menginvestasikan surplusnya itu pada usaha-usaha padat modal tetapi yang memberikan pendapatan yang relatif besar misalnya, alat-alat pengolahan hasil
pertanian, berdagang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Karenanya mereka mencari pekerjaan di luar pertanian yang padat tenaga kerja danatau modal kecil,
tapi memberikan pendapatan yang relatif rendah, misalnya kerajinan tangan, bakul es, warung kecil dan sebagainya. Semua ini berarti bahwa petani luaslah yang
lebih mempunyai jangkauan terhadap sumber besar non-pertanian, yang pada gilirannya melahirkan proses akumulasi modal dan investasi yang saling
menunjang baik bidang pertanian maupun non-pertanian diantara golongan elite pedesaan.
Berangkat dari latar belakang di atas, peneliti akan meneliti secara mendalam mengenai strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi
modal kegiatan pertanian sawah.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan penjabaran di atas, maka perumusan masalah yang penting untuk diangkat dari penelitian ini ialah:
1. Bagaimana proses akumulasi modal petani lapisan atas melalui mekanisme
dan investasi surplus pada kegiatan pertanian dan kegiatan non pertanian? 2.
Bagaimana peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan? 3.
Bagaimana strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Memahami proses akumulasi modal petani lapisan atas melalui
mekanisme dan investasi surplus pada kegiatan pertanian dan non pertanian.
2. Bagaimana peran petani lapisan atas di dalam pembangunan pedesaan.
3. Bagaimana strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi
modal.
1.4 Kegunaan Penelitian
1.
Bagi mahasiswa, penelitian ini diharapkan dapat menjadi proses
pembelajaran dalam memahami fenomena sosial mengenai strategi ekonomi petani lapisan atas dalam mengakumulasi modal yang terjadi di
lapangan dan berguna sebagai rujukan serta wawasan dalam menyusun
penelitian di masa yang akan datang.
2.
Bagi masyarakat, hasil dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi
wacana bagi masyarakat luas dalam memahami strategi ekonomi petani
lapisan atas dalam mengakumulasi modal.
3. Bagi pemerintah, sebagai masukan dalam upaya bermitra dengan petani
lapisan atas pada kegiatan pertanian sawah yang mampu menciptakan
pertanian secara bekelanjutan dan bermanfaat bagi pertanian Indonesia.
Komunitas
Swasta Sumber-sumber agraria
Pemerintah Keterangan:
hubungan teknis agraria kerja hubungan sosial agraria
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Struktur Agraria: Dinamika Struktur Agraria Dulu dan Sekarang
Secara kategoris, subyek agraria dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu komunitas sebagai kesatuan dari unit-unit rumah tangga, pemerintah sebagai
representasi negara dan swasta private sector. Ketiga kategori sosial tersebut adalah pemanfaat sumber-sumber agraria, yang memiliki ikatan dengan sumber-
sumber agraria melalui institusi penguasaanpemilikan tenure institution. Hubungan penguasaanpemilikanpemanfaatan seperti sumber-sumber agraria
menunjuk pada dimensi sosial dalam hubungan-hubungan agraria. Hubungan penguasaanpemilikanpemanfaatan membawa implikasi terbentuknya ragam
hubungan sosial, sekaligus interaksi sosial, antara ketiga kategori subyek agraria.
1
Untuk keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada Gambar 1 di bawah ini.
Gambar 1. Lingkup hubungan-hubungan agraria.
1
MT. Felix Sitorus. Lingkup Agraria dalam Menuju Keadilan Agraria: 70 Tahun Gunawan Wiradi. 2002. Bandung: Yayasan Akatiga.
Struktur agraria yang dapat dilihat ialah hubungan antara subyek dengan sumber-sumber agraria berkenaan dengan penguasaan lahan, pemilikan lahan dan
pemanfaatan lahan. Menurut Sitorus 2002: 34-35 sumber-sumber agraria mencakup tanah, perairan, hutan, bahan tambang dan udara dalam bentangan
wilayah. Sistem tenurial yang umum diterapkan petani jika dilihat dari segi penguasaan lahan ialah sistem bagi hasil maro, sistem gadai, dan sistem sewa.
