13
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Gambaran Umum CPO
Crude Palm Oil di Indonesia
Kelapa sawit merupakan komoditas yang berkembang pesat di Indonesia. Hal ini karena minyak sawit merupakan salah satu kebutuhan pokok sebagai
bahan pembuatan minyak goreng. Produktivitas kelapa sawit pada perusahaan kelapa sawit menentukan besarnya keuntungan yang diperoleh perusahaan.
Novembrianto 2010 menganalisis proses pengelolaan perkebunan kelapa sawit mulai dari tahap persiapan lahan, pembukaan lahan, teknik budidaya, pemanenan,
dan pengolahan tandan buah segar TBS, membandingkan tingkat produktivitas dan persentase tanaman terhambat antar kebun, umur tanaman, dan jenis tanah,
serta mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi persentase tanaman terhambat di kebun inti PT. Citranusa Intisawit, Indofood Plantation, Provinsi Kalimantan
Barat. Hasil penelitiaannya menunjukkan bahwa pengelolaan kebun di PT CNIS
dari proses pembibitan sampai pengolahan tandan buah segar TBS relatif baik. Namun, masih terdapat beberapa kekurangan antara lain kurangnya koordinasi
manajer kebun dengan asisten kebun di lapang, kurangnya pengawasan asisten kebun terhadap pekerja lapang, dan rendahnya etos kerja dari sebagian besar
pekerja kebun. Hasil analisis produktivitas menunjukkan bahwa produktivitas antar blok, antar divisi, dan antar umur tanaman pada kebun plasma II dan analisis
menurut umur tanaman di kebun inti berbeda nyata. Hasil analisis persentase tanaman terhambat menunjukkan bahwa persentase tanaman terhambat antar
divisi dan antar umur tanaman pada kebun inti berbeda nyata. Persentase tanaman terhambat pada tanah mineral Podsolik Kromik dan Podsolik Haplik lebih besar
dari pada tanah gambut Gambut Saprik dangkal. Variabel-variabel yang berpengaruh nyata terhadap besarnya persentase tanaman terhambat adalah umur
tanaman, jenis tanah, divisi, C-organik, N-organik, K-dd. Supiani 2011 menganalisa tentang mutu TBS yang akan diolah menjadi
CPO. Salah satu faktor penting dalam pengawasan mutu minyak kelapa sawit adalah kadar asam lemak bebas, kadar air dan juga kadar kotoran. Analisa yang
dilakukan di PKS Aek Nabara Selatan, dimana mutu minyak kelapa sawit ini sangat dipengaruhi oleh kualitas buah sawit yang di panen yang akan diolah mulai
14 pemanenan tepat waktu, proses pengumpulan dan pengangkutan, derajat
kematangan buah dan proses pengolahan di pabrik. Dalam pengamatannya, TBS yang masuk ke dalam pabrik jika belum mencukupi untuk diolah maka jadwal
pengolahan ditunda stagnasi untuk satu hari. Standar sortasi sering diabaikan sehingga TBS yang diolah merupakan buah inap untuk memenuhi proses
pengolahan, hal ini mengakibatkan terjadinya penurunan mutu TBS yang dipanen sehingga mutu CPO yang diperoleh menjadi rendah.
Hal yang sama juga disampaikan pada hasil analisa Panjaitan 2011 dengan melakukan perbandingan Analisa kadar Asam Lemak Bebas ALB dari
Tandan Buah Segar TBS siap olah dengan buah yang diinapkan. Kesimpulan pada hasil analisa yang dilakukan yaitu Peningkatan kadar asam lemak bebas
dalam minyak sawit mentah dapat terjadi karena penimbunan buah yang terlalu lama pada loading ramp. Semakin tinggi kadar Asam Lemak Bebas ALB dalam
CPO maka akan semakin buruk kualitas minyak sawit mentah tersebut, sebaliknya semakin rendah kadar asam lemak bebas pada CPO maka akan semakin bagus
kualitasnya. Asam Lemak Bebas ALB tidak diinginkan dalam CPO karena dapat mempercepat minyak tersebut berbau tengik selama penyimpanan.
Selanjutnya penelitian Kusumawardhana 2008, menganalisa pengaruh kebijakan Pajak Ekspor PE terhadap perdagangan CPO Indonesia. CPO sebagai
bahan baku minyak goreng yang kedudukannya semakin penting dan sebagai perolehan devisa menyebabkan pemerintah dihadapkan pada pilihan. Pilihan
pemerintah antara kepentingan untuk menjaga harga minyak goreng sebagai salah satu bahan kebutuhan pokok atau kepentingan meningkatkan perolehan devisa.
Pemerintah merasa perlu berperan dalam mengatur sistem tata niaga kelapa sawit beserta produk-produknya terutama CPO. Wujud campur tangan pemerintah
berupa pengaturan alokasi CPO, pengaturan alokasi ini dengan menentukan aturan-aturan alokasi CPO pada tempat tertentu. Kebijakan yang lain adalah
pembentukan sistem pengawasan secara langsung terhadap pasokan dan harga domestik dan pembatasan dan pelarangan ekspor CPO. Tujuan utama dari
penetapan kebijakan-kebijakan tersebut adalah untuk menjamin agar pasokan CPO dalam negeri tetap stabil, sehingga harga minyak goreng di dalam negeri pun
stabil pada tingkat yang rendah.
15 Hasil penelitian menunjukkan produksi CPO Indonesia, harga ekspor CPO
dan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar memiliki hubungan yang positif dengan penawaran ekspor CPO Indonesia. Jika produksi CPO Indonesia meningkat maka
penawaran ekspor CPO Indonesia akan meningkat. Apabila harga ekspor CPO Indonesia meningkat, maka penawaran ekspor CPO akan meningkat.
