Perkembangan Silvikultur Di Indonesia

dan pengendalian hama terpadu integrated pest management. Sistem silvikultur hasil penyempurnaan tersebut adalah Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII yang dikeluarkan tahun 2005.

2.2. Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII

Sistem Tebang Pilih Tanam Indonesia Intensif TPTII merupakan kombinasi sistem tebang pilih dengan limit diameter 40 cm ke atas dan tebang habis dengan penanaman buatan dalam jalur tanam selebar 3 m. Jarak tanam dalam jalur 2,5 m dengan lebar jalur antara 17 meter sehingga tanaman membentuk jarak tanam 2,5 m x 20 m Ditjen BPK 2005. Sistem silvikultur yang menerapkan penanamanpengayaan dalam jalur ini pertama kali diperkenalkan oleh Aubreville di Afrika Barat dan Afrika Tengah dan disempurnakan oleh Catinot. Penanaman dalam jalur memungkinkan terbentuk regenerasi dan pertumbuhan pohon yang baik sebagai respon dari tehnik silvikultur berupa pembukaan kanopi tajuk sehingga intensitas cahaya lebih banyak Mitlohner 2009. Sistem ini juga sesuai dengan perkembangan anakan famili Dipterocarpaceae yang bersifat semi toleran dengan tetap menjaga kualitas tanah Wahyudi 2009. Sejak tahun 2005 TPTII diujicobakan pada 6 IUPHHK termasuk di dalamnya PT. Sukajaya Makmur, berdasarkan Surat Keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 77VI-BPHA2005 tanggal 3 Mei 2005 dan pada tahun 2007 dikembangkan pada 25 IUPHHK berdasarkan surat keputusan Direktorat Jenderal BPK Nomor 41VI-BPHA2007 tanggal 10 April 2007. Pedoman teknis sistem silvikultur TPTII mengacu kepada Keputusan Dirjen BPK Nomor SK.226VI-BPHA2005 tanggal 1 September 2005. Menurut Ditjen BPK 2005 dan Soekotjo 2009 pengelolaan hutan dengan sistem TPTII dengan jumlah bibit 200 batang per hektar per tahun selama 30 tahun akan dihasilkan luasan 30.000 hektar, dijamin dapat menjadi areal pengelolaan hutan yang lestari. Dengan asumsi diameter pohon ditebang rata-rata 50 cm per 30 tahun sebanyak 160 pohon per hektar, akan dihasilkan standing stock sebanyak 400 m 3 per hektar, belum termasuk tegakan sisa yang masih dapat dimanfaatkan. Tahapan kegiatan sistem silvikultur TPTII Ditjen BPK 2005 adalah : a. Penataan areal P-3 b. Risalah hutan P-3 c. Pembukaan wilayah hutan P-2 d. Pengadaan bibit P-1 e. Penyiapan lahan yang terdiri dari tebang penyiapan lahan dan pembuatan Jalur Tanam P-1 f. Penanaman P g. Pemeliharaan tanaman yang meliputi : 1 Penyiangan dan pemulsaan 1,II, III P+1, P+2, P+3 2 Penyulaman I dan II P+0, P+1 3 Pemupukan I dan II P +0, P+1 4 Pembebasan Vertikal I dan II P+1 , P+3 h. Penjarangan I dan II P+5 dan P+10 i. Perlindungan tanaman terus menerus j. Penelitian dan pengembangan k. Pemanenan kayu P+31 Sistem TPTII ini merupakan sistem silvikultur yang dalam pengelolaan hutan alam dapat mengakomodasi beberapa tuntutan sekaligus, yaitu tuntutan terhadap peningkatan produktivitas kayu, kepastian usaha, kepastian kawasan dan tuntutan sosial ekonomi masyarakat setempat Soekotjo, 2005. Menurut Suparna 2005 sistem TPTII memiliki beberapa ciri-ciri mendasar, yaitu : a. Diterapkan sistem Reduced Impact Logging RIL. b. Ruang tumbuh tegakan dibuka optimal dengan fleksibilitas dalam menetapkan limit diameter pohon yang ditebang sehingga kepentingan pertumbuhan, produksi dan lingkungan terakomodasi secara seimbang. c. Dilakukan penanaman sistem jalur secara intensif dengan memasukan teknologi yang memadai, dengan jarak antar Jalur Tanam 20-25 m. d. Dilakukan kegiatan bina pilih pada pohon-pohon inti tertentu pada tegakan alam yang terletak diantara jalur-jalur tanaman. Jalur Tanam Jalur Tanam a - b a - b Jalur Antara dengan interaksi dinamis antar komponen ekosistem dalam dimensi ruang dan waktu untuk melihat bagaimana mereka berinteraksi. Salah satu fungsi ekosistem hutan adalah produktivitas. Produktivitas dalam ekosistem didefinisikan sebagai laju tahunan produktivitas primer bersih net primery productivity=NPP yaitu total kuantitas fotosintesis gross primary productivity = GPP dikurangi respirasi Bruenig 1996, sedangkan produktivitas primer kotor GPP adalah total produksi primer yaitu jumlah energi cahaya yang dirubah menjadi energi kimia. Dengan kata lain produktivitas primer bersih NPP dialokasikan pada beberapa bagian pohon dan disimpan atau digunakan sebagai sumber energi untuk pertumbuhan. Produktivitas suatu ekosistem bervariasi menurut tipe hutan, lanskap dan komposisi jenis Perry 1994. Dua faktor utama yang menentukan perbedaan produktivitas menurut tipe hutan, yaitu energi matahari dan lama musim pertumbuhan. Perbedaan produktivitas juga ditentukan oleh lanskap seperti ketersediaan hara, air, suhu dan komposisi jenis. Ada saling keterkaitan antara faktor-faktor tersebut dalam mempengaruhi produktivitas suatu ekosistem, sebagai contoh suhu dan kelembaban berpengaruh secara langsung terhadap proses dekomposisi bahan organik yang penting perannya bagi suplai ketersediaan hara dalam suatu ekosistem. Demikian juga dengan komposisi jenis, makin beragam komposisi jenis suatu ekosistem maka makin optimal ekosistem tersebut dalam mengembangkan strategi yang efektif untuk mencegah hilangnya hara dari suatu ekosistem, sehingga dalam hubungannya dengan produktivitas maka ekosistem tersebut lebih stabil. Dipertahankannya stabilitas ekosistem hutan beserta komponen- komponennya dalam batas kapasitas produksi hutan optimum serta tidak terganggunya sistem ekologi merupakan sasaran yang harus dicapai guna kelestarian ekosistem hutan. Stabilitas ekosistem merupakan ukuran keseimbangan dinamis dalam suatu struktur ekosistem. Perubahan mendasar pada struktur dan fungsi ekosistem akan terjadi jika stabilitas ekosistem mengalami gangguan. Komponen stabilitas ekosistem meliputi : a. Resistensi, menunjukan kemampuan suatu ekosistem untuk melanjutkan fungsinya untuk tetap stabil ketika terjadi adanya suatu gangguan. b. Resiliensi, merupakan kemampuan suatu ekosistem untuk pulih kembali setelah mengalami gangguan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stabilitas suatu ekosistem Anonimous 2004, yaitu : a. Frekwensi dan intensitas kerusakan ekosistem baik alami maupun yang diakibatkan oleh manusia b. Keragaman species dan interaksi antar komponen ekositem c. Laju perubahan hara Meskipun beberapa ahli ekologi setuju bahwa keragaman berperan penting terhadap laju proses ekosistem seperti laju dekomposisi dan produktivitas, namun data terkini hanya didasarkan pada prediksi dan argumen yang berlaku umum Bengtsson et al. 2000. Sedikit penelitian yang mendukung pendapat di atas. Tilman et al. 1996 dalam Bengtsson et al. 2000 mengatakan bahwa ada pengaruh positif antara keragaman dengan produktivitas, sementara Ruch dan Oesterheld 1997 dalam Bengtsson et al. 2000 mengatakan yang sebaliknya. Kaitannya dengan penurunan keanekaragaman jenis terhadap suatu ekositem ternyata ada overlapping kondisi ekologi suatu spesies sehinga meskipun terjadi pengurangan terhadap keanekaragaman spesies maka stabilitas ekosistem tersebut masih tetap bertahan. Sementara itu ada pernyataan bahwa dengan makin meningkatnya keragaman spesies maka makin stabil suatu ekosistem Anonimous 2003. Alasan yang dikemukakan adalah bahwa dengan adanya penambahan spesies pada suatu ekosistem maka fungsi ekositem tersebut akan meningkat sehingga menjadi lebih stabil. Beberapa argumen menyatakan bahwa isu penebangan hutan mengundang kontraversi, pada satu sisi mengatakan bahwa kestabilan ekosistem hutan akan tetap terpelihara melalui pengelolaan yang tepat sementara pendapat lain justru mengkhawatirkan terjadinya bencana dan penurunan kualitas lahan secara cepat setelah dilakukan pembukaan lahan hutan Lal 1986. Salah satu akibat dari penebangan hutan pada tingkat regional adalah terganggunya fungsi hidrologi yang ditandai oleh adanya perbedaan debit air yang mencolok antar musim, yaitu besarnya fluktuasi aliran sungai pada musim hujan dan sebaliknya pada musim kemarau. Dalam kondisi ekstrim apabila hutan dibuka pada areal yang lebih luas akan meningkatkan kemungkinan banjir. Pada tingkat lokal site dapat terjadi perubahan tingkat iklim mikro, kesuburan tanah dan vegetasi Lal 1995. Secara umum faktor lingkungan, terutama suhu dan kelembaban udara mengalami