Setiap sistem yang diterapkan memiliki latar belakang dan faktor yang berbeda- beda, tergantung kepada
disewakan untuk jangka waktu yang lama Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 17.
Di daerah Sumedang, Garut, Cirebon dan Majalengka, golongan tuan tanah kebanyakan terdiri dari haji-haji, kepala-kepala desa dan tokoh-tokoh
pribumi lainnya, sedangkan di Indramayu terdapat pula cukup banyak tuan-tuan tanah Tionghoa. Semua daerah tersebut di atas, penguasaan tanah-tanah luas
dinyatakan meningkat selama periode 1880-1905 MWO, Economie van de Desa, Preanger Regentschappen 1907: 13-18; Residentie Cirebon 1907: 13-14 dalam
White dan Wiradi 1979: 17. Penyebab proses konsentrasi penguasaan tanah adalah semua sumber menghubungkannya dengan proses komersialisasi ekonomi
pedesaan dan terutama dengan meningkatnya pinjaman uang, yang oleh Meyer Ranneft dilukiskan sebagai
“suatu gejala khas dari masuknya lalu lintas uang ke dalam rumah tangga ekonomi petani, dan dari kekuasaan uang yang bagaikan
setan ” Arsip Nasional 1974: 21 dalam White dan Wiradi 1979: 18.
Perlu dicatat bahwa timbulnya golongan pemilik tanah luas sebagai akibat komersialisasi tidak disertai oleh timbulnya suatu golongan petani luas. Menurut
Ploegsma, “Pemilikan tanah luas tentu tidak mengakibatkan usaha-usaha tani luas.
Tanah-tanah yang dikuasai oleh golongan pemilik luas disewakan atau dibagi hasilkan kepada penggarap-penggarap lain; dengan demikian, dari
segi ekonomi pertanian, pola usahatani kecil-kecilan tetap bertahan ”
Ploegsma 1936: 61 dalam White dan Wiradi 1979: 18. Nampaknya konsentrasi pemilikan bukanlah disertai oleh konsentrasi luas
usahatani melainkan oleh suatu tingkat penyakapan yang tinggi dimana sejumlah besar petani bukan pemilik, yang masing-masing diberikan usahatani kecil atas
dasar sewa atau bagi hasil. Pada permulaan abad ke-20, tingkat penyakapan di
daerah Priangan termasuk diantara yang tertinggi di Jawa, sedangkan di Cirebon sedikit dibawah rata-rata Scheltema 1931: 271 dalam White dan Wiradi 1979:
18. White dan Wiradi 1979: 19-20 menyatakan bahwa
“bukanlah pola-pola penguasaan tanah merupakan hal yang statis yang tidak pernah berubah selama
satu abad terakhir. Justru sebaliknya, perbandingan masa kini dan masa lalu menunjukan adanya suatu proses perubahan yang sangat dinamis, dan lagi
bahwa masing-masing daerah mempunyai dinamika sendiri ”. Namun demikian,
agaknya penting untuk mengartikan bahwa pola-pola yang kelihatan sekarang, seperti variasi lokal dalam luas tanah bengkok, ketunakismaan, ketidakmerataan
diantara pemilik tanah, timbulnya suatu golongan pemilik tanah luas, bertahannya pola usahtani kecil-kecilan berkat lembaga penyakapan, dan sebagainya.
Semuanya merupakan akibat dari suatu proses dinamika yang telah dimulai pada zaman nenek moyang kita, sehingga benar-benar disebut sebagai warisan sejarah.
