for Crop Production and
Ecosystem Health. Amsterdam : Elsevier. Hlm. 1-20.
Carter MR. 2002. Soil Quality for Sustainable Land Management: Organic
Matter and Aggregation Interactions That Maintain Soil Functions. J Agron 94:38-47
Chijicke EO. 1980. Impact on Soil of Fast Growing Species in Lowland Humid Tropics.
Food and Agricultural Organization of The United Nations. Rome.
Coates KD, Philip JB. 1997. A Gap Based Aproach for Devolopment of Silvikultural System to Address Ecosystem Management Objectives,
Journal Forest Ecology and Management 99 1997 337-35.
Cossalter C, Smith C.P. 2003. Fast Wood Forestry. Centre for Internatoinal Foresty Research. Bogor.
[Danida dan Dephut] Danish International Devolopment Assistance dan Departemen Kehutanan RI. 2001. Zona Benih Tanaman Hutan Kalimantan
Indonesia. Indonesian Forest Seed Project. Kerjasama Departemen
Kehutanan RI dengan Danida Denmark. Jakarta. Daubenmire RI, 1962. Plant and environment. A texbook of plant ecology. Sec.
ed. John Willey and Sons Inc. London. pp 10 – 70. New York. Daubenmire RI. 1967. Plants and Environment. John Wiley and Sons, Inc.
London. Davis LS. and Jhonson KN. 1987. Forest Management. Third Edition. McGraw-
Hill Book Company. New York. DeBell DS, Cole TG, Whitesell. 1997. Growth, Development, and Yield of Pure
and Mixed Stands of Eucalyptus and Albizzia. Forest Science 43:386-298. Deleporte P, Laclau JP, Nzila JD, Kazotti JG, Marien JN, Bouillet JP, Szwarc M,
Annunzio RD, Ranger J. 2008. Effects of Slash and Litter Management Practices on Soil Chemical Properties and Growth of Second Rotation
Eucalyptus in the Congo. Di dalam: Nambiar EKS eds. Site Management