perubahan akibat berkurangnya tutupan vegetasi. Permukaan tanah menjadi lebih terbuka sehingga menyebabkan fluktuasi suhu dan kelembaban lebih besar. Kondisi ini mempercepat laju dekomposisi dan pelepasan hara Vitousek 1981. Pelepasan Ammonium dari proses dekomposisi bahan organik merupakan sumber N dalam tanah hutan, dan penyerapan ammonium dan nitrat oleh tanaman dan mikroba sebagai pengikat N yang sangat besar. Proses lainnya yaitu masukan yang berasal dari atmosfir, pencucian dan denitrifikasi juga merupakan tambahan dan pengurangan N tetapi umumnya sedikit sekali 10 dibanding proses mineralisasi tahunan. Intervensi manusia terhadap hutan termasuk penebangan hutan untuk peruntukan lain menyebabkan peningkatan mineralisasi N di dalam tanah hutan. Pada saat yang sama penyerapan N oleh tanaman menurun hingga 2 atau beberapa tahun setelah penebangan. Ammonium diperkirakan meningkat pada ekosistem yang terganggu Vitoseuk dan Matson 1985. Pembukaan lahan hutan atau pengurangan serapan N oleh pohon akan mengurangi juga kompetisi terhadap N dan akan menstimulasi produksi nitrat dan pencucian tetapi proses ini cenderung normal lagi ketika lahan mulai tertutup oleh vegetasi. Penebangan hutan menyebabkan sebagian besar N hasil mineralisasi sekitar 85 dioksidasi menjadi nitrit. N hasil mineralisasi dapat dikonversi menjadi nitrat jika kondisi lingkungannya memungkinkan. Terdapat dua faktor utama yang mengendalikan laju nitrifikasi, yaitu keberadaan ammonium dan oksigen Vitousek dan Matson 1985. Selanjutnya ditambahkan oleh Van Migroet dan Johnson 1993 bahwa laju nitrifikasi sangat berfluktuasi menurut besaran skala studi regional, ekositem, atau tegakan hutan. Variabilitas tersebut sangat berkaitan dengan perubahan kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban tanah, komposisi dan tingkat keragaman vegetasi penutup tanah, kualitas serasah serta ketersediaan N. Nitrat akan mengalami beberapa kemungkinan diantaranya, yaitu tercuci oleh air perkolasi sehingga berada di luar jangkauan sistem perakaran, terkonversi ke dalam bentuk N gas atau diserap oleh tanaman Robertson 1989. Hilangnya Nitrat dari ekosistem terganggu dikendalikan oleh meningkatnya proses mineralisasi, proses imobilisasi dan penundaan produksi nitrat sehingga tetap dalam bentuk ammonium yang kurang mobil dan penanaman kembali terutama dengan jenis yang mempunyai kebutuhan tinggi terhadap N. Dengan kata lain proses yang meregulasi pencucian Nitrat sangat dipengaruhi oleh ketersediaan awal N pada tanah tersebut Vitousek dan Matson 1985. Secara umum sistem silvikultur tebang pilih menyebabkan degradasi hutan dan tanah. Definisi degradasi bersifat subyektif Lamb 1994, memiliki pengertian berbeda tergantung pada cara pandang suatu kelompok masyarakat. Rimbawan memiliki persepsi yang bervariasi terhadap arti degradasi. Sebagian masyarakat mengartikan bahwa degradasi hutan sebagai hutan yang telah mengalami kerusakan sehingga pada satu titik dimana manfaat yang diperoleh baik kayu maupun non kayu pada periode yang akan datang menjadi tertunda atau terhambat. Sebagian lain mendefinisikan degradasi hutan sebagai suatu kondisi dimana fungsi ekologis, ekonomis maupun sosial hutan tidak terpenuhi. Berkaitan dengan degradasi hutan, Brown dan Lugo 1994 memberikan illustrasi bahwa gangguan yang menimbulkan kerusakan kecil pada hutan tidak memerlukan intervensi manusia untuk memulihkan kembali produktivitas hutan. Namun sebaiknya areal yang telah mengalami kerusakan akibat penebangan memerlukan campur tangan manusia untuk memperoleh kembali produktivitasnya dengan melalui pendekatan restorasi, rehabilitasi dan reklamasi Lamb 1994. Tanah di daerah hutan tropika basah termasuk ke dalam katagori miskin hara. Namun demikian, ekosistem hutan primer tidak menunjukan adanya gejala kekurangan hara karena siklus hara berada dalam kondisi keseimbangan yang dinamis dimana input dan output hara seimbang dan kebutuhan tanaman akan hara terpenuhi melalui recycling sistem yang efisien, perubahan dari kondisi yang stabil menjadi tidak stabil sebagai dampak penebangan hutan berakibat pada