Meningkatnya nilai tukar rupiah akan menyebabkan meningkatnya penawaran ekspor CPO Indonesia. Pemberlakuan pajak ekspor seharusnya mengurangi
penawaran ekspor CPO Indonesia. Sayangnya secara statistik dampak pemberlakuan pajak ekspor ini tidak signifikan. Berarti tidak ada perubahan yang
berarti pada periode sebelum dan sesudah di berlakukan kebijakan pajak ekspor. Produsen tetap memilih mengekspor CPO ke pasar intenasional daripada pasar
domestik, karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik.
Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran CPO domestik. Penawaran ekspor dan penawaran domestik memiliki arah yang
berlawanan. Ketika penawaran ekspor CPO Indonesia berkurang artinya penawaran CPO dalam negeri akan meningkat. Produksi CPO Indonesia memiliki
hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik Indonesia. Dengan produksi Indonesia yang meningkat artinya pasokan CPO di pasar terutama pasar
domestik akan meningkat. Impor CPO ke pasar domestik Indonesia memliki hubungan yang positif terhadap penawaran CPO domestik. Artinya, dengan
meningkatnya jumlah impor CPO ke pasar domestik maka penawaran CPO di pasar domestik akan semakin banyak.
Penawaran domestik CPO Indonesia memiliki hubungan yang negatif dengan harga CPO domestik. Dengan peningkatan penawaran domestik maka
harga domestik akan menurun. Harga pasar domestik akan turun akibat terdapat banyak pasokan CPO di pasar. Produksi CPO Indonesia memiliki hubungan yang
negatif terhadap harga domestik CPO Indonesia. Apabila produksi CPO Indonesia meningkat, maka penawaran CPO di pasar domestik akan meningkat. Harga CPO
Indonesia periode sebelumnya mempunyai hubungan yang positif dengan harga domestik CPO Indonesia. Harga minyak kelapa mempunyai tidak memiliki
hubungan dengan harga domestik CPO Indonesia. Hal ini menunjukkan minyak
16 kelapa tidak mempengaruhi harga CPO domestik. Minyak kelapa dan CPO
memiliki segmen pasar yang berbeda. Kebijakan Pajak Ekspor mempengaruhi penawaran ekspor CPO Indonesia.
Penawaran ekspor CPO Indonesia akan mempengaruhi penawaran domestik CPO Indonesia. Penawaran domestik CPO Indonesia akan mempengaruhi harga
domestik CPO Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa kebijakan pajak ekspor tidak efisien dilakukan. Karena kebijakan ini tidak mampu memncapai tujuannya,
yaitu untuk menurunkan harga CPO domestik. Dari sisi lain akan merugikan negara dengan menurunkan penawaran ekspor CPO Indonesia, yang merupakan
salah satu sumber devisa negara terbesar. Pajak ekspor dengan tujuan mendatangkan devisa bagi pemerintah harus dapat berjalan dengan pemenuhan
kebutuhan dalam negeri dengan kombinasi kebijakan pajak ekspor. Pajak ekspor tidak boleh melanggar ketentuan yang telah disepakati Indonesia dalam perjanjian
bilateral, regional maupun internasional. Perlu adanya kebijakan yang terintegrasi antara pemerintah daerah dan pusat serta peran pusat yang mengkoordinasikan
seluruh wilayah serta menetapkan kebijakan dasar. Diperlukan diregulasi yang bersifat insentif yang efektif, serta upaya mengurangi intervensi pemerintah,
sehingga tercipta iklim investasi yang menarik. Kemudian Martha 2011 melakukan analisa terhadap potensi ekspor
Crude Palm Oil CPO Indonesia ke empat negara mitra dagang utama India,
Belanda, Malaysia dan Singapura dengan pendekatan gravity model. Martha melakukan analisa terhadap pengaruh kebijakan WTO terhadap aliran
perdagangan komoditas CPO dan faktor-faktor lain penarik aliran perdagangan CPO lainnya antara lain GDP negara Indonesia GDPi, dan GDP ke empat
negara mitra dagang utama GDPj, jarak antara Indonesia dengan ke empat negara mitra dagang utama Dij, nilai tukar diantara keduanya ER, dan harga
CPO P Indonesia ke empat negara pengimpor. Upaya-upaya tersebut dilakukan dalam mempertahankan eksistensi ekspor CPO untuk tetap menjaga kepastian
pasar atau kembali mencari pasar potensial jika pasar yang telah ada sudah tidak berpotensi. Terbentuknya WTO dalam mengatur perdagangan internasional
termasuk perdagangan CPO dengan pengurangan tarif impor sebagai salah satu instrument kebijakannya mempunyai andil penting terutama dalam memberikan
17 peningkatan kesejahteraan bagi negara Indonesia sebagai negara eksportir yang
selama ini mengalami penurunan kesejahteraan akibat adanya penetapan tarif impor oleh ke empat negara importir CPO.
Variabel-variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata lima persen terhadap aliran volume ekspor CPO Indonesia, adalah GDP negara Indonesia
GDPi, dan GDP ke empat Negara mitra dagang utama GDPj. Sedangkan variabel yang berpengaruh nyata pada taraf nyata satu persen adalah nilai tukar
Indonesia dan empat negara mitra dagang utama ER. Variabel-variabel yang tidak berpengaruh nyata adalah jarak antara Indonesia dan keempat negara mitra
dagang utama Dij, dan harga CPO dunia P. Hasil pengukuran potensi perdagangan berdasarkan rasio perdagangan PA menyimpulkan bahwa negara
India dan Malaysia adalah negara-negara dari ke empat mitra dagang utama mempunyai potensi tinggi terhadap penyerapan CPO Indonesia dibandingkan
negara Belanda dan Singapura.
2.2. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi