Data Hasil Wawancara 1. Kehidupan Pernikahan

Peneliti menanyakan beberapa hal mengenai masa kecil partisipan hingga bagaimana partisipan bertemu dengan mantan suaminya. partisipan terlihat santai ketika ditanyai pertanyaan mengenai masa mudanya. Pertanyaan berikutnya mengenai permasalahan rumah tangga. Sebelum menjawab, partisipan sempat diam untuk beberapa saat. Partisipan seperti menerawang untuk mengingat kembali kejadian di kala itu kemudian ia pun menjawab pertanyaan yang diajukan dengan baik. Secara keseluruhan partisipan mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang diajukan.

b. Data Hasil Wawancara 1. Kehidupan Pernikahan

Partisipan menikah sekitar 44 tahun yang lalu. Perkenalan dengan mantan suaminya berawal dari beberapa kali pertemuan, mengingat partisipan dan mantan suaminya tinggal di lingkungan yang sama. “eceknya kan satu-satu kampung. Gitulah, jadi kenalah satu-satu kampung namanya tertawa. Karena lewat-lewat gitu, lama-lama kenalah gitu. Kenal kenal kenal, lama-lama jadilah gitu tertawa.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b28-29h1 Memiliki orang tua yang konservatif, partisipan tidak diperbolehkan untuk berteman dengan laki-laki. Teman partisipan hanya sebatas pada teman perempuan. Meskipun begitu, partisipan sempat menjalani masa berpacaran cukup lama dengan pria yang kini menjadi mantan suaminya. Orang tuanya sendiri mengenal calon suami partisipan ketika mendekati proses lamaran. Universitas Sumatera Utara “ya tempat kawanlah. Orang kawan ke sini datang aja perempuan- perempuan. Orang itu suka karena ibu sendiri. Itulah datang, tidur- tidur di rumah ibu. Ha gitu, kawan-kawan pada datang perempuan.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b18-20h1 “orang tua ibu itu orang dia gak suka kalau memang sama kawan laki-laki jadi dia memang gak berapa kenalah, gak berapa tahulah. Ya udah nanti eceknya mau minang, barulah dikenalin. Kalau untuk berkawan-kawan gitu dia ya enggaklah. Soalnya kan gak boleh.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b47-52h2 Kehidupan awal pernikahan partisipan berjalan normal. Setelah partisipan memiliki dua orang anak, sifat suami berubah menjadi pemarah. Kekerasan yang dilakukan suami hanya dalam bentuk kekerasan verbal. Suami kerap membentak partisipan namun partisipan hanya diam saja. Ia tidak berani melawan sebab ia takut suaminya akan menggunakan kekerasan fisik terhadapnya. “ya udah ada anak-anak inilah, gitu. Apa salah sikit, marah. Gitulah. Salah sikit entah apa gitu marah.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b54-59h2 “marah aja memang, ngebentak karena ibu ini memang gak ngelawan. Kalau misalnya bangsa model ngelawan, mau main mukul dia mantan suami. Memang bangsa maulah memukul. Tapi kalau ibu memang ibu gak bisa melawan. Udah mau marah, ibu diam aja tu. Gak pernah ibu ladenin. Jadi gak pernahlah ibu diapainnya dipukul. Kadang entah numbuk dinding, numbuk kaca, gitulah dia kalau udah marah. Nanti numbuk kaca, berdarah tangan itu. Gitu. Ibu gak bisalah orang ibu gak pernah ngelawan. Nanti kalau kita jawab, maulah dipukul.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b62-67h2 Partisipan menuturkan bahwa penyebab suaminya menjadi pemarah karena alasan pekerjaan. Selain itu yang menjadi permasalahan dalam rumah tangganya karena suaminya tidak bertanggung jawab, terutama Universitas Sumatera Utara terhadap keuangan rumah tangga. Selama menikah, suami partisipan tidak peduli terhadap biaya sekolah anak-anaknya. “apa ya? penyebab kemarahan mungkin dia capek, entah pendapatannya kurang, gitulah. Udah itu ibu bukan menuntut kali juga cuma ya kewajiban. Kalau untuk menuntut kali pun enggak. Kewajibanlah yang ibu tuntut.