Sejarah Pengelolaan Tanaman Pertumbuhan Tanaman Meranti Merah Shorea leprosula pada Jalur Tanam.

Konsekwensi manajemen dari kondisi tersebut adalah perlunya penerapan kaidah-kaidah sistem silvikultur TPTII yang lebih nyata di lapangan. Penggunaan bibit unggul dan pemeliharaan tanaman yang lebih intensif akan meningkatkan riap pertumbuhan tanaman. Realitas di lapangan bibit yang digunakan untuk penanaman masih bersalal dari alam yang belum terseleksi keunggulannya. Intensitas pemeliharaan tanaman dalam kurun waktu 5 tahun hanya mencapai 24,52 dari total luasan yang ada. Kedua faktor tersebut perlu diperhatikan dan ditingkatkan realisasinya di lapangan, sehingga target riap yang telah digariskan oleh manajemen PT. SJM dapat tercapai dengan tepat.

5.1.5. Prakiraan Potensi Tegakan

Dalam penentuan model pertumbuhan volume digunakan asumsi-asumsi sebagai berikut : a. Menggunakan silvikultur TPTII, yaitu penanaman dalam jalur tanam selebar 3 m dengan jarak tanam 2,5 m x 20 m sehingga dalam satu hektar terdapat 200 tanaman Ditjen BPK 2005 b. Penelitian ini mencatatkan areal efektif untuk penanaman dalam jalur tanam sebesar 79,8 c. Faktor eksploitasi 0,8 dan faktor pengaman sebesar 0,7 Soekotjo 2009 d. Pada akhir daur setelah dilakukan penjarangan jumlah tanaman menurun secara bertahap mulai dari 150, 125 da100 pohon per hektar. Pencapaian diameter tanaman S. leprosula sebesar 50 cm ke atas menjadi acuan untuk menentukan daur tanaman. Batasan diameter 50 cm ini menjadi penting karena banyak industri pengolahan kayu yang memerlukan kayu bulat berdiameter minimal 50 cm. Harga kayu bulat kelompok Meranti akan lebih tinggi bila telah mencapai diameter 50 cm ke atas. Pada umur 29 tahun diprediksi akan diperoleh tanaman S. leprosula yang telah mencapai diameter 50 cm ke atas Tabel 7; Stabillo kuning. Pada saat itu akan diperoleh kayu bulat dari tanaman S. leprosula sebesar 166,48 m3ha. Apabila luasan efektif tanaman sebesar 79,08 maka volume pada akhir daur akan mencapai 131,65 m3ha. Hasil prediksi pertumbuhan ini lebih moderat dibandingkan dengan prediksi pertumbuhan Meranti yang diperkirakan oleh beberapa kalangan. Tabel 7. Prediksi Potensi produksi tanaman S. leprosula pada Jalur Tanam dalam silvikultur TPTII. Umur tahun Diameter cm Tinggi m Volume m3ph Jumlah pohonha Potensi m3ha 5 3,86 4,89 0,0014 200 0,29 10 10,77 10,13 0,0233 175 4,07 15 19,64 15,50 0,1183 150 17,74 20 30,06 20,98 0,3750 125 46,88 21 32,31 22,08 0,4561 100 45,61 22 34,62 23,19 0,5497 100 54,97 23 36,97 24,29 0,6569 100 65,69 24 39,38 25,41 0,7792 100 77,92 25 41,83 26,52 0,9179 100 91,79 26 44,33 27,63 1,0743 100 107,43 27 46,88 28,75 1,2499 100 124,99 28 49,47 29,87 1,4462 100 144,62 29 52,11 30,99 1,6648 100 166,48 30 54,79 32,12 1,9073 100 190,73 Ditjen BPK 2010 memprediksi potensi tanaman standing stock pada akhir daur siklus tebang 30 tahun sistem TPTII sebesar 320m3ha. Dengan asumsi FE dan FP sebesar 0,7; luasan efektif tanaman 79,8 dan sisa tanaman pada akhir daur sebesar 71,32 , maka akan diperoleh kayu bulat sebesar 126,91 m3ha. Menurut Na’iem 2006 potensi tanaman standing stock pada akhir daur siklus tebang 30 tahun sistem TPTII sebesar 300 – 400 m3ha atau rata-rata 350 m3ha Ditjen BPK 2010, dengan asumsi yang sama akan diperoleh kayu bulat sebesar 138,56 m3ha. Wahyudi 2011 memprediksi potensi tanaman pada akhir daur akan mencapai 109,08 m3ha. Nilai tersebut lebih kecil apabila dibandingkan dengan hasil penelitian ini. Hasil penelitian Wahyudi 2011 mempunyai beberapa nilai asumsi yang berbeda dengan penelitian ini. Soekotjo 2009 memprediksi potensi tanaman standing stock pada akhir daur siklus tebang 30 tahun dalam silvikultur TPTII sebesar 400 m3ha. Asumsi ini hanya didasarkan pada persentase tumbuh tertinggi pada akhir daur sebesar 80. Apabila menggunakan asumsi yang sama dalam perhitungan ini, diprediksi akan diperoleh kayu bulat sebesar 158,64 m3ha. Prediksi Soekotjo 2009