Kegiatan sewa dan sakap ini berkembang dengan baik melalui instrumen kesepakatan antara pemilik tanah dan penggarap, umumnya penyewaan dan atau
penyakapan didasarkan pada alasan ekonomi untuk meningkatkan usahanya. Menurut Shanin 1971 dalam Subali 2005, terdapat empat karakteristik
utama petani. Pertama, petani adalah pelaku ekonomi yang berpusat pada usaha milik keluarga. Kedua, menggantungkan kehidupan mereka kepada lahan. Bagi
petani, lahan pertanian adalah segalanya. Lahan dijadikan sebagai sumber yang diandalkan untuk menghasilkan bahan pangan keluarga, harta benda yang lebih
tinggi, dan ukuran terpenting bagi status sosial. Ketiga, petani memiliki budaya yang spesifik yang menekankan pemeliharaan tradisi dan konformitas serta
solidaritas sosial. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya keterbukaan petani berlahan luas untuk mempekerjakan petani yang tidak memiliki lahan atau
berlahan sempit. Semua itu didorong oleh rasa solidaritas diantara sesama petani. Keempat, petani cenderung sebagai pihak yang tersubordinasi namun tidak
dengan mudah ditaklukkan oleh kekuatan ekonomi, budaya dan politik eksternal yang mendominasi mereka.
Penelitian yang dilakukan oleh Husken 1998 di Desa Gondosari, Pati, Jawa Tengah dapat dijadikan sebagai salah satu bahan acuan mengenai ciri-ciri
petani di Indonesia pada saat ini. Menurut dia, ciri yang pertama adalah bahwa petani bermata pencaharian ganda, selain bertani mereka juga memiliki pekerjaan
sampingan, seperti pedagang, buruh, supir. Melihat kenyataan dilapangan, pekerjaan sampingan tersebut ternyata merupakan pekerjaan pokoknya Ciri kedua,
tanaman yang diproduksi petani ialah tanaman yang tidak berisiko tinggi, artinya teknologinya dapat dengan mudah dikuasai, misalnya tanaman talas, pisang, dan
umbi-umbian. Pertimbangan lainnya ialah petani paham ke mana pasar bagi tanaman yang diusahakan serta menguntungkan secara ekonomi. Ciri ketiga, motif
berusaha petani
ialah mencari
keuntungan yang
dilakukan dengan
mengintensifkan penggunaan lahan yang hasilnya akan dijual untuk mendapatkan uang tunai. Ciri keempat petani ialah bagian dari sistem politik yang lebih besar
yang ditunjukkan oleh adanya partai-partai politik yang berpengaruh pada mereka juga terhadap kepemimpinan di desa. Adapun ciri yang terakhir adalah bahwa
petani subsisten secara mutlak tidak ada, karena petani mempunyai hubungan yang kuat terhadap pasar tempat menjual hasil pertaniannya atau bahkan membeli
barang di pasar untuk dijual di desanya dengan harapan memperoleh keuntungan.
Menurut Elizabeth 2007: 30 penerapan paradigma modernisasi yang mengutamakan prinsip efisiensi dalam pelaksanaan pembangunan pertanian
menyebabkan terjadinya perubahan struktur sosial masyarakat petani di pedesaan. Berbagai proses pelaksanaan pembangunan, terutama industrialisasi, dalam jangka
menengah dan panjang menyebabkan terjadinya perubahan struktur pemilikan lahan pertanian, pola hubungan kerja dan struktur kesempatan kerja, serta struktur
pendapatan petani di pedesaan. Terkait dengan struktur pemilikan lahan, perubahan tersebut mengakibatkan terjadinya: 1 petani lapisan atas; merupakan
petani yang akses pada sumberdaya lahan, kapital, mampu merespon teknologi dan pasar dengan baik, serta memiliki peluang berproduksi yang berorientasi
keuntungan; dan 2 petani lapisan bawah; sebagai golongan mayoritas di pedesaan yang merupakan petani yang relatif miskin dari segi lahan dan kapital,
hanya memiliki faktor produksi tenaga kerja. Untuk memenuhi kebutuhan berproduksi, kedua lapisan masyarakat petani tersebut terlibat dalam hubungan
kerja yang kurang seimbang. Sayogyo 2002: 133, bahwa
2.2 Bidang Kegiatan Pertanian Sawah: Strategi Pemilik Lahan