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b209-212h6 “Sebetulnya dia memang tanggung jawabnya kurang. Kalau yang mau cerita itu kan tanggung jawabnya penuh, barulah dia bercerita. Kalau ini memang tanggung jawabnya kurang itulah makanya anak- anak ini tak nengok, kurang tanggung jawab. Dari awalnya gitulah tanggung jawab tadi kurang.” W.R2.P.IRT.MDN.24Mar14b215-220h7 Untuk mengatasi permasalahan keuangan, partisipan kerap dibantu oleh ibunya yang juga tinggal bersama partisipan beserta keluarganya. Ia memakai uang pensiun peninggalan ayahnya untuk biaya sehari-hari. Selain itu anak-anak partisipan yang telah beranjak dewasa juga membantu biaya sekolah adik-adiknya. “keuangan lagi. Sekolah aja enggak. Tapi kan sekolah anak biasanya biaya diperlukan. Ini enggak. Orang ini biaya sekolah sendirilah. Kakaknya sekolahkan adik, adiknya sekolahkan adik. Gitu semua.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b320-323h9 “Sudah anak-anak ini besar-besar, udah sekolah, gak berapa gitu. Gak begitu diopenkannya. Gak begitu peduli, gitu. Mau sekolah, mau apa, suka hati ibulah yang menanggulangi macemana caranya. Haa, dulu ada emak ibu. Emak ibu ada pensiunnya. Jadi emak ibu tadilah mengapakan membantu ibu.” W.R2.P.IRT.MDN.11Mar14b174-177-h5 Meskipun didera berbagai masalah dalam kehidupan rumah tangganya, partisipan tidak pernah bercerita kepada siapapun. Ia tidak ingin hal ini membuat ibunya khawatir. Ia juga tidak menceritakan perkara rumah Universitas Sumatera Utara tangganya kepada anak-anaknya karena ia tidak mau anak-anaknya melawan ayahnya sendiri. Pada akhirnya ia tetap memilih untuk memendam sendiri semua perasaannya. “Anak-anak ibu rupanya tahulah macemana ibu dibikin sama bapak itu. Ibu tapi gak cerita. Takut ibu gara-gara ibu nanti anak ibu ngelawan sama orang tuanya, kan. Jadi ibu itu gak mau bilang dulu. Cemana pun ibu tahan, ibu diam.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b52-57h2 “jadi itu ibu terlalu sayang sama emak ibu itu. Jadi ibu gak mau begadoh jangan tahu emak ibu, padahal dia tahunya macemana ibu. Tapi ibu janganlah gara-gara ibu, dia emak susah. Padahal susah juganya akhirnya kan.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b64-67h2 Pertengkaran partisipan dan suaminya berlanjut hingga usia pernikahan ke 25 tahun. Pihak keluarga dari kedua belah pihak berusaha mendamaikan partisipan dan suaminya, namun partisipan tetap bersikeras untuk berpisah. Partisipan mengatakan kepada suaminya bahwa berpisah merupakan jalan yang terbaik bagi mereka berdua. “Gitu ajalah berulang balik. Tapi situ udah 25 tahun ibu udah meninggal emak ibu itu. Jadi itulah teruslah ibu bertengkarlah. Ibu bilang kepada mantan suami, “udahlah, pigilah dulu”. Soalnya rumah ini rumah ibu kan? Pigilah dia ke rumah emaknya” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b63h2 Akhirnya sang suami pun pindah ke kediaman orang tuanya sementara partisipan pergi ke Aceh bersama cucu dan anaknya yang dipindahtugaskan. Tidak berapa lama kemudian partisipan mendengar kabar bahwa suaminya menikah kembali. Partisipan merasa ia tidak memiliki Universitas Sumatera Utara perasaan apa-apa terhadap suaminya sehingga ia tidak terlalu memikirkan kabar pernikahan tersebut. “Lama-lama dia kan laki-lakilah kan, berumah tangga. Udahlah, ibu udah berumah tangga dia, udah syukur.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b78h3 Begitu kembali dari Aceh, partisipan mengetahui bahwa suaminya sudah bercerai dengan istri keduanya dan kembali menempati rumah partisipan. Namun partisipan tidak tega untuk mengusir suaminya. Di sisi lain partisipan merasa bahwa ia dan suaminya sudah tidak memiliki hubungan apa-apa lagi. Akhirnya ia memutuskan untuk tinggal bersama anak ketiganya sementara suaminya tinggal di rumah partisipan yang terletak bersebelahan. “Jadi udah itu eceknya dia udah gak baik lagilah dia sama istrinya yang kedua itu. Jadi balik lagi dia di sini. Tinggal dia sama ibu. Pulang dari Aceh itu, di sinilah dia. Ibu orangnya gak bisa ibu ngusir.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b82-87h3 “Jadi ibu gak maulah. Jadi tetap dari situ dia di sebelah, ibu di sinilah. Dibikinkan dulu belum ada kamar di belakang itu, ditambah lagi kamar untuk tempat ibu.” W.R2.P.IRT.MDN.04Mar14b91-94h3

2. Perceraian